Anda di halaman 1dari 6

A.

Pendahuluan
Sebagaimana telah kita ketahui bersama dalam kajian hukum Islam,
ketentuan hukum fikih memiliki pijakan teologis yang begitu kokoh dikarenakan
berpijakan terhadap dalil-dalil syari’ah yang otoritatif. Kewajiban mentaati hukum
atau tidaknya sangat bergantung terhadap sejauh mana keabsahan dan kejelasan
dalil yang digunakan. Perbincangan tentang dalil-dalil syari’ah merupakan sebuah
kajian yang sangat sentral dalam disiplin ushul fikih, disamping kajian mengenai
bagaimana cara memahami dalil-dalil tersebut.
Imam al-Haramain, Imam Tajuddin al-Subki dan mayoritas ulama ushul
fikih lainnya membagi dalil-dalil syari’ah menjadi dua bagian, yaitu dalil-dalil
yang disepakati dan dalil-dalil yang diperselihkan. Dalil-dalil yang disepakati
terdiri dari al-Qur’an, al-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas, sementara dalil-dalil yang
diperselisihkan meliputi Mashlahah Mursalah, Istihsan, Istishab, ‘Urf, Saddu al-
Dzari’ah, Qaul al-Shahabah, Syar’u Man Qablana, dan lain-lain. Namun, ada juga
ulama yang berpendapat lain mengenai apa saja yang termasuk ke dalam dalil-dalil
yang disepakati, seperti pendapat yang disampaikan oleh Imam al-Ghazaly, beliau
berkata:
“Ketika kita renungkan kembali, pada hakikatnya dasar atau sumber hukum
itu hanya satu, yaitu firman Allah SWT. Karena sabda Rasulullah itu
bukanlah sebuah hukum, melainkan hanya sebuah pemberian kabar
bahwasanya Allah telah berfirman seperti ini dan tentang hal ini saja. Oleh
karena itu, hukum itu hanya milik Allah SWT, semata. Sedangkan hadits
hanya sebagai media untuk menunjukkan adanya firman Allah tersebut,
Ijmak juga demikian, hanya menunjukkan terhadap keberadaan hadits Nabi.
Sementara itu, akal tidak memiliki peran untuk menetapkan suatu hukum,
melainkan akal hanya menunjukkan terhadap tiadanya hukum ketika tidak
adanya dalil al-sama’ (dalil syariat).”
Beliau juga berpendapat bahwasanya memang benar hukum itu hanya milik
Allah semata, namun untuk mengetahui itu semua kita bisa memperolehnya
melalui informasi dari Nabi Muhammad Saw. melalui hadits-haditsnya. Beliau
berpendapat demikian karena memandang bahwa Rasulullah-lah insan satu-
satunya yang dapat mengetahui firman Allah. Sementara jika dipandang bahwa
sumber-sumber hukum yang bisa kita gunakan untuk beristinbath menggunakan
sumber hukum tersebut, maka beliau membaginya menjadi empat macam, yaitu al-
Qur’an, as-Sunnah, Ijmak dan Dalil al-Aqli/Istishab.
B. Dalil-Dalil yang Disepakati
Sebagaimana uraian di atas, ada empat dalil yang disepakati oleh mayoritas
ulama sebagai dasar hukum pensyari’atan, dalil-dalil tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Al-Qur’an
Imam Tajuddin al-Subki mendefinisikan al-Quran dengan lafaz yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. yang dengan ayat-ayatnya dapat
meng-i’jaz manusia(tidak mampu untuk menandinginya) dan dengan
membacanya dihitung sebagai ibadah.
Al-Qur’an merupakan sumber hukum yang pertama dan utama dalam
syari’at Islam. Maksudnya, al-Qur’an menduduki posisi yang pertama dan
urgen dalam proses pengambilan dalil dari suatu kasus yang terjadi dan
merupakan dalil yang harus diprioritaskan dari dalil-dalil lainnya kecuali ketika
di dalam al-Qur’an tidak ditemukan hukum dari kasus tersebut, maka bisa
beralih kepada dalil yang lain yaitu Sunnah, lalu Ijma’ dan seterusnya.
Dalam kajian al-Qur’an, kebanyakan kitab-kitab ushul fikih memiliki
term kajian yang sama di dalamnya, yaitu meliputi; a) Definisi al-Qur’an, b)
Keistimewaan al-Qur’an, c) Ke-hujjah-an al-Qur’an, d) Ke-i’jazan al-Qur’an,
dan lain sebagainya.
2. Al-Sunnah
Secara etimologi al-Sunnah berarti sirah (tingkah laku atau perjalanan
hidup), hasanah aw qabihah (baik atau buruk). Secara terminologi ulama
ushul mendefinisikan al-Sunnah dengan sesuatu yang datang dari Nabi
Muhammad Saw. baik berupa perkataan, perbuatan, ataupun pengakuan
olehnya. Oleh karenanya, berdasarkan definisi tersebut, al-Sunnah terbagi
menjadi 3 macam;
a. Sunnah Qawliyah, adalah hadits Rasulullah Saw. yang Beliau tuturkan
dalam berbagai konteks dan tujuan tertentu, misalnya hadits;
‫ال ضرر وال ضرار‬
“Tidak boleh merugikan kepada diri sendiri, dan tidak boleh membuat
kerugian kepada orang lain”
b. Sunnah Fi’liyah, adalah hadits-hadits yang tercermin dalam tingkah laku
Rasulullah Saw. misalnya, tindakan Beliau pada saat melakukan Shalat
lima waktu, dan lain-lain.
c. Sunnah Taqririyah, yaitu perilaku, ucapan yang timbul dari para sahabat
dan kemudian mendapat pengakuan dari Nabi. Hal ini adakalanya dengan
adanya sikap diam dari Nabi atau mendapat persetujuan langsung dari
Nabi.
3. Ijma’
a. Definisi Ijma’
Ijma’ secara bahasa berarti mengumpulkan atau sepakat, yang mana
kata tersebut berasal dari akar kata ‫ َج َم<< َع‬yang berarti berkumpul atau
mengumpulkan. Sementara menurut fan ilmu ushul fikih sebagaimana yang
disampaikan oleh Imam al-Subky Ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid
setelah wafatnya Nabi tentang masalah atau hukum apa saja. Oleh karena
itu ada beberapa poin yang harus diperhatikan dalam ijma’, yaitu; a)
dilakukan oleh seorang mujtahid, b) adanya suatu kasus yang harus
diselesaikan dan belum ditemukana ketetapan hukumnya, c) kesepakatan
yang diperhitungkan adalah kesepakatan ulama/mujtahid seluruh dunia, d)
kesepakatan didahului dengan penyampaian argumen dari masing-masing
mujtahid, e) kesepakatan benar-benar terjadi tanpa adanya sanggahan dari
mujtahid lain.
b. Macam-Macam Ijma’
Dilihat dari aspek kuantitas mujtahid, ijma’ dibagi menjadi dua, yaitu;
1) Ijma’ Sharih, ijma’ ini muncul setelah seluruh mujtahid menyampaikan
seluruh argumennya secara jelas dan kemudian mereka semua sepakat
atas suatu hukum yang telah ditentukan. Ijma’ jenis ini merupakan
ijma’ hakiky yang wajib untuk diikuti.
2) Ijma’ Sukuty, adalah kesepakatn yang diperoleh dari sebagian mujtahid,
akan tetapi mujtahid yang lain diam tak sependapat, dan mayoritas
ulama tidak sepakat untuk menjadikan ijma’ ini sebagai dalil syar’i.

Dilihat dari aspek kualitas dalalah yang diperoleh dari ijma’ maka
terbagi menjadi dua, yaitu;
1) Ijma’ Qath’iy, yaitu ijma’ yang menghasilkan hukum yang pasti dan
tidak dimungkinkan untuk dita’wil
2) Ijma’ Zhanny, yaitu ijma’ yang menghasilkan keputusan hukum yang
masih zhanny, artinya keputusan tersebut masih debatable.
4. Qiyas
a. Definisi Qiyas
Sebagaimana pendapat yang Imam Haramain sampaikan di dalam
kitabnya al-Burhan menukil dari pendapatnya al-Qadli yaitu;
“mengarahkan sesuatu yang ma’lum terhadap sesuatu ma’lum yang lain
dalam menetapkan atau meniadakan hukum bagi keduanya dikarenakan
adanya perkara menyatukan keduanya baik berupa penetapan hukum atau
sifat, atau meniadakan keduanya”
b. Perbedaan Ulama Mengenai Dalil ke-Empat
Mengenai dalil yang ke-empat ini, Imam Haramain, Imam Tajuddin
al-Subky dan mayoritas ulama sepakat bahwa qiyas menjadi dalil pada
urutan ke-empat dan termasuk ke dalam dalil-dalil yang disepakati ulama.
Imam Haramain berpendapat demikian karena berargumen bahwasanya
qiyas merupakan pijakan ijtihad dan asal dari adanya nalar berfikir, dan
qiyas merupakan salah satu metode yang bisa kita gunakan untuk
mengistinbath hukum syari’at dari adanya ketidak terbatasannya kasus-
kasus baru yang terjadi dan di sisi lain tidak bisa disekesaikan secara
terperinci oleh nash-nash syar’i yang terbatas. Oleh karena itu, beliau
berpendapat bahwa dengan qiyas kita bisa melerai dan menyelesaikan
segala permasalahan-permasalahan yang terjadi lagi tak terbatas tersebut.
Sementara Imam al-Ghazaly memiliki pandangan berbeda
mengenai dalil yang ke-empat, beliau berpendapat bahwa dalil yang ke-
empat adalah dalil al-Aqli atau Istishab. Beliau berpendapat demikian
karena memandang sesungguhnya hukum-hukum syari’at itu memang tidak
bisa ketahui hanya dengan akal semata. Namun, peran akal hanya sebagai
petunjuk terhadap terbebasnya tanggungan dari pembebanan hukum, dan
segala kesusahan bagi manusia sebelum datangnya wahyu yang dibawa
oleh Rasul. Oleh karena itu, ketiadaan hukum sebelum datangnya syari’at
itu bisa diketahui oleh akal, kemudian ketiadaan hukum tersebut di-istishab
sampai datangnya syari’at yang mengubah hukum tersebut. Misalnya,
ketika diutusnya nabi, kita diperintahkan untuk shalat lima waktu, jadi tidak
ada kewajiban bagi kita untuk melakukan shalat yang ke-enam, yang mana
ketidak wajiban tersebut bukan diperoleh dari adanya penegasan dari nabi,
melainkan sedari awal memang tidak ada hal yang mewajibkannya. bisa
dikatakan bahwa ketidak wajiban tersebut diperoleh dari teori "‫"النفي االصلي‬
yang mana itu semua bisa dijangkau oleh akal kita.
Pada dasarnya konsep dalil al-‘aql yang diusung oleh Imam al-
Ghazaly di dalam kitabnya al-Mustashfa itu tercover dalam pembahasan
teori istishab sebagaimana yang terdapat di dalam kitab Jam’u al-Jawami’,
dan hal inilah yang penulis temukan sebagai titik temu antara konsep yang
disampaikan oleh Imam al-Ghazaly dalam kitab al-Mustashfanya dan Imam
Tajuddin al-Subky di dalam kitab jam’u al-Jawami’nya. Konsep Dalil
al-‘Aql ini merupakan salah satu bagian dari teori istishab yang Imam al-
Ghazaly cantumkan dalam kitabnya tersebut. Beliau membagi istishab
menjadi empat, yaitu;
1) Mengistishab ketiadaan hukum dengan berdasarkan dalil al-aql sampai
datangnya syari’at baru yang merubahnya.
2) Mengistishab terhadap keumuman sehingga ada dalil yang men-takhsis,
atau terhadap ketetapan suatu nash sampai adanya dalil yang me-
nasakh
3) Mengistishab hukum yang ditunjukkan oleh suatu dalil karena adanya
suatu sebab yang menyebabkan hukum tersebut langgeng. Seperti
contoh, tetapnya kepemilikan dikarenakan adanya akad jual beli, hak
kepemilikan itu tetap melekat bagi pemilik barang sampai adanya
sesuatu yang menghilangkan hak kepemilikan tersebut.
4) Mengistishab obyek ijma’ yang masih diperselisihkan. Seperti contoh;
orang yang bertayammum pada saat di pertengahan shalatnya melihat
air, maka dia boleh tetap melanjutkan shalatnya karena mengistishab
terhadap adanya ijma’ yang mengesahkan shalatnya sekalipun dia
menemukan air dipertengahan shalatnya.

Beliau mengatakan bahwa dari pembagian di atas, kita boleh


berhujjah menggunakan istishab tersebut kecuali yang ke-empat, karena
tidak ada yang namanya ijma’ senyampang di sana masih ditemukan
perselisihan pendapat, sehingga tidak boleh mengistishab obyek ijma’
tersebut.

Kemudian yang mungkin menjadi pertanyaan tambahan adalah


dimana beliau meletakkan teori qiyas? Jawabannya adalah beliau
meletakkan teori qiyas pada pembahasan ke-tiga dalam kitabnya, yaitu
pembahasan metode istinbath al-ahkam, alasan beliau mencamtumkan
qiyas pada pembahasan tersebut karena qiyas merupakan metode yang
digunakan oleh seorang mujtahid untuk memperoleh sebuah hukum yang
merupakan hasil istinbath dari dalil-dalil syar’i yang sudah beliau sebutkan
sebelumnya.

Kesimpulannya, penulis memahami bahwa Imam al-Ghazaly


memang memiliki pandangan berbeda dengan gurunya yaitu Imam
Haramain. Beliau memiliki pandangan bahwa al-nafyu al-ashliyyu bisa
dijadikan sebagai dalil syariat ketika tidak adanya dalil baik al-Qur’an,
hadits ataupun ijma’, dan konsep tersebut bisa diperoleh atau diketahui
menggunakan akal kita. Walaupun sebenarnya konsep ini pada dasarnya
sudah tercover dalam pembahasan istishab baik dalam kitab al-Burhan
ataupun kitab Jam’u al-Jawami’.

Anda mungkin juga menyukai