Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

IJTIHAD DAN MUJTAHID

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah:

Metodologi Studi Fiqih

Dosen Pengampu : Hj. Any Umy Mashlahah, M.Pd.

Disusun Oleh :

1. FARANDIKA NANDA PRATAMA (NIM : 2210110002)


2. NUHYAL ULYA LATIFAH (NIM : 2210110022)
3. MAULINA INTAN SAHARANI (NIM : 2210110027)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS

TAHUN 2022/2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ijtihad dapat diartikan sebagai upaya menggali suatu hukum yang sudah ada
sejak zaman Rasulullah SAW. Dalam perkembangannya, setelah Rasulullah SAW
wafat, ijtihad tetap diamalkan oleh para sahabat, tabi'in hingga masa-masa selanjutnya
sampai sekarang ini. Esensi ajaran Al-Quran dan Hadist memang menghendaki
adanya ijtihad, karena Al-Quran dan Hadist kebanyakan hanya menjelaskan hukum
syara' secara garis besarnya saja. Oleh sebab itu, para ulama berusaha menggali
maksud dan rinciannya dari kedua sumber tersebut melalui ijtihad dan menjadikan
ijtihad sebagai sumber ketiga setelah Al-Qur’an dan Hadist.
Masing-masing mujtahid berupaya menemukan hukum-hukum yang terbaik
dalam berijtihad. Sehingga dengan adanya ijtihad, islam menjadi luwes, dinamis,
fleksibel dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan yang semakin kompleks.
Akan tetapi, dalam menetapkan hukum islam melalui ijtihad tidak
sembarangan orang boleh menjadi seorang mujtahid. Terdapat beberapa syarat dan
kriteria yang harus dipenuhi untuk menjadi seorang mujtahid. Selain itu, seorang
mujtahid harus mengetahui dan memahami kinerja-kinerja dalam menjalankan
perannya untuk menjadi seorang mujtahid. Oleh sebab itu, penulis akan membahas
mengenai apa saja kriteria yang harus dimiliki seorang mujtahid beserta kinerja-
kinerjanya dalam menjalankan perannya untuk menjadi seorang mujtahid.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan ijtihad ?
2. Apa saja landasan dasar berijtihad ?
3. Bagaimana hukum berijtihad ?
4. Apa saja rukun ijtihad ?
5. Apa saja jenis-jenis ijtihad ?
6. Apa saja fungsi ijtihad ?
7. Apa saja kriteria seorang mujtahid ?
8. Bagaimanakah kinerja seorang mujtahid ?
9. Bagaimana tingkatan mujtahid dalam berijtihad ?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijtihad
Ijtihad secara harfiah berasal dari kata jahada-yajhadu-jahd, yang berarti
kemampuan atau usaha. Sedangkan dari segi tata bahasa, kata ijtihad memiliki arti
yang sama dengan jihad, yang berarti “bersungguh-sungguh”. Secara umum,
pengertian ijtihad adalah proses menetapkan hukum syariah dengan sungguh-sungguh
mencurahkan seluruh pikiran dan tenaga untuk menggali dan menemukan hukum
syariah.
Kata ijtihad juga memiliki beberapa definisi yang dikemukakan oleh beberapa
ulama, yang saling berkaitan dan memiliki arti yang hampir sama

Berikut definisi-definisi ijtihad menurut beberapa ulama :

a. Menurut Imam Al-Ghazali


Mendefinisikan ijtihad adalah “Upaya semaksimal mungkin seorang mujtahid
dalam memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum syara.”
b. Menurut Imam al-Baydlowi
Mendefinisikan ijtihad sebagai “Pengerahan segala upaya untuk menemukan
hukum-hukum syariat.”
c. Menurut Imam Asy Syaukani dalam kitabnya Irsyadul Fuhul
Mendefinisikan ijtihad yakni “Mengerahkan kemampuan untuk mendapatkan
hukum syar'i yang bersifat amali (praktik) dengan metode istinbat.”
d. Menurut Tajudin ibn Abdul Wahab al-Subki
Mendefinisikan ijtihad adalah “Pengerahan kemampuan seorang faqih untuk
menghasilkan dukungan yang kuat tentang hukum syar’i.”

Dari keempat definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa Ijtihad adalah upaya terbaik
mujtahid untuk menemukan hukum yang bersifat amaliyah (praktis) dan kebenaran
adalah zhanni (anggapan yang kuat).
B. Landasan Dasar Berijtihad

Dasar dari Al-Qur'an sangatlah penting terhadap berlakunya sebuah hukum dan
segala tindakan kaum muslim, begitu juga dengan dasar adanya ijtihad. Oleh karena
itu, untuk memperkuat pokok bahasan kami mencari landasan dasar adanya ijtihad
dari berbagai sumber :

1. Al-Qur'an
a. QS. An-Nisa : 105

‫انا انزلنا اليك الكتب بالحق لتحكم بين الناس بما ارىك هللا‬

105. Sesungguhnya Aku telah menurunkan kepadamu (Muhammad) Kitab


Kebenaran (Al-Qur'an) agar kamu dapat memutuskan antara manusia dengan
apa yang telah di ajarkan Allah kepadamu.

Jika ditafsirkan, ayat tersebut menerangkan penetapan hukum yang ditetapkan


langsung dari nash. Yang kita kenal dengan istilah qiyas. Jadi ayat suci
tersebut secara jelas membenarkan qiyas sebagai metode dalam istijhad.

b. QS . An-Nisa : 59

‫ياايها الذين ءامنوا أطيعوا هللا واطيعوا الرسول واولى االمر منكم فأن تنزعتم في شىء فردوه الى‬
‫هللا والرسول ان كنتم تؤمنون باهلل واليوم األخر ذلك خير وأحسن تأويال‬

59. Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-
(Muhammad), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu memiliki
pendapat yang berbeda tentang sesuatu, maka kembalilah kepada Allah
(Quran) dan Rasul (Sunnah), jika kamu sungguh beriman kepada Allah dan
Hari Akhir. Lebih penting (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Jika ditafsirkan, ayat ini menjelaskan untuk mengembalikan solusi kepada


jalan Al-Qur'an dan hadist jika terjadi perbedaan pendapat. Untuk menempuh
jalan ini, kita melaluinya dengan cara berijtihad.

2. Hadist
a. Kisah ketika Muaz bin Jabal akan dikirim ke Yaman sebagai seorang qadhi
Rasulullah SAW bertanya tentang bagaimana menyelesaikan suatu masalah.
Dari Mu'az bin Jabal, yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Bagaimana Anda mencoba menyelesaikan masalah yang datang di depan
mata Anda?”

Muaz menjawab, "Saya akan memutuskan berdasarkan Kitab Allah (Quran)."


Kemudian nabi bertanya lagi, "Bagaimana jika Anda tidak dapat menemukan
argumen dalam Al-Qur'an?" Mu'az menjawab, "Saya akan menyelesaikannya
berdasarkan dalil sunnah Rasulullah." Kemudian Rasulullah bertanya lagi,
“Bagaimana jika kamu tidak dapat menemukan Al-Qur’an dan As-Sunnah
untuk mengoreksinya?” Mu'az menjawab, "Saya akan berijtihad dengan
proporsi saya dan tidak melewatkannya." Kemudian Rasulullah menepuk dada
Mu'az', sambil berbicara, “Segala puji bagi Allah, yang memerintahkan Rasul-
Nya tentang apa yang Rasulullah disetujui.” (HR Abu Dawud)

b. Hadist kedua dari Amr bin Ash ra


Dari Amr bin 'Ash r.a. seseorang mendengar Rasulullah bersabda, “Apabila
seorang hakim memutuskan suatu perkara, kemudian ia melakukan ijtihad,
ditemukan bahwa ijtihadnya benar, maka ia mendapat dua pahala. Dan
ketika ia memutuskan suatu perkara, lalu ia berijtihad, dan ternyata
ijtihadnya salah di mata Allah, maka dia hanya mendapat satu pahala” (H.R.
Muslim dan Ahmad)
Dari hadist tersebut, dapat kita ambil kesimpulan bahwa ijtihad diakui oleh
Rasulullah SAW sebagai salah satu sumber hukum Islam, bila tidak ditemukan
di dalam al-Qur'an dan Sunnah.
C. Hukum Berijtihad
Dalam buku Ushul Fiqih karya Zen Amiruddin, terdapat beberapa hukum
berijtihad, yaitu:

1. Wajib Ain

Apabila ada seseorang di tanya perihal hukum tentang suatu peristiwa, dan
peristiwa itu akan hilang sebelum di tetapkan hukumnya. Begitu juga, ketika
seseorang ingin segera mendapatkan kepastian hukum untuk dirinya sendiri dan
tidak ada mujtahid yang bisa segera di temui agar mendapatkan fatwa.
2. Wajib kifayah

Ketika salah seorang di tanya tentang suatu hukum peristiwa, tetapi tidak di
khawatirkan segera hilangnya peristiwa itu, sementara di samping dirinya masih
ada mujtahid lain yang lebih ahli.

3. Sunnah

Yaitu berijtihad terhadap suatu peristiwa hukum yang belum terjadi, walaupun
ada yang mempertanyakan.

4. Haram

Berijtihad pada dua hal. Pertama, berijtihad terhadap permasalahan yang sudah
tegas (qath'i) hukumnya, baik berupa ayat ataupun hadis dan juga ijtihad yang
menyalahi ijma. Kedua, ijtihad adalah untuk orang yang tidak memenuhi syarat
untuk menjadi mujtahid, karena hasil ijtihadnya tidak akan benar tetapi
menyesatkan, terutama karena melanggar hukum agama Allah tanpa mengetahui
hukumnya.

D. Rukun Ijtihad

Dalam berijtihad, tentu saja ada beberapa syarat yang wajib dipenuhi agar
ijtihad tersebut sah dan memperoleh suatu hukum yang pasti. Hal ini berkaitan dengan
rukun-rukun ijtihad menurut Nadiyah Syarif Al-Umari, yaitu :

1. Mujtahid
Seseorang yang memiliki kemampuan serta memenuhi persyaratan untuk
berijtihad.
2. Mujtahid fih
Hukum syariah yang bersifat amali dan taklifi.
3. Dalil syara'
Dalil syara’ inilah yang digunakan untuk menentukan suatu hukum.
4. Al-waqi'
Peristiwa yang terjadi atau kemungkinan akan terjadi yang diterangkan oleh nash
Al-Qur’an.
E. Jenis-Jenis Ijtihad

1. Ijtihad fardi

Ijtihad yang dilakukan oleh seorang mujtahid tanpa persetujuan dari seluruh
mujtahid dalam suatu perkara. Ijtihad seperti ini pernah dibenarkan oleh Raslullah
SAW kepada Muaz ketika Rasul mengutusnya untuk menjadi qat’i di Yaman.
Sesuai pula ijtihad yang pernah dilakukan Umar bin Khattab kepada Abu Musa
Al-Asyari dan Syuraikh. Umar dengan tegas mengatakan kepada Syuraikh yang
berbunyi “Apa-apa yang belum jelas bagimu di dalam As-Sunnah, maka
berijtihadlah padanya dengan menggunakan daya pikiranmu.”

2. Ijtihad Jama'i

Sebuah ijtihad dalam suatu hal atau perkara yang disepakati oleh semua
mujtahidin. Ijihad seperti ini yang dimaksudkan oleh Hadist Ali ketika
menanyakan kepada Rasulullah tentang urusan yang tidak ditemukan hukumnya
dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ketika itu nabi SAW Bersabda:

“Berkumpullah untuk menyelesaikan masalah ini, orang-orang yang berilmu di


antara orang-orang beriman, dan jadikanlah masalah ini sebagai bahan
musyawarah di antaramu dan janganlah memutuskan hal itu oleh pendapat satu
orang.” (H.R. Ibnu Abdul Barr).

F. Fungsi Ijtihad

Ijtihad memiliki fungsi dan manfaat yang sangat penting bagi umat islam,
diantaranya yaitu :

a. Sebagai solusi ditengah perselisihan yang mencuat di masyarakat setempat.

b. Sebagai jawaban atas kebermasalahan hukum umat islam yang tidak ada secara
jelas jawabannya dalam Al-Qur'an maupun haditst.

c. Sebagai pemersatu ukhuwah Islamiyyah.

d. Sebagai sumber hukum ketiga setelah Al - Qur'an dan hadist.


G. Syarat dan Kriteria Mujtahid

Terdapat beberapa kriteria yang harus dipenuhi untuk menjadi seorang mujtahid.
Syarat paling dasar yang harus dimiliki seorang mujtahid yaitu :

1. Islam
2. Baligh
3. Berakal
4. Adil

Selain itu, untuk menjadi seorang mujtahid juga harus memenuhi syarat-syarat
utama mujtahid. Berikut ini syarat-syarat utama seorang mujtahid :

1. Menguasai pengetahuan tentang al-Qur’an.


Al-Qur’an merupakan sumber hukum Islamyang utama. Oleh karena itu, jika
seorang mujtahid ingin mempelajari hukum dari ayat-ayat Al-Qur'an, ia harus
menguasai ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur'an itu sendiri. Yaitu,
pengetahuan makna teks Alquran, illat dan tujuan yang terkandung di dalamnya,
Asbabun Nuzul, Nasikh- Mansukh dan memiliki kemampuan mengidentifikasi
ayat-ayat hokum.
2. Menguasai pengetahuan tentang Sunnah Kenabian
Hadist dan sunnah kenabian adalah sumber kedua setelah Al-Qur'an. Jadi,
ketika ingin menemukan hukum Islam dari teks hadits, seorang mujtahid harus
menguasai semua ilmu yang berhubungan dengan hadits. Dari penguasaan hadis
mustalahul, kritik sanad hadits dan matan, ilmu jarh wat ta'dil dan berbagai jenis
ilmu dalam wacana pemahaman hadits.Menguasai Ilmu Bahasa Arab
Al-Qur’an dan Hadis sampai kepada kita dengan Bahasa Arab. Seorang
Mujtahid harus dapat menguasai Bahasa Arab, Nahwu, Shorrof, Balaghah,
Manthiq dan ilmu kebahasaan lainnya yang mutlak harus dikuasai.
3. Menguasai Bahasa Arab
Seorang Mujtahid tidak akan mampu memahami Alquran dan Hadist ketika dia
tidak menguasai bahasa arab, mantiq, balaghoh, nahwu dan shorof.
4. Menguasai Ushul al-Fikih.
Ushul Fikih adalah tiang ijtihad. Di dalamnya Ushul Fikih terdapat sekumpulan
teori dan konsep. Oleh karena itu, Mujtahid diwajibkan menguasai ilmu Ushul
fikih.
5. Mengetahui hal-hal terkait Ijma’
Ijma’ ialah sumber syariat Islam ketiga setelah Alquran dan Hadist. Ijma’
mengacu pada kesepakatan yang dicapai oleh para ulama tentang hukum tertentu.
Ijma’ ulama memuat dalil qath’I (pasti) yang harus diacu oleh mujtahid saat
menetapkan hukum

Selain syarat dasar ada lagi beberapa syarat utama yang harus dimiliki oleh
seorang Mujtahid terkait penguasaan ilmu al-Qur’an dan Hadist, menguasai Bahasa
Arab dan Ushul Fikih dan tahu ijma’-ijma’ ulama yang telah ada sebelumnya.
Namun, untuk menyempurnakan proses ijtihadnya, seorang Mujtahid juga
dianjurkan untuk menguasai syarat penyempurna dalam berijtihad. Berikut
pembahasan mengenai syarat-syarat penyempurna dalam berijtihad.

a. Mengetahui al-Bara’ah Al-Ashliyyah (hukum asal)


Yaitu beberapa hal yang tidak diatur atau dijelaskan oleh hukum Syariah. Karena
dia tidak diidentifikasi dengan jelas atau tidak memenuhi persyaratan untuk
menerima hukuman apa pun. Jadi tidak bisa hanya menghukumnya itu wajib, itu
haram dan sebagainya
b. Mengetahui Maqashid al-Syariah(tujuan/maksud syariah)
Yaitu mengacu pada tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam menetapkan hukum
tentang perintah dan larangan.
c. Mengetahui kaidah-kaidah umum (al-Qawa’id al-Kulliyah)
Yakni, aturan-aturan yang digali dari berbagai peristiwa dan hukum, yang
kemudian disatukan menjadi satu teori umum. Biasanya terdapat dalam qawa'id
ushuliyyah dan qawa'id fiqhiyyah.
d. Mengetahui letak perbedaan pendapat (Mawadli’ul Ikhtilaf)
Mujtahid harus memahami mawadli’ul ikhtilaf (letak-letak perbedaan) yang
muncul diantara para ulama. Dengan mengetahui hal itu, diharapkan seorang
Mujtahid mampu menganalisis argumentasi di antara kedua belah pihak dan
mampu menemukan solusi atas perbedaan yang ada.
e. Mengetahui kebiasaan (‘urf) yang tengah berlangsung
Selain cermat membaca teks-teks agama, Mujtahid juga harus peka terhadap
kondisi sosial atau mukallaf sebagai obyek hukum. Kepekaan dan pemahaman
terhadap tradisi dan kebiasaan masyarakat dapat membantu seorang Mujtahid
merumuskan hukum dan menerapkan hukum.
H. Kinerja-Kinerja Mujtahid
Menjadi seorang mujtahid yang berijtihad bukanlah hal yang sepele.
Dibutuhkan wawasan keilmuan yang luas serta energi yang kuat untuk menetapkan
hukum syara'. Dalam perjalanannya mencari hukum syari'at, mujtahid zaman dahulu
memiliki beberapa acuan/metode yang diterapkan dalam kinerjanya, seperti :
1. Qiyas
Qiyas berasal dari bahasa arab ‫ قي••••اس‬yang artinya mengukur atau
membandingkan. Menurut ahli ushul fiqh, qiyas diartikan sebagai upaya
menerangkan hukum tentang sesuatu yang tidak ada nash nya dalam Al-Qur'anul
karim maupun hadist, dengan cara membandingkannya terhadap sesuatu yang
telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash.
Dengan kata lain, qiyas adalah membandingkan sesuatu yang tidak ada nash
hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya di Al-Qur'an karena adanya
persamaan illat hukum. Jadi kesimpulannya, qiyas memberi titik terang tentang
hukum sesuatu yang belum diterangkan oleh Al-Qur'an dan As-sunnah tetapi tetap
bersumber pada hukum dasar di Al-Qur'an.
2. Ijma’
Ijma' adalah kesepakatan seluruh ulama mujtahid atas hukum syara' setelah
Rasulullah SAW meninggal dunia. Tetapi ijma' yang bisa diterima atau
dipertanggungjawabkan kebenarannya hanyalah ijma' sahabat, karena :
a. Para sahabat hidup bersama Rasulullah SAW.
b. Banyak ayat Al-Qur'an dan hadist yang memuji mereka.
c. Setelah zaman mereka, para ulama telah berpencar, perselisihan semakin
banyak terjadi, sehingga tidak dapat dipastikan sebagai kesepakatan semua
ulama.

Contoh eksistensi para sahabat dalam hal ijma' adalah pengumpulan Al-Qur'an
menjadi suatu mushaf, penentuan khalifah, dll.

3. Istihsan
Secara etimologi, istihsan diartikan sebagai meyakini dan menyatakan atas
baiknya sesuatu. Tidak ada perdebatan di antara ulama ushul fiqh mengenai lafal
istihsan. Sehingga dapat dipahami bahwa istihsan adalah salah satu kinerja
mujtahid dalam menetapkan suatu hukum yang dilandasi prinsip-prinsip umum
ajaran islam.
4. Istishab
Istishab berasal dari kata istishab yang diartikan selalu atau terus-menerus. Maka
istishab secara lughawi berarti selalu menemani atau selalu menyertai. Menurut
imam Al-Asnawy, "istishab adalah melanjutkan berlakunya hukum yang sudah
addan sudah ditetapkan ketetapan hukumnya lantaran suatu dalil, sampai
ditemukan dalil lain yang mengubah ketentuan hukum tersebut." Jadi segala
hukum di zaman terdahulu tetap berlaku di masa sekarang, sampai ada sesuatu
yang menyebabkannya harus berubah.
5. Maslahah Al Mursalah
Menetapkan hukum terhadap sesuatu berdasarkan kemanfaatan yang ma'ruf dan
sesuai dengan hukum serta tujuan syari'at.
6. Urf
Menentukan bolehnya keberlakuan sebuah adat istiadat di masyarakat sekitar,
selama adat/kebiasaan tersebut tidak bertentangan dengan hukum dan prinsip-
prinsip syari'at Al-Qur'an maupun hadist.
I. Tingkatan-Tingkatan Mujtahid Berijtihad
a. Mujtahid Mustaqil
Seseorang yang mampu secara independen membuat kaidah dan simpulan sendiri
dalam masalah hokum agama, diantaranya para imam madzhab.
b. Mujtahid Mutlak (Mujtahid Fi al-syar’i)
Seseorang yang melakukan ijtihad langsung secara keseluruhan dari Qur'an dan
Hadist. Serta seringkali mendirikan madzhab sendiri, seperti halnya para sahabat
dan para imam besar seperti Imam Syafi'i , Hambali, Hanafi, dan Maliki.
c. Mujtahid Muqayyad
Seseorang yang mampu berijtihad dan melakukan ijtihadnya pada masalah-
masalah yang tidak terjelaskan dalam kitab utama para imam madzhab
d. Mujtahid Madzhab (Mujtahid fi al-madzhab atau fatwa mujtahid)
Mujtahid yang mengikuti salah satu madzhab dan tidak membentuk suatu
madzhab tersendiri, dalam beberapa hal berbeda pendapat dengan imamnya,
misalnya Imam Syafi’i tidak mengikuti pendapat gurunya Imam Malik, dalam
beberapa masalah.
e. Mujtahid fi al-Masail atau ijtihad parsial (dalam cabang-cabang tertentu)
ialah orang-orang yang berijtihad hanya pada beberapa masalah saja. Jadi tidak
dalam arti keseluruhan, namun mereka tidak mengikuti satu madzhab,misalnya
Hazairin berijtihad tentang hukum kewarisan Islam.
f. Mujtahid Muqqayad
Yakni orang-orang yang berijtihad yang mengikatkan diri dan mengikuti pendapat
ulama salaf. Tetapi memiliki kesanggupan untuk menentukan mana yang lebih
utama dan pendapat menentukan yang kuat dan pendapat yang berbeda beserta
riwayat yang lebih kuat diantara riwayat itu. Mereka juga memahami dalil-dalil
yang menjadi dasar pendapat para mujtahid yang diikuti misalnya Sayuti Tholib.
BAB III

KESIMPULAN

Ijtihad digunakan sebagai upaya sekuat tenaga/optimal yang dilakukan oleh


Mujtahid dalam rangka menemukan suatu hukum yang bersifat amaliyah (praktis) dan
kebenarannya adalah zhanni(dugaan yang kuat). Dengan ijtihad kita dapat menggali
sebuah hukum syar'i yang belum dijelaskan pada Al-Qur'an maupun Hadist. Karena
masih banyak ayat ayat Al-Qur’an yang bersifat global/umum. Sehingga ijtihad dapat
disebut sebagai sumber hukum ketiga dalam islam setelah Al-Qur'an dan Hadist.

Esensi dasar kebolehan berijtihad telah dijelaskan dengan beberapa ayat suci
dalam Al-Qur'anul Karim. Selain Al-Qur’an terdapat pula beberapa Hadist yang dapat
memperkuat dibolehkannya berijtihad.

Dalam berijtihad juga memiliki beberapa penggolongan hukum seperti wajib


ain, wajib kifayah, sunnah, dan haram sesuai dengan kondisi ijtihad tersebut berlaku
ditengah-tengah masyarakat. Tak lupa dalam berijtihad haruslah memperhatikan
rukun-rukun berijtihad sehingga ijtihad tersebut sah dan memperoleh suatu hukum
yang pasti.

Namun, tentu saja dalam berijtihad tidak semua orang dapat menjadi seorang
mujtahid. Untuk menjadi seorang Mujtahid haruslah memenuhi syarat dan kriteria
agar hukum syar'i yang ditetapkannya tidaklah menyesatkan. Seperti paham ilmu
terkait al-Qur’an dan Hadist, menguasai Bahasa Arab dan Ushul Fikih sekaligus tahu
ijma’-ijma’ ulama yang telah ada sebelumnya,dll Namun, untuk menyempurnakan
proses ijtihadnya, seorang Mujtahid juga dianjurkan untuk menguasai syarat
penyempurna dalam berijtihad. Seperti mengetahui al-Bara’ah Al-Ashliyyah (hukum
asal), Maqashid al-Syariah(tujuan/maksud syariah), kaidah-kaidah umum (al-Qawa’id
al-Kulliyah),dll. Sehingga hasil ijtihad tersebut memiliki fungsi dan kebermanfaatan
yang sangat penting bagi umat islam untuk diterapkan pada kehidupan sehari-hari
sesuai dengan kondisi masyarakat.
GLOSARIUM

Al-waqi’ : Peristiwa yang terjadi atau kemungkinan yang akan terjadi dalam
berijtihad

Asbabun Nuzul : Sebab-sebab yang melatarbelakangi turunkannya Al-Qur’an

Balaghah : Ilmu yang berkaitan dengan masalah kalimat, yaitu mengenai


susunannya, maknanya, pengaruh jiwa, keindahan, dan kejelian
pemilihan kata yang sesuai dengan tuntutan dalam bahasa arab

Hukum Syara’ : Suatu ketentuan yang berasal dari Allah SWT dan Rasul, baik dalam
bentuk tekstual maupun hasil pemahaman ulama

Ijtihad : Upaya sekuat tenaga/optimal yang dilakukan oleh Mujtahid dalam


rangka menemukan suatu hukum yang bersifat amaliyah (praktis) dan
kebenarannya adalah zhanni(dugaan yang kuat)

Jarh Wat Ta’dil : Ilmu yang menerangkan tentang cacat-cacat yang dihadapkan kepada
para perawi

Mujtahid : Orang yang melakukan ijtihad dan mempunyai kemampuan untuk


ber-ijtihad dengan syarat-syarat tertentu

Manthiq : Ilmu yang menggerakkan pikiran kepada jalan yang lurus dalam
memperoleh kebenaran
Nahwu : Ilmu yang mempelajari prinsip-prinsip untuk mengenali kalimat-
kalimat bahasa Arab dari sisi i'rab dan bina'-nya” (Jami'ud Durus,
Syaikh Musthafa)

Nash : Suatu ketetapan hukum yang bersumber dari Alquran dan Hadist

Shorof : Ilmu dalam bahasa arab yang mempelajari perubahan bentuk pada
suatu kata dalam bahasa arab

Ukhuwah Islamiyah : Persaudaraan atau hubungan antar sesama umat islam

Urf : Adat kebiasaan yang diwariskan secara turun temurun dari generasi
ke generasi

Ushul Fiqih : Ilmu menjelaskan metode dan sistem penentuan hukum berdasarkan
dalil-dalil naqli maupun aqli pada kajian fiqih

Zanni : Sesuatu yang bersifat dugaan, relatif, sangkaan dan tidak pasti
DAFTAR PUSTAKA

Burhanudin, Fiqih Ibadah. Bandung: Pustaka Setia, 2001.


Hanafi, A., Pengantar dan sejarah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1995

Abdurrachman, Asymuni. 1973. Pengantar kepada Ijtihad. Jakarta:Bulan Bintang

Ibrahim, Hosen. 1998. Ijtihad dalam Sorotan. Bandung:Mizan

Nuruddin, Amiur. 1991. Ijtihad Ummar Ibn Khaththab. Jakarta Utara: CV. Rajawali

Sobaruddin, Muhammad. 2000. Ijtihad dalam Islam. Surabaya: Usana Offset Printing

Anda mungkin juga menyukai