BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ketika Nabi Saw akan mengutus Mu’adz ibn Jabl (w. 18 H/629 M) ke Yaman untuk
bertindak sebagai hakim, beliau bertanya kepada Mu’adz: “Apa yang akan kau lakukan jika
kepadamu diajukan suatu perkara yang harus diputuskan?, Mu’adz menjawab: “Aku akan
memutuskannya berdasarkan ketentuan yang termaktub di dalam Kitab Allah (Al-Qur’an)“ Nabi
bertanya lagi : “Bagaimana jika didalam Kitab Allah tidak terdapat ketentuan tersebut?”
Mu’adz menjawab: “Dengan berdasarkan Sunnah Rasulullah Saw” Nabi bertanya lagi:
“Bagaimana jika ketentuan tersebut tidak terdapat pula didalam Sunnah Rasulullah” Mu’adz
menjawab “Aku akan berijtihad dengan pikiranku, aku tidak akan membiarkan suatu perkara
pun tanpa putusan, lalu Mu’adz mengatakan: “Rasulullah kemudian menepuk dadaku seraya
mengatakan: “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufiq kepada utusanku untuk hal
yang melegakanku.[1]
Dari Hadis tersebut di atas, diperoleh kesimpulan, bahwa sumber-sumber hukum Islam
adalah al-Quran dan Sunnah, dalam al-Quran dan Sunnah tidak terdapat ketentuan hukum
sesuatu, maka diusahakan hukumnya melalui ijtihad. Karena itu dalam sejarah pemikiran Islam,
ijtihad banyak digunakan. Hakikat ajaran al-Quran dan hadis memang menghendaki
digunakannya ijtihad. Ayat-ayat al-Quran yang jumlahnya lebih dari 6300, hanya lebih kurang
500 ayat, menurut perkiraan ulama, yang berhubungan dengan aqidah, ibadah dan muamalah.
Ayat-ayat tersebut, pada umumnya berbentuk ajaran-ajaran dasar tanpa penjelasan lebih Ianjut
mengenai maksud, rincian, cara pelaksanaannya dan sebagainya, untuk itu ayat- ayat tersebut
perlu dijelaskan oleh orang-orang yang mengetahui al-Quran dan hadits, yaitu pada mulanya
sahabat Nabi dan para Ulama. Penjelasan oleh para sahabat Nabi dan para Ulama itu diberikan
melalui ijtihad.
B. Rumusan Masalah
a. Apa yang dimaksud dengan ijtihad?
b. Bagaimana hukum dan syarat ijtihad?
c. Bagaimana kebenaran hasil ijtihad?
d. Bagaiman pendapat para ulama tentang ijtihad?
e. Bagaimana cara melakukan ijtihad?
f. Bagaiman ijtihad dan contoh pemikiran imam empat madzhab?
g. Apa yang dimaksud dengan itiba’ dan taklid?
h. Bagaimana pendapat empat imam madzhab tentang taklid?
C. Tujuan Penulisan
a. mengetahui hukum, syarat, dan kebenaran hasil ijtihad.
b. mengetahui pendapat para ulama tentang ijtihad dan cara melakukannya.
c. Mengetahui metode ijtihad dan contoh pemikiran imam empat madzhab.
d. Mengetahui yang dimaksud dengan itiba’ dan taklid, serta pendapat empat imam madzhab
tentang hal tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijtihad
سنَّ ِة ِ اط فِي ْال ِكت َا
ُّ ب َوال ِ َاإل ْس ِت ْنب
ِ ق َ ِالوسْعِ فِي َن ْي ِل ُح ْك ٍم ش َْر ِعي ٍ ب
ِ ط ِري ُ غ ُ اإلجْ تِ َهاد ُ ه َُو إِ ْستِ ْف َرا
ِ
“Ijtihad ialah mencurahkan segala kemampuan dalam mencapai hukum syara’
dengan cara istinbath (menyelidiki dan mengambil kesimpulan hukum yang terkandung) pada
Alquran dan sunah”.[2]
Ijtihad secara bahasa berarti berusaha bersungguh-sungguh. Mengerjakan segala sesuatu
dengan segala keteguhan. Menurut ilmu ushul fiqih, ijtihad identik dengan kata “istinbath” yang
artinya, mengeluarkan sesuatu dari persembunyiannya. Sedangkan menurut istilah, para ulama
berbeda pendapat dalam mendefinisikan ijtihad, diantaranya:
Menurut Kasuwi Saiban: ijtihad adalah segala upaya yang dicurahkan ujtahid dalam berbagai
bidang ilmu, seperti fiqih, teologi, filsafat, tasawuf dan sebagainya.
Ibrahim Hosen: ijtihad adalah penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat
dengan kitab Allah dan sunnah rasul, baik melalui suatu nash maupun melalui maksud dan
tujuan umum hikmah syariah yang disebut mashlahat.
Ahmad Azhar Basyir: ijtihad adalah penggunaan akal fikiran semaksimal mungkin untuk
memperoleh ketentuan hukum syara’.
Jumhur ulama: mengarahkan segenap kemampuan oleh seorang ahli fiqih atau mujtahid untuk
memperoleh pengertian tingkat dzani mengenai hukum syara’.
Depag RI: ijtihad adalah mengerahkan semua potensi dan kemampuan semaksimal mungkin
untuk mendapatkan hukum-hukum syariah berdasarkan dalil-dalil syara’.
Sedangkan bagi masalah yang telah ditetapkan oleh dalil sharih (jelas dan tegas)
yang qat’iyyatud wurud (kemunculannya tidak perlu penelitian lebih lanjut) dan
qath’iyyatud dilalah (makna dan ketetapan hukumnya sudah jelas dan tegas), maka
tidak ada jalan untuk diijtihadi. Kita berkewajiban melaksanakan petunjuk nash
tersebut. Misalnya jumlah hukum cambuk seratus kali dalam firman Allah:
;ot$ù#y_ sps•($ÏB $yJåk÷]ÏiB 7‰Ïnºur ¨@ä. (#rà$Î#ô_$$sù ’ÎT#¨“9$#ur èpu‹ÏR#¨“9$#
ÇËÈ ... (
C. Hukum Ijtihad
1. Wajib ‘ain, Yaitu bagi seorang mujtahid yang ditanya tentang masalah, sedang masalah tersebut
akan segera hilang (habis) bila tidak segera dijawab/diselesaikan. Demikian pula wajib ‘ain
apabila masalah tersebut dialami sendiri oleh seseorang dan ia ingin mengetahui hukumnya.
2. Wajib kifayah, yaitu bagi seseorang mujtahid yang ditanya tentang sesuatu masalah dan tidak
dikhawatirkan habisnya atau hilangnya masalah tersebut, sedang selain dia sendiri masih ada
mujtahid lain. Dalam situasi yang demikian apabila semuanya meninggalkan ijtihad, mereka
berdosa.
3. Sunnat, yaitu ijtihad terhadap sesuatu masalah atau peristiwa yang belum terjadi baik dinyatakan
atau tidak.
D. Syarat-Syarat Ijtihad
1. Bersifat adil dan takwa.
2. Memahami Al-Quran dan Al-Hadits. Kalau tidak memahami salah satunya, maka ia bukan
mujtahid dan tidak boleh berijtihad. Hal ini menjadi syarat utama, karena ijtihad hanya boleh
dilakukan apabila telah diketahui tidak ada penjelasan dari Al-Quran atau Al-Hadits.
3. Mengetahui hukum-hukum yang ditetapkan oleh Ijma’. Sehingga ia tidak memberikan fatwa
yang berlainan dengan Ijma’, kalau ia berpegang kepada Ijma dan memandangnya sebagai dalil.
4. Mengetahui serta memahami bahasa Arab. Mujtahid juga harus mengatahui lafadz-lafadz yang
zhahir, mujmal, yang hakikat, yang mahmuz, am, khash, muhkam, mutasyabihat, mutlaq,
muqayad, mantuq, dan mufham. Semua ini perlu untuk memahami Al-Quran dan Al-Hadits.
5. Mengetahui Ilmu Ushul Fiqh dan harus menguasai ilmu ini dengan kuat, karena ilmu ini menjadi
dasar dan pokok ijtihad. Hendaknya seorang mujtahid menguasai ilmu usuhl fiqh ini sehingga
sampai kepada kebenaran, dengan demikian ia mudah mengambalikan soal-soal cabang kepada
soal-soal pokoknya.
6. Mengetahui nasikh dan mansukh. Sehingga ia tidak mengeluarkan hukum berdasarkan dalil
yang sudah dimansukh.
E. Tingkatan-Tingkatan Mujtahid
Mujtahid mutlak, yaitu yang memiliki syarat-syarat ijtihad dan memberikan fatwa dalam segala
hukum dengan tidak terikat oleh sesuatu madzhab.
mujtahid muntasib, yaitu orang yang mempunyai sarat-syarat ijtihad, tetapi menggabungkan
dirinya kepada sesuatu madzhab karena mengikuti cara-cara yang ditetapkan oleh imam
madzhab tersebut dalam berijtihad.
Dengan demikian, metode ijtihad yang digunakannya adalah qiyas dengan menjadikan
kesaksian sebagai ashl dan menjadikan hakim sebagai far’i.
2. MADZHAB MALIKI
Biografi singkat Imam Malik
Nama lengkap Imam Malik adalah Malik bin Anas bin Abi ‘Amar al-Ashbahi. Beliau di
lahirkan di Madinah pada tahun 93 H. Tidak berbeda dengan Abu Hanifah, beliau juga termasuk
ulama dua zaman. Ia lahir pada zaman Dinasti Umayyah, tepatnya pada masa pemerintahan
Walid bin Malik (setelah Umar bin Abdul Aziz), dan meninggal pada masa Dinasti Abbasiyah,
tepatnya pada masa Harun al-Rasyid, yaitu pada tahun 179 H. Beliau merasakan pemerintahan
Umayyah selama 40 tahun dan pemerintahan Abbasiyah selama 46 tahun.
Dalam Madzhab Maliki lima langkah di atas disebut sebagai Ushul Khamsah, langkah
berikutnya adalah: ijma’, qiyas, amal penduduk Madinah, istihsan, sadz dzara’i, mashlahah
mursalah, qaul shahabi, mura’at al-khilaf, istishhab dan syar’u man qablana. Sementara itu salah
satu penerus Madzhab Maliki yaitu al-Syathiby menjelaskan bahwa dalil hukum bagi Madzhab
Maliki adalah al-Qur’an, al-Sunnah, al-Ijma’ dan Qiyas. Salah satu dalil hukum yang sering
dijadikan oleh Imam Malik adalah Ijma’ ulama Madinah. Beliau lebih mengutamakan ijma’ dan
Amal ulama Madinah daripada qiyas, khabar ahad dan qaul shahabat.
Adapun kitab Ushul Fiqh dan Qawa’id al-Fiqh aliran Madzhab Maliki antara lain sebagai
berikut:
Syarh Tanqih al-Fushul fi Ikhtishar al-Mahshul fi al-Ushul dan al-Furuq karya Syihabuddin Abu
al-Abbas Ahmad ibn Idris al-Qurafi (w. 684 H)
al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam karya Abi Ishaq ibn Musa al-Syathiby.
Ushul al-Futiya karya Muhammad ibn al-Harits al-Husaini (w. 361 H)
3. MADZHAB SYAFI’I
Biografi singkat Imam Syafi’i
Nama lengkap Imam al-Syafi’i adalah Muhammad ibn Idris ibn al-Abbas ibn
Utsman ibn Syafi’i ibn al-Sa’ib ibn ‘Ubaid ibn ‘Abd Yazid ibn Hasyim ibn ‘Abd al-Muthallib
ibn Abdul Manaf. Ia dilahirkan di Gazza (suatu daerah dekat Palestina) pada tahun 150 H,
kemudian dibawa oleh ibunya ke Mekkah. Ia meninggal di Mesir pada tahun 204 H.
Beliau lahir pada zaman Dinasti Abbasiyah, tepatnya pada zaman kekuasaan Abu
Ja’far al-Manshur (137-159 H/ 754-774M). Al-Syafi’i berusia 9 tahun ketika Abu Ja’far al-
Manshur diganti oleh Muhammad al-Mahdi (159-169 H/ 775-785M)
Pendapat-Pendapat
1) Tertib dalam wudhu Orang yang wudunya tidak tertib karena lupa adalah sah Orang yang
wudunya tidak tertib meskipun karena lupa adalah tidak sah
2) Menyentuh dubur tidak membatalkan wudhu
3) Shalat isya lebih utama dilaksanakan dengan segera (ta’jil) Shalat isya lebih utama dilaksanakan
dengan diakhirkan (ta’khir)
4) Waktu pengeluaran zakat fitrah. Zakat fitrah wajib pada hari idul fitri setelah terbit fajar (waktu
subuh tiba) Zakat fitrah wajib dikeluarkan pada malam hari idul fitri setelah matahari terbenam
(waktu maghrib tiba)
5) Meninggalkan bacaan Fatihah karena lupa Seseorang yang shalat dan tidak membaca surat al-
Fatihah karena lupa, salatnya adalah sah Seseorang yang shalat dan tidak membaca surat al-
Fatihah karena lupa shalatnya tidak sah, jika yang bersangkutan ingat atau sesudahnya sebelum
berdiri yang kedua, ia kembali berdiri dan membaca al-Fatihah ketika berdiri tersebut apabila
yang bersangkutan baru teringat pada rakaat kedua, maka rakaat tersebut dianggap sebagai rakaat
pertama. Apabila yang bersangkutan baru teringat setelah salam, maka shalatnya wajib diulangi.
6) Tayammum dengan pasir. Seseorang dibolehkan tayammum dengan pasir Seseorang tidak
dibolehkan tayammum dengan pasir.
4. MADZHAB HANBALI
Metode ijtihad Imam Ahmad bin Hanbal.
Ibnu Qayyim al-Jauziyah menjelaskan bahwa pendapat-pendapat Ahmad bin Hanbal di
bangun atas lima dasar, yaitu sebagai berikut:
1) Al-Nushush dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Apabila telah ada ketentuan dari keduanya, ia
berpendapat sesuai dengan makna tersurat (manthuq), sementara makna tersiratnya (mafhum) ia
abaikan.
2) Apabila tidak ditemukan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, ia menukil fatwa sahabat dan memilih
pendapat sahabat yang disepakati sahabat lainnya.
3) Apabila fatwa sahabat berbeda-beda, ia memilih salah satu pendapat yang lebih dekat kepada al-
Qur’an dan Sunnah.
4) Menggunakan hadits mursal dan dha’if, apabila tidak ada atsar, qaul sahabat, atau ijma yang
menyalahinya.
5) Apabila hadits mursal dan dha’if sebagaimana disyaratkan di atas tidak didapatkan, ia
menganalogikan (mengqiyaskan). Dalam pandangannya qiyas adalah dalil yang dipakai dalam
keadaan terpaksa.
6) Langkah terakhir adalah menggunakan Sadz al-dzara’i.[4]
J. ITTIBA’
Ittiba’ menurut bahasa berarti mengikuti. Adapun menurut pengertian syara ittiba’ yaitu:
menerima atau mengikuti pendapat orang lain dengan mengetahui sumber ataupun alasan
pendapat tersebut.
Ittiba’ dalam agama diperintahkan, sebagaimana Firman allah:
ÇÍÌÈ tbqçHs>÷ès? Ÿw óOçGYä. bÎ) Ì•ø.Ïe%!$# Ÿ@÷dr& (#þqè=t«ó¡sù !
Artinya :”Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak
mengetahui”(An Nahl: 43)
Maksud ayat tersebut yakni, tanyakan kepada mereka dari ilmu mereka yang dari al-Quran
dan hadits dan bukan dari pendapat mereka semata. Dzikr dalam ayat diatas maksudnya adalah
al-Quran dan hadits. Dengan demikian yang dimaksud Ahli Dzikr dalam ayat diatas yaitu Ahli
Quran dan Ahli Hadits. Apabila mereka ditanya tentang sesuatu masalah hukum, maka jawablah
: Allah menetapkan begini, atau dalam hadits disebutklan begitu, dan sebaginya.
K. TAKLID
Yang dimaksud dengan taklid yaitu: mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui dalil
atau alasannya. Kalau kita teliti dari kurang 90% umat Islam di Indonesia barangkali orang yang
mengetahui isi Al-Quran dan Hadits tidak akan lebih dari 10 %. Sedangkan selebihnya yaitu
kurang lebih 80% lagi adalah terdiri dari orang awam. Karena itu kita mesti berusaha bagaimana
caranya agar jumlah mereka (orang awam) ini lama kelamaan menjadi berkurang karena mau
tidak mau orang-orang awam ini hanya bertaklid saja dalam masalah-masalah agama, sedangkan
bertaklid ini pada dasarnya dilarang kecuali dalam keadaan terpaksa.[5]
Firman Allah:
yŠ#xsàÿø9$#ur uŽ|Çt7ø9$#ur yìôJ¡¡9$# ¨bÎ) 4 íOù=Ïæ ¾ÏmÎ/ y7s9 }§øŠs9 $tB ß#ø)s? Ÿwur
ÇÌÏÈ Zwqä«ó¡tB çm÷Ytã tb%x. y7Í´¯»s9'ré& ‘@ä.
Artinya : “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai ilmu (pengetahuan)
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati semuanya itu akan diminta
pertanggungjawabannya”(Al-Isra ayat 36)
Kalau taklid terpaksa harus dilakukan, maka hendaknya diperhatikan syarat-syarat orang
yang ditaklidi, indentitasnya, kualitas ilmunya serta kepatuhannya terhadap Al-Quran dan
Sunnah Rasulullah saw. Haram hukumnya taklid kepada orang yang tidak memperdulikan Al-
Quran dan As-Sunah, begitu pula taklid kepada orang yang tidak diketahui indentitas serta
keahliannya dalam syariah Islam.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ayat-ayat al-Qur’an pada umumnya berbentuk ajaran-ajaran dasar tanpa penjelasan
lebih Ianjut mengenai maksud, rincian, cara pelaksanaan dan sebagainya, untuk itu ayat- ayat
tersebut perlu dijelaskan oleh orang-orang yang mengetahui al-Quran dan hadits, yaitu pada
mulanya sahabat Nabi dan para Ulama. Penjelasan oleh para sahabat Nabi dan para Ulama itu
diberikan melalui ijtihad.[6]
Ijtihad adalah segala upaya yang dilakukan oleh mujtahid dalam menetapkan suatu hal pada
berbagai bidang ilmu, seperti fiqih, teologi, filsafat, tasawuf dan sebagainya yang dilandasi
dengan dalil-dalil syar’i (Al-Quran dan As-Sunnah).
Ijtihad dapat dikatakan sebagai inti dinamika hukum Islam. Kegiatan ijtihad dapat dilakukan
dengan bayani maupun ra’yi. Ijtihad bayani adalah penggalian hukum Islam dengan
menganalisis lafadz-lafadz yang digunakan sebagai dalil, melalui pendekatan bahasa. Ijtihad al-
Ra’yi dilakukan dengan menggunakan akal fikiran, baik dengan mengqiyaskan, istihsan, istishab,
maslahah maupun yang lainnya.
Melakukan ijtihad bagi seorang mujtahid dapat mencapai hukum wajib ain, fardhu kifayah,
dan sunnat. Adapun untuk menjadi mujtahid disyaratkan memiliki pengetahuan dan pemahaman
tentang Al-Quran dan As-Sunnah dari berbagai aspeknya, memahami masalah yang sudah
disepakati ulama, memahami bahasa Arab, dan mengetahui ushul fiqh.
Mujtahid dibedakan pada mujtahid mutlaq dan mujtahid muntasib.
Pendekatan dalam ijtihad dilakukan dengan ijma, qiyas, maslahat, istihsan, istishab, syaru’ man
qablana, dilalah iqtiran, sadudzarai’, madzhab sahabi, ‘urf, ta’adul dan tarjih.
Dalam realitasnya, tidak semua umat Islam memenuhi syarat untuk berijtihad, sebagiannya
melakukan ittiba, bahkan tidak sedikit yang taqlid, meskipun secara qathi’, taqlid dalam
masalah-masalah yang dapat diketahui dengan akal tidak dibenarkan, demikian pula taqlid dalam
masalah-masalah ibadah khas.
Sebagai hasil ijtihad ada yang disebut ijma, qiyas, dan fatwa. Dikalangan ummat Islam ada
yang beramal dengan talfiq, yakni mengambil yang ringan-ringan tentang hukum sesuatu dari
berbagai madzhab. Jika hal itu dilakukan pada perbuatan yang dapat mengakibatkan batalnya
amal, maka talfiq tidak dibenarkan.
Kaum Muslim menyadari bahwa al-Quran dan hadis tidak akan mampu memecahkan semua
persoalan-persoalan kontroversial, khususnya persoalan hukum perundang-undangan dan
peribadatan. Karena dengan pemerintahan Islam yang terus-menerus meluaskan wilayah, di
mana masing-masing wilayah baru memiliki kebiasaan-kebiasaan dan tradisi-tradisi yang sangat
berbeda dengan orang-orang Arab pedalaman dan orang-orang yang “menyaksikan pewahyuan”,
maka konflik-konflik dengan mudah muncul antara perintah lama dan yang baru.[7]
Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa jika seseorang (muslim) mampu memahami
Islam secara jelas, benar dan menyeluruh, maka Islam akan menjadi rahmat bagi seluruh umat
manusia dan alam semesta, Islam menjadi jalan penyelamatan, pembebasan, perdamaian, ilmu
dan kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat kelak.