Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

“IJTIHAD ; SUMBER PENGEMBANGAN HUKUM ISLAM”

KELOMPOK 4 :

NAMA NPM
Sabrina mayla 20.11.1001.1011.120
Nadia Dewi Komala Sari 20.11.1001.1011.128
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI………………………………………………………………………………………………………………………ii

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………………………………………………..1

Latar Belakang………………………………………………………………………………………………………………1

Rumusan Masalah………………………………………………………………………………………………………….1

Tujuan Penulisan……………………………………………………………………………………………………………1

BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………………………………………………………….

2.1 Pengertian Ijitihad

2.2 Dasar-dasar Ijitihad

2.3 Hukum Ijtihad……………………………………………………………………………………………………….

2.4  Rukun Ijtihad……………………………………………………………………………………………………..

2.5   Syarat-Syarat Mujtahid……………………………………………………………………………………….

2.6   Tingkatan Mujtahid

2.7 Syarat mujtahid…………………………………………………………………………………………………


2.8 Hadis tentang pahala ijtihad……………………………………………………………………………
BAB III KESIMPULAN……………………………………………………………………
3.1 Kesimpulan………………………………………………………………………….
3.2 Saran…………………………………………………………………………………
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ijtihad merupakan upaya untuk menggali suatu hukum yang sudah ada pada zaman
Rasulullah SAW. Hingga dalam perkembangannya, ijtihad dilakukan oleh para sahabat,
tabi’in serta masa-masa selanjutnya hingga sekarang ini. Meskipun pada periode tertentu
apa yang kita kenal dengan masa taqlid, ijtihad tidak diperbolehkan, tetapi pada masa
periode tertentu pula (kebangkitan atau pembaharuan), ijtihad mulai dibuka kembali.
Karena tidak bisa dipungkiri, ijtihad adalah suatu keharusan, untuk menanggapi tantangan
kehidupan yang semakin kompleks problematikanya.
Sekarang, banyak ditemui perbedaan-perbedaan madzab dalam hukum Islam yang itu
disebabkan dari ijtihad. Misalnya bisa dipetakan Islam kontemporer seperti Islam liberal,
fundamental, ekstrimis, moderat, dan lain sebagainya. Semuanya itu tidak lepas dari hasil
ijtihad dan sudah tentu masing-masing mujtahid berupaya untuk menemukan hukum yang
terbaik. Justru dengan ijtihad, Islam menjadi luwes, dinamis, fleksibel, cocok dalam
segala lapis waktu, tempat dan kondisi. Dengan ijtihad pula, syariat Islam menjadi “tidak
bisu” dalam menghadapi problematika kehidupan yang semakin kompleks.
Sesungguhnya ijtihad adalah suatu cara untuk mengetahui hukum sesuatu melalui dalil-
dalil agama yaitu Al-Qur'an dan Al-hadits dengan jalan istimbat. Adapun mujtahid itu
ialah ahli fiqih yang menghabiskan atau mengerahkan seluruh kesanggupannya untuk
memperoleh persangkaan kuat terhadap sesuatu hukum agama. Oleh karena itu kita harus
berterima kasih kepada para mujtahid yng telah mengorbankan waktu,tenaga, dan pikiran
untuk menggali hukum tentang masalah-masalah yang dihadapi oleh umat Islam baik
yang sudah lama terjadi di zaman Rasullullah maupun yang baru terjadi.

1.2 Rumusan Masalah


Dalam penulisan makalah ini, penulis merumuskan beberapa masalah diantaranya sebagai
berikut:
1. Apakah yang dimaksud dengan Ijtihad?
2. Apa saja yang menjadi dasar hukum Ijtihad?
3. Apakah fungsi dari Ijtihad?
4. Apa saja rukun Ijtihad!
5. Syarat-syarat Mujtahid dan tingkatannya!
6. Hadist Ijtihad
1.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini, yaitu:

1. Untuk mengetahui pengertian Ijtihad

2. Untuk mengetahui dasar dan fungsi Ijtihad

3. Untuk mengetahui syarat dan hukum melakukan Ijtihad

4. Untuk mengetahui macam, objek dan tingkatan mujtahid

5. Menambah wawasan penulis dan pembaca mengenai Ijtihad


BAB II
PEMBAHASAN

2.1   Pengertian Ijtihad
   Ijtihad adalah upaya sekuat tenaga yang dilakukan oleh ulama yang kompeten dan
kapabel dengan menggunakan nalarnya untuk menemukan hukum atas problema baru
tanpa meninggalkan nilai-nilai yang terdapat dalam sumber utama hukum Islam. Ijtihad
dengan berbagai metodenya baik istishlah, istishab, maslahah mursalah, sadz dzari'ah,
istihsan dan lainnya merupakan sebuah instrumen penemuan hukum dalam tatanan
Hukum Islam yang membuktikan kemampuan dan elastisitas Hukum Islam dalam
mengantisipasi perubahan dan kemajuan sosial sehingga dengan adanya instrumen ijtihad
ini, hukum Islam diharapkan dapat lebih memberikan kontribusinya dalam
pengembangan Hukum Nasional di Indonesia. Oleh karena itu, dalam ruang pembaruan
hukum Islam, Ijtihad perlu dilaksanakan secara terus-menerus guna mengantisipasi dan
mengisi kekosongan hukum terutama pada zaman modern seperti sekarang dimana
perubahan dan kemajuan terjadi dengan sangat pesat.
  

 Secara bahasa ijtihad berasal dari kata ijtahada-yajtahidu-ijtihaadan, artinya bersungguh

sungguh, rajin, giat. Lafad ini menunjukan pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa,

sulit dilaksanakan, atau yang tidak disenangi, sebagaimana terdapat dalam Al-Quran surat

An-nahl ayat 38:mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sumpahnya yang

sungguh-sungguh: "Allah tidak akan akan membangkitkan orang yang mati". (tidak

demikian), bahkan (pasti Allah akan membangkitnya), sebagai suatu janji yang benar dari

Allah, akan tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.


kedudukan ijtihad dalam sumber hukum islam adalah sebagai penentu hukum setelah AL

Quran dan hadist apabila dalam al quran dan hadist tidak ditemukan secara jelas dan rinci

mengenai hukum yang dimaksud. Ijtihad adalah hasil pemikiran para ulama ahli fikih.

Menurut Ahmad bin Ahmad bi Ali al muqri al fayumi ijtihad secara bahasa adalah

pengerahan kesanggupan dan kekuatan dalam melakukan pencarian sesuatu supaya

sampai kepada ujung yang dituju.

Para ulama berbeda pendapat dalam mengartikan ijtihad secara istilah. Menurut Abu

Zahrah secara istilah ijtihad berarti upaya seseorang ahli fiqih dengan kemampuannya

dalam mewujudkan hukum-hukum amaliyah yang diambil dari dalil-dalil yang rinci.

Sedangkan menurut Al-amidi ijtihad adalah pengerahan segala kemampuan untuk

menentukan sesuatu yang zhanni dari hukum-hukum syara.

2.2 Dasar-Dasar Ijtihad
Dasar Penggunaan Ijtihad

Dasar hukum dibolehkanya ijtihad adalah al-Qur'an, Sunnah, dan logika. Ayat al-Quran
yang dijadikan dasar bolehnya ijtihad adalah surat an-Nisa' (5): 59. Ayat ini berisi
perintah untuk taat kepada Allah (dengan menjadikan al-Quran sebagai sumber hukum),
taat kepada Rasul-Nya (dengan menjadikan Sunnahnya sebagai pedoman), dan taat
kepada ulil amri, serta perintah untuk mengembalikan persoalan yang diperselisihkan
kepada al-Quran dan Sunnah terkandung maka adanya perintah melakukan ijtihad.

Dasar Sunnah atau hadis yang dijadikan rujukan oleh para ulama tentang bolehnya
melakukan ijtihad adalah hadis Muadz seperti telah disebutkan di atas. Hadis ini
menceritakan perihal diutusnya Muadz menjadi qadi (hakim) di Yaman.

Dasar logika dibolehkannya ijtihad adalah karena keterbatasan nash al-Quran dan Sunnah
jika dibandingkan dengan banyaknya peristiwa yang dihadapi oleh umat manusia. Begitu
juga, banyaknya lafazh atau dalil yang menjelaskannya, meskipun tidak jarang hasil
ijtihad para ulama berbeda-beda dari lafazh atau dalil yang sama.
Menurut ulama usul, dalam masalah ijtihad, harus adanya beberapa unsur yang ada
didalamnya, yaitu:  (1) Mujtahid, yaitu orang yang melakukan ijtihad; (2) Masalah yang
akan di-ijtihadi yang benar-benar membutuhkan pencarian status hukumnya; (3)
Metode istinbath (pengambilan kesimpulan pendapat); (4) Natijah, yaitu hasil atau
kesimpulan hukum yang  telah diijtihadi. Sementara, Nadia Syarif al-'Umari berpendapat
bahwa rukun ijtihad adalah sebagai berikut: (1) Al-waqi’ (adanya kasus); (2) Mujtahid
(seorang yang mempunyai kompetensi); (3) Mujtahid fih (hukum syariah yang bersifat
amali-taklifi); (4) Dalil syara’ (dalil yang digunakan menentukan suatu hukum bagi
mujtahid).

2.3 Hukum Ijtihad

1.    Wajib a’in, jika seorang muslim yang memenuhi kriteri mujtahid yang di mintai fatwa

hukum atas suatu peristiwa yang terjadi dan ia khawatir peristiwa itu akan hilang tanpa

kepastian hukum, atau ia sendiri mengalami peristiwa yang tidak jelas hukumnya dalam

Nas.

2.    Wajib kifayah, jika seorang muslim yang memenuhi kriteri mujtahid yang di mintai

fatwa hukum atas suatu peristiwa yang terjadi dan ia khawatir peristiwa itu akan lenyap

tanpa kepastian hukum dan selain ia masih ada mujtahid lain.

3.    Sunat, jika dilakukan dalam persoalan yang tidak atau belum terjadi.

4.    Haram, jika dilakukan atas peristiwa yang telah jelas hukumnya baik dalam al quran,

sunah, atau ijma.


Ada beberapa jenis ijtihad, misalnya seperti Ijma', Qiyas, Maslahah Mursalah, Sududz
Dzariyah, Ihtisab, Ihtisan, dan Urf. Lebih lanjut berikut penjelasannya.
1. Ijma'.
Ijma' adalah kesepakatan ulama menentukan hukum Islam atas suatu perkara. Dalam
memutuskan hukum atas suatu perkara, ijma berlaku saat terjadi kesepakatan ulama dan
merujuk pada masa Rasulullah, kemudian masa sahabat, masa tabiin, dan masa tabiin
tabiin. Berdasarkan kejelasan perkara, ijma terbagi menjadi dua, yakni ijma qathi dan
ijma dzanni.
Contoh hasil ijma' di masa khalifah Abu Bakar dan masa Utsman Bin Affan adalah
mengkodifikasi Alquran. Itu dilakukan karena di masa banyaknya penghafal Al Quran
yang gugur dalam perang.
2. Qiyas.
Qiyas adalah menyamakan suatu masalah yang tidak ada ketentuan hukumnya karena
adanya persamaat illat. Contoh qiyas seperti menyamakan hukum sari buah fermentasi
yang memabukkan dengan larangan meminum khamr.
3. Maslahah mursalah.
Maslahah mursalah adalah mengambil manfaat dan menolak kemudharatan untuk
menjaga tujuan syara'. Singkatnya, maslahah mursalah lebih mengandalkan keputusan
dengan melihat manfaat bagi umat. Contohnya perkara pencatatan dalam surat resmi
mengenai pernikahan. Sebab maslahah pada nafkah, waris, dan sebagainya.
4. Sududz Dzariyah.
Memutuskan hukum dari mubah atau makruh menjadi haram. Contoh kasusnya seperti
melarang kaum muslim menghina berhala sebab dikhawatirkan memunculkan
perselisihan.
5. Ihtisan.
Ihtisan adalah meninggalkan hukum kepada hukum lainnya karena adanya dalil yang
mengharuskan untuk meninggalkan.
6. Ihtisab.
Ihtisab adalah suatu penetapan hukum atau aturan hingga ada alasan yang tepat dan kuat
untuk mengubahnya.
7. Urf.
Urf berkaitan dengan adat dan tradisi. Contoh kasus urf misalnya kebiasaan warga
Indonesia untuk bersilaturahmi dan saling memaafkan saat Idulfitri diperbolehkan. Atau
larangan bertindak riba baik dengan pinjaman online yang berbunga berat dan
sebagainya.

2.4  Rukun Ijtihad

1.    Al waqi’, yaitu adanya kasus yang terjadi atau diduga akan terjadi yang tidak

diterangkan oleh Nas.


2.    Mujtahid, ialah orang yang melakukan ijtihad dan mempunyai kemampuan untuk

berijtihad dengan syarat-syarat tertentu.

3.    Mujtahid fih, ialah hukum-hukum syariah yang bersifat amali (taklifi).

4.    Dalil syara untuk menetukan suatu hukum bagi mujtahid.

2.5   Syarat-Syarat Mujtahid

Banyak pendapat mengenai syarat-syarat seorang mujtahid. Menurut Muhammad bi Ali

bin Muhammad al syaukani syarat mujtahid adalah sbb:

1.    Mengetahui Al Quran dan Sunnah yang bertalian dengan masalah masalah hukum.

2.    Mengetahui Ijma

3.    Mengetahui bahasa arab

4.    Mengetahui ilmu usul fiqih

5.    Mengetahui nasikh-mansukh

Menurut fakkhr al Din muhamad bin umar bin Husain al razai’ syarat seorang mujtahid

sbb:

1.    Mukallaf

2.    Mengetahui makna-makna lapad dan rahasianya

3.    Mengetahui keadaan mukhathab

4.    Mengetahui keadaan lapad, apakah memiliki korenah atau tidak.

2.6   Tingkatan Mujtahid
Menurut Muhaimin dkk, sesuai syarat-syarat yang harus dimiliki seorang mujtahid,

mujtahid terbagi menjadi 2 tingkatan:

a)    Mujtahid muthlaq, yaitu mujtahid yang mampu menggali hukum-hukum agama dari

sumbernya dan mampu menerapkan dasar dasar pokok sebagai landasan ijtihadnya.

Mujtahid muthlaq dibagi dua, yaitu:

a)      Muthlaq muntaqil, yaitu mujtahid yang dalam ijtihadnya menggunakan metode dan

dasar-dasar yang Ia susun sendiri. Contoh Abu hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I, dan

Imam Hambali.

b)      Muthlaq muntasib, yaitu mujtahid yang telah mencapai derajat muthlaq muntaqil tetapi

Ia tidak menyusun metodenya sendiri. Contoh Al muzani dari madzhab Syafi’i.

b)   Mujtahid madzhab, yaitu mujtahid yang mampu mengeluarkan hokum-hukum agama

yang tidak dan atau belum dikeluarkan oleh madzhabnya dengan cara menggunakan

metode yang telah disusun oleh madzhabnya itu. Kelompok mujtahid ini terbagi 2, yaitu:

a)    Mujtahid takhrij

b)   Mujtahid tajrih (mujtahid fatwa).

2.7 Syarat mujtahid

Orang yang berijtihad dinamakan mujtahid. Syarat seseorang menjadi mujtahid


sehingga boleh melakukan ijtihad adalah sebagai berikut:
1. Menguasai dan memahami Alquran, termasuk asbabun nuzul dan tafsirnya
2. Menguasai dan memahami sunah dan hadits, termasuk asbabul wurud, kaidah
hadits, dan lain sebagainya
3. Menguasai Bahasa Arab
4. Memahami syariat Islam
5. Memilki pemahaman mengenai qawaidul kulliyyah dan qawaidul fiqhiyah

2.8 Hadis tentang pahala ijtihad

Rasulullah saw. bersabda,

‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم – يقول ِإ َذا َح َك َم ْال َحا ِك ُم‬


َ – ِ ‫اص – رضي هللا عنه – َأنَّهُ َس ِم َع َرسُو َل هَّللا‬ ِ ‫ع َْن َع ْم ِرو ب ِْن ْال َع‬
.ٌ‫طَأ فَلَهُ َأجْ ر‬
َ ‫ان وَِإ َذا َح َك َم فَاجْ تَهَ َد ثُ َّم َأ ْخ‬
ِ ‫اب فَلَهُ َأجْ َر‬
َ ‫ص‬َ ‫فَاجْ تَهَ َد ثُ َّم َأ‬

Dari Amr bin Ash bahwa ia mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Ketika seorang
hakim hendak memutuskan hukum, lalu berijtihad, kemudian benar, ia mendapatkan
dua pahala. Jika ia hendak memutuskan hukum, lalu berijtihad kemudian ternyata
salah, ia dapat satu pahala.” (HR. Muslim)

Ibnu Hamzah Al-Dimasyqi menyebutkan bahwa hadis tersebut muncul ketika ada dua
orang yang sedang berseteru. Lalu Rasulullah saw. memerintahkan Amr bin Ash
untuk menjadi hakim. Amr bin Ash menolak karena masih ada Rasulullah saw. yang
menurutnya pasti benar keputusannya. Ia menilai keputusannya mungkin salah. Dan
jika salah tentu tidak artinya. Rasulullah saw. menegaskan bahwa usaha seorang
hakim mencari keputusan yang tepat tidak akan sia-sia. Ketika ia telah berusaha keras
mencari keputusan yang benar, ia akan mendapatkan pahala. Terlepas dari salah atau
benar keputusan yang dibuatnya (Al-Bayan Wa Al-Ta’rif Fi Asbab Wurud Al-Hadits
Al-Syarif, jilid 1, hlm. 63)

 
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasakan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa Ijtihad adalah sebuah usaha
yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dengan berbagai metode yang
diterapkan beserta syarat-syarat yang telah ditentukan untuk menggali dan
mengetahui hukum Islam. Tujuan ijtihad dilakukan adalah upaya pemenuhan
kebutuhan akan hukum karena permasalahan manusia semakin hari semakin
kompleks di mana membutuhkan hukum Islam sebagai solusi terhadap
problematika tersebut. Ijtihad merupakan sumber hukum ketiga setelah Al-Qur’an
dan Al-hadits yang mendapatkan legitimasi dari keduanya. Sebenarnya ijtihad
bukanlah suatu yang baru, melainkan sudah ada pada masa Rasulullah. Hal ini
sudah dilakukan oleh Nabi, sahabat, tabi’in dan para ulama klasik, namun tidak
sembarangan orang diperbolehkan untuk melakukan ijtihad, akan tetapi harus
memenuhi criteria tertentu.

Melakukan ijtihad bagi seorang mujtahid dapat mencapai hukum wajib ain, fardhu
kifayah, dan sunnat. Adapun untuk menjadi mujtahid disyaratkan memiliki
pengetahuan dan pemahaman tentang Al-Quran dan As-Sunnah dari berbagai
aspeknya, memahami masalah yang sudah disepakati ulama, memahami bahasa
Arab, dan mengetahui ushul fiqh.

3.2 Saran

Diharapkan dari pembahasan diatas dapat menambah pengetahuan yang lebih


mendalam untuk pembaca makalah terhadap hukum-hukum Islam dan hendaklah
memahami betul masalah mengenai ijtihad.

Anda mungkin juga menyukai