Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Syariat Islam sebagai sumber hukum Islam merupakan sebuah kaidah
tatanan kehidupan bagi umat muslim pada khususnya dan umat manusia pada
umumnya yang diberikan oleh Allah SWT. Karena kedudukannya sebagai kaidah
langsung dari Allah tersebut, dalam pelaksanaannya, manusia baik disadari
maupun memerlukan penafsiran akan kaidah-kaidah tersebut. Hal ini tidak lain
karena syariat Islam sebagai “hukum Tuhan” akan sulit dicerna oleh manusia yang
kemampuannya terbatas, sehingga untuk dapat mengaplikasikannya maka
diperlukan penafsiran-penafsiran yang tepat dan sesuai.
Ijtihad merupakan kunci untuk menyelesaikan problem yang dihadapi oleh
umat Islam sekarang dan yang akan datang, hal inilah yang membuat Islam
dinamis, sesuai dengan tempat dan zaman.
Ijtihad muncul disebabkan karena adanya masalah-masalah yang
kontemporer dimana nash-nash atau dalil tidak membicarakannya secara khusus.
Makalah ini bermaksud membahas terhadap salah satu keilmuan Islam
yaitu ijtihad. Yakni tentang pengertian, dasar hukum, macam-macam, syarat-
syarat, dan hukum melakukan ijtihad.

1.2 Rumusan Masalah


Dalam penuluisan makalah ini, penulis merumuskan beberapa masalah
diantaranya sebagai berikut:
1. Apakah pengertian ijtihad?
2. Apa saja dasar hukum untuk melakukan ijtihad?
3. Apa saja macam-macam ijtihad?
4. Apa saja syarat-syarat melakukan ijtihad?
5. Apa hukum melakukan ijtihad?
6. Apakah penjelasan tentang al-Istihsan?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui pengertian ijtihad.
2. Mengetahui dasar hukum melakukan ijtihad.
3. Mengetahui macam-macam ijtihad
4. Mengetahui syarat-syarat melakukan ijtihad.
5. Mengetahui hukum melakukan ijtihad.
6. Mengetahui lebih lanjut tentang al-Istihsan.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Ijtihad

Pengertian “ijtihad” menurut bahasa ialah mengerahkan segala


kesanggupann untuk mengerjakan sesuatu yang sulit. Menurut konsepsi ini kata
ijtihad tidak diterapkan pada “pengerjaan sesuatu yang mudah atau ringan”. Kata
ijtihad berasal dari bahasa Arab ialah daei kata “al-jahdu” yang berarti “daya
upaya atau usaha yang keras”.
Ijtihad berarti “berusaha keras unutk mencapai atau memperoleh sesuatu”.
Dalam kaitan ini pengertian ijtihad : adalah usaha maksimal dalam melahirkan
hukum-hukum syariat dari dasar-dasarnya melalui pemikiran dan penelitian yang
sungguh-sungguh dan mendalam.
Ijtihad menurut definisi ushul fiqih yaitu pengarahan segenap kesanggupan
oleh seorang ahli fiqih unutk memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum
syara’ dan hukum syara’ menunjukan bahwa ijtihad hanya berlaku di bidang fiqih,
bidang hukum yang berkenaan dengan amal, bukan bidang pemikiran ‘amaliy dan
bukan nizhariy.
Pengertian-pengertian di atas jelas memberikan pandangan yang mendasar
bahwa ijtihad adalah usaha sungguh-sungguh dan mendalam yang dilakukan oleh
individu atau sekelompok untuk mencapai atau memperoleh sesuatu hukum
syariat melalui pemikiran yang sungguh-sungguh berdasarkan dalil naqli yakni Al
Quran dan Hadits.1
Orang-orang yang mampu menetapkan hukum suatu peristiwa dengan
jalan ini disebut Mujtahid. Mujtahid adalah orang yang mengerahkan segala daya
dan upayanya untuk hal tersebut.2

2.2 Dasar hukum ijtihad


Dasar hukum ijtihad ialah dalil Al-Qur'an, sunnah, dan ijmak.
1. Dalil dari Alquran yaitu:
 Surah an-Nisa' ayat 83
 Surah asy-Syu'ara' ayat 38
 Surah al-Hasyr ayat 2, dan
 Surah al-Baqarah ayat 59
2. Dasar ijtihad dalam sunnah ialah:

1 Sudarsono, Filsafat Islam, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1996, h.126


2 Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Al-Ushul min ‘Ilmil Ushuli, Alih bahasa Tim Media Hidayah, Ushul Fiqih, Jogjakarta,
Media Hidayah, 2008, h.128

2
 sabda Nabi SAW yang artinya: "Apabila seorang hakim berijtihad dan
benar, maka baginya dua pahala, tetapi bila berijtihad lalu keliru maka
baginya satu pahala" (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini diucapkan
Nabi SAW dalam rangka membenarkan perbuatan Amr bin As yang
salat tanpa terlebih dahulu mandi, padahal ia dalam keadaan junub;
Amr hanya melakukan tayamum.
 Hadis lain ialah hadis yang menjelaskan dialog Nabi SAW dengan
Mu'az bin Jabal ketika hendak diutus ke Yaman. Pada intinya, Nabi
SAW bertanya kepada Mu'az, “Dengan apa ia akan memutuskan
hukum?” Lalu Mu'az menjawab bahwa, “Jika ia tidak menemukan
hukumnya di dalam Al-Qur'an dan sunah Rasulullah SAW, ia akan
memutuskan hukum dengan jalan ijtihad.”
3. Adapun dasar dari ijma' dimaksudkan bahwa umat Islam dalam berbagai
mazhab telah sepakat atas kebolehan berijtihad dan bahkan telah
dipraktekkan sejak zaman Rasulullah SAW. Ijtihad yang dilakukan para
ulama merupakan alternatif yang ditempuh untuk menjawab pertanyaan-
pertanyaan yang timbul dan persoalan-persoalan yang terjadi dalam
masyarakat karena tuntutan situasi dan perkembangan zaman. Ijtihad
hanya dilakukan terhadap masalah yang tidak ditemukan dalil hukumnya
secara pasti di dalam Al-Qur'an dan sunah.

2.3 Macam-macam Ijtihad


1. Ijma
Pengertian Ijma adalah suatu kesepakatan para ulama dalam menetapkan
hukum agama Islam berdasarkan Al-Quran dan hadits dalam sutau
perkara, hasil dari kesepakatan para ulama tersebut berupa fatwa yang
dilaksanalan oleh umat Islam.
2. Qiyas
Pengertian Qiyas adalah suatu penetapan hukum terhadap masalah baru
yang belum pernah ada sebelumnya, namun mempunyai kesamaan
“manfaat, sebab, bahaya” dengan masalah lain sehingga ditetapkan hukum
yang sama.
3. Maslahah Mursalah
Pengertian Maslahah Mursalah adalah suatu cara penetapan hukum
berdasarkan pada pertimbangan manfaat dan kegunaannya.
4. Sududz Dzariah
Pengertian Sududz Dzariah adalah suatu pemutusan hukum atas hal yang
mubah makruh atau haram demi kepentingan umat.
5. Istishab
Pengertian Istishan adalah suatu penetapan suatu hukum atau aturan
hingga ada alasan tepat untuk mengubah ketetapan tersebut.

3
6. Urf
Pengertian Urf adalah penepatan bolehnya suatu adat istiadat dan
kebebasan suatu masyarakat selama tidak bertentangan dengan Al-Quran
dan hadits.
7. Al-Istihsan
a. Pengertian al-Istihsan

Istihsan menurut bahasa ialah menganggap baik sesuatu, sedangkan


menurut istilah Ulama’ Ushul ialah berpindahnya seorang Mujtahid dari tuntutan
Qiyas Jali (Qiyas nyata) kepada Qiyas Khafi (Qiyas samar), atau dari hukum kulli
(umum) kepada hukum pengecualian, karena ada dalil yang menyebabkan dia
mencela akalnya, dan dimenangkan baginya perpindahan ini.3

Istihsan secara bahasa yaitu kata bentukan (musytaq) dari al-hasan yang
artinya adalah apapun yang baik dari sesuatu. Istihsan sendiri kemudian berarti
kecenderungan seseorang pada sesuatu karena menganggapnya lebih baik, dan ini
bersifat lahiriyah (hissiy) ataupun maknawiyah, meskipun hal itu dianggap tidak
baik oleh orang lain.

Menurut istilah dari Al-Hasan Al-Kurkhi Al-Hanafi yaitu salah seorang


ulama’ ushul, memberikan pendapat tentang Istihsan adalah perbuatan adil
terhadap suatu permasalahan hukum dengan memandang hukum yang lain, karena
adanya suatu yang lebih kuat yang membutuhkan keadilan.4

Jadi, dapat disimpulkan bahwa Istihsan yaitu ketika seorang Mujtahid


lebih cenderung dan lebih memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum
yang lain disebabkan satu hal yang dalam pandangannya lebih menguatkan
hukum kedua dari hukum pertama.

b. Kehujjahan Istihsan

Dari definisi istihsan dan penjelasan terhadap kedua macamnya jelaslah


bahwasannya pada hakekatnya istihsan bukan sumber hukum yang berdiri sendiri,
karena sesungguhnya hukum istihsan bentuk yang pertama dari kedua bentuknya
berdalilkan qiyas yang tersembunyi yang mengalahkan terhadap qiyas yang jelas,
karena adanya beberapa faktor yang memenangkannya yang membuat tenang hati
si Mujtahid. Itulah segi Istihsan. Sedangkan bentuk yang kedua dari istihsan ialah
bahwa dalilnya adalah maslahat, yang menuntut pengecualian kasuistis dari
hukum kulli (umum), dan juga yang disebut dengan segi istihsan.

3 Abdul Wahab Khalaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul Fiqih), Jakarta, 1996, hlm. 120
4 DR. Rachmat Syafe’i, M.A., Ilmu Ushul Fiqih, Bandung, 1999, hlm. 111-112

4
Adapun kehujjahan istihsan menurut para ulama’, antara lain:

1. Ulama’ Hanafiyah

Abu Zahrah berpendapat bahwa Abu Hanifah banyak sekali menggunakan


istihsan. Begitu pula dalam keterangan yang ditulis dalam beberapa kitab Ushul
yang menyebutkan bahwa Hanafiyah mengakui adanya istihsan. Bahkan, dalam
beberapa kitab fiqihnya banyak sekali terdapat permasalahan yang menyangkut
istihsan.

2. Ulama’ Malikiyah

Asy-Syatibi berkata bahwa sesungguhnya istihsan itu dianggap dalil yang kuat
dalam hukum sebagaimana pendapat Imam Maliki dan Imam Abu Hanifah.
Begitupula menurut Abu Zahrah, bahwa Imam Malik sering berfatwa dengan
menggunakan istihsan.

3. Ulama’ Hanabilah

Dalam beberapa kitab Ushul disebutkan bahwa golongan Hanabilah mengakui


adanya istihsan, sebagaimana dikatakan oleh Imam Al Amudi dan Ibnu Hazib.
Akan tetapi, Al-Jalal Al-Mahalli dalam kitab Syarh Al-Jam’ Al-Jawami’
mengatakan bahwa istihsan itu diakui oleh Abu Hanifah, namun ulama’ yang lain
mengingkarinya termasuk di dalamnya golongan Hanabilah.

4. Ulama’ Syafi’iyah

Golongan Al Syafi’i secara masyhur tidak mengakui adanya istihsan, dan


mereka betul-betul menjauhi untuk menggunakan dalam istinbat hukum dan tidak
menggunakannya sebagai dalil. Bahkan, Imam Syafi’i berkata “Barang siapa yang
menggunakan istihsan berarti ia telah membuat syari’at.” Beliau juga berkata,
“Segala urusan itu telah diatur oleh Allah SWT., setidaknya ada yang
menyerupainya sehingga dibolehkan menggunakan qiyas. Namun tidak boleh
menggunakan istihsan.”5

c. Pendapat Ulama tentang Istihsan


Ada pertentangan pendapat dari beberapa ulama dalam menanggapi masalah
istihsan sebagai sumber hukum setelah qiyas dalam  menentukan hukum. Dalam

5 DR. Rachmat Syafe’i, M.A., Ilmu Ushul Fiqih, Bandung, 1999, hlm. 112

5
hal ini beberapa ulama yang menolak istihsan sebagai sumber hukum adalah
Ulama Syafiiyah, Zahiriyah, Syiah, Mu’tazilah bahkan Imam Syafi’i melarang
adanya istihsan karena dianggap hanya berdasarkan hawa nafsu dan seenaknya
sendiri, menurut sebuah riwayat, bahwa ia berkata:6
‫من إستحسن فقد شرع‬.
“Barang siapa yang beristihsan, maka ia telah membuat syari’at” .
Telah jelas apa yang dimaksudkan dalam perkataan as-Syafi’i diatas bahwa
orang yang melakukan istihsan tersebut telah membuat hukum syariat dalam
dirinya sendiri. Dalam kitab Risalah Ushuliyah-nya, Asy-Safi’i menetapkan:7

ّ ‫اإلستحسان‬
‫ ولو جاز األخذ باإلستحسان في الدين جاز ذلك ألهل‬.‫تلذذ‬
‫ والجاز أن يشرع في الدين في ك ّل باب وأن‬,‫العقول من خير أهل العلم‬
‫يخرج ك ّل أحد لنفسه شرعا‬.
“istihsan adalah mencari enak, kalau sekiranya berdasarkan istihsan dalam
agama itu boleh, niscaya hal itu boleh juga bagi kaum rasional yang tidak ahli
ilmu agama, dan niscaya boleh pula mensyariatkan agama pada setiap bab, serta
boleh pula setiap orang mengeluarkan hukum syara’ untuk dirinya sendiri”.
Beberapa argumentasi detail dari imam Syafii berkaitan penolakannya akan
eksistensi Istihsan:8
1. Ayat 44 Surat an-Nahl:
‫بالبينا ت والزبر وأنزلنا إليك الذكر لتبيّن للناس ما ن ّزل إليهم ولعلهم‬
}٤٤٥ :١٦/‫يتفكرون { النحل‬
“Keterangan-keterangan mu’jizat dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan
kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang
diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”. (Q.S. an-Nahl/16:
44)
2. Ayat 49 surat al-Maidah:9
‫وأن احكم بينهم بما أنزل هللا وال تّتبع أهواءهم واحدرهم أن يفتنوك عن‬
‫بعض ما أنزل هللا إليك فإن تولّوا فاعلم أنّما يريد هللا أن يصيبهم ببعض‬
}٤٩:٥/‫وإن كثيرا من الناس لفاسقون {المائده‬ ّ ‫ذنوبهم‬
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa
yang diturunkan Allah, dan jangan-lah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan
berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu
dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling
6 Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, hlm. 114.
7 Ibid.
8 Satria Efendi, Ushul Fiqh, hlm.147
9 Alqur’an dan terjemahnya. Hlm 116.

6
(dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa
sesunggguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka
disebabkan dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah
orang-orang yang fasik”.(QS. Al-Maidah/5:49)
3. Syariat itu ditetapkan dengan nash dan qiyas. Istihsan bukan nash pun bukan
qiyas. Jika begitu menggunakan istihsan berarti mengakui adanya mengakui
hukum-hukum yang belum ditetapkan oleh nash dan qiyas, ini bertentangan
dengan surat al-Qiyamah ayat 36 yang artinya: “Apakah manusia mengira,
bahwa ia dibiarkan saja (tanpa pertanggung jawaban).
4. Banyak ayat Al-Qur’an yang menyuruh mentaati Allah dan Rasul-Nya, dan jika
terjadi perselisihan hendaklah dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Sedangkan istihsan bukan kitab dan sunah dan juga tidak menunjukkan kepada
Al-Qur’an dan sunnah.
5. Nabi SAW tidak pernah berfatwa berdasarkan istihsan. Ketika ditanya berbagai
kasus beliau tidak memberikan jawaban berdasarkan istihsan melainkan
menunggu wahyu.
6. Nabi menolak fatwa sebagian sahabat berdasarkan istihsan ketika berada jauh dari
Nabi. Jika diperbolehkan tentu beliau tidak menolaknya.

Diantara argumen yang menolak istihsan selain penolakan dari Syafi’i diatas
yaitu:10
1. Yang dituntut dari kaum muslimin untuk diikuti adalah hukum yang ditetapkan
oleh Allah atau yang ditetapkan oleh rasul atau hukum yang diqiyaskan kepada
hukum Allah dan Rasulnya itu. Sedangkan hukum yang ditetapkan berdasarkan
apa yang dianggap baik oleh mujtahid adalah hukum buatan manusia dan bukan
hukum syar’i. Hukum semacam ini didasarkan atas kehendak dan selera hawa
nafsu. Umat islam tidak disuruh mengikuti hukum dari hawa nafsu tersebut.
2. Allah SWT telah menetapkan hukum untuk suatu kejadian. Sebagian dari hukum
itu ditetapkan dengan nash kitab dan debagian lagi dengan nash nabi. Adapula
isyarat dari nash untuk mengikuti hukum yang ditetapkan oleh ulil amri dalam
hal yang tidak terdapat dalam nash. Yang dimaksudkan adalah ijma’, yaitu
ketetapan hal yang disepakati. Sedangkan dalam hal yang diperdebatkan, disuruh
untuk menghubungkannya kepada nash yang ada, yaitu melalui qiyas. Tidak
boleh beralih dari hukum yang dituntut oleh nash atau qiyas kepada pendapat
berdasarkan istihsan, karena yang demikian mendahulukan hukum yang
ditetapkan oleh akal ketimbang hukum yang ditetapkan oleh syara’.
Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa ada tiga kelompok yang
memakai istihsan dan dari ketiganya yang paling banyak adalah ulama Hanafiyah.
bahkan ada ulama Hanafiyah yang beranggapan bahwa menggunakan istihsan
lebih baik daripada qiyas. Karena memiliki beberapa dalil dan pendapatnya:

10 Kutbuddin Aibak, Metodologi Pembaruan Hukum Islam, hlm. 166-167.

7
1. Firman Allah:11
‫الّذين يستمعون القول فيتّبعون أحسنه ألئك الّذين هداهم هللا وألئك هم‬
}٣٩:١٨/‫ألواآللباب{الزمر‬
“yaitu maereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang
paling baik diantaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah
petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal”.

2. Sabda Rasulullah:12
‫ما رأه المسلمون حسنا فهو عند هللا حسن {رواه أحمد فى كتاب السنة ال‬
}‫فى المسند‬
“Apa yang dianggap baik oleh orang-orang islam adalah baik juga disisi
Allah”. (HR. Ahmad dalam kitab sunah, bukan dalam musnadnya)
3. Ijma’ yang dikemukakan pengguna istihsan adalah apa yang disebutkan tentang
istihsan yang dilakukan oleh ulama dalam hal menggunakan pemandian umum
dan minum air dari penjual minuman, tanpa menentukan lamanya waktu berada
di pemandian dan kadar air yang digunakan.13
4. Argumen rasionalnya adalah bahwa dalam menetapkan qiyas dan memberlakukan
ketentuan umum adalah bertujuan untuk mendatangkan maslahah. Bila dalam
keadaan tertentu qiyas yang ditetapkan dan ketentuan umum yang diberlakukan
umum itu justru berkibat pada hilangnya kemaslahatan.14
Dari beberapa pendapat diatas menunjukkan bahwa mereka memiliki dalil
yang kuat masing-masing dihimpun dari Al-Qur’an dan Sunnah namun Ulama
Syafi’iyah juga tidak selamanya menolak istihsan. Menurut Wahbah az-Zuhaili,
adanya perbedaan pendapat tersebut disebabkan dalam mengartikan istihsan.
Imam Syafi’i membantah istihsan yang didasarkan atas hawa nafsu tanpa
berdasarkan dalil syara’ sedangkan istihsan yang dianut oleh para penganutnya
buka didasarkan atas hawa nafsu, tetapi men-tarjih (menganggap kuat) salah satu
dari dua dalil yang bertentangan karena dipandang lebih dapat menjangkau
pembentukan hukumnya.

2.4 Syarat-syarat Ijtihad

Para ulama ushul fiqih telah menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi
seorang mujtahid sebelum melakukan ijtihad. Dalam hal ini Sya’ban Muhammad
Ismail mengetengahkan syarat-syarat tersebut sebagai berikut :
1. Mengetahui Bahasa Arab
11 Alquran dan terjemhnya, hlm. 460.
12 Satria Efendi, Ushul Fiqh, hlm.146
13 Kutbuddin Aibak, Metodologi Pembaruan Hukum Islam, hlm. 171.
14 Ibid, hlm. 172.

8
Mengetahui bahasa arab dengan baik sangat diperlukan bagi seorang
mujtahid. Sebab Al Quran diturunkan dengan bahasa arab, dan Al Sunnah juga
dipaparkan dalam bahasa arab. Keduanya merupakan sumber utama hukum islam,
sehingga tidak mungkin seseorang bisa mengistinbatkan hukum islam tanpa
memahami bahasa arab dengan baik.
2. Mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang Al Quran
Mengetahui Al Quran dengan segala ilmu yang terkait dengannya, ini
sangat diperlukan bagi seorang mujtahid. Sebab Al Quran merupakan sumber
utama hukum syara’, sehingga mustahil bagi seseorang yang ingin menggali
hukum-hukum syara’ tanpa memeiliki pengetahuan yang memadai tentang Al
Quran.
3. Memiliki pengetahuan yang memadai tentang Al Sunnah
Pengetahuan tentang Al Sunnah dan hal-hal yang terkait dengannya harus
dimiliki oleh seorang mujtahid. Sebab Al Sunnah merupakan sumber utama
hukum syara’ disamping Al Quran yang sekaligus berfungsi sebagai penjelasnya.
Pengetahuan yan terkait dengan Al Sunnah ini yang terpenting antara lain
mengenai dirayah dan riwayah, asbabul wurud dan al-jarh wa ta’dil.
4. Mengetahui letak ijma’ dan khilaf
Penegetahuan tentang hal-hal yang telah disepakati (ijma’) dan hal-hal
yang masih diperselisihkan (khilaf) mutlak diperlukan bagi seorang mujtahid. Hal
ini dimaksudkan agar seorang mujtahid tidak menetapkan hukum yang
bertentangan dengan ijma’ para ulama sebelumnya, baik sahabat, thabi’in,
maupun generasi setelah itu. Oleh karena itu sebelum membahas suatu
permasalahan, seorang mujtahid harus melihat dulu status persoalan yang akan
dibahas, apakah persoalan itu sudah pernah muncul pada zaman terdahulu atau
belum, jika persoalan itu belum pernah muncul sebelumnya, maka dapat
dipastikan bahwa belum ada ijma’ terhadap masalah tersebut.
5. Mengetahui Maqashid al-Syariah
Pengetahuan tentang maqashid al-syariah sangat diperlukan bagi seorang
mujtahid, hal ini disebabkan bahwa semua keputusan hukum harus selaras dengan
tujuan syariat islam yang secara garis besar adalah untuk memberi rahmat kepada
alam semesta, khususnya kemaslahatan manusia.
6. Memiliki pemahaman dan penalaran yang benar
Pemahaman dan penalaran yang benar merupakan modal dasar yang harus
dimilki oleh seorang mujtahid agar produk-produk ijtihadnya bisa
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
7. Memiliki pengetahuan tentang Ushul Fiqih
Penguasaan secara mendalam tentang ushul fiqih merupakan kewajiban
bagi setiap mujtahid. Hal ini disebabkan bahwa kajian ushul fiqih antara lain
memuat bahasan mengenai metode ijtihad yang harus dikuasai oleh siapa saja
yang ingin beristinbat hukum.
8. Niat dan I’tikad yang benar

9
Seorang mujtahid harus berniat yang ikhlas semata-mata mencari ridho
Allah. Hal ini sangat diperlukan, sebab jika mujtahid mempunyai niat yang tidak
ikhlas sekalipun daya pikirnya tinggi, maka peluang untuk membelokan jalan
pikirannya sangat besar, sehingga berakibat pada kesalahan produk ijtihadnya.15

2.5 Hukum melakukan ijtihad

Apabila seseorang telah mencapai tingkatan mujtahid ia wajib berijtihad


sendiri atas masalah yang d hadapinya. Ia dilarang bertaqlid kepada orang lain bila
ia telah mencapai hukum peristiwa yang dicarinya itu berdasar zhannya.
Oleh karena sempitnya waktu, seorang mujtahid yang belum memperoleh
apa yang di ijtihadkan dianggap sah bertaqlid kepada mujtahid lain yang lebih
terpercaya, baik mujtahid yang telah tiada maupun yang masih ada.
Bagi seorang mujtahid wajib berijtihad untuk orang lain bila tidak ada
orang yang sanggup menetapkan hukum peristiwa yang berada pada orang lain itu
dan dikhawatirkan kehabisan waktu untuk mengamalkannya. Akan tetapi, kalau
masih ada mujtahid lain atau tidak ada kekhawatiran akan habisnya waktu
mengamalkan peristiwa yang hendak dicari hukumnya, maka baginya berijtihad
itu adalah wajib kifa’i.
Seorang mujtahid hendaklah mengamalkan hasil ijtihadnya, baik di dalam
memutuskan perkara maupun di dalam memberikan fatwa. Adapun bagi mujtahid
lain tidak wajib mengikutinya. Karena pendapat seseorang sepeninggal Rasulallah
SAW, bukan merupakan hujjah yang harus diikuti oleh seluruh kaum muslimin.
Hanya saja bagi orang awam yang tidak mempunyai kesanggupan untuk
berijtihad, hendaknya mengikutinya.
Sebagai imbalan jerih payah seorang mujtahid dalam berijtihad, sekalipun
ijtihadnya tidak tepat, ia akan diberi Tuhan satu pahala, akan tetapi, kalau
ijtihadnya tepat dan benar ia akan dapat pahala ganda. Satu pahala sebagai
imbalan jerih payahnya dan satu pahala yang lain sebagai imbalan ketepatan hasil
ijtihadnya. Sabda Rasulallah SAW :
‫ان َواِ َذا َح َك َم فَاجْ تَهَ َد ثُ َّم َأ ْخطَا َء‬
ِ ‫اب فَلَهُ اَجْ َر‬
َ ‫ص‬َ ‫الحا ِك ُم فَاجْ تَ ِه ُد ثُ َّم َأ‬
َ ‫اِ َذا َح َك َم‬
)‫فَلَهُ َأجْ ٌر (رواه البخاري و مسلم‬
“apabila seorang hakim memutuskan masalah dengan jalan ijtihad kemudian
benar,maka ia mendapat dua pahala. Dan apabila dia memutuskan dengan jalan
ijtihad kemudian keliru, maka dia mendapat satu pahala”.16

15 Kasuwi Saiban, Metode Ijtihad Ibnu Rusyd, Malang:Kutub Minar, 2005 h.56
16 Muktar Yahay dan Faturrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh IslamBandung: PT Al-Ma’arif, 1983, h.385

10
BAB III
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa:


 Ijtihad adalah usaha sungguh-sungguh dan mendalam yang dilakukan oleh
individu atau sekelompok untuk mencapai atau memperoleh sesuatu hukum

11
syariat melalui pemikiran yang sungguh-sungguh berdasarkan dalil naqli
yakni Al Quran dan Hadits.
 Mujtahid adalah orang yang melakukan ijtihad.
 Dasar hukum ijtihad ialah dalil Al-Qur'an, sunnah, dan ijmak.
 Macam-macam Ijtihad yaitu: Ijma, Qiyas, Maslahah Mursalah, Sududz
Dzariah, Istishab, Urf, dan Al-Istihsan
 Istihsan yaitu ketika seorang Mujtahid lebih cenderung dan lebih memilih hukum
tertentu dan meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal yang dalam
pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari hukum pertama.
 Syarat-syarat ijtihad sebagai berikut : Mengetahui Bahasa Arab, Mempunyai
pengetahuan yang mendalam tentang Al Quran, Memiliki pengetahuan yang
memadai tentang Al Sunnah, Mengetahui letak ijma’ dan khilaf, Mengetahui
Maqashid al-Syariah, Memiliki pemahaman dan penalaran yang benar,
Memiliki pengetahuan tentang Ushul Fiqih, dan mempunyai Niat dan I’tikad
yang benar.

DAFTAR PUSAKA

Sudarsono.1996. Filsafat Islam. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Shalih al-Utsaimin, Muhammad. 2008. Ushul Fiqih. Jogjakarta: Media


Hidayah.

12
Wahhab Khallaf, Abdul.1994. Ilmu Ushul Fiqh. Semarang: Dina Utama
Semarang (Toha Putra Group).

Syafe’i, Rachmat. 1999. Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia.

Efendi, Satria. 2009. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Aibak, Kutbuddin. 2008. Metodologi Pembaruan Hukum Islam.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Yahya, Muktar dkk. 1983. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam.


Bandung: PT Al-Ma’arif.

Saiban, Kasuwi. 2005. Metode Ijtihad Ibnu Rusyd, Malang:Kutub Minar.

http://pelajaranfiqih.blogspot.com/2009/03/dasar-hukum-ijtihad.html

https://www.dosenpendidikan.co.id/pengertian-ijtihad-fungsi-tujuan-
syarat-macam-dan-contoh/

13

Anda mungkin juga menyukai