Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam memandang hubungan antara suami dan istri bukan hanya

sekedar kebutuhan semata, tetapi lebih dari itu Islam telah telah mengatur

dengan jelas bagaimana sebuah hubungan agar harmonis dan tetap

berlandaskan pada tujuan hubungan tersebut, yakni hubungan yang dibangun

atas dasar cinta kepada Allah Swt. Oleh karena itu, untuk mewujudkan

keluarga yang diliputi oleh ketenangan, diselimuti cinta kasih dan jalinan

yang diberkahi, Islam telah mengajarkan kepada Sang Nabi bagaimana

jalinan antara suami dan istri ini bisa sejalan, dapat seiya dan sekata.

Untuk itu, melalui makalah ini insyaAllah penulis akan mengupas

beberapa yang berkaitan tentang hak dan kewajiban antara seorang suami

dengan istri. Hak yang didasarkan pada kesadaran bukan sekedar kebutuhan,

dan kewajiban yang didasari pada kasih sayang dan bukan hanya

menjalankan tugas belaka. Dan Islam telah menjadikan hubungan antara

suami istri ini begitu indah jika kita mampu mengejawantahkannya dalam

biduk rumah tangga.

1
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana hak dan kewajiban suami istri?

2. Bagaimana hak dan kewajiban suami istri tentang nafkah kiswah dan

tempat tinggal bersama?

3. Bagaimana hak dan kewajiban suami istri tentang masa iddah?

4. Bagaimana kedudukan harta dalam keluarga?

C. Tujuan

1. Dapat mengetahui hak dan kewajiban suami istri.

2. Dapat mengetahui hak dan kewajiban suami istri tentang nafkah kiswah

dan tempat tinggal bersama.

3. Dapat mengetahui hak dan kewajiban suami istri tentang masa iddah.

4. Dapat mengetahui kedudukan harta dalam keluarga.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hak dan Kewajiban Suami Istri

Hak adalah kekuasaan seseorang untuk melakukan sesuatu, sedangkan

Kewajiban adalah sesuatu yang harus dikerjakan. Hak dan kewajiban suami

istri dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 terdapat dalam Bab VI

Pasal 30-34. Dalam pasal 30 disebutkan bahwa “Suami istri memikul

kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi dasar

dari susunan masyarakat”.

Aturan hak dan kewajiban suami istri menurut UU No.1/1974 dan

Peraturan Pemerintah No.9/1975 serta Kompilasi Hukum Islam (KHI) itu

sudah sangat lengkap yakni hak istri adalah kewajiban suami, begitupun

sebaliknya hak suami merupakan kewajiban istri.

Dalam hukum islam pun tidak jauh berbeda, kewajiban suami adalah

pemimpin dalam keluarga. Dengan demikian, istri harus mengabdi kepada

suami yang membimbingnya kejalan kebajikan dan takwa. Menurut Sayyid

Sabiq, jika akad nikah telah sah ia akan menimbulkan akibat hokum sehingga

akan menimbulkan pula hak serta kewajiban selaku suami-istri. Hak dan

kewajiban ini ada 3 macam, yaitu sebagai berikut :

1. Hak istri atas suami

2. Hak suami atas istri, dan

3
3. Hak bersama

Masing-masing suami istri jika menjalankan kewajibannya dan

memperhatikan tanggung jawabnya akan mewujudkan ketentraman dan

ketenangan hati sehingga suami istri mendapatkan kebahagiaan yang

sempurna.[1]

B. Nafkah Kiswah dan Tempat Tinggal Bersama

1. Definisi Nafkah

Dalam kamus Arab-Indonesia, secara etimologi kata nafkah diartikan

dengan pembelanjaan. Dalam tata bahasa Indonesia kata nafkah secara resmi

sudah dipakai dengan arti pengeluaran. Syamsuddin Muhammad ibn

Muhammad al- Khatib al- Syarbaini membatasi pengertian nafkah

dengan“Sesuatu yang dikeluarkan dan tidak dipergunakan kecuali untuk

sesuatu yang baik”. Wahbah al- Zuhaili menjelaskan pengertian nafkah

sebagai berikut : “Yaitu mencukupi kebutuhan orang yang menjadi

tanggungannya berupa makanan, pakaian dan tempat tinggal”.

Dari definisi- definisi diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud

dengan nafkah adalah semua kebutuhan dan keperluan yang berlaku menurut

keadaaan dan tempat, seperti makanan, pakaian, rumah, dan sebagainya.[2]

2. Macam- Macam Nafkah

a. Nafkah Madhiyah

Pada dasarnya nafkah materi (madhiyah) adalah sesuatu yang

dikeluarkan suami dari hartanya untuk kepentingan istrinya berupa hal- hal

[1] Beni Ahmad Saebani, 2010, Fiqh Munakahat, (Bandung : CV. Pustaka Setia), hal. 32
[2] Zaenal Arifin, 2010, Ilmu Fiqih (Pengantar Hukum Islam), (Jakarta: Lembaga Pendidikan
Pelita Umat), Hal. 65

4
yang bersifat lahiriah atau materi. Kewajiban ini berlaku dalam fiqih

didasarkan kepada prinsip pemisahan harta antara suami dan istri. Prinsip ini

mengikuti alur pikir bahwa suami itu adalah pencari rezeki; rezeki yang telah

diperolehnya itu menjadi haknya secara penuh dan untuk selanjutnya suami

berkedudukan sebagai pemberi nafkah. Sebaliknya, istri bukan pencari rezeki

dan untuk memenuhi keperluannya ia berkedudukan sebagai penerima

nafkah.

b. Nafkah mut’ah

Nafkah Mut’ah adalah pemberian suami kepada istri yang

diceraikannya sebagai kompensasi. Hal ini sesuai dengan penjelasan yang

terdapat di dalam Kompilasi Hukum Islam yaitu sebagaimana diketahui

bahwa mut’ah adalah pemberian bekas suami kepada istrinya yang dijatuhi

talaq berupa benda atau uang dan lainnya, maka mut’ah tersebut dapat

menjadi wajib dan dapat pula menjadi sunnat.

Mut’ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat belum

ditetapkannya mahar bagi istri dan perceraian yang terjadi atas kehendak

suami. Adapun Mut’ah Sunnat diberikan oleh bekas suami tanpa syarat yang

telah ditetapkan pada pasal 158. Artinya, Mut’ah Sunnat adalah pemberian

bekas suami kepada istrinya tanpa syarat, dan merupakan pemberian semata.

Besarnya mut’ah tersebut, baik yang wajib maupun yang sunnat disesuaikan

dengan kepatutan dan kemampuan suami.

5
3. Syarat- Syarat Wajib Nafkah

Menurut jumhur ulama suami wajib memberikan nafkah isterinya

apabila:

a. Isteri menyerahkan diri kepada suaminya sekalipun belum melakukan

senggama.

b. Isteri tersebut orang yang telah dewasa dalam arti telah layak

melakukan hubungan suami istri.

c. Perkawinan suami isteri itu telah memenuhi syarat dan rukun dalam

perkawinan.

d. Tidak hilang hak suami untuk menahan isteri disebabkan kesibukan

isteri yang dibolehkan agama.

Maliki membedakan syarat wajib nafkah isteri setelah dan belum

disenggamai. Syarat nafkah sebelum disenggamai adalah[3]:

a. Mempunyai kemungkinan untuk disenggamai. Apabila suami mengajak

istrinya melakukan hubungan suami istri namun isteri menolak, maka

istri tidak layak untuk menerima nafkah.

b. Istri layak untuk disenggamai. Apabila istri belum layak disenggamai

seperti masih kecil maka ia berhak menerima nafkah.

c. Suami adalah seorang laki- laki yang telah baligh. Jika suami belum

baligh sehinggga belum mampu melakukan hubungan suami isteri

secara sempurna maka ia tidak wajib membayar nafkah.

[3] http://almanhaj.or.id/content/3668/slash/0/masa-iddah-dalam-islam/, Dikutip Tanggal 15


November 2019, Pukul 20.35 WIB

6
d. Salah seorang suami isteri tidak dalam keadaan sakratulmaut ketika

diajak senggama.

Selanjutnya syarat wajib nafkah bagi isteri yang telah disenggamai

adalah:

a. Suami itu mampu. Apabila suami tidak mampu, maka ia tidak wajib

membayar nafkah isterinya.

b. Isteri tidak menghilangkan hak suami untuk menahan isteri dengan

alasan kesibukan isteri yang dibolehkan agama.

4. Ukuran Nafkah

Dalam Islam juga disinggung tentang ketentuan kadar nafkah dan sisi

kemampuan memenuhi kewajiban nafkah memiliki kaitan erat dalam aplikasi

nafkah secara riil, diakui bahwa, memang di kalangan para ulama terjadi

perbedaan pandangan mengenai kadar, jenis dan kemampuan nafkah secara

orang perorang dalam pemenuhannya, antara lain dalam hal penentuan jenis

kebutuhan nafkah misalnya.

Dalam Kitab al-Akhwal asy-Syakhsyiyyah ‘ala Mazahib al-Khamsah,

bahwa sebagian ahli hukum Islam berpendapat bahwa yang dimaksud

kebutuhan pokok (jenisnya) dalam nafkah adalah pangan, sandang dan tempat

tinggal. Sementara ulama yang lain berpendapat bahwa yang dimaksud

kebutuhan pokok hanyalah pangan saja tidak menyangkut di dalamnya

sandang dan papan atau tempat tinggal.

7
Nafkah dalam perceraian dikadar (dibatas) dengan keadaan syara'

yaitu dibatas dengan keadaan syara' sendiri. Seperti halnya dalam hal ini

Imam Malik berpendapat bahwa nafkah tidak ada batasnya, baik dalam

maksimal maupun minimalnya.

Selanjutnya mengenai kadar nafkah, dalam hal ini adalah nafkah bagi

mantan isteri, al-Qur'an tidak menyebutkan ketentuannya, al-Qur'an hanya

memberikan pengarahan/anjuran yang sangat bijaksana, yakni dengan

menyerahkan kepada mantan suaminya dengan ukuran yang patut (ma'ruf)

sesuai dengan kemampuannya.[4]

Hal ini sesuai dengan Firman Allah dalam surat al-Baqarah : 236 yang

berbunyi :

ُ ‫سو ُه ان أ َ ۡو ت َ ۡف ِر‬
‫ضواْ لَ ُه ان‬ َ ِ‫طلا ۡقت ُ ُم ٱلن‬
ُّ ‫سا ٓ َء َما لَ ۡم ت َ َم‬ َ ‫اَّل ُجنَا َح َعلَ ۡي ُك ۡم ِإن‬
ٗۚ
‫علَى ۡٱل ُمو ِسعِ قَدَ ُرهۥُ َو َعلَى ۡٱل ُم ۡقتِ ِر قَدَ ُرهۥُ َم َٰت َ َۢ َعا‬
َ ‫ضة َو َمتِعُو ُه ان‬ َ ‫فَ ِري‬

َ‫وف َحقًّا َعلَى ۡٱل ُم ۡح ِسنِين‬


ِ ِۖ ‫بِ ۡٱل َمعۡ ُر‬
Artinya : Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu

menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan

sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu

mut'ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut

kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu


[4] Anshori Umar, 1981, Fiqih Wanita, (Semarang : CV. Asy-Syifa), Hal. 462
pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi

orang-orang yang berbuat kebajikan. [5]

8
Dalam hal ini H. Sulaiman Rasyid berpendapat diwajibkan atas suami

memberikan belanja kepada isteri yang taat, baik makanan, pakaian, tempat

tinggal menurut keadaan di tempat masing-masing dan tingkatan suami.

Banyaknya menurut hajat dan adat yang berlaku di tempat masing-masing,

dengan mengingat tingkatan dan keadaan suami. Intinya yang menjadi ukuran

berapa besar nafkah adalah kemampuan suami. Lebih lanjut Sulaiman Rasyid

menguraikan walaupun sebagian ulama mengatakan nafkah isteri itu kadar

pemberian nafkahnya tidak ditentukan, hanya sekedar cukup serta

menginggat keadaan suami.

Dengan demikian jelas bahwa jika kedapatan suaminya kaya maka

disesuaikan dengan kemampuan, nafkahnya itu sebanding dengan

kekayaannya. Begitu juga sebaliknya. Seperti firman Allah dalam surat al-

Baqarah: 223 dan juga surat at-Talaq: 7, Imam Malik menjelaskan bahwa

nafkah itu tidak ada batasan yang ma'ruf (patut), dalam sedikitnya atau

banyaknya.

C. Masa Iddah

1. Pengertian Masa Iddah

Masa ‘iddah adalah istilah yang diambil dari bahasa Arab dari kata

(‫ )ال ِعدَّة‬yang bermakna perhitunga. Dinamakan demikian karena seorang

menghitung masa suci atau bulan secara umum dalam menentukan selesainya
[5] Departenen Agama RI, 2011, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: PT. Kalim), Hal. 39
masa iddah.

9
Menurut istilah para ulama, masa ‘iddah ialah sebutan atau nama

suatu masa di mana seorang wanita menanti atau menangguhkan perkawinan

setelah ia ditinggalkan mati oleh suaminya atau setelah diceraikan baik

dengan menunggu kelahiran bayinya, atau berakhirnya beberapa bulan yang

sudah ditentukan. Ada yang menyatakan, masa ‘iddah adalah istilah untuk

masa tunggu seorang wanita untuk memastikan bahwa dia tidak hamil atau

karena ta’abbud atau untuk menghilangkan rasa sedih atas sang suami.[6]

2. Dasar Hukum Masa Iddah

Masa iddah sebenarnya sudah dikenal dimasa jahiliyah. Ketika Islam

datang, masalah ini tetap diakui dan dipertahankan. Oleh karena itu para

Ulama sepakat bahwa ‘iddah itu wajib, berdasarkan al-Qur`ân dan Sunnah.

Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah : 228

‫طلا َٰقَتُ يَت َ َرباصۡ نَ بِأَنفُ ِس ِه ان ث َ َٰلَثَةَ قُ ُر ٓو ۚٗء َو ََّل يَ ِح ُّل لَ ُه ان أَن يَ ۡكتُمۡ نَ َما‬
َ ‫َو ۡٱل ُم‬

‫ٱَّللِ َو ۡٱليَ ۡو ِم ۡٱۡل ٓ ِخ ۚٗ ِر َوبُعُولَت ُ ُه ان أ َ َح ُّق‬ ِ ‫ٱَّللُ فِ ٓي أ َ ۡر َح‬


‫ام ِه ان ِإن ُك ان يُ ۡؤ ِم ان ِب ا‬ ‫َخلَقَ ا‬

ِ ٗۚ ‫ِب َر ِد ِه ان ِفي َٰذَ ِل َك ِإ ۡن أ َ َراد ُٓواْ ِإصۡ َٰلَح ۚٗا َولَ ُه ان ِم ۡث ُل ٱلاذِي َعلَ ۡي ِه ان ِب ۡٱل َمعۡ ُر‬
‫وف‬

‫ة َو ا‬ٞۗ ‫َو ِل ِلر َجا ِل َعلَ ۡي ِه ان دَ َر َج‬


ٌ ‫ٱَّللُ َع ِز‬
‫يز َح ِكي ٌم‬
Artinya : Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu)

tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan

Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat.

[6]Dan suami-suaminya
Op. Cit, Zaenal Arifin, Hal.berhak
71 merujukinya dalam masa menanti itu, jika

10
mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak

yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi

para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan

Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. [7]

Sedangkan dalil dari sunnah, diantaranya :

‫سلَ َمةَ أ ُ ِم َعن‬


َ ِ‫صلَّى النَّ ِبي ِ زَ وج‬
َ ََُّ‫سلَّ َم َعلَی ِھ هلل‬
َ ‫سبَی َعةُ لَ َھا یُقَا ُل أَسلَ َم ِمن ام َرأَة أ َ َّن َو‬
ُ ‫ت َحتَ كَانَت‬

َ ‫سنَابِ ِل أَبُو فَ َخ‬


َ ‫طبَ َھا ُحبلَى َوھ‬
َ ِ‫ِي َعن َھا ت ُ ُوف‬
‫ي زَ و ِج َھا‬ َّ ‫یَصلُ ُح َما َوهللََِ فَقَا َل ت َن ِك َح ُھ أَن فَأَبَت بَعكَك بنُ ال‬

‫آخ َر تَعتَدِي َحتَّى تَن ِك ِحی ِھ أَن‬


ِ ‫ي َجا َءت ث ُ َّم لَیَال َعش ِر ِمن قَ ِریبا فَ َم ُكثَت اْل َ َجلَی ِن‬
َّ ِ‫صلَّى النَّب‬
َ ََُّ‫َعلَی ِھ هلل‬

‫سلَّ َم‬
َ ‫ان ِك ِحي فَقَا َل َو‬

“Dari Ummu Salamah istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

bahwasanya seorang wanita dari Aslam bernama Subai’ah ditinggal mati oleh

suaminya dalam keadaan hamil. Lalu Abu Sanâbil bin Ba’kak melamarnya,

namun ia menolak menikah dengannya. Ada yang berkata, "Demi Allâh, dia

tidak boleh menikah dengannya hingga menjalani masa iddah yang paling

panjang dari dua masa iddah. Setelah sepuluh malam berlalu, ia mendatangi

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

bersabda, "Menikahlah!" [HR al-Bukhâri no. 4906].

3. Hak Istri dalam Masa Iddah

HakAl-Qur’an,
[7] Op. Cit, istri dalam
Hal.masa
37 iddah adalah[8] :

a. Perempuan yang taat dalam iddah raj’iyah berhak menerima tempat

tinggal (rumah), pakaian, dan segala keperluan hidupnya, dari yang mana

11
kalanya (bekas suaminya); kecuali isrti yang durhaka tidak menerima apa-

apa. Sabda Rasulullah SAW:

“Perempuan yang berhak mengambil nafkah dan rumah kediaman dari

bekas suaminya itu apabila bekas suaminya itu berhak rujuk kepadanya”

b. Perempuan yang dalam iddah bain, kalau ia mengandung, ia berhak juga

atas kediaman, nafkah dan pakaian. Firman Allah SWT dalam QS. Ath-

thalaq:6

ْ‫ضيِقُوا‬ َ ُ ‫س َكنتُم ِمن ُو ۡج ِد ُك ۡم َو ََّل ت‬


َ ُ ‫ضا ٓ ُّرو ُه ان ِلت‬ ُ ‫أ َ ۡس ِكنُو ُه ان ِم ۡن َح ۡي‬
َ ‫ث‬

‫ضعۡ نَ َح ۡملَ ُه ۚٗ ان فَإ ِ ۡن‬ ِ َ‫َعلَ ۡي ِه ۚٗ ان َوإِن ُك ان أ ُ ْو َٰل‬


َ َ‫ت َح ۡمل فَأَن ِفقُواْ َعلَ ۡي ِه ان َحت ا َٰى ي‬

ِۖ ‫ور ُه ان َو ۡأت َ ِم ُرواْ بَ ۡي َن ُكم ِب َمعۡ ُر‬


‫وف َو ِإن‬ َ ‫فٔ َٔاتُو ُه ان أ ُ ُج‬ َ ‫أ َ ۡر‬
َ ‫ضعۡ نَ لَ ُك ۡم‬

‫ض ُع لَ ٓۥهُ أ ُ ۡخ َر َٰى‬
ِ ‫ست ُ ۡر‬
َ َ‫س ۡرت ُ ۡم ف‬
َ ‫ت َ َعا‬
Artinya : Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal

menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk

menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah


[8]ditalaq)
Op.cit, Beni
itu Ahmad
sedangSaebani,
hamil,hal. 21-24
maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga

mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu

maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara

kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka

perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya. [9]

12
c. Perempuan dalam iddah bain yang tidak hamil, baik bain dengan talak

tebus maupun dengan talak tiga, hanya berhak mendapatkan tempat

tinggal tetapi tidak berhak selainnya.

d. Perempuan yang dalam iddah wafat, dia tidak mempunyaihak sama sekali

meskipun ia mengandung. Hal ini karena ia dan anak yang berada dalam

kandungannya telah mendapat hak pusaka dari suaminya yang meninggal

dunia.

Istri yang sedang dalam masa iddah berhak atas nafkah dari suminya,

sebagimana disebutkan dalam QS. Ath-thalaq : 6 diatas. Nafkah bagi isrti

yang sedang masa iddah berupa tempat tinggal dan nafkah uang belanja

sampai masa iddah nya habis. Demikian pula istri yang di talak dalam

keadaan sedang hamil, bekas suminya berkewajiban memberi nafkah sampai

ia melahirkan anaknya, mulai dari kebutuhan hidupnya sampai dengan

kebutuhan pendidikannya. Tiga istilah yang terdapat dalam QS. Ath-thalaq : 6

adalah:

a. Maskanah artinya tempat tinggal


[9] Op.cit, Hal. 560
b. Infaq yang artinya nafkah

c. Ujrah artinya upah.

Tiga jenis istilah tersebut berkaitan dengan kewajiban suami atau

mantan suami untuk member tempat tinggal dan nafkah lahir kepada istrinya

13
atau mantan istrinya selama masa iddah, dan membayar upah bagi seorang

ibu yang menyusui anaknya.

Jadi, jika seorang suami menceraikan isrtinya dan anak di pelihara

oleh ibunya meskipun telah habis masa iddahnya, suami berkewajiban

memberi ujrah atu upah kepada mantan istriya karena ia membutuhkan dana

dalam merawat anak-anaknya kecuali jika ia telah menikah dengan lelaki lain.

Dalam hal ini mantan suami berkewajiban membiayai anak-anaknya

saja sedangkan mantan istrinya sudah menjadi tanggung jawab suaminya

yang baru.

D. Kedudukan Harta dalam Keluarga

Harta bersama adalah harta yang diperoleh secara bersama di dalam

perkawinan. Dalam bahasa Indonesia harta diartikan dengan:

1. Barang-barang (uang dan sebagainya) yang menjadi kekayaan, barang-

barang milik orang;

2. Kekayaan berwujud dan tidak berwujud.[10]

Untuk keperluan operasional, maka yang di maksud dengan harta

bersama adalah segala harta benda atau barang baik yang berwujud maupun

yang tidak berwujud yang diperoleh selama dalam perkawinan yang


[10] Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka, 1990), cet. 3 hal. 334
merupakan milik suami isteri.

Pasal 85 KHI: "Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak

menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau

isteri".[11]

14
Pasal 35 atat 2 UU nomor 1 tahu 1974 menetapkan bahwa harta benda

yang diperoleh selama dalam perkawinan menjadi harta benda milik

bersama.[12]

Adapun harta bersama tersebut dapat meliputi benda tidak bergerak,

benda bergerak dan surat-surat berharga, benda berwujud atau benda tak

berwujud, baik yang telah ada maupun yang akan ada pada saat kemudian.

Keduanya dapat dijadikan jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan dari

pihak lainnya. Suami atau istri tanpa persetujuan salah satu pihak tidak boleh

menjual atau memindahkan harta bersama tersebut.

Semua harta yang diperoleh sepasang suami isteri selama dalam

perkawinan mereka menjadi harta benda kepunyaan bersama. Harta bersama

tidak boleh terpisah atau dibagi-bagi selama dalam perkawinan masih

berlangsung. Apabila suami isteri itu berpisah akibat kematian atau akibat

perceraiain barulah dapat dibagi. Jika pasangan suami isteri itu waktu bercerai

atau salah satunya meninggal tidak memiliki anak, maka semua harta besama

itu dibagi dua setelah dikeluarkan biaya pemakamam dan pembayar hutang-

hutang suami isteri. Jika pasangan ini mempunyai anak maka yang menjadi
[11] Supriatna,dkk. Fiqh Munakahat II Dilaengkapi dengan UU No. 1/1974 dan Kompilasi
Hukum Islam,
ahli waris (Yogyakarta
adalah suami: atau
Teras,isteri
2009),yang hidup bersama anak-anak mereka.[13]
Hal. 157

[12] http://www.islam-yes.com/harta_benda.html. Dikutip Tanggal 19 November 2019, Pukul

20.32 WIB

15
[13] Ibid, http://www.islam-yes.com/harta_benda.html

BAB III

KESIMPULAN

Dalam penjelasan makalah diatas, dapat disimpulkan bahwa :

1. Hak adalah kekuasaan seseorang untuk melakukan sesuatu, sedangkan

Kewajiban adalah sesuatu yang harus dikerjakan. Dengan dilangsungkan

akad nikah antara mempelai laki-laki dan mempelai perempuan yang

16
dilakukan oleh walinya, terjalinlah hubungn suami isteri dan timbul hak

dan kewajiaban masing-masing secara timbal-balik.

2. Nafkah adalah sesuatu yang diberikan oleh seseorang kepada isteri

ataupun anak-anaknya untuk memenuhi kebutuhan pokok bagi mereka,

seperti makanan, pakaian dan tempat tinggal.

3. Masa iddah adalah masa tunggu seorang wanita yang menanti atau

menangguhkan perkawinan setelah ia ditinggalkan mati oleh suaminya

atau setelah diceraikan dalam waktu beberapa bulan yang sudah

ditentukan.

4. Dalam perkawinan harta bersama, dimana seorang suami dan istri boleh

menggunakan harta mereka masing-masing untuk memenuhi kebutuhan

hidupnya. Adapun harta bersama tersebut merupakan harta yang diperoleh

dalam perkawinan. Apabila kemudian terjadi perceraian atau kematian

diantara mereka maka sebaiknya dibagi secara adil.

DAFTAR PUSTAKA

Anshori Umar, 1981, Fiqih Wanita, (Semarang : CV. Asy-Syifa)

Beni Ahmad Saebani, 2010, Fiqh Munakahat, (Bandung : CV. Pustaka Setia)

Departenen Agama RI, 2011, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: PT. Kalim)

17
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka, 1990), cet. 3.

Supriatna,dkk. Fiqh Munakahat II Dilaengkapi dengan UU No. 1/1974 dan

Kompilasi Hukum Islam, (Yogyakarta : Teras, 2009)

Zaenal Arifin, 2010, Ilmu Fiqih (Pengantar Hukum Islam), (Jakarta: Lembaga
Pendidikan Pelita Umat)

http://www.islam-yes.com/harta_benda.html.

http://almanhaj.or.id/content/3668/slash/0/masa-iddah-dalam-islam/

18

Anda mungkin juga menyukai