NPM : 2002011020
MK : USHUL FUQH 1
1. Pengertian ijma’
Ijma’ menurut bahasa artinya sepakat, setuju atau sependapat. Sedangkan menurut istilah
“Kebulatan pendapat semua ahli ijtihad Umat Nabi Muhammd, sesudah wafatnya pada suatu
masa, tentang suatu perkara (hukum).1
2. Kedudukan ijma’
Jumhur ulama berpendapat bahwa kedudukan ijma menempati salah satu sumber atau dalil
hukum sesudah Al Quran dan Sunnah. (Muhamad Hasbi As Siddiq, 1997). Ini berarti bahwa
ijma dapat menetapkan hukum yang mengikat dan wajib dipatuhi umat Islam bila tidak ada
ketetapan hukumnya dalam Al Quran dan Sunnah.
Untuk menguatkan pendapat ini, Jumhur Ulama mengemukakan beberapa ayat dan hadits
Nabi diantaranya QS. An Nisa (4) ayat 115 : “ Dan barang siapa yang menetang Rasul
sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin,
maka biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia
ke neraka jahannam ”.
3. Fungsi ijma
Meski Al-Qur’an sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tetapi tidak semua hal
dalam kehidupan manusia diatur secara detail oleh Al-Qur’an maupun hadist. Selain itu
perbedaan keadaan saat turunya Al-Qur’an dengan kehidupan modern. Sehingga jika terdapat
masalah baru maka diperlukan aturan-aturan dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, saat itulah
umat Islam memerlukan Ijma’ sebagai sumber hukum yang ketiga setelah Al-Qur’an dan
hadist.
4. Persyaratan ijma
5. Pembagian ijma
1
Drs. Moh. Rifa’i. Usul Fiqih. Bandung 1973. hal. 128
Ijma’ qauli atau ijma’ sharih. Yaitu ijma’ yang dikeluarkan oleh para mujtahid secara lisan
maupun tulisan yang terdapat persetujuan dari mujtahid pada zamannya. Ijma’ ini disebut
juga ijma’ bayani atau ijma’ qothi.
Ijma’ sukuti atau ijma’ ghair sharih. Yaitu ijma’ yang dikeluarkan oleh para mujtahid
dengan cara diam tidak mengeluarkan pendapat. Ijma’ sukuti akan dikatakan sah
apabila memenuhi beberapa syarat di antaranya Diamnya para mujtahid betul-betul
tidak menunjukan adanya kesepakatan atau penolakan.
Keadaan diamnya para mujtahid itu cukup lama, yang bisa dipakai untuk memikirkan
permasalahan.
Permasalahan yang difatwakan oleh para mujtahid tersebut adalah masalah ijtihad
yang bersumber dari dalil-dalil yang bersifat zhanni.
Menurut Imam Syafi’i dan kalangan Malikiyyah ijma’ sukuti tidak dapat dijadikan landasan
pembentukan hukum, dengan alasan diamnya sebagian ulama mujtahid belum tentu
menandakan setuju, bisa jadi takut dengan penguasa atau sungkan menentang pendapat
mujtahid yang punya pendapat karena dianggap senior.
Hanafiyah menyatakan ijma’ sukuti sah jika digunakan sebagai landasan hukum, karena
diamnya mujtahid dipahami sebagai persetujuan, karena jika mereka tidak setuju dan
memandangnya keliru merka harus tegas menentangnya. Jika tidak menentang dengan tegas,
artinya setuju.
Akan tetapi, jika masalah ini dibahas dengan seksama, ditinjau dari segala aspeknya jelaslah
bahwa: masalah menjadikan ijma’ sebagai dasar agama, atau hujjah, bukanlah masalah yang
disepakati. Banyak diantara ulama mujtahidin walaupun mereka membenarkan ta’rif ijma’
yang telah diterangkan, menetapkan bahwa ijma’ yang seperti itu tidak mungkin terjadi.
7. Pengertian qiyas
8. Kehujjahan qiyas
Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan berhujjah dengan qiyas dalam hukum-
hukum syariat atau agama, diantarannya, yaitu: Jumhur ulama ushul, mereka tetapa
menganggap qiyas sebagai dalil istinbath hukum-hukum syara’ (agama). Allah SWT
berfirman dalam Al-qur'an surah Al-hasyr ayat 2, yang Artinya: "Maka ambillah (kejadian
itu) untuk menjadi pelajaran wahai orang-orang yang mempunyai pikiran".
9. Rukun qiyas
Setelah membahas mengenai pengertian Qiyas, berikut ini beberapa rukun Qiyas:
1. Al-Ashlu (Pokok)
Para fuqaha mendefinisikan bahwa al-ashlu merupakan suatu objek qiyas, dimana suatu
permasalahan dikiaskan kepadanya (al-maqis ‘alaihi), dan musyabbah bih (tempat
menyerupakan).
2. Al-Far’u (Cabang)
Al-far’u merupakan sesuatu yang tidak ada ketentuan nash. Fara’ yang berarti cabang, yaitu
suatu peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang bisa dijadikan
sebagai dasar.
3. Al-Hukum
Al- Hukum adalah hukum yang dipergunakan Qiyas untuk dapat memperluas hukum dari
asal ke far’ (cabang). Yaitu hukum dari ashal yang telah ditetapkan berdasarkan nash dan
hukum itu pula yang akan ditetapkan pada fara’ seandainya terdapat persamaan ‘illatnya.
4. Al-‘illah (Sifat)
Illat adalah alasan yang serupa antara asal dan far’ ( cabang), yaitu suatu sifat yang terdapat
pada ashl, dengan adanya sifat itulah maka ashl mempunyai suatu hukum. Dan dengan sifat
itu pula, terdapat cabang yang disamakan dengan hukum ashl.
Contohnya mengggunakan narkotik adalah suatu perbuatan yang perlu ditetapkan hukumnya,
sedangkan tidak ada satu nash pun yang dapat dijadikan sebagai dasar hukumnya. Untuk
menetapkan hokum tersebut maka dapat ditempuh cara qiyas dengan mencari perbuatan lain
yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash, yaitu perbuatan minum khamr atau
minuman keras. Antara minum narkotik dan minum khamr terdapat persamaan ‘illat, yaitu
sama-sama berakibat memabukkan para peminumnya, sehingga bisa merusak akal.
Berdasarkan persamaan ‘illat tersebut, maka ditetapkanlah hukum menggunakan narkotik
yaitu haram, sebagaimana haramnya minum khamr.