Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA

“Pembuktian”

Dikerjakan untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Tata Negara


Dosen pengampu: Nur Faikah Ishak, S.H M.H
Oleh:
Kelompok IV
MICHRA ANANDA MUJAHIDIN
10100121014

MUHAMMAD HASAN MUDZAKKIR


10100121027

AUDREY AQHIELA RAMADHAN


10100121026

FAVIAN IMAMAH BASRI


10100121029

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM

2023-2024

i
KATA PENGANTAR

Assalamu‟alaikum warahmatullahi wabarakatuh.


Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah
ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga berlimpah curahkan kepada baginda
tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan syafa‟atnya di
akhirat kelak.
Kami mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat
sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga kami
mampu untuk menyelesaikan makalah sebagai tugas dari mata kuliah Hukum
Acara Peradilan Tata Usaha Negara “Pembuktian”.
Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu,
kami mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya
makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Demikian, dan
apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini kami mohon maaf yang
sebesar-besarnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Gowa, 30 Oktober 2023

Kelompok IV

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................... i
DAFTAR ISI....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1
A. Latar Belakang........................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah...................................................................................... 2
C. Tujuan........................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................... 3
A. Pengertian Pembuktian.............................................................................. 3
B. Alat Bukti...................................................................................................12
BAB III PENUTUP............................................................................................23
A. Kesimpulan................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................24

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pokok bahasan mengenai pembuktian mengundang perbedaan pendapat

diantara ahli hukum dalam mengklasifikasikannya apakah termasuk ke dalam

hukum perdata atau hukum acara perdata. Prof. Subekti, S.H. mantan ketua MA

dan guru besar hukum perdata pada Universitas Indonesia berpendapat bahwa

sebenarnya soal pembuktian ini lebih tepat diklasifikasikan sebagai hukum acara

perdata (procesrecht) dan tidak pada tempatnya di masukkan dalam B.W., yang

pada asasnya hanya mengatur hal-hal yang termasuk hukum materil. Begitu juga

dengan pembuktian dalam hukum acara PTUN.

Sebagaimana diketahui bersama, tugas seorang Hakim ialah menetapkan

hukum untuk suatu keadaan tertentu, atau menerapkan hukum atau undang-

undang, menetapkan apakah yang “hukum” anatara dua pihak yang bersangkutan

itu. Dalam sengketa yang berlangsung di muka Hakim itu, masing-masing pihak

mengajukan dalil-dalil (posita) yang saling bertentangan. Hakim harus memeriksa

dan menetapkan dalil-dalil manakah yang benar dan dalil-dalil manakah yang

tidak benar. Berdasarkan duduk perkara yang ditetapkan sebagai yang sebenarnya

itu, Hakim dalam amar atau “dictum” putusannya, memutuskan siapakah yang

dimenangkan dan siapakah yang dikalahkan. Dalam melaksanakan pemerikasaan

itu tadi, Hakim harus mengindahkan aturan-aturan tentang pembuktian.

Kesewenang-wenangan (willekeur) akan timbul apabila Hakim dalam

melaksanakan tugasya itu, diperbolehkan menyandarkan putusannya hanya atas

keyakinannya, biarpun itu sangat kuat dan sangat murni. Keyakinan Hakim itu

harus didasarkan pada sesuatu, yang oleh undang-undang dinamakan alat bukti.

Dengan alat bukti ini, masing-masinng pihak berusaha membuktikan dalilnya atau

1
pendiriannya yang dikemukakan kepada Hakim yang diwajibkan memutusi

perkara mereka.

Dalam makalah ini kami mencoba menjelaskan tentang Pembuktian, teori-

teorinya dan alat-alat bukti dalam pengadilan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha

Negara.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud teori ajaran pembuktian?

2. Apa saja alat bukti dalam persidangan peradilan tata usaha negara?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud teori ajaran pembuktian

2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud alat bukti dalam persidangan

peradila tata usaha negara

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Pembuktian

Hukum acara atau hukum formal adalah peraturan hukum yang mengatur

tentang cara bagaimana mempertahankan dan menjalankan peraturan hukum

material. Fungsi menyelesaikan masalah yang memenuhi norma-norma larangan

hukum material melalui suatu proses dengan berpedoman kepada peraturan yang

dicantumkan dalam hukum acara.


Artinya bahwa hukum acara itu baru berfungsi kalau ada masalah yang

dihadapi individu-individu dan terhadap masalah itu perlu diselesaikan secara adil

untuk memperoleh kebenaran.

Tugas hukum acara menjamin ditaatinya norma-norma hukum material

oleh setiap individu. Dengan perkataan lain, hukum acara hanya di jalankan dalam

keadaan istimewa, yaitu dalam hal hukum material / kewenangan yang oleh

hukum material diberikan kepada yang berhak dan perlu dipertahankan.

Salah satu hal yang proses untuk menyelesaikan masalah adalah proses

pembuktian dalam hukum acara, entah itu dalam hukum acara pidana, perdata dan

ptun. Dalam suatu proses peradilan, pembuktian merupakan hal yang penting

dalam menentukan keberhasilan pihah-pihak yang berperkara. Menang atau

kalahnya para pihak yang berperkara ditentukan dalam tahap pembuktian karena

pembuktian merupakan landasan bagi para hakim dalam menentukan memutuskan

suatu perkara. Dengan demikian tujuan pembuktian adalah untuk memperoleh

putusan hakim yang didasarkan atas pembuktian tersebut.

3
Pembuktian menurut istilah bahasa arab berasal dari kata “albayyinah”

yang artinya sesuatu yang menjelasakan. Sedangkan secara terminologis,

pembuktian berarti memberi keterangan dengan dalil yang meyakinkan. 1

Pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum oleh

pihak berperkara kepada Hakim dalam persidangan dengan tujuan untuk

memperkuat kebenaran dalil tentang fakta hukum yang menjadi pokok sengketa,

sehingga Hakim memperoleh kepastian untuk dijadikan dasar putusannya. 2

Pembuktian di atas adalah dalam pengertian yuridis, yang bersifat

kemasyarakatan, selalu mengandung ketidakpastian dan tidak akan pernah


mencapai kebenaran mutlak. Jadi pembuktian yuridis sifatnya relatif, dalam arti

hanya berlaku bagi pihak-pihak berperkara dan pengganti-penggantinya, dan

memungkinkan pula terjadinya perbedaan penilaian hasil pembuktian di antara

sesama Hakim.

Tujuan pembuktian ialah untuk memperoleh kepastian bahwa suatu

peristiwa atau fakta yang diajukan itu benar-benar terjadi, guna mendapatkan

putusan hakim yang benar dan adil. Hakim tidak dapat menjatuhkan suatu putusan

sebelum nyata baginya bahwa fakta/peristiwa yang diajukan itu benar terjadi,

yakni dibuktikan kebenarannya, sehingga nampak adanya hubungan hukum antara

para pihak.3

Hukum Pembuktian adalah hukum yang mengatur tentang tata cara untuk

menetapkan terbuktinya fakta dan menjadi dasar dari pertimbangan dalam

menjatuhkan suatu putusan.

Fakta tersebut dapat terdiri dan fakta berikut:

1
Abdul djamali, Pengantar Hukum Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo, 1996), hlm. 173
2
Gemala Dewi, Hukum Acara Perdata Pengadilan Agama Di Indonesia (Jakarta: Kencana,
2006), hlm. 1991
3
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata, hlm. 140

4
a. Fakta Hukum

yaitu kejadian atau keadaan yang eksistensinya (keberadaannya)

tergantung dan penerapan suatu peraturan perundang-undangan.4 Misalnya X,

seorang Pegawai Negeri Sipil dalam Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan

(Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1979) yang dibuat oleh atasan

langsungnya, untuk unsur prestasi kerja mendapat nilai amat baik (95), karena

telah menciptakan suatu program di bidang komputer yang sangat berguna dalam

pelaksanaan tugas. Yang merupakan fakta hukum adalah unsur prestasi kerja

dengan nilai amat baik (95), karena penilaian prestasi kerja tersebut merupakan
penerapan dari Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1979.

b. Fakta Biasa

yaitu kejadian atau keadaan-keadaan yang juga ikut menentukan adanya

fakta hukum tertentu, misalnya program komputer yang telah diciptakan oleh X

seperti di atas. Pasal 100 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986

menentukan bahwa kejadian yang telah diketahui umum, tidak perlu dibuktikan.

Dari ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa fakta yang telah diketahui oleh

umum, jika dijadikan dasar pertimbangan dan Hakim dalam menjatuhkan

putusannya, fakta yang dimaksud tidak perlu dibuktikan.

Di samping fakta yang telah diketahui umum, oleh Indroharto disebutkan

adanya fakta yang juga dapat menjadi dasar pertimbangan dan Hakim dalam

menjatuhkan putusannya yang tidak perlu dibuktikan, yaitu:

a. hal-hal yang menurut pengalaman umum selalu terjadi;

b. fakta-fakta prosesual yang terjadi selama pemeriksaan; dan

c. eksistensi hukum.

4
Indroharto, Usaha Memahami Undang- Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
Buku II, n.d, hlm. 185

5
Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 menyebutkan,

bahwa:

hukum acara yang digunakan pada Peradilan Tata Usaha Negara

mempunyai persamaan dengan hukum acara yang digunakan pada Peradilan

Umum untuk perkara perdata, dengan beberapa perbedaan antara lain:

1. Pada Peradilan Tata Usaha Negara, Hakim berperan

lebih aktif dalam proses persidangan guna memperoleh kebenaran

materiil dan untuk itu undang-undang mengarah pada ajaran

pembuktian bebas. dan seterusnya. Berdasarkan penjelasan umum


Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, antara lain dapat diketahui

bahwa ajaran pembuktian yang diikuti oleh pembuat Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1986)0. Undang- Undang Nomor 9 Tahun

2004 jo Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 adalah ajaran

pembuktian bebas. Ajaran pembuktian bebas atau teori pembuktian

bebas adalah ajaran atau teori yang tidak menghendaki adanya

ketentuan-ketentuan yang mengikat Hakim, sehingga sejauh mana

pembuktian dilakukan diserahkan kepada Hakim. Apa sebab yang

diikuti adalah ajaran pembuktian bebas, karena proses pemeriksaan

di sidang Pengadilan terhadap Sengketa Tata Usaha Negara yang

diatur dan ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986

jo Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 jo Undang- Undang

Nomor 51 Tahun 2009, menurut pembuat undang-undang

dimaksudkan untuk memperoleh kebenaran materiil dan bukan

kebenaran formil.Sebagai penjabaran diikutinya ajaran pembuktian

bebas, penjelasan Pasal 107 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986

menyebutkan: berbeda dengan sistem hukum pembuktian dalam

6
Hukum Acara Perdata, maka dengan memperhatikan segala

sesuatu yang terjadi dalam pemeriksaan, tanpa bergantung pada

fakta dan hal yang diajukan oleh para pihak, Hakim Peradilan Tata

Usaha Negara dapat.


menentukan sendiri:

1. apa yang harus dibuktikan;

2. siapa yang harus dibebani pembuktian, hal apa yang harus dibuktikan oleh
pihak yang berperkara dan hal apa saja yang harus dibuktikan oleh Hakim sendiri;

3. alat bukti mana saja yang diutamakan untuk dipergunakan dalam pembuktian;

4. kekuatan pembuktian bukti yang telah diajukan.

Apa yang harus dibuktikan Sebagaimana telah disebutkan dalam

penjelasan Pasal 107 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, dalam proses

pemeriksaan di sidang Pengadilan, Hakim tidak tergantung atau tidak terikat pada

fakta dan hal yang diajukan oleh Penggugat atau Tergugat.

Pada pemeriksaan di sidang Pengadilan, Hakim dapat saja

mengesampingkan fakta dan hal yang diajukan oleh Penggugat atau Tergugat,

demikian pula Hakim dapat saja memeriksa lebih lanjut tentang fakta dan hal

yang tidak disangkal atau tidak cukup dibantah,apabila fakta dan hal tersebut

mempunyai arti yang relevan untuk dijadikan dasar pertimbangan dan Hakim
dalam menjatuhkan putusan

yang pada saat pemeriksaan di sidang Pengadilan belum cukup pasti

keadaannya. Jika Penggugat atau Tergugat dalam pemeriksaan di sidang

Pengadilan berharap fakta dan hal yang diajukan dapat memperoleh perhatian

Hakim, maka sudah tentu fakta tersebut harus dibuktikan kebenarannya. Sebagai

contoh bahwa Hakim dalam pemeriksaan di sidang Pengadilan tidak tergantung

7
atau tidak terikat pada fakta atau hal yang diajukan oleh Penggugat atau Tergugat

adalah putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta tanggal 16 Januari

1992 Nomor 02/G/1991/PT.TUN.JKT.5 yang menyatakan bahwa putusan Panitia

Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat adalah tidak sah dan harus dibatalkan,

karena masa kerja atau masa tugas dari Panitia Penyelesaian Perburuhan Pusat

tersebut telah dilampaui atau tidak ada perpanjangan, meskipun fakta yang berupa

masa kerja atau masa tugas dan Panitia yang dimaksud tidak diajukan oleh

Penggugat dan terutama oleh Tergugat selama pemeriksaan di sidang Pengadilan.

Siapa yang harus dibebani pembuktian ?


Siapa yang harus dibebani pembuktian, Penggugat atau Tergugat adalah

masalah pembagian beban pembuktian. Yang dimaksud dengan beban

pembuktian adalah kewajiban yang dibebankan kepada suatu pihak untuk

membuktikan fakta yang menjadi dasar pertimbangan dan Hakim dalam

menjatuhkan putusannya.

Hal menarik untuk diperhatikan mengenai ketentuan tentang beban

pembuktian yang disebutkan dalam penjelasan Pasal 107 adalah Hakim Peradilan

Tata Usaha Negara dapat menentukan hal apa atau fakta apa aja yang harus

dibuktikan oleh Hakim sendiri.6 Artinya Hakim dapat meletakkan beban

pembuktian pada diri Hakim sendiri terhadap suatu fakta yang ditemukan selama

pemeriksaan di sidang Pengadilan.

Dalam Hukum Acara Perdata, beban pembuktian diatur pada Pasal 163

HIR/283 RBg yang menentukan:

5
Suparto Wijoyo, Karakteristik Hukum Acara Peradilan Admiinistrasi, n.d, hlm 117-118.
6
Indroharto, Usaha Memahami Undang- Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
Buku II, hlm 195.

8
Barang siapa yang mendalilkan mempunyai suatu hak atau mengajukan

suatu peristiwa (feit) untuk menegaskan haknya atu untuk membantah adanya hak

orang lain, haruslah membuktikan tentang adanya hak atau peristiwa tersebut.7

Ketentuan seperti di atas, tidak terdapat dalam Undang-Undang Nomor

Tahun 1986 jo Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor

51 Tahun 2009. Dengan demikian, dalam memeriksa, memutus, dan

menyelesaikan Sengketa Tata Usaha Negara, Hakim mempunyai kebebasan atau

dapat menentukan sendiri siapa yang harus dibebani pembuktian.

Indroharto, mengemukakan bahwa kewajiban untuk membuktikan itu


tidak ada pada pihak-pihak, tetapi barang siapa diberi beban untuk membuktikan

sesuatu dan tidak melakukannya akan menanggung suatu risiko bahwa beberapa

fakta yang mendukung positanya akan dikesampingkan dan dianggap tidak

terbukti. Jadi, beban pembuktian itu mengandung risiko pembuktian. Dalam

kepustakaan dikenal adanya beberapa teori beban pembuktian dalam Hukum

Acara Perdata8, sebagai berikut:

a. Teori pembuktian afirmatif

atau teori pembuktian yang bersifat menguatkan belaka ( bloot

affirmatieve ). Menurut teori ini beban pembuktian diletakkan

hanya kepada pihak yang mendalilkan atau yang mengemukakan

sesuatu saja. Teori beban pembuktian afirmatif pada saat sekarang

sudah tidak pernah diterapkan lagi.

b. Teori hukum subjektif

Menurut teori ini beban pembuktian diletakkan kepada pihak yang

meminta kepada Hakim agar hak subjektifnya yang didalilkan

7
O. Bidara dan Martin P. Bidara, Hukum Acara Perdata (Jakarta: Pradnya Paramita, n.d., hlm
57.
8
Indroharto, Usaha Memahami Undang- Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku II.

9
diakui. Akan tetapi, jika pihak lain yang mengemukakan bahwa

fakta-fakta yang menjadi dasar tuntutan hak subjektif yang

dimaksud sebenarnya telah hapus, maka pihak lain tersebut harus

membuktikan bahwa fakta-fakta yang dikemukakan tersebut

memang demikian. Teori ini dapat memberi jawaban apabila

gugatan didasarkan atas hukum subjektif, padahal gugatan dapat

saja didasarkan tidak atas hukum subjektif, misalnya gugatan

mengenai perceraian. Di samping itu, teori mi terlalu banyak

kesimpulan yang abstrak dan tidak memberi jawaban atas


persoalan-persoalan tentang beban pembuktian dalam sengketa

yang bersifat prosesuil.

c. Teori Hukum Objektif

Menurut teori ini, beban pembuktian diletakkan kepada pihak

yang meminta kepada Hakim agar melaksanakan ketentuan-

ketentuan tentang hukum objektif yang berlaku atas fakta yang

diajukan atau dituntut. Hakim hanya menerapkan ketentuan tentang

hukum objektif pada fakta yang diajukan atau dituntut jika unsur-

unsur yang berkaitan dengan fakta tersebut terdapat dalam

ketentuan tentang hukum objektif yang dimaksud. Teori hukum ini

sudah tentu tidak akan dapat

1. menjawab persoalan- persoalan yang tidak diatur oleh undang-

undang.

d. Teori Keadilan

Menurut teori ini, beban pembuktian diletakkan pada pihak yang

paling sedikit menanggung beban pembuktian atau yang paling

sedikit jika disuruh membuktikan. Dengan demikian, setiap kali

10
Hakim akan membebankan pembuktian kepada Penggugat atau

Tergugat, terlebih dahulu Hakim akan memperhatikan keadaan-

keadaan secara konkret selama pemeriksaan di siding Pengadilan

berlangsung dan atas dasar keadaan tersebut. Hakim menentukan

kepada siapa beban pembuktian itu diletakkan.

Berdasarkan beberapa teori beban pembuktian tersebut, menurut

Indroharto, sedikit banyak mempunyai arti dalam proses hu-kum

Tata Usaha Negara, karena dalam teori tersebut diajukan macam-

macam pilihan yang dapat dipilih oleh Hakim Tata Usaha Negara.
Sebagai akibat dari Hakim mempunyai kebebasan atau dapat

menentukan sendiri siapa yang harus dibebani pembuktian,

menurut Suparto Wijoyo, Hakim dapat menerapkan beban

pembuktian terbalik atau pembagian beban yang seimbang sesuai

dengan kearifan hakim, misalnya putusan Pengadilan Tata Usaha

Negara Jakarta tanggal 10 Februari 1992 Nomor 097/G/1991/TkI

PTUN.J yang dalam pertimbangannya menyebutkan bahwa

Majelis Hakim menentukan kepada Penggugat harus dibebankan

pembuktian tentang dalil-dalil yang dibantah oleh.

Tergugat dan sebaliknya kepada Tergugat harus dibebankan

pembuktian bahwa Surat Perintah Pengosongan a quo adalah sah

dan berdasarkan undang-undang. Alat bukti mana saja yang

diutamakan untuk dipergunakan dalam pembuktian Sebenarnya

tiap-tiap alat bukti sebagaimana ditentukan dalam Pasal 100 ayat

(1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 mempunyai derajat

bobot yang sama. Artinya tidak ada tingkat mengenai kekuatan

pembuktian dan masing-masing alat bukti tersebut atau dengan

11
perkataan lain tidak ada perbedaan mengenai kekuatan pembuktian

antara alat bukti yang satu dengan alat bukti yang lain.

Meskipun demikian dalam penjelasan Pasal 107 Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1986 disebutkan bahwa Hakim dapat menentukan sendiri alat bukti mana

saja yang diutamakan untuk dipergunakan dalam pembuktian.

Maksud dari penjelasan Pasal 107 tersebut adalah dalam memeriksa,

memutus, dan menyelesaikan Sengketa Tata Usaha Negara, Hakim mempunyai

wewenang untuk memilih alat bukti tertentu di antara alat-alat bukti seperti

ditentukan dalam Pasal 100 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 dan
memberikan penilaian tentang kekuatan pembuktian dan alat bukti tersebut untuk

dipergunakan dalam pembuktian.

kekuatan pembuktian bukti yang telah diajukan .

Dalam penjelasan Pasal 107 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986

disebutkan bahwa Hakim dapat menentukan kekuatan pem-buktian bukti yang

telah diajukan. Maksud dari penjelasan Pasal 107 tersebut adalah Hakim

mempunyai wewenang untuk memberikan penilaian terhadap hasil pembuktian

dalam memeriksa, memutus, dan menyelesaikan Sengketa Tata Usaha Negara.

Hanya saja untuk memberikan penilaian terhadap hasil pembuktian tersebut.

Hakim harus memperhatikan pembatasan sebagaimana ditentukan dalam Pasal

107 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, yaitu ―untuk sahnya pembuktian

diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan Hakim.

B. Alat Bukti

Ketentuan-ketentuan tentang alat bukti dalam Hukum Acara Tata Usaha

Negara sedikit sekali (Pasal 100 sampai dengan 107 Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1986) jika dibandingkan dengan ketentuan-ketentuan dalam Hukum Acara

Perdata sebagai akibat diikutinya ajaran pembuktian bebas, yang tidak

12
dikehendaki adanya ketentuan yang mengikat Hakim dalam memilih alat-alat

bukti yang dipergunakan dalam pembuktian.9 Oleh karena itu tidak mengherankan

jika di dalam Undang-Undang, Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang Nomor 9

Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, misalnya tidak terdapat

ketentuan tentang kekuatan pembuktian dan suatu alat bukti, tidak seperti halnya

di dalam Hukum Acara Perdata. Pasal 100 ayat (1) menentukan bahwa alat bukti

adalah surat atau tulisan, keterangan ahli, keterangan saksi, pengakuan para pihak,

dan pengetahuan Hakim.

Dengan adanya ketentuan tersebut, maka dapat diketahui bahwa alat bukti
yang dapat dipergunakan dalam memeriksa dan memutus Sengketa Tata Usaha

Negara sifatnya adalah terbatas, karena sudah ditentukan oleh Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1986 alat bukti apa saja yang dapat dipergunakan.

Oleh karena itu dengan ditambah alasan bahwa untuk sahnya pembuktian

diperlukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti berdasarkan keyakinan Hakim.

Indroharto, mengemukakan bahwa ajaran pembuktian yang diikuti oleh pembuat

undang-undang bukan ajaran pembuktian bebas, tetapi ajaran pembuktian bebas

terbatas.

Menurut Philipus M. Hadjon dkk10 dan Suparto Wijoyo, ketentuan

Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 dan Pasal 107 Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1986, merupakan ketentuan yang lazim terdapat dalam Hukum Acara

Perdata. Seyogianya tidak perlu terdapat dalam Hukum Acara Tata Usaha Negara,

karena yang dipersoalkan dalam penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara adalah

sah atau tidak sahnya suatu Keputusan Tata Usaha Negara. Untuk menentukan

tentang sah atau tidak sahnya suatu Keputusan Tata Usaha Negara, tolok ukurnya

9
Wijoyo, Karakteristik Hukum Acara Peradilan Admiinistras, hlm 121.
10
Philipus M. Hadjon dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, n.d, hlm 330.

13
adalah bukan alat bukti, tetapi adalah peraturan perundang- undangan dan atau

asas-asas umum pemerintahan yang baik.

1. Surat Atau Tulisan

Di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang- Undang

Nomor 9 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, tidak ada

ketentuan yang memberi arti apa yang dimaksud dengan alat bukti yang berupa

surat atau tulisan. Menurut Sudikno Mertokusumo, yang dimaksud dengan surat

atau tulisan adalah segala sesuatu yang memuat tanda bacaan, dimaksudkan untuk

mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan
dipergunakan sebagai pembuktian. Pasal 101 Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1986 menentukan bahwa surat sebagai alat bukti terdiri atas 3 (tiga) jenis, yaitu:.

a. Akta Autentik

Yaitu surat yang dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum, yang

menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat surat itu dengan

maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa

hukum yang tercantum di dalamnya.

b. Akta Dibawah Tangan

yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang

bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang

peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya.

c. Surat-surat Lainnya Yang Bukan Akta

Menurut Indroharto, termasuk dalam pengertian surat atau tulisan adalah

hasil dan pemeriksaan persiapan guna mematangkan perkara yang bersangkutan

dalam pemeriksaan di muka sidang pengadilan nanti.11

11
Indroharto, Usaha Memahami Undang- Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
Buku II,hlm 201.

14
2. Keterangan Ahli

Pasal 102 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 menentukan:

Keterangan ahli adalah pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah

dalam persidangan tentang hal apa yang ia ketahui menurut pengalaman dan

pengetahuannya.

Dalam penjelasan Pasal 102 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1986 disebutkan bahwa termasuk keterangan ahli adalah keterangan yang

diberikan oleh juru taksir. Jika hanya diperhatikan pada ketentuan yang terdapat

dalam Pasal 102 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 saja, maka
keterangan ahui dalam bentuk tertulis bukan merupakan alat bukti berupa

keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (1) huruf b Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1986. Seorang ahli dalam persidangan harus memberi

keterangan balk dengan surat maupun dengan lisan, yang dikuatkan dengan

sumpah atau janji menurut kebenaran sepanjang pengetahuannya yang sebaik-

baiknya.

Apabila diperhatikan pada perumusan dan ketentuan di dalam Pasal 103

ayat (2) tersebut, maka ternyata keterangan ahli di samping dapat diberikan dalam

bentuk tidak tertulis atau lisan, juga dapat diberikan dalam bentuk tertulis atau

surat. Apakah memang demikian?

Indroharto, mengemukakan : para ahli juga dapat dipanggil di muka sidang

untuk memberikan keterangan di bawah sumpah tentang pengetahuannya

mengenai satu fakta tertentu. Dalam praktiknya nanti, cara tersebut akan kurang

dilakukan bila dibanding dengan keterangan ahli yang diberikan secara tertulis

yang kemudian diajukan para pihak atau oleh Hakim„. Jadi menurut Indroharto

pada pemeriksaan sidang Pengadilan, keterangan ahli dapat juga diberikan dalam

bentuk tertulis.

15
Di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang- Undang

Nomor 9 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tidak ada

ketentuan yang memberikan arti apa yang dimaksud dengan ahli. Akan tetapi, dan

ketentuan yang terdapat dalam Pasal 102 ayat (1) dan Pasal 103 ayat (2) Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1986 dapat diketahui bahwa ahli adalah orang yang dapat

memberikan keterangan menurut pendapatnya tentang sesuatu hal berdasarkan

pengalaman dan pengetahuannya dalam pemeriksaan di sidang Pengadilan.

Sampai sejauh mana seseorang adalah ahli yang dapat memberikan

keterangan ahli di muka pemeriksaan sidang Pengadilan, adalah tergantung dan


penilaian Hakim, harena dalam hukum pembuktian yang berlaku, Hakim yang

menentukan sendiri tentang kekuatan pembuktian dan suatu alat bukti. Pasal 103

ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 menentukan:

Atas permintaan kedua belah pihak atau salah satu pihak atau karena

jabatannya, Hakim Ketua Sidang dapat menunjuk seseorang atau beberapa orang

ahli.

Berangkat dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 103 ayat (1) tersebut,

dapat diketahui bahwa agar seseorang atau beberapa orang ahli dapat didengar

keterangan ahlinya sebagai alat bukti, perlu adanya penunjukan dan Hakim Ketua

Sidang. Sudah tentu penunjukan oleh Hakim Ketua Sidang tersebut dituangkan

dalam bentuk penetapan.

Dengan adanya kata ―dapat‖ dalam Pasal 103 ayat (1) Undang- Undang

Nomor 5 Tahun 1986, maka Hakim Ketua Sidang tidak harus mengabulkan

permintaan dan Penggugat dan atau Tergugat untuk menunjuk seseorang atau

beberapa orang ahli. Sebagai ketentuan yang perlu mendapat perhatian mengenai

alat bukti berupa keterangan ahli adalah Pasal 102 ayat (2) Undang- Undang

16
Nomor 5 Tahun 1986 yang menentukan bahwa seseorang yang tidak boleh

didengar Sebagai saksi, tidak boleh memberikan keterangan ahli.

3. Keterangan Saksi

Di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang- Undang

Nomor 9 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tidak ada

ketentuan yang memberikan arti apa yang dimaksud dengan keterangan saksi.

Pasal 104 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 menentukan:

Keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti apabila keterangan

berkenaan dengan hal yang dialami, dilihat atau didengar oleh saksi sendiri.
Indroharto, dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan keterangan saksi tersebut

adalah keterangan saksi yang didengar oleh Hakim selama pemeriksaan perkara

dilakukan. Dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 104 tersebut dapat diketahui

bahwa saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan tentang sesuatu hal

yang dialami, dilihat, atau didengar sendiri dalain pemeriksaan di sidang

pengadilan. Bagaimana kedudukan dan keterangan saksi yang keterangannya

diperoleh dan pihak ketiga atau yang biasa dikenal dengan testimonium de auditu

Dalam Hukum Acara Perdata, pada umumnya kesaksian de auditu tidak

diperkenankan, karena keterangan itu tidak berhubungan dengan peristiwa yang

dialaminya sendiri. Dengan demikian, maka saksi de auditu bukan merupakan alat

bukti dan tidak perlu dipertimbangkan.12

Terhadap kesaksiande auditu tersebut13 Indroharto mengemukakan bahwa

adakalanya nanti kesaksian de auditu itu juga akan mempunyai suatu nilai tertentu

dalam proses penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara.

12
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, n.d.131.
13
Indroharto, Usaha Memahami Undang- Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
Buku II.

17
Hanya saja pada waktu memberikan kekuatan pembuktian terhadap

kesaksian de auditu harus sangat hati-hati. Pasal 88 Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1986 menentukan bahwa yang tidak boleh didengar sebagai saksi adalah

sebagai berikut.

a. Keluarga sedarah atau semenda menurut garis keturunan lurus ke

atas atau ke bawah sampai derajat kedua dan salah satu pihak yang

bersengketa.

b. Istri atu suami salah seorang pihak yang bersengketa, meskipun

sudah bercerai.
c. Anak yang belum berusia 17 (tujuh belas) tahun.

d. Orang sakit ingatan.

Menurut Indroharto, keterangan saksi kadangkala diberikan dalam bentuk

tertulis, yang lalu diajukan oleh pihak yang bersangkutan di muka pemeriksaan.

Menjadi saksi merupakan kewajiban, tetapi meskipun demikian terdapat

beberapa orang yang dapat minta mengundurkan diri untuk menjadi saksi. Pasal

89 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 menentukan bahwa orang yang

dapat minta pengunduran diri dan kewajiban untuk memberikan keterangan

adalah:

a. Saudara laki-laki dan perempuan, ipar laki-laki dan perempuan

salah satu pihak;

b. Setiap orang yang karena martabat, pekerjaan atau jabatannya

diwajibkan merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan

martabat atau pekerjaan itu.

Selanjutnya Pasal 89 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986

menentukan bahwa ada atau tidak adanya dasar kewajiban untuk merahasiakan

segala sesuatu tersebut diserahkan kepada pertimbangan Hakim.

18
Meskipun penjelasan Pasal 89 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1986 huruf a menyebutkan cukup jelas„ tetapi sebenarnya masih ada sesuatu

pertanyaan yang perlu mendapatkan jawaban, yaitu siapa yang dimaksud dengan

pihak dalam ketentuan tersebut?

Pada Sengketa Tata Usaha Negara yang dapat bertindak Penggugat adalah

Orang atau Badan Hukum Perdata„ sedang yang dapat bertindak sebagai Tergugat

adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Dengan demikian, yang dimaksud

dengan pihak dalam ketentuan yang terdapat dalam Pasal 89 ayat (1) huruf a

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986. Jika ditinjau dari sudut Penggugat adalah
Orang atau Badan Hukum Perdata tetapi jika ditinjau dan sudut Tergugat

adalahBadan atau Pejabat Tata Usaha Negara.

Jika yang bertindak sebagai Penggugat adalah orang„ maka yang dimaksud

dengan saudara laki-laki dan perempuan, ipar laki- laki dan perempuan salah satu

pihak adalah saudara laki-laki dan perempuan, ipar laki-laki dan perempuan dan

orang yang bertindak sebagai Penggugat.

Bagaimana jika yang bertindak sebagai Penggugat adalah Badan Hukum

Perdata? Siapa yang dimaksud dengan pihak dalam ketentuan yang terdapat dalam

Pasal 89 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986?

Karena pengurus yang mewakili Badan Hukum Perdata sudah ditentukan

atau ditunjuk dalam Anggaran Dasar, maka yang dimaksud dengan saudara laki-

laki dan perempuan, ipar laki-laki dan perempuan salah satu pihak adalah saudara

laki-laki dan perempuan dan orang yang mempunyai kedudukan sebagai

pengurus, yang oleh Anggaran Dasar dan Badan Hukum Perdata telah ditentukan

atau ditunjuk mewakili Badan Hukum Perdata tersebut.

Jika ditinjau dan sudut Tergugat, siapakah yang dimaksud den-gan pihak

dalam ketentuan yang terdapat dalam Pasal 89 ayat (1) huruf a? Karena dalam

19
Sengketa Tata Usaha Negara yang bertindak sebagai Tergugat adalah Badan atau

Pejabat Tata Usaha Negara, yang dimaksud dengan saudara laki-laki dan

perempuan, ipar laki-laki dan perempuan salah satu pihak adalah saudara laki-laki

dan perempuan dan orang yang memangku jabatan Tata Usaha Negara yang

bertindak sebagai Tergugat.

Penjelasan Pasal 89 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1986 menyebutkan bahwa pekerjaan atau jabatan yang menentukan adanya

kewajiban menyimpan rahasia ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.

Martabat yang menentukan adanya kewajiban menyimpan rahasia,


misalnya kedudukan seorang pastor yang menerima pengakuan dosa, kedudukan

seseorang tokoh pimpinan masyarakat yang banyak mengetahui rahasia anggota

masyarakatnya.

Selanjutnya penjelasan Pasal 89 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1986 menyebutkan bahwa jika tidak ada ketentuan peraturan perundang-undangan

yang mengatur pekerjaan atau jabatan yang dimaksud, maka seperti yang

ditentukan dalam Pasal 89 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, Hakim

yang menentukan sah atau tidaknya alasan yang dikemukakan untuk pengunduran

din tersebut.

Hakim pulalah yang menentukan sah atau tidaknya alasan yang

dikemukakan untuk pengunduran din yang berkaitan dengan martabat. Hal yang

menarik untuk diperhatikan dari penjelasan Pasal 89 ayat (1) huruf b Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1986 adalah seseorang yang mempunyai kedudukan

sebagai tokoh pimpinan masyarakat yang banyak mengetahui rahasia anggota

masyarakatnya, karena martabatnya dapat minta pengunduran din kepada Hakim

untuk memberikan kesaksian.

20
4. Pengakuan Para Pihak

Adapun yang dimaksud dengan pengakuan adalah pengakuan para pihak

yang diberikan pada waktu pemeriksaan di sidang pengadilan. Pengakuan adalah

merupakan keterangan sepihak yang mem-benarkan peristiwa, hak, atau hubungan

hukum yang diajukan oleh pihak lawan.

Meskipun pengakuan adalah merupakan keterangan sepihak, sehingga

tidak perlu adanya persetujuan dan pihak lawan, tetapi Pasal 105 Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1986 menentukan bahwa pengakuan pana pihak tidak dapat

ditarik kembali, kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diterima oleh
Hakim. Pengakuan yang diberikan oleh Penggugat dan atau Tengugat belum tentu

menunjukkan kebenaran materiil yang berkaitan dengan terjadinya Sengketa Tata

Usaha Negara antara Penggugat dan Tergugat. Oleh karena itu, meskipun

Penggugat dan atau Tergugat telah memberikan pengakuan, tetapi Hakim masih

mempunyai wewenang untuk meneliti lebih lanjut terhadap pengakuan yang telah

diberikan oleh Penggugat dan atau Tergugat tersebut.14

Hal tersebut berbeda dengan pengakuan yang diberikan dalam sengketa

perdata, karena dengan adanya pengakuan dan Penggugat dan Tengugat, maka

sengketa perdata dianggap selesai dan Hakim tidak perlu lagi meneliti tentang

kebenaran dan pengakuan tersebut.15

5. Pengetahuan Hakim

Berdasarkan Pasal 106 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 ditentukan

bahwa yang dimaksud dengan pengetahuan Hakim adalah hal yang olehnya

diketahui dan diyakini kebenarannya. Pengetahuan Hakim tersebut adalah

14
S.H. MH Dr H. Abdullah Gofar, Teori Dan Praktek Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara (Universitas Sriwijaya, 2014),hlm 202.
15
Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, hlm 142.

21
pengetahuan dan Hakim yang diperoleh selama pemeriksaan di sidang Pengadilan

berlangsung.

Termasuk pemeriksaan di sidang Pengadilan adalah pemeriksaan

(gerechtehjke plaatseljk onderzoek ), karena hanya tempat sidangnya saja pindah,

tidak lagi di kantor Peradilan Tata Usaha Negara, tetapi berlangsung misalnya di

kantor Tergugat. Oleh Indroharto16 diberikan beberapa contoh alat bukti yang

berupa pengetahuan Hakim, misalnya:

a. Pemeriksaan gedung yang dinyatakan telah melanggar garis

sepadan, tanah yang dinyatakan masuk dalam jalur hijau, atau.


b. Barang-barang dan orang-orang yang ditunjukkan kepada Hakim

yang sedang memeriksa perkara itu.

16
Indroharto, Usaha Memahami Undang- Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
Buku II.

22
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Hukum Pembuktian adalah hukum yang mengatur tentang tata cara untuk

menetapkan terbuktinya fakta dan menjadi dasar dari pertimbangan dalam

menjatuhkan suatu putusan. alam kepustakaan dikenal adanya beberapa teori

beban pembuktian dalam Hukum Acara Perdata yaitu Teori beban pembuktian

afirmatif, teori hukum subjektif dan teori hukum objektif.

Menurut Philipus M. Hadjon dkk dan Suparto Wijoyo, ketentuan


Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 dan Pasal 107 Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1986, merupakan ketentuan yang lazim terdapat dalam Hukum Acara

Perdata. Seyogianya tidak perlu terdapat dalam Hukum Acara Tata Usaha Negara,

karena yang dipersoalkan dalam penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara adalah

sah atau tidak sahnya suatu Keputusan Tata Usaha Negara. Untuk menentukan

tentang sah atau tidak sahnya suatu Keputusan Tata Usaha Negara, tolok ukurnya

adalah bukan alat bukti, tetapi adalah peraturan perundang- undangan dan atau

asas-asas umum pemerintahan yang baik. Adapun alat bukti dalam Peradilan Tata

Usaha Negara adalah:

1. Surat atau Tulisan

2. Keterangan Ahli

3. Keterangan Saksi

4. Pengakuan Para Pihak

5. Pengetahuan Hakim

23
DAFTAR PUSTAKA
Abdul djamali. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo, 1996.
Bidara, O. Bidara dan Martin P. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Pradnya
Paramita, n.d.
Dewi, Gemala. Hukum Acara Perdata Pengadilan Agama Di Indonesia. Jakarta:
Kencana, 2006.
Dr H. Abdullah Gofar, S.H. MH. Teori Dan Praktek Hukum Acara Peradilan
Tata Usaha Negara. Universitas Sriwijaya, 2014.
Indroharto. Usaha Memahami Undang- Undang Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, Buku II, n.d.
Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia, n.d.
Mukti Arto. Praktek Perkara Perdata, n.d.
Philipus M. Hadjon dkk. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, n.d.
Wijoyo, Suparto. Karakteristik Hukum Acara Peradilan Admiinistrasi, n.d.

24
25
26

Anda mungkin juga menyukai