Anda di halaman 1dari 23

PEMBUKTIAN

Kelompok : 7

M. Zamzami. AF ( 2130101131 )

Dosen Pembimbing :

Fikri Oslami, S.H.I, M.H.I

Mata Kuliah :

Hukum Acara Peradilan Agama

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG

2023/2024
KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan kehadirat tuhan yang Maha Esa,
karena telah melimpahkan rahmat-nya berupa kesempatan dan pengetahuan
sehingga makalah yang berjudul “Pembuktian “ ini bisa selesai tepat pada
waktunya.

Terima kasih juga kami ucapkan kepada teman-teman yang telah


berkontribusi dengan memberikan ide-idenya. Dan terima kasih juga kepada
Bapak Fikri Oslani, S.H.I., M.H.I selaku dosen pengampu mata kuliah Hukum
Acara Peradilan Agama Sehingga makalah ini bisa disusun dengan baik dan rapi.

Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para


pembaca. Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh
dari kata sempurna. Sehingga sangat mengharapkan kritik serta saran yang
bersifat membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik.

Senin, 11 September 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1

A. Latar Belakang.................................................................................................1

B. Rumusan Masalah............................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................3

1. Pengertian Pembuktian.................................................................................3

2. Asas dan Sistem Dalam Pembuktian............................................................4

3. Alat Bukti di dalam Persidangan Pengadilan Agama......................................8

BAB III PENUTUP...............................................................................................19

A. Kesimpulan....................................................................................................19

B. Saran..............................................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................20

iii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Pembagian Hukum Menurut fungsinya ada dua, yaitu hukum materiil dan
hukum formil. Hukum materiil adalah peraturan yang berisikan tentang hak dan
kewajiban manusia dalam pergaulan di masyarakat. Hukum materiil ini seperti:
hukum pidana, huku perdata, hukum adat, hukum administrasi negara dan hukum
tata negara. Sedangkan hukum formal adalah peraturan yang mengatur bagaimana
cara mempertahankan atau menegakkan hukum materiil, seperti hukum acara
perdata, hukum acara pidana dan hukum acara peradilan tata usaha negara.

Pengertian hukum perdata sebagai hukum materiil merupakan peraturan


yang mengatur antara subjek hukum satu dengan usbjek hukum yang lainnya.
apabila terjadi pelanggaran hak dan kewajiban dalam hukum perdata maka
diselesaikan atau ditegakkan kembali dengan hukum formalnya yaitu hukum acara
perdata. Dengan demikian, hukum perdata berisikan hak dan kewajiban subjek
hukum sedangkan hukum acara perdata hanya berisikan hukum prosedur
penyelesaian perkara perdata melalui pengadilan tidak berisikan hak dan
kewajiban. Pembuktian merupakan salah satu prosedur tahapan penyelesaian
dalam hukum acara perdata, pembuktian ini sangat penting karena berkaitan
dengan penentuan putusan hakim melalui pengadilan.

Perkara perdata di pengadilan, sering terjadi permasalahan dan gugatan


balik atau upaya banding terhadap keputusan-keputusan yang dianggap kurang
menguntungkan terhadap salah satu pihak yang berperkara di pengadilan. Untuk
itulah diperlukan alat-alat bukti yang kuat yang dapat memperkuat putusan hakim
dalam suatu perkara sehingga kebenaran perkara secara materiil dapat
dipertanggungjawabkan.

iv
B. Rumusan Masalah

1. Apa itu Pembuktian ?


2. Bagaimana Asas dan Sistem di dalam Pembuktian ?
3. Apa saja macam-macam alat bukti di Pengadilan Agama ?

v
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Pembuktian

Pengertian pembuktian diungkapkan oleh beberapa ahli hukum, antara


lain:

a. Menurut Sudikno Mertokusumo, pembuktian mengandung arti


logis, konvensional dan yuridis. Dalam arti logis, adalah
memberikan kepastian yang mutlak. Dalam arti konvensional
berarti kepastian hanya saja bukan kepastian mutlak. Sedangkan
dalam arti yuridis berarti memberi dasar yang cukup kepada 4
hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi
kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.
b. Menurut Subekti, hukum pembuktian adalah meyakinkan hakim
tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam
suatu persengketaan. Dari doktrin-doktrin tersebut,

Maka dapat disimpulkan yang dimaksud dengan pembuktian adalah suatu


cara yang dilakukan oleh pihak berperkaara untuk memberikan dasar kepada
hakim tentang kepastian kebenaran suatu peristiwa yang didalilkan. Pada tahapan
penyelesaian perkara di pengadilan, acara pembuktian merupakan tahap terpenting
untuk membuktikan kebenaran terjadinya suatu peristiwa atau hubungan hukum
tertentu, atau adanya suatu hak, yang dijadikan dasar oleh penggugat untuk
mengajukan gugatan ke pengadilan. Pada tahap pembuktian juga, pihak tergugat
dapat menggunakan haknya untuk menyangkal dalil-dalil yang diajukan oleh
penggugat. Melalui pembuktian dengan menggunakan alat-alat bukti inilah, hakim
akan memperoleh dasar-dasar untuk menjatuhkan putusan dalam menyelesaikan
suatu perkara.

Hukum pembuktian (law of evidence) dalam beperkara merupakan bagian


yang sangat kompleks dalam proses ligitasi. Kompleksitas itu akan semakin rumit

vi
karena pembuktian berkaitan dengan kemampuan merekonstruksi kejadian atau
peristiwa masa lalu (past event) sebagai suatu kebenaran (truth). Meskipun
kebenaran yang dicari dalam proses peradilan perdata, bukan kebenaran yang
absolut (ultimate truth), tetapi kebenaran yang bersifat relatif atau bahkan cukup
bersifat kemungkinan (probable), namun untuk menemukan kebenaran yang
demikian pun tetap menghadapi kesulitan. Sampai saat ini sistem pembuktian
hukum perdata di Indonesia, masih menggunakan ketentuan-ketentuan yang diatur
di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dari Pasal 1865 -
Pasal 1945, sedangkan dalam Herzine Indonesische Reglement (HIR) berlaku bagi
golongan Bumi Putera untuk daerah Jawa dan Madura diatur dalam Pasal 162 –
Pasal 165, Pasal 167, Pasal 169 – Pasal 177, dan dalam Rechtreglement Voor de
Buitengewesten (RBg) berlaku bagi golongan Bumi Putera untuk daerah luar Jawa
dan Madura diatur dalam Pasal 282 – Pasal 314.

2. Asas dan Sistem Dalam Pembuktian

Khususnya di dalam hukum pembuktian perdata di kenal asas-asas


tersendiri, yang berbeda dengan apa yang di kenal dalam hukum pembuktian
lainnya. Hukum acara perdata sendiri memiliki karakteristik tersendiri selaku
bagian dari hukum privat ( privaatrecht [Belanda], private law [Inggris], droit
prive [Perancis], privatrecht [Jerman] ). Asas-asas ini selaras dengan sifat hukum
acara perdata itu sendiri, seperti tersebut di atas.

A. Asas Audi Et Ateram Partem

Milton C. Jacobs mengatakan bahwa: “ General rules of evidence are the


same in equity as at law.” Inilah yang dalam istilah klasiknya dinamis asas
“AUDI ET ALTERAN PARTEN”, atau “EINES MANRES REDE IST KEINES
MANNES REDE”. Asas kesamaan kedua pihak yang berperkara di muka
pengadilan Hal ini berarti, bahwa hakim tidak boleh memberi putusan dengan
tidak memberi kesempatan untuk men dengar kedua belah pihak. Acara “verstek”
pun bukan kekecualian dari asas ini, karena putusan verstek dijatuhkan hanya jika
tergugat sudah di panggil secara patut, tetapi tetap tidak mau hadir kepersidang

vii
an. Ini berarti bahwa putusan verstek dijatuhkan setelah tergugat diberi
kesempatan untuk tampil, hanya tidak mau menggunakan kesempatan yang
diberikan oleh hukum itu. Lembaga verstek itu diadakan sebagai perwujudan dari
asas Audi Et Alteram Partem. Di mana adanya lembaga verstek, dengan adanya
ancaman untuk menjatuhkan putusan verstek, putusan kerana tergugat tidak hadir,
merupakan dorongan bagi tergugat untuk hadir menggunakan haknya berdasarkan
asas Audi Et Alteram Partem. Dengan asas Audi Et Alteram Partem ini, hakim
harus adil dalam memberikan beban pembuktian pada pihak yang berperkara, agar
kesempatan untuk kalah atau menang bagi kedua belah pihak tetap sama, tidak
pincang atau berat sebelah. Di sini perlunya hakim memerhatikan asas-asas beban
pembuktian. Sebagai akibat telah diberinya kesempatan yang sama bagi kedua
pihak yang berperkara secara adil, maka suatu perkara tidak dapat disidangkan
dua kali (Bisde eadem re ne sit actio), dalam hal ini pembuktian tidak dikenal
adanya “Be neicium” atau hak istimewanya. Aturan hukum pembuktian berlaku
sama, baik bagi penggugat maupun tergugat. Dan baik penggugat maupun
tergugat dapat membuktikan semua alat bukti, kecuali dalam hal-hal khusus,
misalnya antara penggugat dan tergugat mengadakan perjanjian pembuktian.

B. Asas Ius Curia Novit

Asas “Ius Curia Novit” ini adalah asas yang memiksikan bahwa setiap
hakim itu harus di anggap tahu akan hukum nya perkara yang di periksanya.
Hakim sama sekali tidak boleh untuk memutus perkara, dengan alasan bahwa
hakim itu tidak mengetahui hukumnya. Demikian juga hakim harus menciptakan
hukumnya jika memang harus di hadapinya belum diatur oleh undang-undang
atau yurisprudensi. Penciptaan hukum oleh hakim ini biasanya dengan
menggunakan metode analogi atau argumentum a contrario.

Berdasarkan asas Ius Curia Novit ini, sehingga para pihak di dalam
pembuktian, hanya wajib untuk membuktikan fakta yang dipersengketakan,
sedangkan pembuktian masalah hukum nya adalah menjadi kewajiban hakim.

viii
Berdasarkan asas Ius Curia Novit ini, maka pada sistem hukum Anglo
Saks (common law) dibedakan pemeriksaan perdata ataupun pidana atas:

a. Pertanyaan tentang fakta (Quaestio facti) adalah tugas juri.


b. Pertanyaan tentang hukumnya (Quaestio juris) adalah tugas hakim.

Asas Ius Curia Novit ini dianut juga oleh hukum positif kita di Indonesia,
antara lain lihat ketentuan Pasal 14 Ayat 1 Undang-Undang Pokok Kekuasaan
Kehakiman UU No. 14 Tahun 1970.

C. Asas Nemo Testis Indoneus In Propria Causa

Asas “Nemo Testis Indoneus In Propria Causa” ini berarti bahwa tidak
seorang pun yang boleh menjadi saksi dalam perkaranya sendiri. Jadi sudah
jelas, bahwa baik penggugat maupun tergugat sama sekali tidak dibolehkan
sekaligus manjadi saksi di dalam pembuktian, untuk perkara mereka sendiri.
Saksi sebagai alat bukti, harus didatangkan orang lain yang bukan pihak dalam
perkara yang bersangkutan. Sehubungan dengan asas ini pun, ada ketentuan
yang melarang beberapa golongan orang yang dianggap “tidak mampu”
manjadi saksi (recusatio) adalah:

a. orang yang tidak mampu secara mutlak;

Hakim dilarang untuk mendengar mereka ini sebagai saksi:

1. Keluarga atau dan keluarga sementara menurut garis keturunan yang


lurus dari salah satu pihak yang berperkara.
2. Suami atau isteri dari salah satu pihak yang berperkara, meskipun
sudah bercerai.

b. orang yang tidak mampu secara nisbi ;

Mereka ini dapat didengar sebagai keterangannya, tetapi tidak sebagai


keterangan kesaksian:

1. Anak-anak yang belum mencapai usia 15 tahun.

ix
2. Orang gila, walaupun kadang-kadang ingatannya sehat.
D. Asas Ultra Ne Petita

Asas “Ultra ne petita” ini adalah asas yang membatasi hakim sehingga hakim
hanya boleh mengabulkan sesuai yang dituntut. Hakim dilarang mengabulkan
lebih daripada yang dituntut oleh penggugat.

Berbeda dalam hukum pembuktian pidana dimana hakim dapat


menyelidiki perkara itu lebih dari fakta yang terungkap oleh jaksa, bahkan kalau
perlu saksi yang kemudian ternyata terlibat dalam tindak pidana itu, dapat ganti
dijadikan terdakwa.

Asas Ne Ultra Petita dalam hukum pembuktian ini membatasi hakim


perdata untuk “preponderance of evidence”, hanya terikat pada alat bukti yang
sah. Berbeda dengan hukum acara pidana, di mana hakim harus “beyond rea
sonable doubt”, harus yakin benar akan kebenaran alat bukti.

E. Asas De Gustibus Non Est Disputandum

Asas “De Gustibus Non Est Diputandum” ini sebenarnya suatu asas yag
aneh, karena diterpakan dalam hukum. Asas ini berarti bahwa mengenai selera
tidak dapat dipersengketakan.

Asas ini dalam hukum pembuktian merupakan “hak mutlak” pihak


tergugat. Di mana sebagai contoh: Jika si A menggugat si B bahwa si B telah
berutang kepada si A sejumlah Rp 10.000,- tetapi sebenarnya si B sama sekali ti
dak pernah berutang kepada si A. Namun ketika dalam pemeriksaan di muka
persidangan pengadilan perdata, si B mengadakan pengakuan murni (aveu pu et
simple) bahwa ia benar telah berutang sejumlah Rp 10.000,- kepada si A. Hakim
berdasarkan asas “De Gustibus Non Est Diputandum”, tidak boleh menolak
pengakuan si B, meskipun misalnya, hakim itu yakin sekali bahwa si B
sebenarnya tidak pernah berutang kepada si A, selaku penggugat. Hukum
pembuktian perdata, memberikan kepada tergugat kebenaran dalam hal
pengakuan, sepanjang tidak bertentangan dengan asas lainnya..

x
Dalam hal si B di atas, oleh hukum dianggap si B sama saja
menyumbangkan secara sukarela uangnya sejumlah Rp 10.000,- kepada si A. Dan
siapapun tidak bisa melarang seseorang untuk menyumbangkan hartanya sendiri.

F. Asas Nemo Plus Juris Transferre Potest Quam Ipse Habet

Asas ini menentukan bahwa tidak ada orang yang dapat mengalihkan
banyak hak daripada yang ia miliki.

Dihubungkan dengan asas sebelumnya, yaitu “ De Gustibus Non Est


Diputandum”, maka dapatlah penulis memberi contoh sebagai berikut: Jika
menggugat rumah yang terletak di Jl. G. Lampobatang No 5 adalah rumah si A,
bukan rumah milik si B. Dalam perkara ini, yang digugat adalah si B, yang
kebetulan menguasai rumah itu.

Di dalam persidangan itu si B selaku tergugat mengadakan pengakuan


murni, bahwa “benar rumah itu adalah milik si A”. Padahal sebenarnya si B
hanyalah penyewa atau hanya menjaga rumah Jl. G. Lampobatang No. 5 itu.
Pemilik rumah itu sendiri adalah Tuan A. Dalam hal ini pengakuan murni si B
tetap bukan merupakan alat bukti yang sah, karena bertentangan dengan asas
“Nemo Plus Juris Transferre Potest Quam Ipse Habet” ini, karena si B tidak
berhak mengakukan sesuatu sebagai milik orang lain, padahal ia sendiri bukan
pemilik rumah itu.

Lain halnya jika rumah di Jl. G. Lampobatang No. 5 itu adalah benar
milik si B, maka pengakuannya itu oleh hukum pembuktian diartikan sebagai
sumbangan si B kepada si A.

3. Alat Bukti di dalam Persidangan Pengadilan Agama

Alat bukti adalah segala sesuatu yang menurut undang-undangdapat


dipakai untuk membuktikan. Dipandang dari segi pihak-pihak yang berperkara,
alat bukti artinya alat atau upaya yang bisa dipergunakan oleh pihak-pihak yang
berperkara untuk meyakinkan hakim di muka Pengadilan Suatu perkara tidak akan
dapat diselesaikan tanpa adanya alat bukti.

xi
Berdasarkan Pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989 jo UU No. 3 Th 2006
tentang Peradilan Agama, menentukan bahwa hukum acara yang berlaku pada
pengadilan di lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang
berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah
diatur khusus dalam undang-undang ini.

Sebagaimana didalam pasal 1866 Kitab undang-undang Hukum Perdata


atau Pasal 164 RIB (pasal 283 RDS) alat-alat bukti dalam perkara perdata ada 5,
yaitu :

1. Bukti Tulisan
2. Bukti dengan Saksi-saksi
3. Persangkaan-persangkaan
4. Pengakuan dan
5. Sumpah
6. Pemeriksaan ditempat (pasal 153)
7. Saksi ahli (pasal 154 HIR)
8. Pembukuan (pasal 167 HIR)
9. Pengetahuan hakim (pasal 178 (1) HIR, UU-MA No. 14/1985)

1. Alat Bukti Tertulis


Al-Quran memerintahkan untuk menuliskan transaksi di bidang muamalah
yang tidak tunai (QS. 2:282-283). Begitupun Rasulullah SAW menyuruh Para
Sahabatnya untuk menuliskan hadits.
Alat bukti tertulis diatur dalam pasal 138, 165, 167 HIR, 164, 285-305
Rbg. S 1867 no. 29 dan pasal 1867-1894 BW (baca juga ps. 138-147 Rv).

a) Alat Bukti Surat atau Tulisan


Alat bukti tertulis atau surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda
bacaan yang dimaksud untuk mencurahkan isi hati atau alat untuk menyampaikan
buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. Dengan demikian
maka segala sesuatu yang tidak memuat tanda-tanda bacaan, atau meskipun

xii
memuat tanda-tanda bacaan akan tetapi tidak mengandung buah fikiran, bukanlah
termasuk pengertian alat bukti tertulis atau surat-surat. Surat sebagai alat bukti
tertulis dibagi menjadi 2 (dua) :
1. Surat yang merupakan akta
Akta ialah suatu tulisan yang memang dengan sengaja dibuat untuk
dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani. Akta dibagi lebih
lanjut menjadi akta otentik dan akta dibawah tangan.
a) Akta Otentik
Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang
berwenang untuk itu, menurut ketentuan tertentu yang telah ditetapkan. Akata
otentik mempunyai kekuatan bukti yang sempurna atau mengikat. Artinya, Hakim
harus menganggapnya benar serta tidak memerlukan pembuktian lain kecuali
memang dapat dibuktikan tentang ketidakbenarannya. Kata-kata ‘harus
menganggap benar’ disini meliputi dua hal, yaitu benar apa yang ditulis didalam
kata; dan benar peristiwa yang ditentukan didalam akta sudah terjadi.
Pejabat yang dimaksud yaitu notaris, hakim, panitera, jurusita, pegawai
pencatat sipil, pegawai pendapat nikah, pejabat pembuat akta tanah, pejabat
pembuat kata ikrar wakaf dan sebagainya. Syarat-syarat akta otentik ada 3 (tiga)
yaitu:
 Dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu
 Dibuat dalam bentuk dan sesuai ketentuan yang ditetapkan untuk itu
 Dibuatkan ditempat pejabat itu berwenang untuk menjalankan tugasnya.
b) Akta di Bawah Tangan/ Akta Bukan Otentik
Akta dibawah tangan atau akta bukan otentik adalah segala tulisan yang
memang sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tetapi tidak dibuat dihadapan atau
oleh pejabat yang berwenang untuk itu dan bentuknya pun tidaklah pula terikat
kepada bentuk tertentu. Hal ini diatur dalam stbl 1867 No.29 untuk jawa dan
Madura, dan luar jawa dan Madura diatur dalam pasal 286 sampai dengan 305
R.Bg pasal 1874-1180 BW.
Kekuatan akta dibawah tangan, Hakim meilainya bebas, akan tetapi jika
akta yang bersifat dibuat oleh kedua belah pihak, seperti jual-beli tanah yang

xiii
bukan otentik, apabila tandatangan yang tercantum didalamnya diakui oleh pihak
yang menandatanganinya maka akta tersebut mempunyai kekuatan sama dengan
akta otentik, tetapi tetap masih mempunyai perbedaan dengan akta otentik.

2. Surat-surat lainnya yang bukan akta.


a) Surat-surat lainnya yang bukan akta
Segala macam tulisan yang tidak termasuk kategori akta otentik dan akta
dibawah tangan dimuka adalah termasuk kategori surat-surat lainnya yang bukan
akta. Contohnya adalah surat pribadi, surat rumah tangga, register-register, dan
lain sebaginya. Adapun kekuatan pembuktiannya adalah bebas yaitu terserah
kepada Hakim dalam penilaiannya.
b) Salinan atau fotokopi surat-surat
Fotokopi atau salinan surat-surat tanpa pengesahan salinan/fotokopi atau
diistilahkan tanpa legislasi, dianggap sebagai surat-surat bukan akta, sekalipun
yang difotokopi itu adalah akta otentik. Agar suatu surat mempunyai kekuatan
sama dengan kekuatan aslinya, maka salinan atau fotokopi itu harus dilegalisir.

2. Alat Bukti Saksi

a) Pengertian alat bukti saksi

Dalam hukum Islam, alat bukti saksi disebut ‘syahid’ (saksi lelaki) atau
‘syahidah’ (saksi perempuan) yang terambil dari kata ‘musyahadah’ yang artinya
‘menyaksikan dengan mata kepala sendiri’. Saksi adalah yang memberikan
kepastian kepada hakim dipersidangan mengenai peristiwa yang disengketakan
dengan jalan memberitahukan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan
salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil dipersidangan. Saksi ialah orang
yang memberikan keterangan dimuka sidang, dengan memenuhi syarat-syarat
tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat, dengar dan ia alami
sendiri sebagai bukti terjadinya peristiwa atau keadaan tersebut.

Jumlah saksi yang wajib diajukan masing-masing tergantung pada jenis


perkaranya. Misalnya untuk perkara perikatan hutang-piutang atau bidang

xiv
muamalat khusus diperlukan 2 (dua) orang perempuan atau untuk perkara zina
dibutuhkan 4 (empat) orang saksi. Alat bukti kesaksian diatur dalam pasal 139-
152 dan pasal 168-172 HIR, pasal 165-179 Rbg, pasal 1895 dan 1902-1912 BW.

Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim dipersidangan


tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan
dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil
di persidangan.

b) Syarat-syarat saksi

 Syarat formil saksi adalah

1. Berumur 15 tahun ke atas

2. Sehat akalnya

3. Tidak ada pihak menurut keturunan yang lurus, kecuali undang-undang


menentukan lain.

4. Tidak ada hubungan perkawinan dengan salah satu pihak dengan


meskipun sudah bercerai ( pasal 145 ayat 1 HIR)

5. Tidak ada hubungan kerja dengan salah satu pihak dengan menerima upah
(pasal 144 ayat 2 HIR kecuali undang-undang menentukan lain.

6. Menghadap dipersidangan (pasal 141:2 HIR)

7. Mengankat sumpah menurut agamanya (pasal 147 HIR)

8. Berjumlah sekurang-kurangnya 2 orang untuk kesaksian suatu peristiwa,


atau di kuatkan dengan bukti lain. (pasal 169 HIR )keculi mengenai
perzinaan.

9. Di panggil masuk ke ruang siding satu demi satu (pasal 144:1 HIR)

10. Memberikan keterangan secara lisan (pasal 147 HIR)

xv
 Syarat materil saksi ialah:

1. Menerangkan apa yang dilihat. Ia dengar dan ia alami sendiri (pasal


171HIR/308 R.Bg)

2. Diketahui sebab-sebab ia mengetahui pristiwanya (pasal 171:1 HIR/paal


308:2 R.Bg)

3. Bukan merupakan pedapat atau kesimpulan saksi sendiri (pasal 171:2


HIR/ pasal 308:2 R.Bg)

4. Saling bersesuaian satu sama lain (pasal 170 HIR)

5. Tidak bertentang denga akal sehat

3. Persangkaan

Persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu pristiwa yang telah
atau idanggap terbukti kearah suatu peristiwa yang tidak dikenal atau belum
terbukti, baik yang bersandarkan undang-undang atau kesimpulan yang ditarik
oleh hakim.persangkaan diatur dalam pasal 173 HIR, 1916 BW. Ada dua macam
bentuk persangkaan persangkaan Undang-undang, dan Persangkaan hakim.

Persangkaan sebagai alat pembuktian di dalam hukum acara perdata


adalah alat bukti yang menempati urutan ke ketiga dari ke kelima alat bukti yang
ada dalam hukum acara perdata. Persangkaan ini di atur dalam HIR Pasal 173, dan
pada RBG Pasal 310 dan pada KUHP yang ditempatkan pada Buku Keempat, Bab
Keempat, dan memuat delapan pasal, yakni Pasal 1915-1922.

Pengaturan persangkaan baik di dalam HIR ataupun RBG hanyalah


memuat satu pasal saja, dan di dalamnya hanya memuat tentang pengertian
persangkaan saja, tidak disertai dengan pengaturan serta tata cara penggunaannya
di dalam persidangan.

Persangkaan dapat dibedakan menjadi :

1. Persangkaan Berdasarkan Undang-Undang

xvi
2. Persangkaan Berdasarkan Hakim

4. Pengakuan/ Ikrar

Ikrar (pengakuan) adalah suatu pernyataan dari penggugat atau tergugat


atau pihak-pihak lainnya mengenai ada tidaknya sesuatu, pernyataan ini bersiat
sepihak dan tidak memerlukan persetujuan pihak lain. Jenis ikrar:

 Lisan

 Isyarat, kecuali dalam perkara zina

 Tertulis

Pengakuan terbagi atas 3 macam, yauti pengakuan murni, pengakuan


dengan kualifikasi dan pengakuan dengan clausula.

Alat bukti pengakuan dalam Peradilan Islam disebut al iqrar yang artinya
ialah salah satu pihak atau kuasa sahnya mengaku secara tegas tanpa syarat bahwa

bahwa apa yang dituntut oleh pihak lawannya adalah benar . Dasar pengakuan
sebagai alat bukti menurut Peradilan Islam adalah Q.S. An Nisa (4): 135.

Pengakuan murni adalah pengakuan yang bersifat sederhana dan sesuai


sepenuhnya dengan tuntutan pihak lawan. Misalnya, penggugat mengatakan
bahwa tergugat telah dua tahun tidak memberi nafkah wajib kepada penggugat,
dan tergugatpun mengakuinya.

Pengakuan dengan kualifikasi ialah pengakuan yang disertai dengan


sangkalan terhadap sebagian dari tuntutan. Misalnya, penggugat menyatakan
bahwa tergugat telah menerima uang dari penggugat sebesar Rp 5.000.000 dan
tergugatpun mengakui memberikan uang tetapi jumlahnya Rp 3.000.000bukan
Rp. 5.000.000. Pada hakekatnya pengakuan dengan kualifikasi ini adalah jawaban
tergugat yang sebagian terdiri dari sangkalan.

5. Sumpah

xvii
Sumpah ialah suatu pernyataan yang khidmat yang diberikan atau
diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat sifat
Maha Kuasa Tuhan dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji
yang tidak benar akan dihukum oleh-Nya.

Alat bukti sumpah diatur dalam HIR (Ps. 155-158, 177), Rbg. (Ps. 182-
185, 314) dan BW (Ps. 1929-1945).

Pihak yang menuntut hak dibebankan untuk membuktikan sedangkan


pembuktian pengingkaran Dri pihak yang dituntut adalah dengan sumpah. Jadi,
pada dasarnya sumpah ini adalah hak dari pihak yang digugat. Ada 3 macam
sumpah sebagai alat bukti :

1. Sumpah Pelengkap ( Suplettoir )


2. Sumpah Pemutus yang bersifat menentukan (decisoir)
3. Sumpah Penaksiran (aestimatoir, schattingseed)

6. Pemeriksaan ditempat/Descente (pasal 153)

Pemeriksaan setempat ialah pemeriksaan mengenai perkara, oleh hakim


karena jabatannya, yang dilakukan di luar gedung atau tempat kedudukan
pengadilan agar hakim dengan lmelihat sendiri memperoleh gambaran atau
keterangan yang memberi kepastian tentang pristiwa-pristiwa yang menjadi
sengketa. Pemeriksaan setempat diatur dalam pasal 153 HIR, pasal 180 R.Bg,
pasal 211 Rv. Tujuannya ialah agar hakim memperoleh kepastian tentang
peristiwa yang menjadi sengketa. Pemeriksaan setempat pada hakikatnya adalah
juga pemeriksaan perkara dalam persidangan, hanya saja tidak dilakukan di
gedung pengadilan tetapi di luar, yaitu tempat dimana obyek sengketa atau yang
diperiksa itu berada. Pemeriksaan setempat dilakukan karena suatu kenyataan
bahwa tidak dimungkinkannya untuk mengajukan obyek pemeriksaan ke depan
siding di gedung pengadilan.

xviii
Pada asasnya, pemeriksaan pengadilan dilangsungkan di gedung
pengadilan (pasal26,90 Rv, pasal 35 RBg). Pemeriksaan setempat biasanya
diperlukan untuk memeriksa benda tetap (minsalnya, tanah, batas-batas-batas
tanah, gedung, rumah, benda yang melekat padannya atau lainnya yang tidak
mungkin diajukan ke depansidang pengadilan) atau seseorang yang karena sesuatu
hal tidak mungkin untuk menghadap dipersidangan.

7. Saksi Ahli (pasal 154 HIR)

Keterangan ahli adalah keterangan pihak ketiga yang obyektif yang


bertujuan untuk membantu hakim dala m pemeriksaan guna menambah
pengetahuan hakim sendiri. Keterangan ahli juga sering disebut saksi ahli, diatur
dalam pasal 154 HIR, pasal 181 R.Bg pasal 215 Rv. Undang-undang tidak
memberikan ketentuan siapakah yang dianggap sebagai ahli, dengan demikian
maka tentang ahli dan tidaknya seseorang tidak ditentukan oleh pengetahuan atau
keahlian yang khusus, melainkan ditentukan oleh pengangkatnya oleh hakim
berdasarkan pertimbangannya. Hakim dapat mengangkat seorang ahli secara
exoffcio (pasal 222 Rv). Hakim menggunakan keterangan ahli dengan maksud
agar hakim memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam tentang sesuatu yang
hanya dimiliki oleh seorang ahli tertentu, minsalnya tentang hal-hal yang bersifat
teknis, kebiasaan tertentu, ilmu kedokteran dan sebagainya. Hakim juga boleh
menggunakan keterangan ahli mengenai hukum sekalipun yang berlaku dalam
masyarakat, waktu atau bidang tertentu. Menggunakan keterangan ahli bertujuan
untuk memperoleh kebenaran dan keadilan pada masalah yang bersangkutan.

a) Syarat-syarat saksi ahli:

1. Undang-undang tidak memberikan ketentuan tentang syarat-syarat saksi


ahli
2. Pasal 154:1 HIR, pasal 181:4 RBg, pasal 218 Rv. Hanya menetapkan
bahwa orang yang tidak boleh didengar sebagai saksi juga tidak boleh
didengar sebagai ahli

xix
3. Namun demikian, yang pasti adalah bahwa saksi ahlipun harus
memberikan keterangan secara jujur dan obyektif serta tidak memihak.
4. Atas dasar hsl tersebut maka sudah seharusnya apabila syarat-syarat
sebagai saksi ahli sama denagn syarat-syarat sebagai saksi sekalipun
dengan perbedaan-perbedaan tertentu.

8. Pembukuan (pasal 167 HIR)

Pasal 167 HIR, pasal 296 RBg. Menyatakan bahwa hakim bebas
memberikan kekuatan pembuktian untuk keuntungan seseorrang kepada
pembukuannya yang dalam hal khusus dipandang patut. Ketentuan ini
menyimpang dari prinsip bahwa tulisan seseorang tidak dapat memberikan
keuntungan bagi dirisendiri. Dalam pasal ini dikatakan bahwa hakim oleh (bebas)
untuk menerima dan memberi kekuatan bukti yang menguntungkan bagi si
pembuat suatu pembukuan.
Contoh: seorang penggugat menggugat kepada lawan (tergugat) untuk
melunasi hutangnya, kemudian tergugat menyatakan bahwa hutangnya sudah
lunas, lalu penggugat menunukkan pembukuan debit-kridit terhadap tergugat
dimana ada pengeluaran pinjaman. Dalam hal ini hakim dapat menerima
pembukuan itu sebagai bukti yang menguntungkan penggugat.

9. Pengetahuan Hakim (pasal 178 (1) HIR, UU-MA No. 14/1985)

Pasal 178:1 HIR mewajibkan hakim karena jabatannya waktu


bermusyawarrah mencukupkan segala alasan hukum, yang tidak dikemukakan
oleh kedua belah pihak. Hakim sebagai organ pengadilan dianggap mengetahui
hukum. Pencari keadilan dating untuk memohon keadilan. Andaikata ia tidak
menemukan hukum tertulis, ia wajib menggali hukum tidak tertulius untuk
memutus berdasarkan hukum sebagai orang yang bijaksana dan
bertanggungjawab penuh kepada tuhan yang maha esa, diri sendiri, masyarakat
bangsa dan Negara (pasal 14 UU No.14/1970 dan penjelasannya).
Pengetahuan Hakim di bidang hukum keadilan itulah yang dicari para
pencari keadilan. Selain hal tersebut, pengetahuan hakim mengenal fakta dan

xx
pristiwa dalam kasus yang dihadapinya merupakan dasar untuk menjatuhkan
putusan dengan menerapkan hukum ia ketahui itu. Pengetahuan hakim yang
diperoleh dalam persidangan, yakni apa yang dilihat, didengar, dan disaksikan
oleh hakim dalam persidangan merupakan ukti agi peristiwa yang disengketakan.
Minsalnya, sikap, perlakuan, emosional, dan tindakan para pihak serta
pernyataannya du dalam siding akan menjai bukti bagi hakim dalam memutus
perkara. Tetapi pengetahuan hakim mengenai para pihak yang diperoleh diluarr
persidangan tidak dapat dijadikan bukti di dalam memutuskan persidangan.

xxi
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan

Pembuktian adalah suatu cara yang dilakukan oleh pihak berperkaara


untuk memberikan dasar kepada hakim tentang kepastian kebenaran suatu
peristiwa yang didalilkan. Pada tahapan penyelesaian perkara di pengadilan, acara
pembuktian merupakan tahap terpenting untuk membuktikan kebenaran terjadinya
suatu peristiwa atau hubungan hukum tertentu, atau adanya suatu hak, yang
dijadikan dasar oleh penggugat untuk mengajukan gugatan ke pengadilan. Pada
tahap pembuktian juga, pihak tergugat dapat menggunakan haknya untuk
menyangkal dalil-dalil yang diajukan oleh penggugat. Melalui pembuktian dengan
menggunakan alat-alat bukti inilah, hakim akan memperoleh dasar-dasar untuk
menjatuhkan putusan dalam menyelesaikan suatu perkara.
Terdapat 6 Asas dalam Pembuktian dan juga terdapat 9 Alat Bukti di
dalam persidangan seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya.

B. Saran

Mengingat keterbatasan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh


penyusun, maka untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendasar dan luas
lagi disarankan kepada pembaca untuk membaca referensi-referensi lain yang
lebih baik.

xxii
DAFTAR PUSTAKA
Rasyid, R. A. (1998). Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta: PT. raja Grafindo
Persada.

Manan Abdul, (2000). Penerapan Hukum Acara Perdata si Lingkungan Peradilan


Agama. Jakarta : yayasan Al Hikmah

Mukti Arto, (1996) . Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama.


Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Soebekti, (1977). Hukum Acara Perdata. Bandung : BPHN, Bina Cipta

Soeparmono, (2000). Hukum Acara Perdata dan Yurisprudensi. Bandung :


Mandar Maju

Supomo, (1958). Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri. Jakarta : fasco

xxiii

Anda mungkin juga menyukai