KELOMPOK 4 :
NAMA NPM
Sabrina mayla 20.11.1001.1011.120
Nadia Dewi Komala Sari 20.11.1001.1011.128
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………………………………………………ii
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………………………………………………..1
Latar Belakang………………………………………………………………………………………………………………1
Rumusan Masalah………………………………………………………………………………………………………….1
Tujuan Penulisan……………………………………………………………………………………………………………1
BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………………………………………………………….
2.5 Syarat-Syarat Mujtahid……………………………………………………………………………………….
2.6 Tingkatan Mujtahid
2.1 Pengertian Ijtihad
Ijtihad adalah upaya sekuat tenaga yang dilakukan oleh ulama yang kompeten dan
kapabel dengan menggunakan nalarnya untuk menemukan hukum atas problema baru
tanpa meninggalkan nilai-nilai yang terdapat dalam sumber utama hukum Islam. Ijtihad
dengan berbagai metodenya baik istishlah, istishab, maslahah mursalah, sadz dzari'ah,
istihsan dan lainnya merupakan sebuah instrumen penemuan hukum dalam tatanan
Hukum Islam yang membuktikan kemampuan dan elastisitas Hukum Islam dalam
mengantisipasi perubahan dan kemajuan sosial sehingga dengan adanya instrumen ijtihad
ini, hukum Islam diharapkan dapat lebih memberikan kontribusinya dalam
pengembangan Hukum Nasional di Indonesia. Oleh karena itu, dalam ruang pembaruan
hukum Islam, Ijtihad perlu dilaksanakan secara terus-menerus guna mengantisipasi dan
mengisi kekosongan hukum terutama pada zaman modern seperti sekarang dimana
perubahan dan kemajuan terjadi dengan sangat pesat.
sungguh, rajin, giat. Lafad ini menunjukan pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa,
sulit dilaksanakan, atau yang tidak disenangi, sebagaimana terdapat dalam Al-Quran surat
An-nahl ayat 38:mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sumpahnya yang
sungguh-sungguh: "Allah tidak akan akan membangkitkan orang yang mati". (tidak
demikian), bahkan (pasti Allah akan membangkitnya), sebagai suatu janji yang benar dari
Quran dan hadist apabila dalam al quran dan hadist tidak ditemukan secara jelas dan rinci
mengenai hukum yang dimaksud. Ijtihad adalah hasil pemikiran para ulama ahli fikih.
Menurut Ahmad bin Ahmad bi Ali al muqri al fayumi ijtihad secara bahasa adalah
Para ulama berbeda pendapat dalam mengartikan ijtihad secara istilah. Menurut Abu
Zahrah secara istilah ijtihad berarti upaya seseorang ahli fiqih dengan kemampuannya
dalam mewujudkan hukum-hukum amaliyah yang diambil dari dalil-dalil yang rinci.
2.2 Dasar-Dasar Ijtihad
Dasar Penggunaan Ijtihad
Dasar hukum dibolehkanya ijtihad adalah al-Qur'an, Sunnah, dan logika. Ayat al-Quran
yang dijadikan dasar bolehnya ijtihad adalah surat an-Nisa' (5): 59. Ayat ini berisi
perintah untuk taat kepada Allah (dengan menjadikan al-Quran sebagai sumber hukum),
taat kepada Rasul-Nya (dengan menjadikan Sunnahnya sebagai pedoman), dan taat
kepada ulil amri, serta perintah untuk mengembalikan persoalan yang diperselisihkan
kepada al-Quran dan Sunnah terkandung maka adanya perintah melakukan ijtihad.
Dasar Sunnah atau hadis yang dijadikan rujukan oleh para ulama tentang bolehnya
melakukan ijtihad adalah hadis Muadz seperti telah disebutkan di atas. Hadis ini
menceritakan perihal diutusnya Muadz menjadi qadi (hakim) di Yaman.
Dasar logika dibolehkannya ijtihad adalah karena keterbatasan nash al-Quran dan Sunnah
jika dibandingkan dengan banyaknya peristiwa yang dihadapi oleh umat manusia. Begitu
juga, banyaknya lafazh atau dalil yang menjelaskannya, meskipun tidak jarang hasil
ijtihad para ulama berbeda-beda dari lafazh atau dalil yang sama.
Menurut ulama usul, dalam masalah ijtihad, harus adanya beberapa unsur yang ada
didalamnya, yaitu: (1) Mujtahid, yaitu orang yang melakukan ijtihad; (2) Masalah yang
akan di-ijtihadi yang benar-benar membutuhkan pencarian status hukumnya; (3)
Metode istinbath (pengambilan kesimpulan pendapat); (4) Natijah, yaitu hasil atau
kesimpulan hukum yang telah diijtihadi. Sementara, Nadia Syarif al-'Umari berpendapat
bahwa rukun ijtihad adalah sebagai berikut: (1) Al-waqi’ (adanya kasus); (2) Mujtahid
(seorang yang mempunyai kompetensi); (3) Mujtahid fih (hukum syariah yang bersifat
amali-taklifi); (4) Dalil syara’ (dalil yang digunakan menentukan suatu hukum bagi
mujtahid).
1. Wajib a’in, jika seorang muslim yang memenuhi kriteri mujtahid yang di mintai fatwa
hukum atas suatu peristiwa yang terjadi dan ia khawatir peristiwa itu akan hilang tanpa
kepastian hukum, atau ia sendiri mengalami peristiwa yang tidak jelas hukumnya dalam
Nas.
2. Wajib kifayah, jika seorang muslim yang memenuhi kriteri mujtahid yang di mintai
fatwa hukum atas suatu peristiwa yang terjadi dan ia khawatir peristiwa itu akan lenyap
3. Sunat, jika dilakukan dalam persoalan yang tidak atau belum terjadi.
4. Haram, jika dilakukan atas peristiwa yang telah jelas hukumnya baik dalam al quran,
1. Al waqi’, yaitu adanya kasus yang terjadi atau diduga akan terjadi yang tidak
2.5 Syarat-Syarat Mujtahid
1. Mengetahui Al Quran dan Sunnah yang bertalian dengan masalah masalah hukum.
2. Mengetahui Ijma
5. Mengetahui nasikh-mansukh
Menurut fakkhr al Din muhamad bin umar bin Husain al razai’ syarat seorang mujtahid
sbb:
1. Mukallaf
2.6 Tingkatan Mujtahid
Menurut Muhaimin dkk, sesuai syarat-syarat yang harus dimiliki seorang mujtahid,
a) Mujtahid muthlaq, yaitu mujtahid yang mampu menggali hukum-hukum agama dari
sumbernya dan mampu menerapkan dasar dasar pokok sebagai landasan ijtihadnya.
a) Muthlaq muntaqil, yaitu mujtahid yang dalam ijtihadnya menggunakan metode dan
dasar-dasar yang Ia susun sendiri. Contoh Abu hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I, dan
Imam Hambali.
b) Muthlaq muntasib, yaitu mujtahid yang telah mencapai derajat muthlaq muntaqil tetapi
yang tidak dan atau belum dikeluarkan oleh madzhabnya dengan cara menggunakan
metode yang telah disusun oleh madzhabnya itu. Kelompok mujtahid ini terbagi 2, yaitu:
a) Mujtahid takhrij
Dari Amr bin Ash bahwa ia mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Ketika seorang
hakim hendak memutuskan hukum, lalu berijtihad, kemudian benar, ia mendapatkan
dua pahala. Jika ia hendak memutuskan hukum, lalu berijtihad kemudian ternyata
salah, ia dapat satu pahala.” (HR. Muslim)
Ibnu Hamzah Al-Dimasyqi menyebutkan bahwa hadis tersebut muncul ketika ada dua
orang yang sedang berseteru. Lalu Rasulullah saw. memerintahkan Amr bin Ash
untuk menjadi hakim. Amr bin Ash menolak karena masih ada Rasulullah saw. yang
menurutnya pasti benar keputusannya. Ia menilai keputusannya mungkin salah. Dan
jika salah tentu tidak artinya. Rasulullah saw. menegaskan bahwa usaha seorang
hakim mencari keputusan yang tepat tidak akan sia-sia. Ketika ia telah berusaha keras
mencari keputusan yang benar, ia akan mendapatkan pahala. Terlepas dari salah atau
benar keputusan yang dibuatnya (Al-Bayan Wa Al-Ta’rif Fi Asbab Wurud Al-Hadits
Al-Syarif, jilid 1, hlm. 63)
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasakan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa Ijtihad adalah sebuah usaha
yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dengan berbagai metode yang
diterapkan beserta syarat-syarat yang telah ditentukan untuk menggali dan
mengetahui hukum Islam. Tujuan ijtihad dilakukan adalah upaya pemenuhan
kebutuhan akan hukum karena permasalahan manusia semakin hari semakin
kompleks di mana membutuhkan hukum Islam sebagai solusi terhadap
problematika tersebut. Ijtihad merupakan sumber hukum ketiga setelah Al-Qur’an
dan Al-hadits yang mendapatkan legitimasi dari keduanya. Sebenarnya ijtihad
bukanlah suatu yang baru, melainkan sudah ada pada masa Rasulullah. Hal ini
sudah dilakukan oleh Nabi, sahabat, tabi’in dan para ulama klasik, namun tidak
sembarangan orang diperbolehkan untuk melakukan ijtihad, akan tetapi harus
memenuhi criteria tertentu.
Melakukan ijtihad bagi seorang mujtahid dapat mencapai hukum wajib ain, fardhu
kifayah, dan sunnat. Adapun untuk menjadi mujtahid disyaratkan memiliki
pengetahuan dan pemahaman tentang Al-Quran dan As-Sunnah dari berbagai
aspeknya, memahami masalah yang sudah disepakati ulama, memahami bahasa
Arab, dan mengetahui ushul fiqh.
3.2 Saran