Anda di halaman 1dari 9

KELOMPOK 3 USHUL FIQIH

Rafi.M.Kemal
Akmal Muhammad Firdaus
Ahmad Tirta Wiguna
Tri Eka Saputri
Rismala
IJMA

Pengertian Ijma’
Ijma’ secara bahasa berarti bertekad bulat (ber ‘azam) untuk melaksanakan sesuatu juga berarti
bersepakat atas sesuatu. Ijma’ menurut istilah ahli Ushul Fiqih adalah kesepakatan atas hukum suatu
peristiwa dan bahwa hukum tersebut merupakan hukum syara.
Maka Ijma’ didefinisikan sebagai kesepakatan bulat mujtahid muslim dari suatu periode setelah
wafatnya nabi Muhammad SAW tentang suatu masalah hukum Islam. Menurut defenisi ini, rujukan
kepada Mujtahid menyampingkan kesepakatan orang-orang awam dari lingkup Ijma’. Demikian
halnya, dengan merujuk kepada mujtahid suatu periode, berarti periode dimana ada sejumlah mujtahid
pada waktu terjadinya suatu peristiwa. Oleh karena itu, tidak diperhitungkan sebagai Ijma’ apabila
seorang mujtahid atau sejumlah mujtahid baru muncul setelah terjadinya suatu peristiwa.
Jadi Ijma’ hanya dapat terjadi setelah wafatnya nabi, karena selama masih hidup, nabi sendirilah yang
memegang otoritas tertinggi atas syari’ah. Sehingga kesepakatan atau ketidak kesepakatan orang lain
tidak mempengaruhi otoritasnya.
Dasar Hukum Ijma'

Dasar hukum ijma' ialah aI-Qur'an, al-Hadits dan akal pikiran.


1. Al-Qur’an
Firman Allah dalam Al-Qur’an Surah An-Nisa ayat 59 yang artinya :
“ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu”.
Perkataan ulil amri yang terdapat pada ayat di atas berarti hal, keadaan yang bersifat umum meliputi urusan dunia dan
urusan agama. Ulil amri dalam urusan dunia ialah raja, kepala negara, pemimpin atau penguasa, sedang ulil amri dalam
urusan agama ialah para mujtahid.
Dari ayat di atas dipahami bahwa jika para ulil amri itu telah sepakat tentang sesuatu ketentuan atau hukum dari suatu
peristiwa, maka kesepakatan itu hendaklah dilaksanakan dan dipatuhi oleh kaum muslimin.
2. Hadist
Bila para mujtahid telah melakukan ijma' tentang hukum syara' dari suatu peristiwa atau kejadian, maka ijma' itu
hendaklah diikuti, karena mereka tidak mungkin melakukan kesepakatan untuk melakukan kesalahan apalagi kemaksiatan dan
dusta, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
Artinya: "umatku tidak akan bersepakat untuk melakukan kesalahan." (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)
Syarat-Syarat Ijma'
 Yang bersepakat adalah para mujtahid
 Yang bersepakat adalah seluruh mujtahid
 Ijma' dilakukan setelah wafatnya Rasulullah saw.,
 Kesepakatan mereka harus berhubungan dengan syari'at
Macam-Macam Ijma'
Dilihst dari cara terjadinya, maka ijma' terbagi atas dua macam yaitu :
1. Ijma' Sharih
Yaitu semua mujtahid mengemukakan pendapatnya masing-masing, kemudian menyepakati salah satunya. Hal ini terjadi
bila semua mujtahid berkumpul disuatu tempat, kemudian masing-masing mengeluarkan pendapat terhadap masalah yang
diketahui ketetapan hukumnya. Setelah itu mereka menyepakati salah satu dari berbagai pendapat yang mereka keluarkan.
2. Ijma' Sakuti
Yaitu pendapat ulama tentang suatu masalah yang diketahui oleh para mujtahid lainnya, tetapi mereka diam, tidak
menyepakati ataupun pendapat itu secara jelas. Adapun ijma' sakuti terbagi atas dua macam yaitu sebagai berikut :
Ijma' Qath'i , yaitu bahwa hukumnya dipastikan dan tidak ada jalan untuk memutuskan hukum yang berlainan dengan alasan
kasus ini, dan tidak ada peluang untuk ijtihad dalam suatu kasus setelah terjadinya ijma' yang sharih atas hukum syara'
mengenai kasus ini.
Ijma' Dzanni, yaitu bahwa hukumnya diduga kuat dan ijma' ini tidak mengeluarkan kasus ini dari kandungannya sebagao
objek ijtihad, karena merupakan ungkapan dari sekelompok mujtahid bukan keseluruhannya.
Rukun Ijma’
Ijma bisa dijadikan hujjah jika memenuhi rukun-rukun dibawah ini:
1. Adanya sejumlah mujtahid yang bersepakat dalam menetapkan satu hukum tertentu yang terjadi
pada suatu zaman. Karena ketetapan yang dihasilkan oleh seorang mujtahid saja tidak dapat
dinamakan Ijma’.
2. Ketetapan hukum yang telah menjadi Ijma’ adalah kesepakatan dari seluruh mujtahid. Karena jika
ada kelompok yang menentang Ijma’ tersebut, maka Ijma menjadi tidak sah.Walaupun jumlah orang
yang menentang Ijma’ tersebut lebih sedikit daripada orang yang sepakat.
3. Suatu ketetapan dinamakan Ijma’ kalau disepakati oleh seluruh mujtahid yang ada pada suatu
zaman walaupun berbeda tempat. Akan tetapi ada sebagian ulama yang berbeda pendapat tentang
rukun ketiga ini. Mereka menyatakan bahwa suatu ketetapan ulama bisa menjadi ijma’ jika ketetapan
tersebut mengenai hukum syara’dan di luar hal itu tidak dinamakan Ijma’.
4. Suatu masalah hukum yang ditetapkan kemudian menjadi Ijma’ bermula dari fatwa para mujtahid,
baik fatwa dari golongan ulama tertentu atau dari seorang mujtahid.
Contoh-Contoh Ijma’
Berikut merupakan beberapa contoh ijma’.
1. Diadakannya adzan dua kali dan iqomah untuk sholat jum’at, yang diprakarsai oleh sahabat Utsman bin Affan r.a. pada
masa kekhalifahan beliau. Para sahabat lainnya tidak ada yang memprotes atau menolak ijma’ Beliau tersebut dan diamnya
para sahabat lainnya adalah tanda menerimanya mereka atas prakarsa tersebut. Contoh tersebut merupakan ijma’ sukuti.
2. Saudara-saudara seibu –sebapak, baik laki-laki ataupun perempuan (banu al-a’yan wa al- a’lat) terhalang dari menerima
warisan oleh bapak. Hal ini ditetapkan dengan ijma’.
3. Upaya pembukuan Al-Qur’an yang dilakukan pada masa khalifah Abu Bakar as Shiddiq r.a.
4. Menjadikan as Sunah sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah Al Qur’an. Para mujtahid bahkan seluruh umat
Islam sepakat menetapkan as Sunah sebagai salah satu sumber hukum Islam.
5. Para mujtahid sepakat bahwa nikah adalah suatu ikatan yang dianjurkan syariat.
Beliau bersabda : “Nikahlah kalian dengan perempuan yang memberikan banyak anak dan banyak kasih sayang. Karena aku
akan membanggakan banyaknya jumlah umatku kepada para nabi lainnya di hari kiamat nanti.” (H.R. Ahmad)
6. Contoh ijma’ yang dilakukan pada masa sahabat seperti ijma’ yang dilandaskan pada Al-Qur’an adalah kesepakatan
para ulama’ tentang keharaman menikahi nenek dan cucu perempuan berdasarkan QS. An-Nisa’ ayat 23.
Para ulama sepakat bahwa kata ummahat (para ibu) dalam ayat tersebut mencakup ibu kandung dan nenek, sedangkan
kata banat (anak-anak wanita) dalam ayat tersebut mencakup anak perempuan dan cucu perempuan.
7. Kesepakatan ulama atas keharaman minyak babi yang di-qiyaskan atas keharaman dagingnya.
8. Shalat tarawih adalah shalat dilakukan sesudah sholat isya’ sampai waktu fajar. Bilangan rakaatnya
yang pernah dilakukan oleh Rasulullah adalah 8 rakaat. Umar bin Khattab mengerjakannya sampai 20
rakaat. Amalan Umar bi Khattab ini disepakati oleh ijma’. Ijma’ ini tergolong ijma’ fi’ly dari Khulafa’
Rosyidin.
9. Para ulama Mujtahid sepakat bahwa jual beli dihalalkan, sedangkan riba diharamkan.
10. Para imam madzhab sepakat atas keharaman Ghasab (merampas hak orang lain).
11. Jual beli madhamin (jual beli hewan yang masih dalam perut) menurut jumhur ulama’ tidak
dibolehkan. Alasannya adalah mengandung unsur gharar (yang belum jelas barangnya).
12. Para sahabat di zaman Umar bin Khattab bersepakat menjadikan hukuman dera sebanyak 80 kali bagi
orang yang meminum-minuman keras. Ijma’ tersebut termasuk dzanni.
13. Ijma’ sahabat tentang pemerintahan. Wajib hukumnya mengangkat seorang imam atau khalifah untuk
menggantikan Rasulullah dalam mengurusi urusan Daulah Islamiyah yang menyangkut urusan agama dan
dunia yang disepakati oleh para Sahabat di Saqifah Bani Sa’idah.
14. Hak menerima waris atas kakek bersama-sama dengan anak, apabila seseorang meninggal dunia dan
meninggalkan ahli waris (yakni ) anak dan kakek. Kakek ketika tidak ada bapak
bisa menggantikan posisinya dalam penerimaan warisan, sehingga bisa menerima warisan seperenam
harta sebagaimana yang diperoleh bapak, meski terdapat anak dari orang yang meninggal.
15. Para imam madzhab sepakat bahwa antara kerbau dan sapi adalah sama dalam perhitungan zakatnya.
16. Ulama’ sepakat tentang dibolehkannya daging dhob karena sahabat sepakat bahwa diamnya nabi adalah
membolehkan.
17. Ijma’ tentang pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah karena mengqiyaskan kepada penunjukan Abu Bakar oleh
Nabi menjadi imam shalat ketika Nabi sedang berhalangan.
18. Ulama sepakat tentang kewajiban shalat lima waktu sehari semalam dan semua rukun Islam.
19. Para ulama sepakat bahwa zakat fitrah adalah wajib.
20. Jumhur ulama sepakat bahwa adil itu hanya dapat dinilai secara lahiriah saja, tidak secara batiniah.
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah dikemukakan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ijma’ adalah suatu dalil syara’ yang
memiliki tingkat kekuatan argumentatif di bawah dalil-dalil nas (Al Quran dan hadits). Ia merupakan dalil pertama
setelah Al Quran dan hadits. Yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum-hukum syara’.
Pada masa Rasulullah masih hidup, tidak pernah dikatakan ijma’ dalam menetapkan suatu hukum, karena segala
permasalahan dikembalikan kepada beliau, apabila ada hal-hal yang belum jelas atau belaum diketahui hukumnya.
Dan dari ijma’ itu sendiri terdapat beberapa macam. Diantaranya: ijma’ sharih, ijma’ sukuti. Dari dua versi itu lahirlah
perbedaan-perbedaan dalam pandangan ulama’ mengenai ijma’ itu sendiri.
Banyak sekali contoh-contoh dari ijma’, diantaranya yaitu :
1. Upaya pembukuan Al-Qur’an yang dilakukan pada masa khalifah Abu Bakar as Shiddiq r.a.
2. Para ulama sepakat bahwa zakat fitrah adalah wajib.
3. Ulama sepakat tentang kewajiban shalat lima waktu sehari semalam dan semua rukun Islam, dll.

Anda mungkin juga menyukai