“Pembuktian”
2023-2024
i
KATA PENGANTAR
Kelompok IV
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................... i
DAFTAR ISI....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1
A. Latar Belakang........................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah...................................................................................... 2
C. Tujuan........................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................... 3
A. Pengertian Pembuktian.............................................................................. 3
B. Alat Bukti...................................................................................................12
BAB III PENUTUP............................................................................................23
A. Kesimpulan................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................24
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pokok bahasan mengenai pembuktian mengundang perbedaan pendapat
hukum perdata atau hukum acara perdata. Prof. Subekti, S.H. mantan ketua MA
dan guru besar hukum perdata pada Universitas Indonesia berpendapat bahwa
sebenarnya soal pembuktian ini lebih tepat diklasifikasikan sebagai hukum acara
perdata (procesrecht) dan tidak pada tempatnya di masukkan dalam B.W., yang
pada asasnya hanya mengatur hal-hal yang termasuk hukum materil. Begitu juga
hukum untuk suatu keadaan tertentu, atau menerapkan hukum atau undang-
undang, menetapkan apakah yang “hukum” anatara dua pihak yang bersangkutan
itu. Dalam sengketa yang berlangsung di muka Hakim itu, masing-masing pihak
dan menetapkan dalil-dalil manakah yang benar dan dalil-dalil manakah yang
tidak benar. Berdasarkan duduk perkara yang ditetapkan sebagai yang sebenarnya
itu, Hakim dalam amar atau “dictum” putusannya, memutuskan siapakah yang
keyakinannya, biarpun itu sangat kuat dan sangat murni. Keyakinan Hakim itu
harus didasarkan pada sesuatu, yang oleh undang-undang dinamakan alat bukti.
Dengan alat bukti ini, masing-masinng pihak berusaha membuktikan dalilnya atau
1
pendiriannya yang dikemukakan kepada Hakim yang diwajibkan memutusi
perkara mereka.
teorinya dan alat-alat bukti dalam pengadilan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara.
B. Rumusan Masalah
2. Apa saja alat bukti dalam persidangan peradilan tata usaha negara?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud teori ajaran pembuktian
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pembuktian
Hukum acara atau hukum formal adalah peraturan hukum yang mengatur
hukum material melalui suatu proses dengan berpedoman kepada peraturan yang
dihadapi individu-individu dan terhadap masalah itu perlu diselesaikan secara adil
oleh setiap individu. Dengan perkataan lain, hukum acara hanya di jalankan dalam
keadaan istimewa, yaitu dalam hal hukum material / kewenangan yang oleh
Salah satu hal yang proses untuk menyelesaikan masalah adalah proses
pembuktian dalam hukum acara, entah itu dalam hukum acara pidana, perdata dan
ptun. Dalam suatu proses peradilan, pembuktian merupakan hal yang penting
kalahnya para pihak yang berperkara ditentukan dalam tahap pembuktian karena
3
Pembuktian menurut istilah bahasa arab berasal dari kata “albayyinah”
Pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum oleh
memperkuat kebenaran dalil tentang fakta hukum yang menjadi pokok sengketa,
sesama Hakim.
peristiwa atau fakta yang diajukan itu benar-benar terjadi, guna mendapatkan
putusan hakim yang benar dan adil. Hakim tidak dapat menjatuhkan suatu putusan
sebelum nyata baginya bahwa fakta/peristiwa yang diajukan itu benar terjadi,
para pihak.3
Hukum Pembuktian adalah hukum yang mengatur tentang tata cara untuk
1
Abdul djamali, Pengantar Hukum Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo, 1996), hlm. 173
2
Gemala Dewi, Hukum Acara Perdata Pengadilan Agama Di Indonesia (Jakarta: Kencana,
2006), hlm. 1991
3
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata, hlm. 140
4
a. Fakta Hukum
langsungnya, untuk unsur prestasi kerja mendapat nilai amat baik (95), karena
telah menciptakan suatu program di bidang komputer yang sangat berguna dalam
pelaksanaan tugas. Yang merupakan fakta hukum adalah unsur prestasi kerja
dengan nilai amat baik (95), karena penilaian prestasi kerja tersebut merupakan
penerapan dari Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1979.
b. Fakta Biasa
fakta hukum tertentu, misalnya program komputer yang telah diciptakan oleh X
seperti di atas. Pasal 100 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
menentukan bahwa kejadian yang telah diketahui umum, tidak perlu dibuktikan.
Dari ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa fakta yang telah diketahui oleh
adanya fakta yang juga dapat menjadi dasar pertimbangan dan Hakim dalam
c. eksistensi hukum.
4
Indroharto, Usaha Memahami Undang- Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
Buku II, n.d, hlm. 185
5
Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 menyebutkan,
bahwa:
6
Hukum Acara Perdata, maka dengan memperhatikan segala
fakta dan hal yang diajukan oleh para pihak, Hakim Peradilan Tata
2. siapa yang harus dibebani pembuktian, hal apa yang harus dibuktikan oleh
pihak yang berperkara dan hal apa saja yang harus dibuktikan oleh Hakim sendiri;
3. alat bukti mana saja yang diutamakan untuk dipergunakan dalam pembuktian;
pemeriksaan di sidang Pengadilan, Hakim tidak tergantung atau tidak terikat pada
mengesampingkan fakta dan hal yang diajukan oleh Penggugat atau Tergugat,
demikian pula Hakim dapat saja memeriksa lebih lanjut tentang fakta dan hal
yang tidak disangkal atau tidak cukup dibantah,apabila fakta dan hal tersebut
mempunyai arti yang relevan untuk dijadikan dasar pertimbangan dan Hakim
dalam menjatuhkan putusan
Pengadilan berharap fakta dan hal yang diajukan dapat memperoleh perhatian
Hakim, maka sudah tentu fakta tersebut harus dibuktikan kebenarannya. Sebagai
7
atau tidak terikat pada fakta atau hal yang diajukan oleh Penggugat atau Tergugat
adalah putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta tanggal 16 Januari
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat adalah tidak sah dan harus dibatalkan,
karena masa kerja atau masa tugas dari Panitia Penyelesaian Perburuhan Pusat
tersebut telah dilampaui atau tidak ada perpanjangan, meskipun fakta yang berupa
masa kerja atau masa tugas dan Panitia yang dimaksud tidak diajukan oleh
menjatuhkan putusannya.
pembuktian yang disebutkan dalam penjelasan Pasal 107 adalah Hakim Peradilan
Tata Usaha Negara dapat menentukan hal apa atau fakta apa aja yang harus
pembuktian pada diri Hakim sendiri terhadap suatu fakta yang ditemukan selama
Dalam Hukum Acara Perdata, beban pembuktian diatur pada Pasal 163
5
Suparto Wijoyo, Karakteristik Hukum Acara Peradilan Admiinistrasi, n.d, hlm 117-118.
6
Indroharto, Usaha Memahami Undang- Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
Buku II, hlm 195.
8
Barang siapa yang mendalilkan mempunyai suatu hak atau mengajukan
suatu peristiwa (feit) untuk menegaskan haknya atu untuk membantah adanya hak
orang lain, haruslah membuktikan tentang adanya hak atau peristiwa tersebut.7
sesuatu dan tidak melakukannya akan menanggung suatu risiko bahwa beberapa
7
O. Bidara dan Martin P. Bidara, Hukum Acara Perdata (Jakarta: Pradnya Paramita, n.d., hlm
57.
8
Indroharto, Usaha Memahami Undang- Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku II.
9
diakui. Akan tetapi, jika pihak lain yang mengemukakan bahwa
hukum objektif pada fakta yang diajukan atau dituntut jika unsur-
undang.
d. Teori Keadilan
10
Hakim akan membebankan pembuktian kepada Penggugat atau
macam pilihan yang dapat dipilih oleh Hakim Tata Usaha Negara.
Sebagai akibat dari Hakim mempunyai kebebasan atau dapat
11
perkataan lain tidak ada perbedaan mengenai kekuatan pembuktian
antara alat bukti yang satu dengan alat bukti yang lain.
Tahun 1986 disebutkan bahwa Hakim dapat menentukan sendiri alat bukti mana
wewenang untuk memilih alat bukti tertentu di antara alat-alat bukti seperti
ditentukan dalam Pasal 100 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 dan
memberikan penilaian tentang kekuatan pembuktian dan alat bukti tersebut untuk
telah diajukan. Maksud dari penjelasan Pasal 107 tersebut adalah Hakim
B. Alat Bukti
Negara sedikit sekali (Pasal 100 sampai dengan 107 Undang-Undang Nomor 5
12
dikehendaki adanya ketentuan yang mengikat Hakim dalam memilih alat-alat
bukti yang dipergunakan dalam pembuktian.9 Oleh karena itu tidak mengherankan
ketentuan tentang kekuatan pembuktian dan suatu alat bukti, tidak seperti halnya
di dalam Hukum Acara Perdata. Pasal 100 ayat (1) menentukan bahwa alat bukti
adalah surat atau tulisan, keterangan ahli, keterangan saksi, pengakuan para pihak,
Dengan adanya ketentuan tersebut, maka dapat diketahui bahwa alat bukti
yang dapat dipergunakan dalam memeriksa dan memutus Sengketa Tata Usaha
Nomor 5 Tahun 1986 alat bukti apa saja yang dapat dipergunakan.
Oleh karena itu dengan ditambah alasan bahwa untuk sahnya pembuktian
terbatas.
Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 dan Pasal 107 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986, merupakan ketentuan yang lazim terdapat dalam Hukum Acara
Perdata. Seyogianya tidak perlu terdapat dalam Hukum Acara Tata Usaha Negara,
karena yang dipersoalkan dalam penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara adalah
sah atau tidak sahnya suatu Keputusan Tata Usaha Negara. Untuk menentukan
tentang sah atau tidak sahnya suatu Keputusan Tata Usaha Negara, tolok ukurnya
9
Wijoyo, Karakteristik Hukum Acara Peradilan Admiinistras, hlm 121.
10
Philipus M. Hadjon dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, n.d, hlm 330.
13
adalah bukan alat bukti, tetapi adalah peraturan perundang- undangan dan atau
ketentuan yang memberi arti apa yang dimaksud dengan alat bukti yang berupa
surat atau tulisan. Menurut Sudikno Mertokusumo, yang dimaksud dengan surat
atau tulisan adalah segala sesuatu yang memuat tanda bacaan, dimaksudkan untuk
mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan
dipergunakan sebagai pembuktian. Pasal 101 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 menentukan bahwa surat sebagai alat bukti terdiri atas 3 (tiga) jenis, yaitu:.
a. Akta Autentik
Yaitu surat yang dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum, yang
maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa
11
Indroharto, Usaha Memahami Undang- Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
Buku II,hlm 201.
14
2. Keterangan Ahli
dalam persidangan tentang hal apa yang ia ketahui menurut pengalaman dan
pengetahuannya.
diberikan oleh juru taksir. Jika hanya diperhatikan pada ketentuan yang terdapat
dalam Pasal 102 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 saja, maka
keterangan ahui dalam bentuk tertulis bukan merupakan alat bukti berupa
keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (1) huruf b Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986. Seorang ahli dalam persidangan harus memberi
keterangan balk dengan surat maupun dengan lisan, yang dikuatkan dengan
baiknya.
ayat (2) tersebut, maka ternyata keterangan ahli di samping dapat diberikan dalam
bentuk tidak tertulis atau lisan, juga dapat diberikan dalam bentuk tertulis atau
mengenai satu fakta tertentu. Dalam praktiknya nanti, cara tersebut akan kurang
dilakukan bila dibanding dengan keterangan ahli yang diberikan secara tertulis
yang kemudian diajukan para pihak atau oleh Hakim„. Jadi menurut Indroharto
pada pemeriksaan sidang Pengadilan, keterangan ahli dapat juga diberikan dalam
bentuk tertulis.
15
Di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang- Undang
ketentuan yang memberikan arti apa yang dimaksud dengan ahli. Akan tetapi, dan
ketentuan yang terdapat dalam Pasal 102 ayat (1) dan Pasal 103 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 dapat diketahui bahwa ahli adalah orang yang dapat
menentukan sendiri tentang kekuatan pembuktian dan suatu alat bukti. Pasal 103
Atas permintaan kedua belah pihak atau salah satu pihak atau karena
jabatannya, Hakim Ketua Sidang dapat menunjuk seseorang atau beberapa orang
ahli.
Berangkat dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 103 ayat (1) tersebut,
dapat diketahui bahwa agar seseorang atau beberapa orang ahli dapat didengar
keterangan ahlinya sebagai alat bukti, perlu adanya penunjukan dan Hakim Ketua
Sidang. Sudah tentu penunjukan oleh Hakim Ketua Sidang tersebut dituangkan
Dengan adanya kata ―dapat‖ dalam Pasal 103 ayat (1) Undang- Undang
Nomor 5 Tahun 1986, maka Hakim Ketua Sidang tidak harus mengabulkan
permintaan dan Penggugat dan atau Tergugat untuk menunjuk seseorang atau
beberapa orang ahli. Sebagai ketentuan yang perlu mendapat perhatian mengenai
alat bukti berupa keterangan ahli adalah Pasal 102 ayat (2) Undang- Undang
16
Nomor 5 Tahun 1986 yang menentukan bahwa seseorang yang tidak boleh
3. Keterangan Saksi
ketentuan yang memberikan arti apa yang dimaksud dengan keterangan saksi.
berkenaan dengan hal yang dialami, dilihat atau didengar oleh saksi sendiri.
Indroharto, dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan keterangan saksi tersebut
adalah keterangan saksi yang didengar oleh Hakim selama pemeriksaan perkara
dilakukan. Dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 104 tersebut dapat diketahui
bahwa saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan tentang sesuatu hal
diperoleh dan pihak ketiga atau yang biasa dikenal dengan testimonium de auditu
dialaminya sendiri. Dengan demikian, maka saksi de auditu bukan merupakan alat
adakalanya nanti kesaksian de auditu itu juga akan mempunyai suatu nilai tertentu
12
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, n.d.131.
13
Indroharto, Usaha Memahami Undang- Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
Buku II.
17
Hanya saja pada waktu memberikan kekuatan pembuktian terhadap
Tahun 1986 menentukan bahwa yang tidak boleh didengar sebagai saksi adalah
sebagai berikut.
atas atau ke bawah sampai derajat kedua dan salah satu pihak yang
bersengketa.
sudah bercerai.
c. Anak yang belum berusia 17 (tujuh belas) tahun.
tertulis, yang lalu diajukan oleh pihak yang bersangkutan di muka pemeriksaan.
beberapa orang yang dapat minta mengundurkan diri untuk menjadi saksi. Pasal
89 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 menentukan bahwa orang yang
adalah:
menentukan bahwa ada atau tidak adanya dasar kewajiban untuk merahasiakan
18
Meskipun penjelasan Pasal 89 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 huruf a menyebutkan cukup jelas„ tetapi sebenarnya masih ada sesuatu
pertanyaan yang perlu mendapatkan jawaban, yaitu siapa yang dimaksud dengan
Pada Sengketa Tata Usaha Negara yang dapat bertindak Penggugat adalah
Orang atau Badan Hukum Perdata„ sedang yang dapat bertindak sebagai Tergugat
adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Dengan demikian, yang dimaksud
dengan pihak dalam ketentuan yang terdapat dalam Pasal 89 ayat (1) huruf a
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986. Jika ditinjau dari sudut Penggugat adalah
Orang atau Badan Hukum Perdata tetapi jika ditinjau dan sudut Tergugat
Jika yang bertindak sebagai Penggugat adalah orang„ maka yang dimaksud
dengan saudara laki-laki dan perempuan, ipar laki- laki dan perempuan salah satu
pihak adalah saudara laki-laki dan perempuan, ipar laki-laki dan perempuan dan
Perdata? Siapa yang dimaksud dengan pihak dalam ketentuan yang terdapat dalam
atau ditunjuk dalam Anggaran Dasar, maka yang dimaksud dengan saudara laki-
laki dan perempuan, ipar laki-laki dan perempuan salah satu pihak adalah saudara
pengurus, yang oleh Anggaran Dasar dan Badan Hukum Perdata telah ditentukan
Jika ditinjau dan sudut Tergugat, siapakah yang dimaksud den-gan pihak
dalam ketentuan yang terdapat dalam Pasal 89 ayat (1) huruf a? Karena dalam
19
Sengketa Tata Usaha Negara yang bertindak sebagai Tergugat adalah Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara, yang dimaksud dengan saudara laki-laki dan
perempuan, ipar laki-laki dan perempuan salah satu pihak adalah saudara laki-laki
dan perempuan dan orang yang memangku jabatan Tata Usaha Negara yang
masyarakatnya.
yang mengatur pekerjaan atau jabatan yang dimaksud, maka seperti yang
ditentukan dalam Pasal 89 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, Hakim
yang menentukan sah atau tidaknya alasan yang dikemukakan untuk pengunduran
din tersebut.
dikemukakan untuk pengunduran din yang berkaitan dengan martabat. Hal yang
menarik untuk diperhatikan dari penjelasan Pasal 89 ayat (1) huruf b Undang-
20
4. Pengakuan Para Pihak
tidak perlu adanya persetujuan dan pihak lawan, tetapi Pasal 105 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 menentukan bahwa pengakuan pana pihak tidak dapat
ditarik kembali, kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diterima oleh
Hakim. Pengakuan yang diberikan oleh Penggugat dan atau Tengugat belum tentu
Usaha Negara antara Penggugat dan Tergugat. Oleh karena itu, meskipun
Penggugat dan atau Tergugat telah memberikan pengakuan, tetapi Hakim masih
mempunyai wewenang untuk meneliti lebih lanjut terhadap pengakuan yang telah
perdata, karena dengan adanya pengakuan dan Penggugat dan Tengugat, maka
sengketa perdata dianggap selesai dan Hakim tidak perlu lagi meneliti tentang
5. Pengetahuan Hakim
bahwa yang dimaksud dengan pengetahuan Hakim adalah hal yang olehnya
14
S.H. MH Dr H. Abdullah Gofar, Teori Dan Praktek Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara (Universitas Sriwijaya, 2014),hlm 202.
15
Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, hlm 142.
21
pengetahuan dan Hakim yang diperoleh selama pemeriksaan di sidang Pengadilan
berlangsung.
tidak lagi di kantor Peradilan Tata Usaha Negara, tetapi berlangsung misalnya di
kantor Tergugat. Oleh Indroharto16 diberikan beberapa contoh alat bukti yang
16
Indroharto, Usaha Memahami Undang- Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
Buku II.
22
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Hukum Pembuktian adalah hukum yang mengatur tentang tata cara untuk
beban pembuktian dalam Hukum Acara Perdata yaitu Teori beban pembuktian
Tahun 1986, merupakan ketentuan yang lazim terdapat dalam Hukum Acara
Perdata. Seyogianya tidak perlu terdapat dalam Hukum Acara Tata Usaha Negara,
karena yang dipersoalkan dalam penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara adalah
sah atau tidak sahnya suatu Keputusan Tata Usaha Negara. Untuk menentukan
tentang sah atau tidak sahnya suatu Keputusan Tata Usaha Negara, tolok ukurnya
adalah bukan alat bukti, tetapi adalah peraturan perundang- undangan dan atau
asas-asas umum pemerintahan yang baik. Adapun alat bukti dalam Peradilan Tata
2. Keterangan Ahli
3. Keterangan Saksi
5. Pengetahuan Hakim
23
DAFTAR PUSTAKA
Abdul djamali. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo, 1996.
Bidara, O. Bidara dan Martin P. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Pradnya
Paramita, n.d.
Dewi, Gemala. Hukum Acara Perdata Pengadilan Agama Di Indonesia. Jakarta:
Kencana, 2006.
Dr H. Abdullah Gofar, S.H. MH. Teori Dan Praktek Hukum Acara Peradilan
Tata Usaha Negara. Universitas Sriwijaya, 2014.
Indroharto. Usaha Memahami Undang- Undang Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, Buku II, n.d.
Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia, n.d.
Mukti Arto. Praktek Perkara Perdata, n.d.
Philipus M. Hadjon dkk. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, n.d.
Wijoyo, Suparto. Karakteristik Hukum Acara Peradilan Admiinistrasi, n.d.
24
25
26