Anda di halaman 1dari 32

ALAT-ALAT BUKTI

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah

Hukum Acara Perdata dan Peradilan Agama

Dosen Pengampu : Hotnidah Nasution, M.Ag.

Disusun Oleh:

Kelompok 3

Muhammad Rasyid Ridho 11200490000070

Siti Muawiyah 11200490000080

Uluwan Atikah 11200490000085

Akhmad Khoiru Roziqin 11200490000093

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2022 M / 1444 H
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Alat-Alat Bukti ini tepat pada
waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Hukum
Acara Perdata dan Peradilan Agama. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah
wawasan alat-alat bukti bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Hotnidah Nasution, M.Ag. selaku Dosen mata
kuliah Hukum Acara Perdata dan Peradilan Agama sehingga dapat menambah pengetahuan
dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya untuk membantu kami sehingga dapat menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Tangerang Selatan, 30 September 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................................... i

DAFTAR ISI.................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................ 1

A. Latar belakang ....................................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ................................................................................................. 2
C. Manfaat dan Tujuan .............................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................. 3

A. Alat Bukti Tertulis ................................................................................................ 3


B. Alat Bukti Saksi .................................................................................................... 7
C. Alat Bukti Persangkaan....................................................................................... 15
D. Alat Bukti Pengakuan ......................................................................................... 16
E. Alat Bukti Sumpah.............................................................................................. 19
F. Alat Bukti Pemeriksaan Setempat (Distence) ..................................................... 23
G. Alat Bukti Keterangan Ahli (Expertise) ............................................................. 24

BAB III PENUTUP ....................................................................................................... 27

A. Kesimpulan ......................................................................................................... 27
B. Saran ................................................................................................................... 27

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 28

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum pembuktian dalam hukum acara perdata menduduki tempat yang amat
penting dan sangat komplek dalam proses litigasi. Keadaan kompleksitasnya makin
rumit, karena pembuktian berkaitan dengan kemampuan merekontruksi kejadian atau
peristiwa masa lalu (past event) sebagai suatu kebenaran (truth). Meskipun kebenaran
yang dicari dan diwujudkan dalam proses peradilan perdata, bukan kebenaran yang
bersifat absolut (ultimate absoluth), tetapi bersifat kebenaran relatif atau bahkan cukup
bersifat kemungkinan (probable), namun untuk mencari kebenaran yang demikian tetap
menghadapi kesulitan.1
Dalam menyelesaikan perkara perdata, salah satu tugas hakim adalah
menyelidiki apakah hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan benar-benar ada atau
tidak. Untuk itu, hakim harus mengetahui kebenaran peristiwa yang bersangkutan
secara objektif melalui pembuktian. Dengan demikian, pembuktian bermaksud untuk
memperoleh kebenaran suatu peristiwa dan bertujuan untuk menetapkan hubungan
hukum antara kedua pihak dan menetapkan putusan berdasarkan hasil pembuktian.2
Hukum acara perdata mengenal bermacam-macam alat bukti. Sedangkan
menurut acara perdata hakim terikat pada alat-alat bukti yang sah, yang berarti bahwa
hakim hanya boleh mengambil keputusan berdasarkan alat-alat bukti yang ditentukan
oleh undang-undang saja. Alat-alat bukti dalam hukum acara perdata yang disebutkan
oleh undang-undang sebagaimana diatur dalam pasa 164 HIR 3dan Pasal 1866 KUH
Perdata, yaitu bukti tulisan/bukti dengan surat, bukti saksi, Persangkaan, Pengakuan,
Sumpah4 Dari kelima alat bukti tersebut, alat bukti tulisan menempati urutan pertama
yang menjadi penilaian hakim dalam menyelidiki suatu proses perkara yang nantinya
menjadi bahan pertimbangan untuk dijatuhkannya sebuah putusan.

1
M. Yahya Harahap, 2005, Hukum Acara Perdata : Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan
Pengadilan, Cet. Kedua,.Jakarta : Sinar Grafika, hal. 498
2
Tata Wijayanta, et. al, 2009, Laporan Penelitian Penerapan Prinsip Hakim Pasif dan Aktif Serta Relevansinya
Terhadap Konsep Kebenaran Formal, Yogyakaerta : Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, hal. 1.
3
Reglemen Indonesia yang Dibaharui S. 1941 No. 44 RIB(HIR), diterjemahkan oleh M. Karjadi, (Bogor : Politeia,
1992), Pasal 164.
4
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), diterjemahkan oleh Subekti dan R. Tjitrosudibio,
(Jakarta : Pradnya Paramita, 2008), Pasal 1866.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan alat bukti Tertulis, Saksi, Persangkaan, Pengakuam,
Sumpah, Pemeriksaan Setempat (Discente), dan Keterangan Ahli (Expertise)?
2. Apa saja syarat formil dan materiil dari masing-masing alat bukti?
3. Bagaimana nilai kekuatan dari masing-masing alat bukti?
4. Bagaimana aturan pembuktian sesudah sistem Peradilan Elektronik?
C. Manfaat dan Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan alat bukti Tertulis, Saksi,
Persangkaan, Pengakuam, Sumpah, Pemeriksaan Setempat (Discente), dan
Keterangan Ahli (Expertise).
2. Untuk mengetahui syarat formil dan materiil dari masing-masing alat bukti.
3. Untuk mengetahui nilai kekuatan dari masing-masing alat bukti.
4. Untuk mengetahui aturan pembuktian sesudah sistem Peradilan Elektronik.

2
BAB II

PEMBAHASAN

Alat bukti dilihat dari pihak-pihak yang berperkara, maka alat bukti dapat diartikan
sebagai alat atau upaya yang bisa digunakan oleh pihak-pihak yang berperkara untuk
meyakinkan hakim di muka pengadilan. Sedangkan jika dilihat dari segi pengadilan yang
memeriksa perkara alat bukti artinya alat atau upaya yang bisa digunakan oleh hakim untuk
memutus perkara. Jadi, alat bukti tersebut diperlukan oleh pencari keadilan dan juga oleh
pengadilan.5

Alat-alat bukti terbagi menjadi tujuh, yaitu sebagai berikut :

1. Alat bukti tertulis


2. Alat bukti saksi
3. Alat bukti persangkaan
4. Alat bukti pengakuan
5. Alat bukti sumpah
6. Alat bukti pemeriksaan setempat (discente)
7. Alat bukti keterangan ahli (expertise)
A. Alat Bukti Tertulis
Alat bukti tertulis diatur dalam Pasal 138, 165, 167 HIR, 164, 285, 305 Rbg dan
Pasal 1867-1894 BW.
1. Pengertian Alat Bukti Tertulis
Alat bukti tertulis atau surat adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda
bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan
buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.
Alat bukti tertulis yang diajukan dalam acara perdata harus dibubuhi dengan
materai untuk memenuhi Pasal 23 Undang-Undang Bea Materai Tahun 1921. Surat
perjanjian jual beli di bawah tangan, surat kuasa dan sebagainya, dengan
perhitungan akan digunakan sebagai alat bukti di muka pengadilan, untuk
memenuhi Undang-Undang Bea Materai Tahun 1921, sejak semula dibubuhi
materai. Ini tidak berarti bahwa materai itu merupakan syarat sahnya perjanjian.

5
A. Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 144.

3
Perjanjiannya sendiri tetap sah tanpa materai. Mahkamah Agung dalam putusannya
tanggal 13 Maret 1971 No. 589 K/Sip/1970 berpendapat bahwa surat bukti yang
tidak diberi materai tidak merupakan alat bukti yang sah.
Surat sebagai alat bukti tertulis dibagi dua yaitu surat yang merupakan akta dan
surat-surat lain yang bukan akta.
1) Akta
Akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa-
peristiwa yang menjadi dasar daripada suatu hak atau perikatan, yang dibuat
sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian. Akta dibagi menjadi akta
otentik dan akta di bawah tangan, penjelasannya sebagai berikut.
a. Akta Otentik
Menurut kamus hukum akta otentik adalah suatu akta yang dibuat di
dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di
hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana
akte dibuatnya.6 Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh atau di hadapan
pejabat yang berwenang untuk itu, menurut ketentuan tertentu yang telah
ditetapkan.7 Sebagai pejabat yang berwenang dimaksudkan antara lain
Notaris, Juru Sita, Panitera, Hakim Pengadilan, Pegawai Catatan Sipil,
Pegawai Pencatat Nikah (PPN), Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT),
Pejabat Pembuat Akta Ikrar Waqaf (PPAIW), dan lain- lain.
Sebuah akta otentik yaitu yang dibuat dengan bentuk yang sesuai dengan
undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang di
tempat akta itu dibuat, merupakan bukti lengkap antara para pihak serta
keturunannya dan mereka yang mendapatkan hak tentang apa yang dimuat di
dalamnya dan bahkan tentang suatu pernyataan belaka, hal terakhir ini
sepanjang pernyataan itu ada hubungan langsung dengan apa yang menjadi
pokok akta itu.8
b. Akta di Bawah Tangan
Akta di bawah tangan atau akta bukan otentik ialah segala tulisan yang
memang sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tetapi tidak dibuat di hadapan

6
J.C.T. Simorangkir, Rudy T. Erwin, J.T. Prasetyo, Kamus Hukum, (Cet. VII, Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hlm.
6.
7
Sudikno Mertousumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1988), h.
8
Ropaun Rambe, Hukum Acara Perdata Lengkap, (Cet. IV, Jakarta: Sinar Grafika), h. 234

4
atau oleh pejabat yang berwenang untuk itu dan bentuknya pun tidaklah
terikat kepada bentuk tertentu. Dengan demikian, akta selain otentik
semuanya termasuk akta di bawah tangan. Misalnya surat jual beli tanah yang
dibuat oleh kedua belah pihak, sekalipun di atas kertas segel dan
ditandatangani oleh ketua RT, ketua RW, Lurah/Kepala Desa, tidak bisa
disebut akta otentik karena pejabat yang berwenang membuat akta tanah yaitu
PPAT, hanyalah Notaris dan Camat.
Ada ketentuan khusus mengenai akta di bawah tangan, yaitu akta di
bawah tangan yang memuat hutang sepihak, untuk membayar sejumlah uang
tunai dan meyerahkan suatu benda, harus ditulis seluruhnya dengan tangan
sendiri oleh orang yang menanda tangani, atau setidak-tidaknya selain tanda
tangan harus ditulis pula di bawah, dengan tangan sendiri oleh yang bertanda
tangan, suatu keterangan untuk menguatkan jumlah atau besarnya atau
banyaknya apa yang harus dipenuhi, dengan huruf seluruhnya. Keterangan ini
lebih terkenal dengan “bon pour cent florins”. Bila tidak demikian, maka akta
di bawah tangan itu hanya dapat diterima sebagai permulaan bukti tertulis.
2. Syarat Formil dan Materiil Alat Bukti Tertulis
a. Syarat formil bukti akta otentik bersifat partai yang dibuat oleh para pihak di
hadapan pejabat, yaitu:
1. Dibuat di hadapan pejabat yang berwenang menurut undang-undang;
2. Dihadiri oleh para pihak;
3. Kedua piha dikenal atau dikenalkan kepada pejabat;
4. Dihadiri oleh dua orang saksi;
5. Menyebut identitas notaris atau pejabat;
6. Menyebut tempat, hari, tanggal, bulan dan tahun pembuatan akta;
7. Notaris membacakan akta di hadapan para penghadap;
8. Ditanda tangani semua pihak;
9. Penegasan pembacaan, penerjemahan dan penandatanganan pada
bagian penutup akta.
b. Syarat formil bukti otentik yang dibuat oleh pejabat yang berwenang, yaitu :
a) Dibuat dan ditandatangani oleh pejabat yang berwenang;
b) Menyebut identitas, tempat, hari, tanggal, bulan dan tahun pembuatan
akta;

5
c) Bentuk akta dibuat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
c. Adapun syarat materiil bukti akta otentik, yaitu :
a) Berisi keterangan kesepakatan para pihak;
b) Berisi keterangan perbuatan atau hubungan hukum;
c) Pembuatan akta sengaja dimaksudkan sebagai bukti;
d) Tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, agama,
kesusilaan, dan ketertiban umum;
e) Bermaterai.
Ada dua macam akta di bawah tangan yaitu akta di bawah tangan yang
bersifat partai dan akta di bawah tangan yang bersifat sepihak.
d. Syarat formil bukti akta di bawah tangan yang bersifat partai:
a) Berbentuk tulisan
b) Dibuat secara partai tanpa bantuan atau di hadapan pejabat yang
berwenang menurut undang-undang
c) Ditandatangani oleh para pihak
d) Mencantumkan hari, tanggal, bulan, tahun dan tempat
penandatanganan
e) Bermaterai.
e. Syarat materiil bukti akta di bawah tangan yang bersifat partai:
a) Keterangan yang tercantum dalam akta di bawah tangan berisi
persetujuan mengenai perbuatan hukum (contoh: pemberian uang
nafkah, penyerahan barang) atau hubungan hukum (contoh: sewa
menyewa)
b) Sengaja dibuat sebagai alat bukti.
f. Syarat formil bukti akta di bawah tangan yang bersifat sepihak:
a) Berbentuk tertulis
b) Dibuat sendiri oleh yang bersangkutan
c) Ditandatangani oleh pembuatnya
d) Mencantumkan tempat, hari, tanggal, bulan dan tahun pembuatan
e) Bermaterai.
g. Syarat materiil bukti akta di bawah tangan yang bersifat sepihak:
a) Keterangan yang tercantum dalam akta di bawah tangan berisi
persetujuan mengenai perbuatan hukum (contoh: pemberian uang

6
nafkah, penyerahan barang) atau hubungan hukum (contoh: sewa
menyewa).
b) Sengaja dibuat sebagai alat bukti.
3. Nilai kekuatan alat bukti
a. Nilai kekuatan alat bukti akta otentik
Adapun kekuatan nilai pembuktiannya adalah sempurna (volledeg) dan
mengikat (bidende), sepanjang tidak dilawan dengan alat bukti yang sederajat
dengannya. (psl. 285 Rbg. Psl.1868 KUHPerdata). manakala ada perlawanan
dengan akta yang sederajat dengannya, maka alat bukti otentik dimaksud
kekuatan nilai pembuktiannya menjadi bukti permulaan, sehingga harus
ditambah dengan alat bukti lain, agar mencapai batas minimal pembuktian.
b. Nilai kekuatan alat bukti akta dibawah tangan
Adapun kekuatan nilai pembuktiannya sama dengan bukti otentik,
selama isi dan tandatangannya diakui atau tidak disanggah. Akan tetapi bila isi
dan tandatangannya tidak diakui atau disanggah, maka nilai kekuatan
pembuktiannya menjadi bukti permulaan, sehingga harus ditambah dengan bukti
yang lain.
B. Alat Bukti Saksi
Alat bukti saksi diatur dalam Pasal 139-152, 168-172 HIR (Pasal 165-179 Rbg),
1895 dan 1902-1912 BW.
1. Pengertian Saksi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) saksi adalah orang yang dapat
memberi keterangan di muka pengadilan guna kepentingan penyidikan penuntutan
dan peradilan tentang suatu perkara pidana atau perdata yang didengarnya,
dilihatnya, atau dialaminya sendiri.9
Salah satu kewajiban saksi dipersidangan adalah memberikan kesaksian.
Menurut Wahbah Zuhaili kesaksian adalah menyampaikan sesuatu yang dilihat.
Kesaksian dapat didefinisikan sebagai keterangan yang pasti tentang sesuatu yang
telah disaksikan dan dilihat mata kepala, atau sesuatu yang telah diketahui dan
menyebar secara luas.10

9
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. II (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2011), hlm. 1206.
10
Wahbah Zuhaili, al-Fiqhu asy-Syafi’i al-Muyassar, ed. In, Fiqih Imam Syafi’i 3, (terj. Muhammad Afifi &
Abdul Hafiz), Cet. I (Jakarta: Almahira, 2010), hlm. 509.

7
Keterangan yang diberikan oleh saksi harus tentang peristiwa atau kejadian
yang dialaminya sendiri, sedang pendapat atau dugaan yang diperoleh secara
berfikir tidaklah merupakan kesaksian. Keterangan saksi itu haruslah diberikan
secara lisan dan pribadi di persidangan. Jadi harus diberitahukan sendiri dan tidak
diwakilkan serta tidak boleh dibuat secara tertulis. Yang dapat didengar sebagai
saksi adalah pihak ketiga dan bukan salah satu pihak yang berperkara (Pasal 139
ayat (1) HIR, 165 ayat (1) Rbg.
Jadi, saksi adalah seseorang yang memenuhi syarat sebagai saksi untuk
memberikan keterangan di muka persidangan terhadap segala sebab pengetahuan
tentang suatu peristiwa yang didengar, dilihat, dan dialami sendiri atas peristiwa
tersebut.
2. Syarat Formil dan Syarat Materiil Alat Bukti Saksi
Sebelum memberikan keterangan di persidangan seorang saksi harus memenuhi
syarat formil dan syarat materiil alat bukti saksi. Undang-Undang telah enetapkan
siapa saja yang berhak menjadi saksi di persidangan, apabila seorang saksi yang
memberikan keterangan tidak sesuai yang digariskan Undang-Undang maka tidak
dapat dianggap sebagai saksi.
Syarat formil dan syarat materiil alat bukti saksi bersifat kumulatif bukan
alternatif. Apabila salah satu di antaranya tidak terpenuhi, maka keterangan yang
diberikan saksi di pengadilan akan mengandung cacat formil dan materiil. Oleh
karena itu, keterangan tersebut tidak sah sebagai alat bukti.
1. Syarat Formil Saksi
Syarat formil merupakan syarat yang melekat pada saksi dalam
memberikan keterangan. Menurut undang-undang ada beberapa syarat formil
yang melekat pada alat bukti saksi, yang terdiri dari:11
a. Berumur 15 tahun.
Pasal 145 ayat 1 Sub 3 HIR/Pasal 172 ayat 1 Sub 4 RBg, serta dalam
Burgerlijk Wetboek (KUH Perdata) dalam Pasal 1912 disebutkan, anak-
anak yang belum berumur lima belas tahun tidak dapat didengar
kesaksiannya. Akan tetapi jika hakim ingin mendengar kesaksian anak-anak
di bawah lima belas tahun, maka boleh mendengarnya tapi anak tersebut
tidak disumpah. Keterangan mereka itu bukan merupakan bukti kesaksian,

11
Teguh Samudera, Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata, Cet. II (Bandung: PT. Alumni, 2004), hlm. 160.

8
melainkan hanya sebagai penjelasan saja. Alasannya adalah, karena
umurnya sangat muda, ia dianggap tidak sanggup untuk menghayati
pentingnya keterangan yang disampaikannya.
b. Sehat akal
Pasal 145 ayat (1) Sub 4 HIR/Pasal 172 ayat (1) Sub 5 RBg, serta dalam
Burgerlijk Wetboek (KUH Perdata) dalam Pasal 1912 menjelaskan, orang
gila tidak dapat didengar kesaksiannya walaupun kadang-kadang terang
ingatannya. Alasannya karena orang gila itu tidak dapat menyadari dengan
sepenuhnya arti sumpah.
c. Tidak ada hubungan keluarga sedarah dan keluarga semenda dari salah satu
pihak menurut keturunan yang lurus, kecuali undang- undang menentukan
lain.
Pasal 145 ayat (1) Sub 1 HIR/Pasal 172 ayat (1) Sub 1 RBg, serta dalam
Burgerlijk Wetboek (KUH Perdata) dalam Pasal 1910 dijelaskan, saksi yang
berasal dari keluarga tentu sangat sulit untuk berlaku obyektif dalam
memberikan keterangan, dan secara psikologis akan selalu berpihak pada
keluarganya, sehingga kalau demikian adanya, akan sulit dicari kebenaran
yang sesungguhnya.
Namun, Undang-Undang memberikan kekhususan kepada keluarga
untuk menjadi saksi pada kasus perceraian. Dalam kasus ini diyakini tidak
ada keluarga yang menginginkan perceraian terjadi kalau tidak terpaksa,
artinya bahwa sangat mustahil saksi dari keluarga akan memberikan
keterangan yang tidak benar (bohong) hanya karena alasan menginginkan
perceraian, sehingga dalam perkara perceraian keluarga akan berusaha
obyektif memberikan keterangan.
Landasan hukum yang memberikan kekhususan kepada keluarga untuk
menjadi saksi pada kasus perceraian ialah Pasal 76 ayat (1) Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989 dinyatakan:
“Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan syiqaq, maka untuk
mendapatkan putusan perceraian harus didengar keterangan saksi-saksi
yang berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat dengan suami
istri.”
Jadi keluarga bukan sekedar memberi keterangan. Melainkan memberi
keterangan sebagai “saksi”. Mereka didudukkan secara formal dan materiil

9
menjadi saksi. Secara formal keluarga dalam memberi keterangan harus
disumpah. Sedangkan secara materiil keterangan yang dberikan harus
berdasarkan pendengaran, penglihatan, atau pengalaman sendiri, kemudian
keterangan yang diberikan harus bersesuaian dengan saksi yang atau alat
bukti lain. Maka keterangan yang mereka berikan sah dan memiliki nilai
pembuktian alat bukti saksi.12
d. Tidak ada hubungan perkawinan dengan salah satu pihak meskipun sudah
bercerai
Pasal 145 ayat (1) Sub 2 HIR/Pasal 172 ayat (1) Sub 3 RBg, serta dalam
Burgerlijk Wetboek (KUH Perdata) dalam Pasal 1910 disebutkan, suami
istri tidak boleh didengar kesaksiannya sekalipun mereka sudah bercerai
secara sah menurut hukum agama dan negara. Sama halnya dengan poin
nomor 3 dikhawatirkan mereka akan memihak kepada keluarganya.
e. Tidak ada hubungan kerja dengan salah satu pihak dengan menerima upah,
kecuali undang-undang menentukan lain
Pasal 144 ayat (2) HIR/ Pasal 171 ayat (2) RBg, dijelaskan secara yuridis
tidak ada halangan apabila saksi memiliki hubungan kerja dengan para pihak
yang lagi berperkara di persidangan sekalipun adanya keberatan dari salah
satu pihak. Namun, tidak menjadikan saksi tersebut terhalang memberikan
keterangan dibawah sumpah dalam persidangan, Pasal 144 HIR secara resmi
menempatkan mereka berkedudukan menjadi saksi. Akan tetapi sebagai alat
bukti yang sudah memenuhi syarat formil dan syarat materiil saksi memiliki
kekuatan pembuktian bebas, ada baiknya hakim harus menilai proposional
keterangan yang disampaikan saksi. Kewenangan hakim untuk
mempertimbangkan berdasarkan Pasal 172 HIR.13
f. Menghadap di persidangan
Pasal 141 ayat (2) HIR/Pasal 167 ayat (2) RBg menjelaskan, saksi yang
telah di panggil dengan patut wajib menghadap ke persidangan selama tidak
ada alasan yang mombolehkan saksi untuk tidak hadir. Apabila saksi tidak
hadir juga dengan kerelaan hatinya, maka pengadilan dapat

12
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Cet. V (Jakarta: Sinar Grafika,
2009), hlm. 247.
13
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Cet. V (Jakarta: Sinar Grafika,
2009), hlm. 641.

10
menghadirkannya dengan paksa untuk memenuhi kewajibannya dan
dikenakan sanksi berupa membayar ganti rugi yang dialami oleh kedua
belah pihak.
g. Mengangkat sumpah menurut agamanya
Pasal 147 HIR/Pasal 175 RBg, serta dalam Burgerlijk Wetboek (KUH
Perdata) dalam Pasal 1911 dijelaskan, saksi yang akan di dengarkan
kesaksiannya harus di sumpah terlebih dahulu menurut agama dan
kepercayaannya masing-masing. Apabila saksi tidak mau bersumpah, saksi
14
dapat ditahan sampai saksi mau memenuhi kewajibannya itu. Perlu
diketahui bahwa cara penyumpahan dari pendekatan teoretis ada dua
macam, yaitu secara promissoris (disumpah lebih dahulu sebelumnya
menyampaikan keterangannya) dan secara asertoris yaitu menyampaikan
keterangannya lebih dahulu, kemudian sesudah itu barulah diteguhkan
dengan sumpah.15
h. Dipanggil masuk ke ruang sidang satu demi satu
Pasal 144 ayat (1) HIR/Pasal 171 ayat (1) RBg menjelaskan saksi
dipanggil dan didengar keterangannya “seorang demi seorang”, maksudnya
tidak bersama-sama, jangan sampai saksi yang sudah didengar
keterangannya berbicara dengan saksi yang belum diperiksa. Saksi yang
sudah diperiksa keterangannya tetap turut duduk di dalam ruang
persidangan, kecuali jika Ketua Pengadilan Negeri menganggap perlu
dipisahkan, misalnya apabila diduga bahwa saksi baru yang akan diperiksa
keterangannya itu takut untuk memberikan keterangan di hadapan saksi
yang lain.
i. Memberikan keterangan secara lisan
Kesaksian mengenai suatu peristiwa atau kejadian harus dikemukakan
oleh yang bersangkutan kepada hakim di dalam persidangan secara lisan dan
pribadi oleh orang yang terkait dalam perkara. Oleh karena itu saksi yang
bersangkutan harus menghadap sendiri di dalam persidangan dan tidak
boleh mewakilkan kepada orang lain serta tidak boleh kesaksian itu dibuat

14
Akmaluddin Syahputra, Hukum Acara Perdata: Panduan Praktis Beracara di Pengadilan, Cet. I (Medan: Wal
Ashri Publishing, 2008), hlm. 104.
15
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Cet. V (Jakarta: Sinar Grafika,
2009), hlm. 643-644.

11
secara tertulis.22 Keterangan tertulis dari pihak ketiga ini merupakan alat
bukti tertulis. Bahwa saksi harus memberikan keterangan secara lisan dan
pribadi ternyata dari Pasal 140 ayat (1) HIR dan Pasal 148 HIR, di mana
ditentukan bahwa terhadap saksi yang telah dipanggil dengan patut dan tidak
datang diberi sanksi dan terhadap saksi yang telah datang di persidangan
enggan memberi keterangan dapat diberi sanksi juga.16
2. Syarat Materiil Saksi
Syarat materiil merupakan syarat yang melekat pada keterangan atau
kesaksian yang diberikan oleh saksi. Ada beberapa syarat materiil yang melekat
pada alat bukti saksi, yaitu terdiri dari:
a. Satu orang saksi tidak sah sebagai alat bukti
Ditegaskan dalam Pasal 169 HIR, Pasal 1905 KUH Perdata menyatakan
keterangan seorang saksi saja, tidak dapat dipercaya. Agar dipercaya perlu
ditambahkan satu lagi alat bukti yang lain. Syarat materiil ini sekaligus
merupakan penegasan mengenai patokan batas minimal pembuktian
keterangan saksi sebagai alat bukti.17 Sampai pada dewasa ini, kesaksian itu
oleh undang- undang dipandang sebagai bukti yang penting, walaupun
dengan adanya kemajuan teknik pembuktian secara ilmiah dengan
mempergunakan bukti-bukti berupa benda-benda mati seperti sidik jari,
telapak kaki, bekas darah, lampu ultra violet dan lain sebagainya, yang
ternyata dapat lebih dipercaya kebenarannya daripada keterangan dari
seseorang saksi. Berhubung saksi itu amat tidak boleh dipercaya, maka
dalam HIR baik untuk pemeriksaan perkara pidana maupun perdata seperti
yang disebutkan dalam Pasal 169 ini ditetapkan sistem “seorang saksi,
bukan saksi” atau unus testis nullus testis, yang artinya untuk menetapkan
sesuatu sebagai kebenaran harus didasarkan atas sedikit- dikitnya dua orang
saksi.
b. Keterangan berdasarkan alasan dan sumber pengetahuan
Dalam Pasal 171 ayat (1) HIR, dan Pasal 1907 ayat (1) KUH Perdata
menjelaskan setiap saksi yang menyampaikan keterangannya harus dengan
sebab pengetahuan yaitu dasar-dasar seseorang saksi dapat mengatakan

16
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Cet. I (Yogyakarta: Liberty, 1993), hlm. 129.
17
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Cet. V (Jakarta: Sinar Grafika,
2009), hlm. 648.

12
sesuatu hal dalam kesaksiannya. Yahya harahap dalam bukunya Hukum
Acara Perdata menjelaskan berdasarkan teori dan praktik, landasan sumber
pengetahuan yang dianggap sah dan memenuhi syarat sangat terbatas sekali
yang terdiri atas dasar pengalaman saksi sendiri, atas dasar penglihatan saksi
sendiri, dan atas dasar pendengaran saksi sendiri.18
c. Bukan merupakan pendapat atau kesimpulan saksi sendiri
Syarat materiil berupa larangan keterangan saksi diatur dalam Pasal 171
ayat (2) HIR, dan Pasal 1907 ayat (2) KUH Perdata. Secara garis besarnya
pasal ini mengatakan, pendapat-pendapat maupun perkiraan-perkiraan
khusus yang diperoleh dengan jalan pikiran saksi, bukan kesaksian.
Sekalipun keterangan yang disampaikan berdasarkan pengalaman,
penglihatan, atau pendengaran sendiri, tetapi isinya bercampur baur dengan
pendapat atau perkiraan saksi sendiri, keterangan tersebut tidak memenuhi
syarat materiil sebagai alat bukti saksi.19
d. Saling bersesuaian satu sama lain
Pasal 170 HIR, dan Pasal 1908 KUH Perdata, ditegaskan keterangan
saksi yang bernilai sebagai alat bukti, hanya terbatas pada keterangan yang
saling bersesuaian atau mutual conformity antara yang satu dengan yang
lain.
Pengertian saling bersesuaian antara keterangan saksi yang satu dengan
yang lain tedapat kecocokan, sehingga mampu memberi dan membentuk
suatu kesimpulan yang utuh tentang peristiwa atau fakta yang
disengketakan. Apabila keterangan yang satu dengan yang lain bercerai dan
saling berdiri sendiri akan membuat keterangan itu tidak mampu dan tidak
berdaya meneguhkan suatu masalah atau peristiwa hukum tertentu sesuai
dengan apa yang diperkarakan.20

18
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Cet. V (Jakarta: Sinar Grafika,
2009), hlm. 652.
19
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Cet. V (Jakarta: Sinar Grafika,
2009), hlm. 653.
20
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Cet. V (Jakarta: Sinar Grafika,
2009), hlm. 655.

13
3. Nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi
Alat bukti berupa saksi dalam praktik hukum acara perdata di persidangan
sangatlah penting, karena berfungsi untuk menguatkan tentang kejadian atau
peristiwa terhadap adanya perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pihak yang
sedang berperkara, khususnya kejadian atau peristiwa perbuatan hukum para pihak
yang pembuatannya dilakukan di bawah tangan, keberadaan saksi sangatlah penting
karena apabila ada salah satu pihak yang mengingkari dapat dijadikan alat bukti
yang sah. Dengan adanya saksi tersebut apabila dikemudian hari timbul suatu
permasalahan, maka saksi yang melihat, mendengar, dan mengalami langsung
peristiwa hukumnya dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah untuk memperkuat
adanya kejadian atau peristiwa hukumnya.21
Untuk dapat memberikan keterangannya di persidangan, ada empat unsur yang
harus dipenuhi oleh saksi agar cakap di dengar kesaksiannya. Yaitu sebagai
berikut:22
1. Saksi harus memberikan kesaksian di depan persidangan (Pasal 144
HIR/Pasal 171 RBg);
2. Saksi harus disumpah (Pasal 147 HIR/Pasal 175 RBg, dan Pasal 1911
KUH Perdata);
3. Saksi harus diperiksa satu-persatu (seorang demi seorang) (Pasal 144
HIR/Pasal 171 RBg);
4. Saksi harus berjumlah sekurang-kurangnya dua orang untuk kesaksian
suatu peristiwa (Pasal 169 HIR/Pasal 306 RBg).
Kesaksian yang telah memenuhi syarat formil dan syarat materiil saksi
mempunyai nilai kekuatan pembuktian bersifat bebas, hakim bebas dalam
menentukan pendapatnya, termasuk juga dalam menggunakan alat-alat pembuktian,
antara lain keterangan saksi (saksi-saksi).30 Nilai kekuatan keterangan saksi
bersifat bebas, disimpulkan dari Pasal 1908 KUH Perdata, dan Pasal 171 HIR.
Menurut pasal tersebut hakim bebas mempertimbangkan atau menilai keterangan

21
Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik, Cet. I (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm. 255.
22
4 Aris Bintania, Peradilan Agama dalam Kerangka Fiqh al-Qadha, Cet. I (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm.
58-62.

14
saksi berdasarkan kesamaan atau saling berhubungannya antara saksi yang satu
dengan yang lain.23
Hakim dalam mempertimbangkan nilai kesaksian harus memperhatikan
kesesuaian keterangan-ketarangan para saksi satu dengan yang lainnya, cocoknya
keterangan saksi dengan apa yang diketahui dari sumber lain tentang perkara yang
diadilinya.24 Dengan itu saksi yang dihadirkan ke persidangan minimal 2 (dua)
orang saksi yang melihat, mendengar, dan mengalami sendiri peristiwa yang
berhubungan dengan para pihak yang sedang berperkara. Apabila tidak sanggup
menghadirkan dua saksi maka boleh digantikan dengan satu saksi dan alat bukti lain
yang memiliki nilai kekuatan pembuktian.
C. Alat Bukti Persangkaan
Persangkaan (vermoedens, presumtions) sebagaimana terdapat dalam Pasal
1915 BW dirumuskan sebagai kesimpulan-kesimpulan yang oleh undang-undang atau
oleh hakim ditariknya dari suatu peristiwa yang terkenal ke arah suatu peristiwa yang
tidak terkenal.
Persangkaan merupakan alat bukti yang tidak langsung, yang dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu:
1. Persangkaan undang-undang atau persangkaan berdasarkan hukum (wettelijk
vermoeden). Pada persangkaan berdasarkan hukum ini, undang-undanglah yang
menarik kesimpulan terbuktinya suatu peristiwa yang ingin dibuktikan dari suatu
peristiwa lain yang sudah terbukti atau sudah terang nyata.
Contohnya dalam kesepakatan pembayaran sejumlah uang tertentu secara
berkala/rutin, misalnya dalam hal pembayaran sewa. Dengan diajukannya tiga
kuitansi pembayaran terakhir secara berurutan, yang berarti terbukti telah terjadi
pembayaran tiga kali berturut- turut, maka disimpulkan telah terbukti peristiwa lain
yaitu telah terbukti bahwa angsuran sebelumnya telah dibayar.
2. Persangkaan berdasarkan kenyataan atau persangkaan hakim (feitelijke vermoeden,
rechterlijke vermoeden). Pada persangkaan berdasarkan kenyataan ini, hakimlah
yang menarik kesimpulan terbuktinya suatu peristiwa yang ingin dibuktikan dari
suatu peristiwa lain yang sudah terbukti atau sudah terang nyata.

23
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Cet. V (Jakarta: Sinar Grafika,
2009), hlm. 548.
24
M.Nur Rasaid, Hukum Acara Perdata, Cet. V (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 40.

15
Contohnya dalam kasus perceraian, perkara perceraian diajukan dengan alasan
perselisihan yang terus menerus. Alasan ini dibantah oleh tergugat dan penggugat
tidak dapat membuktikannya. Penggugat hanya mengajukan saksi-saksi bahwa
tergugat telah berpisah tempat tinggal dan hidup sendiri selama bertahun-tahun.
Dari keterangan saksi, maka hakim menyimpulkan bahwa telah terjadi perselisihan
terus menerus karena tidak mungkin keduanya dalam keadaan rukun hidup berpisah
dan hidup sendiri selama bertahun tahun.25
1. Kekuatan Nilai Alat Bukti Persangkaan
Ketentuan dalam Pasal 310 RBg/Pasal 173 HIR menyatakan:
“persangkaan/dugaan belaka yang tidak berdasarkan peraturan perundang-
undangan hanya boleh digunakan hakim dalam memutus suatu perkara jika itu
sangat penting, cermat, tertentu dan bersesuaian satu dengan yang lain”.
Dari ketentuan Pasal 310 RBg ini menunjuk kepada persangkaan berdasarkan
kenyataan (feitelijke vermoeden). Penilaian terhadap kekuatan pembuktian
terhadap persangkaan berdasarkan kenyataan ini diserahkan kepada hakim. Jadi
merupakan bukti bebas dan bukan bukti mutlak. Sedangkan persangkaan
berdasarkan hukum/undang-undang (wettelijk vermoeden) merupakan bukti mutlak
dan bukan bukti bebas.
D. Alat Bukti Pengakuan
Mengenai alat bukti Pengakuan (bekentenis, confession) diatur dalam Pasal
311, Pasal 312, Pasal 313 RBg, Pasal 174, Pasal 175, Pasal 177 HIR, dan Pasal 1923
sampai dengan Pasal 1928 BW. Sebagai alat bukti, pengakuan harus diberikan di depan
persidangan. Pasal 311 RBg menyatakan: “Pengakuan yang dilakukan di depan hakim
merupakan bukti lengkap, baik terhadap yang mengemukakannya secara pribadi,
maupun lewat seorang kuasa khusus”.
Ketentuan dalam Pasal 174 HIR menyatakan: “pengakuan yang diucapkan di
hadapan hakim, cukup menjadi bukti untuk memberatkan orang yang mengaku itu, baik
yang diucapkannya sendiri, maupun dengan perantaraan orang lain, yang istimewa
dikuasakan untuk itu”.
Pada dasarnya, dikenal adanya tiga macam pengakuan:
1. Pengakuan murni

25
Endang Hadrian dan Lukman Hakim, Hukum Acara Perdata Indonesia : Permasalahan Eksekusi dan Mediasi,
(Jakarta : Grup Penerbitan CV Budi Utama, 2020), hlm. 44-45.

16
Yaitu pengakuan yang membenarkan gugatan penggugat secara
keseluruhan, apa adanya, tanpa ada embel-embel tambahan, baik berupa
penyangkalan maupun klausul pembebasan. Pengakuan murni mempunyai
kekuatan bukti yang sempurna.
2. Pengakuan dengan klausul
Yang dimaksud adalah pengakuan yang disertai klausul tambahan yang
bersifat membebaskan. Contoh: penggugat mendalilkan tergugat berhutang
sejumlah Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Tergugat dalam
jawabannya menyatakan: membenarkan adanya hutang Rp500.000.000,00
tersebut, namun disertai dengan pernyataan (klausul) tambahan yang
menyatakan: tetapi hutang sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
tersebut telah dibayar secara lunas.
3. Pengakuan dengan kualifikasi
Yang dimaksud adalah pengakuan yang disertai keterangan tambahan
yang bersifat/berupa penyangkalan. Contoh: penggugat mendalilkan tergugat
berhutang sejumlah Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Tergugat dalam
jawabannya menyatakan: membenarkan tergugat mempunyai hutang kepada
penggugat, namun jumlahnya bukan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
tetapi Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
Pengakuan dengan klausul maupun pengakuan dengan kualifikasi tidak
boleh dipecah-pecah atau dipisah-pisah (onspitsbare aveu). Maksudnya, hakim
tidak boleh menerima pengakuan hanya sebagian dan sebagian lagi ditolak
(Pasal 313 RBg/Pasal 176 HIR). Oleh karenanya, pengakuan dengan klausul
maupun pengakuan dengan kualifikasi tidak memiliki kekuatan pembuktian
sempurna, hal mana masih diperlukan pembuktian lebih lanjut.26
a. Syarat Formil dan Materiil Alat Bukti Pengakuan
1. Syarat formil pengakuan:
a. Pengakuan disampaikan dalam proses pemeriksaan siding
Pengakuan diluar siding tidak bernilai sebagai alat bukti.
Walaupun hakim mendengar suatu penegasan pengakuan tentang apa
yang diperkarakan, tetapi pengakuan terseut diberikan diluar sidang,

26
Endang Hadrian dan Lukman Hakim, Hukum Acara Perdata Indonesia : Permasalahan Eksekusi dan Mediasi,
(Jakarta : Grup Penerbitan CV Budi Utama, 2020), hlm. 46-47.

17
maka dianggap tidak memenuhi syarat formil sebagai alat bukti
pengakuan.
b. Pengakuan diberikan oleh pihak materil atau kuasanya
Bisa disampaikan dalam bentuk lisan atau bisa dituangkan secara
tertulis dalam replik, duplik atau kesimpulan. Namun apabila
disampaikan oleh kuasa harus dengan surat kuasa khusus yang dibuat
untuk keperluan tersebut. Surat kuasa khusus untuk mewakili dalam
perkara, belum cukup untuk dipergunakan kuasa mengucapkan
pengakuan dalam persidangan tersebut.
a. Syarat materil pengakuan:
a. Pengakuan yang diberikan teresebut langsung berhubungan dengan
pokok perkara.
b. Pengakuan tidak merupakan kebohongan atau kepalsuan yang nyata dan
terang.
c. Pengakuan tidak bertentangan dengan hukum, susila, agama dan
ketertiban umum.
b. Nilai kekuatan Alat Bukti Pengakuan
Nilai Pembuktian Pengakuan dalam Persidangan
1. Nilai pembuktian pengakuan murni dan bulat
Batas minimal pembuktian pengakuan murni dapat merujuk pada
ketentuan pasal 174 HIR R.Bg dan 1925 BW :
1) Pengakuan murni mengandung nilai pembuktian yang sempurna
(volledeg), mengikat (bindend), dan menentukan atau memaksa (beslisend,
dwingend). Oleh karena itu, alat bukti pengakuan murni dan bulat, dapat
berdiri sendiri sebagai alat bukti, dan tidak memerlukan tambahan atau
dukungnan dari alat bukti yang lain. Dengan demikian pada diri alat bukti
pengakuan yang murni dan bulat, sudah dengan sendirinya tercapai batas
minimal pembuktian.
2) Nilai pembuktian pengakuan bersyarat tidak mempunyai nilai yang
sempurna, mengikat dan menentukan. Oleh karena itu tidak dapat berdiri
sendiri, harus dibantu sekurang-kurangnya dengan salah satu alat bukti
yang lain. Maka nilai kekuatan pembuktiannya menjadi bersifat
berkekuatan pembuktian bebas.

18
E. Alat Bukti Sumpah
a. Pengertian Alat Bukti Sumpah
Alat bukti sumpah merupakan alat bukti yang dibebankan oleh hakim kepada
penggugat maupun tergugat, karena hakim menilai dengan alat bukti yang laik tidak
dapat memberikan keputusan kepada proses pengadilan maka jalan satu-satunya
adalah sumpah sebagai alat bukti pelengkap dan penguat alat bukti sebelumnya.
Alat bukti sumpah diatur dalam Pasal 182 sampai dengan Pasal 185, Pasal 314
RBg, Pasal 155 sampai dengan Pasal 158, Pasal 177 HIR, Pasal
1929 sampai dengan Pasal 1945 BW.
RBg/HIR mengenal tiga macam sumpah, yaitu Pasal 182 RBg dan Pasal 155
HIR mengenal sumpah pelengkap (suppletoir) dan sumpah penaksiran
(aestimatoir), sedangkan Pasal 183 RBg dan Pasal 156 HIR mengenal adanya
sumpah pemutus. Dengan dilakukannya pengucapan sumpah, maka yang
mengucapkan sumpah itu dimenangkan oleh hakim.27
1. Sumpah Pelengkap
Sumpah pelengkap atau juga di sebut sebagai sumpah tambahan di atur
dalam pasal 155 HIR, pasal 182 RBG dan pasal 1945 KUHP. Dalam pasal
peraturan perundang-undangan tersebut di kemukakan bahwa hakim karena
jabatannya dapat memerintahkan sumpah kepada salah satu pihak yang
berperkara untuk melengkapi alat bukti yang sudah ada supaya perkara dapat
diselesaikan atau agar dapat menetapkan sejumlah uang yang akan
diperkenankan.
Untuk dapat diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada salah
satu pihak unrtuk mengangkat sumpah, haruslah ada bukti permulaan dulu,
sehingga apabila ditambah dengan sumpah pelengkap tersebut maka pembuktian
akan menjadi sempurna. Di sini hakim berwenang, bukan kewajiban untuk
membebankan suatu pelengkap itu kepada salah satu pihak yang berperkara. Jika
sumpah tambahan itu dilaksanakan oleh salah satu pihak yang berperkara maka
yang sedang diperiksa tersebut menjadi selesai.
Dalam pasal 1943 KUH Perdata dikemukan bahwa sumpah pelengkap
ini dipertintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada salah satu pihak yang

27
Endang Hadrian dan Lukman Hakim, Hukum Acara Perdata Indonesia : Permasalahan Eksekusi dan Mediasi,
(Jakarta : Grup Penerbitan CV Budi Utama, 2020), hlm. 47.

19
berperkara dan terhadap pembenan sumpah ini tidak dibenarkan adanya
pengembalian sumpah kepada pihak lawan, tetapi pihak yang mendapat perintah
dari hakim unrtuk melakukan sumpah atau memenuhi sumpah pelengkap
tersebut. Penolakan terhadap sumpah pelengkap itu belum tentu pihak yang
menolak sumpah tersebut yang mendapat kekalahan dalam berperkara, sebab
pembebanan sumpah tambahan itu, hakim harus memperhatikan ketentuan pasal
155 HIR dan pasal 1941 KUH Perdata, dan jika alat pembuktian lain telah
lengkap maka pembebanan sumpah pelengkap tidak diperlukan lagi.
Dari ketentuan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa sumpah
tambahan dapat dibebankan dalam hal salah satu pihak telah mempunyai bukti
permulaan, namun belum mencukupi serta tidak terdapatnya alat bukti lainnya.
Terhadap pihak yang oleh hakim tidak diperintahkan untuk bersumpah
pelengkap, maka ia tidak boleh mengembalikan sumpah pelengkap tersebut
kepada pihak lawan (Pasal 1943 KUH Perdata).28
2. Sumpah Pemutus
Sumpah pemutus atau juga sering disebut dengan sumpah penentukan
diatur dalam pasal 156 HIR, pasal 183 RBG dan pasal 1930 KUH Perdata. Dalam
pasal-pasal ini dikemukakan bahwa jika tidak ada sesuatu keterangan untuk
menguatkan gugatan atau jawaban atas gugatan itu, maka salah satu pihak dapat
memintah supaya pihak lain bersumpah dikemukakan hakim, jadi sumpah
pemutus ini dapat dibebankan kepada salah satu pihak, walaupun sama sekali
tidak ada bukti, pembebanan tersebut atas permohonan salah satu pihak yang
berperkara.
Pembebanan sumpah pemutus ini dapat dilakukan selama pemeriksaan
perkara sedang berjalan. Sumpah pemutus ini harus mengenai perbuatan yang
dilakukan sendiri oleh pihak yang bersumpah. Apabila itu suatu tindakan yang
dilakukan oleh kedua belah pihak dan disuruh disumpah, namun tidak bersedia
untuk mengucapkan sumpah tersebut, maka ia boleh mengembalikan sumpah itu
kepada lawannya, atau lawanya tidak melakukan sumpah yang dikembalikan
kepadanya itu, maka perkaranya dikalahkan. Sumpah ini dapat diperintahkan
untuk segala persengketaan yang berupa apa saja, kecuali atas hal-hal yang oleh

28
Dr. Abdul Manan, Penerapan Hukum Islam Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Cet.4, (Jakarta: Kencana,
2006), hlm.263.

20
para pihak tidak berkuasa mengadakan perdamaian atau dimana pengakuan
mereka tidak diperhatiakan.29
Dari uraian yang dikemukan yang di atas, sumpah pemutus bersifat
mengakhiri dan menentukan seluruh perkara, berarti sumpah pemutus dengan
sendirinya menurut hukum yang mengakibatkan proses perkara sampai pada titik
yang menempatkan fungsi dan kewenangan, hakim wajib mengakhiri
pemeriksaan perkara, yanmg diikuti dengan menjatuhkan putusan. Dengan
demikian sumpah pemutus mengandung alternatif: Melakukan atau menolak
mengucapkan sumpah berakibat menang atau kalah.
Memang secara teoritis, bukan sumpah pemutus yang mengakhiri
penyelesaian sengketa yang diperkarakan. Sebab secara objektif, yang
mengakhiri proses penyelesaian perkara itu adalah putusan hakim. Namun
dengan terjadinya pengucapkan sumpah pemutus, mewajibkan hakim harus
mengakhiri pemeriksaan perkara yang diikuti dengan alternatif berikut;
a) Apabila pihak yang diperintahkan pihak lawan melaksanakan pengucapan
sumpah, pihak yang memerintahkan harus dikalahkan hakim.
b) Jika pihak yang diperintahkan pihak lawan menolak mengucapkan
sumpah, pihak yang menolak harus dikalahkan hakim, dan pihak yang
memerintahkan harus dimenangkan hakim.
Akan tetapi kalau diperhatiakan penjelasan di atas, sumpah pemutus
merupakan alat bukti yang sangat bsrbahaya, karena: “selalu ada orang yang
bersedia mengucapkan sumpah palsu, demi untuk mendapatkan keuntungan
30
meteri. Dengan tidak ingat lagi akan hukuman Tuhan, maka sumpah palsu
dijadikan kebiasaan dan tanpa dipikirkan efeknya”.
3. Sumpah Penaksir
Sumpah penaksir tiatur dalam pasal 155 HIR, pasal 182 RBG, dan pasal
1940 KUH Perdata.Sumpah penaksir adalah sumpah yang diperintahkan oleh
hakim karena jabatannya kepada penggugat untuk menentukan sejumlah uang
ganti kerugian.Sumpah penaksir dilakukan atas dilaksanakan karena dalam
praktek sering terjadi bahwa jumlah uang ganti kerugian yang diajukan oleh

29
Dr. Abdul Manan, Penerapan Hukum Islam Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Cet.4, (Jakarta: Kencana,
2006), hlm.266.
30
M. Yahya Harhap, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingungan Peradilan Agama, Cet.4, ( Jakarta, Kencana
2006 ), hlm.751.

21
pihak yang bersangkutan itu simpang, maka soal ganti rugi harus dipastikan
dengan pembuktian.
Sumpah penaksir ini dibebankan oleh hakim kepada penggugat dan
hanya dalam perkara gugatan ganti rugi saja. Sebelum hakim menetapkan beban
sumpah penaksir, penggugat harus lebih dahulu telah daapat membuktikan
bahwa ia mempunyai atas hak ganti rugi dari suatu yang dituntut. Hakim hanya
dapat memerintahkan sumpah penaksir kepada penggugat apabila tidak ada jalan
lain lagi baginya untuk menetapkan harga kerugian tersebut dalam hal
pelaksanaan sumpah penaksir ini, hakim hanya mempuanyai wewenang saja,
bukan suatu kewajiban yang mesti harus dilaksanakan.
Apabila dilihat nilai pembuktian sumpah penaksir ini adalah sama
dengan sumpah pemutus dan penambahan, dimana nilai pembuktiannya sangat
kuat mutlaknya yaitu sempurna, memikat dan menentukan hanya bisa
dilumpuhkan pemutusan pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
atas dasar bahwa sumpah yang diucapkan adalah palsu.
b. Syarat Formil dan Materiil Alat Bukti Sumpah
1. Sumpah Pelengkap
Agar supaya sumpah pelengkap dapat dijadikan alat bukti, maka harus
memenuhi syarat-syarat formal dan materil sebagai berikut:
a. Syarat Formal Sumpah Pelengkap:
1) Sumpah tersebut untuk melengkapi atau menguatkan pembuktian
yang sudah ada, tetapi belum mencapai minimal pembuktian.
2) Bukti yang sudah ada bernilai bukti pemulaan.
3) Para pihak yang berperkara sudah tidak mampu lagi menambah alat
bukti yang ada dengan alat bukti yang lain.
4) Sumpah dibebankan atas perintah hakim dangan diucapakan di
depan sidang Majelis Hakim secara inperson (langsung atau oleh
kuasanya dengan surat kuasa secara istimewa).

b. Syarat Materil Sumpah Pelengkap, yaitu:


1) Isi lafadh sumpah harus mengenai perbuatan yang dilakukan
sendiri oleh pihak yang berperkara atau yang mengucapkan
sumpah tersebut.

22
2) Isi sumpah harus berkaitkan langsung dengan pokok perkara dan
tidak bertentangan dengan agama, moral dan kesusilaan.
c. Nilai Kekuatan Alat Bukti Sumpah
1. Nilai kekuatan pembuktian sumpah pemutus
Alat bukti sumpah pemutus diatur dalam pasal 1930 KUH Perdata,
berkaitan mengakhiri perkara, dan putusan sepenuhnya didasarkan dari isi
sumpah yang diucapkan.
Nilai kekuatan pembuktiannya yaitu seperti yang sudah dijelaskan dan
sesuai dengan sebutannya sumpah pemutus atau menentukan sifat nilai
pembuktiannya yang melekat padanya adalah mutlak, dalam arti
kesempurnaan, kekuatan mengikatnya dan kekuatan memaksanya adalah
mutlak, sedemikian rupan mutlah kekuatan pembuktianya, sehingga tidak
diminta bukti lain untuk mengucapkannya.
2. Nilai kekuatan pembuktian sumpah pelengkap
Nilai kekuatan pembuktian sumpah pelengkap sama dengan sumpah
pemutus yakni sempurna.
3. Nilai kekuatan pembuktian sumpah penaksir
Kekuatan sumpah penaksir adalah sama dengan sumpah pemutus dan
sumpah tambahan. Nilai pembuktiannya sangat kuat dan mutlak yaitu
sempurnah dan menentukan
F. Alat Bukti Pemeriksaan Setempat (Discente)
a. Pengertian Alat Bukti Setempat (Discente)
Pemeriksaan Setempat (descente) atau dalam bahasa Belanda disebut
Gerechtelijke Plaatsopneming ialah pemeriksaan mengenai perkara oleh Hakim
karena jabatannya yang dilakukan di luar gedung tempat kedudukan pengadilan,
agar Hakim dengan melihat sendiri memperoleh gambaran atau keterangan yang
memberi kepastian tentang peristiwa-peristiwa yang menjadi sengketa.
Berdasarkan pengertian tersebut, bahwa pada dasarnya pemeriksaan setempat
itu adalah pemeriksaan perkara dalam persidangan, namun demikian pemeriksaan
perkara tersebut dilaksanakan di luar gedung Pengadilan di tempat objek sengketa
itu berada. Pada umumnya yang diperiksa adalah objek berupa tanah, bangunan,
kendaraan, dan sebagainya, yang disengketakan dalam suatu perkara.
Dasar hukum mengenai pemeriksaan setempat ini diatur dalam Pasal 180
RBg/Pasal 153 HIR, di mana jika dipandang perlu atau bermanfaat, dapat mengangkat

23
satu atau dua orang komisaris dengan dibantu oleh panitera, mengadakan pemeriksaan
ditempat agar mendapat tambahan keterangan.
Pemeriksaan setempat tidak termasuk salah satu alat bukti yang disebutkan
dalam Pasal 284 RBg, Pasal 164 HIR, maupun Pasal 1866 BW. Namun demikian, oleh
karena tujuan pemeriksaan setempat adalah untuk mendapatkan kepastian tentang
peristiwa ataupun obyek yang menjadi sengketa, maka fungsi pemeriksaan setempat
pada hakikatnya adalah sebagai alat bukti.
b. Nilai Kekuatan Pemeriksaan Setempat (Discente)
Menurut Yahya Harahap, pada dasarnya hasil pemeriksaan setempat merupakan
fakta yang ditemukan dalam persidangan, sehingga mempunyai kekuatan mengikat
kepada Hakim dalam mengambil keputusan. Tetapi sifat daya mengikatnya tidak
mutlak dimana Hakim bebas untuk menentukan nilai kekuatan pembuktiannya.
Oleh karena itu, pemeriksaan setempat memiliki kekuatan pembuktian sepanjang
dielaborasikan dengan “alat bukti” sah lainnya, semisal sertifikat tanah.
G. Alat Bukti Keterangan Ahli (Expertise)
Pasal 181 RBg/Pasal 154 HIR, Pasal 215 sampai dengan 229 Rv menentukan:
“Jika pengadilan negeri berpendapat, bahwa persoalannya dapat diungkapkan dengan
pemeriksaan oleh seorang ahli, maka ia atas permohonan para pihak dapat mengangkat
ahli atau mengangkatnya karena jabatan”.
Dari ketentuan di atas, dapat dipahami bahwa pengangkatan ahli didasarkan kepada 2
(dua) hal, yaitu:
a. Oleh Hakim secara Ex Officio.
b. Atas permintaan salah satu pihak.
Keterangan ahli itu berupa pendapat, atau kesimpulan berdasarkan pengetahuan
atau keahliannya, yang dikuatkan dengan sumpah. Namun demikian, hakim tidak
diwajibkan untuk menuruti pendapat ahli tersebut. Menurut hukum, seorang baru ahli,
apabila dia:
a. Memiliki pengetahuan khusus atau spesialis di bidang ilmu pengetahuan
tertentu sehingga orang itu benar-benar kompeten (competent) di bidang
tersebut.
b. Spesialisasi itu bisa dalam bentuk skill karena hasil latihan (training) atau
hasil pengalaman.
c. Sedemikian rupa spesialisasi pengetahuan, kecakapan, latihan, atau pengalaman
yang dimilikinya, sehingga keterangan dan penjelasan yang diberikannya dapat

24
membantu menemukan fakta melebihi kemampuan pengetahuan umum orang
biasa (ordinary people).
a. Nilai Kekuatan Keterangan Ahli (Expertise)
Kekuatan alat bukti keterangan ahli bersifat bebas, karena tidak mengikat
seorang hakim untuk memakainya apabila bertentangan dengan keyakinannya.
Guna keterangan ahli di persidangan merupakan alat bantu bagi hakim untuk
menemukan kebenaran, dan hakim bebas mempergunakan sebagai pendapatnya
sendiri atau tidak.
H. Alat Pembuktian Sesudah Sistem Peradilan Elektronik
Pengakuan Mahkamah Agung terhadap dokumen elektronik pada sistem
peradilan pertama kali diketahui melalui Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA)
Nomor 14 Tahun 2010 tentang Dokumen Elektronik sebagai Kelengkapan Permohonan
Kasasi dan Peninjauan Kembali. SEMA ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan
efektivitas proses minutasi berkas perkara serta menunjang pelaksanaan transparansi
dan akuntabilitas serta pelayanan publik pada Mahkamah Agung dan Badan Peradilan
di bawahnya. Namun SEMA ini tidaklah mengatur tentang dokumen elektronik sebagai
alat bukti melainkan dokumen elektronik berupa putusan maupun dakwaan yang
dimasukkan pada compact disc, flash disk/dikirim melalui email sebagai kelengkapan
permohonan kasasi dan peninjauan kembali.
SEMA ini telah mengalami perubahan berdasarkan SEMA 1 Tahun 2014
tentang Perubahan atas SEMA 14 Tahun 2010 tentang Dokumen Elektronik sebagai
kelengkapan Permohonan Kasasi dan Peninjauan Kembali. Perubahan SEMA ini
dilakukan berkaitan dengan sistem pemeriksaan berkas dari sistem bergiliran menjadi
sistem baca bersama yang diarahkan secara elektronik. Dalam butir-butir SEMA
terdapat penambahan detail dokumen-dokumen yang wajib diserahkan para pihak
berperkara secara elektronik tapi sekali lagi kepentingannya bukan dalam kaitannya
sebagai alat bukti elektronik. Perbedaan lainnya dengan SEMA yang lama ialah cara
penyertaan dokumen melalui fitur komunikasi data (menu upaya hukum) pada direktori
putusan Mahkamah Agung karena cara lama melalui compact disk dan pengiriman e-
dokumen memiliki sejumlah kendala diantaranya data tidak terbaca, perangkat
penyimpan data hilang dan lain-lain.
` Pengakuan lainnya terhadap dokumen elektronik semakin tegas dimuat pada
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 3 Tahun 2018 tentang Administrasi
Perkara di Pengadilan Secara Elektronik. Dalam ketentuan Pasal 17 PERMA tersebut

25
diatur bahwa "Pengadilan menerbitkan salinan putusan/penetapan secara elektronik.
Salinan putusan/penetapan Pengadilan yang diterbitkan secara elektronik dikirim
kepada para pihak paling lambat 14 (empat belas) Hari sejak putusan/penetapan kecuali
kepailitan/PKPU", pengiriman dilakukan melalui domisili elektronik. Namun sesuai
dengan ketentuan Pasal 23 ayat (3) Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan
Umum Nomor 271/DJU/SK/PS01/4/2018 diatur bahwa "salinan putusan /penetapan
tidak dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah". Hal ini berarti, Peradilan Umum
khususnya tetap wajib mengeluarkan putusan/penetapan dalam bentuk cetak yang dapat
dipergunakan sebagai alat bukti.
Salinan putusan dalam bentuk dokumen elektronik, kelak dapat ditandatangani
secara elektronik apabila telah tersertifikasi dan terhadap salinan dokumen putusan
yang demikian tidak perlu dicocokkan dengan aslinya sebagaimana alat bukti surat
menurut Pasal 1.888 KUHPerdata. Sesuai dengan maksud Penjelasan Pasal 6 UUITE
maka "Keaslian putusan dalam bentuk dokumen elektronik dengan putusan asli yang
ditandantangani oleh Majelis Hakim tidak perlu dibandingkan karena dalam lingkup
sistem elektronik, informasi yang asli dengan salinannya tidak relevan lagi untuk
dibedakan sebab Sistem Elektronik pada dasarnya beroperasi dengan cara penggandaan
yang mengakibatkan informasi yang asli tidak dapat dibedakan lagi dari salinannya".

26
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Alat bukti dilihat dari pihak yang berperkara diartikan sebagai alat atau upaya
yang bisa digunakan oleh pihak-pihak yang berperkara untuk menyakinkan hakim
diguna pengadilan. Sedangkan jika dilihat dari segi pengadilan alat bukti diartikan
sebagai alat atau upaya yang bisa digunakan oleh hakim untuk memutus perkara.
Kemudian, alat bukti terbagi menjadi tujuh yaitu alat bukti tertulis, saksi,
persangkaan, pengakuan, sumpah, pemeriksaan setempat (discente), dan keterangan
ahli (expertise).
Alat bukti tertulis terbagi menjadi dua yaitu surat yang merupakan akta dan
surat-surat lain yang bukan akta. Surat akta terbagi menjadi dua yaitu akta otentik
dan akta dibawah tangan. Sedangkan alat bukti sumpah pada RBg/HIR mengenal
tiga macam sumpah, yaitu Pasal 182 RBg dan Pasal 155 HIR mengenal sumpah
pelengkap (suppletoir) dan sumpah penaksiran (aestimatoir), sedangkan Pasal 183
RBg dan Pasal 156 HIR mengenal adanya sumpah pemutus. Dengan dilakukannya
pengucapan sumpah, maka yang mengucapkan sumpah itu dimenangkan oleh
hakim. Kemudian masing-masing alat bukti mempunyai syarat formil dan materiil
serta memiliki nilai kekuatannya.
B. Saran
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok
bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya,
karena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada
hubungannya dengan judul makalah ini. Penyusun banyak berharap para pembaca
yang Budiman dapat memberikan kritik dan saran yang membangun kepada
penyusun demi sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah pada kesempatan-
kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penyusun yang
khususnya juga juga untuk para pembaca yang Budiman pada umumnya.

27
DAFTAR PUSTAKA

Al-Muyassar al-Fiqhu asy-Syafi’I dan Wahbah Zuhaili. 2010. Fiqih Imam Syafi’i 3,
terj. Muhammad Afifi & Abdul Hafiz. Jakarta: Almahira.
A Rasyid dan A. Roihan. 1998. Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Bintania, Aris. 2012. Peradilan Agama dalam Kerangka Fiqh al-Qadha. Jakarta:
Rajawali.
Departemen Pendidikan Nasional. 2011. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Hakim, Lukman dan Endang Hadrian. 2020. Hukum Acara Perdata Indonesia:
Permasalahan Eksekusi dan Mediasi. Jakarta: Grup Penerbitan CV Budi
Utama.
Harahap, M. Yahya. 2005. Hukum Acara Perdata: Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika.
J.T. Prasetyo, J.C.T. Simorangkir dan Rudy T. Erwin. 2002. Kamus Hukum. Jakarta:
Sinar Grafika.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), diterjemahkan oleh
Subekti dan R. Tjitrosudibio. Jakarta: Pradnya Paramita, 2008. Pasal 1866.
Manan, Abdul. 2006. Penerapan Hukum Islam Perdata di Lingkungan Peradilan
Agama. Jakarta: Kencana.
Mertokusumo, Sudikno. 1993. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty.
Rambe, Ropaun. Hukum Acara Perdata Lengkap. Jakarta: Sinar Grafika.
Rasaid, M.Nur . 2008. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika.
Reglemen Indonesia yang Dibaharui S. 1941 No. 44 RIB(HIR), diterjemahkan oleh M.
Karjadi. Bogor: Politeia, 1992. Pasal 164.
Samudera, Teguh. 2004. Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata. Bandung: PT.
Alumni.
Sarwono. 2011. Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik. Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
Syahputra, Akmaluddin. 2008. Hukum Acara Perdata: Panduan Praktis Beracara di
Pengadilan. Medan: Wal Ashri Publishing.

28
Wijayanta, Tata. 2009. Laporan Penelitian Penerapan Prinsip Hakim Pasif dan Aktif
Serta Relevansinya Terhadap Konsep Kebenaran Formal. Yogyakarta:
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

29

Anda mungkin juga menyukai