Anda di halaman 1dari 14

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam adalah agama dan jalan hidup yang berdasarkan pada firman Allah yang
termaktub di dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Berbagai macam gagasan yang
dimunculkan oleh para pakar mengenai pembaharuan Fikih terutama yang berkaitan
dengan penerapan hukum Islam yang selalu harus kondisional. Seperti masalah
monogami dan poligami. Poligami merupakan masalah klasik yang sudah ada sejak
Islam belum datang. Akan tetapi, masalah ini masih ada hingga saat ini. Dalam
makalah ini akan dijelaskan bagaimana pandangan Islam tentang poligami serta
syarat-syarat diperbolehkannya berpoligami.

B. Ruang Lingkup
Adapun ruang lingkup yang akan dibahas dalam makalah ini adalah hal yang
berhubungan dengan monogami, poligami dan perceraian yang meliputi : pengertian
monogami dan poligami, bagaimana menurut UU dan pandangan hukum Islam, serta
proses perceraian di pengadilan.

C. Tujuan
Adapun tujuan penulis membuat makalah ini adalah :
1. Memberikan pengetahuan kepada pembaca tentang monogami dan poligami
2. Memberikan gambaran tentang monogami dan poligami dalam perundang-
undangan
3. Memberikan gambaran tentang monogami dan poligami menurut hukum Islam
4. Memberikan proses perceraian di pengadilan agama
5. Memberikan pengetahuan tentang nikah sirih menurut hukum

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Monogami Dan Poligami


Asas perkawinan dalam Islam pada dasarnya adalah monogami. Monos berarti
satu dan gamos berarti perkawinan. Monogami adalah suatu sistem perkawinan dimana
hanya mengawini satu istri saja.1
Monogami berarti perkawinan yang hanya membolehkan suami mempunyai satu
istri. Hal ini dikarenakan tidak seorangpun menghendaki pasangan hidupnya membagi
cinta dan kasih sayang dengan orang lain, karena cinta kasih yang merupakan ikatan
batin ini merupakan landasan yang kuat dalam membina kerukunan hidup berumah
tangga.2
Asas monogami telah ditetapkan oleh Islam sejak 15 abad yang lalu sebagai salah
satu asas perkawinan dalam Islam yang bertujuan untuk landasan dan modal utama guna
membina kehidupan rumah tangga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Oleh karena
itu, hukum asal dalam perkawinan menurut Islam adalah monogami, sebab dengan
monogami akan mudah menetralisasi keluarga yang monogamis.
Kata poligami secara etimologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu polus yang
berarti banyak dan gamos yang berarti perkawinan. Bila digabungkan berarti suatu
perkawinan yang banyak atau lebih dari seorang.3 Jadi, poligami artinya beristri banyak.
Secara terminologi, poligami artinya seorang laki-laki mempunyai istri lebih dari satu.
Atau seorang laki-laki beristri lebih dari seorang, tetapi dibatasi paling banyak empat
orang.
Allah membolehkan berpoligami sampai empat orang istri dengan syarat berlaku
adil pada mereka. Yaitu adil dalam melayani istri, seperti urusan nafkah, tempat tinggal,
pakaian, giliran dan segala hal yang bersifat lahiriah. 4 poligami adalah suatu sistem
perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenis di
waktu yang bersamaan.

1
chandra yuliasman. http://chandrayuliasman.blogspot.com/2013/06/fiqh-kontemporer-monogami-dan-
poligami.html
2
Laonso, hamid. 2005. Hukum Islam Alternatif Solusi Terhadap Masalah Fiqh Kontemporeri. Jakarta: Restu
Ilahi. Hal 19
3
chandra yuliasman. http://chandrayuliasman.blogspot.com/2013/06/fiqh-kontemporer-monogami-dan-
poligami.html
4
Mahjuddin. 2003. Masail Fiqhiyah. Jakarta: Kalam Mulia. Hal 52

2
Melaksanakan perkawinan, baik monogami maupun poligami ditetapkan dengan
syarat-syarat yang mesti dipenuhi sehingga perkawinan tersebut dipandang legal menurut
hukum. Persyaratan yang dimaksud adalah:
1) Monogami:
1. Bila telah mencapai kepuasan lahir batin, kebahagiaan dunia dan akhirat.
2. Terciptanya keluarga sakinah dan kesamaan pandangan dalam membangun
rumah tangga sejahtera.
2) Poligami:
a. Adil, karena orang yang adillah dibenarkan Islam untuk berpoligami.
b. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
c. Istri tidak dapat melayani suami secara maksimal, dan tidak adanya
kesamaan dalam melaksanakan kewajiban sebagai istri.
d. Istri mengidap penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

Hukum poligami
Ulama mahzab menetapkan bahwa laki-laki yang sanggup berlaku adil dalam
kehidupan rumah tangga, dibolehkan melakukan poligami sampai 4 istri, berdasarkan
surat an-Nisa ayat 3 yang berbunyi:
           
           
      
Artinya:
Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-
wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut
tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang
kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

Ada juga hadits yang menjadi dasar pendapat diatas, yaitu:


‫ اَ ْم ِس ْك اَرْ بَ ًع??ا َوفَ??ا ِر ْق‬: ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل لِ َغ ْياَل ِن ْب ِن َسلَ َمةَ ِح ْينَ أَ ْسلَ َم َو تَحْ تَهُ َع ْش ُر نِ ْس َو ٍة‬
َ ِ‫فَأ ِ َّن َرسُوْ هللا‬
)‫َسا ئِ َر ه َُّن (رواه النسا ئ‬
Bahwasannya Rasulullah SAW berkata kepada Ghailan bin Salamah ketika ia
masuk Islam; yang padanya ada 10 istri: Milikilah 4 orang istrimu dan ceraikanlah
yang lainnya (H. R. An Nasaa’y)

3
B. Monogami Dan Poligami Dalam Per UU an
Syarat dan alasan beristri lebih dari satu orang (poligami)
a. UU.No1/1974
UUP menganut asas monogami seperti yang terdapat dalam pasal 3 yang
menyatakan, seorang pria hanya mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya
mempunyai seorang suami, namun dalam keadaan tertentu poligami dibenarkan.
Dalam pasal 4 UUP dinyatakan: seorang suami yang akan beristri lebih dari
seorang apabila:
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan
Dengan adanya pasal-pasal yang membolehkan poligami walaupun dengan
alasan-alasan tertentu, jelaslah bahwa asas yang dianut oleh UUP sebenarnya
bukanlah asas monogami mutlak, melainkan asas monogami terbuka. Disamping itu
lembaga poligami tidak semata-mata kewenangan penuh suami tetapi atas dasar izin
dari hakim (pengadilan). Oleh sebab itu, pada pasal 3 ayat 2 ada pernyataan:
Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari
satu orang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan
Dalam pasal 5 ayat 1 UUP, syarat-syarat yang dipenuhi bagi seorang suami
yang ingin melakukan poligami adalah:
a. Adanya persetujuan dari istri/istri-istri
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri
dan anak-anak mereka
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-
anak mereka
Pada pasal 5 ayat 2 kembali ditegaskan:
Persetujuan yang dimaksud pada ayat 1 huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi
seorang suami apabila istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak
dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama
sekurang-kurangnya 2(dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu
mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.5

5
Nuruddin, Amiur, Azhari Akmal tarigan. 2004. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta:Prenada Media.
Hal 161

4
b. PP No.9/1975
Pada pasal 40 dinyatakan:
Apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang maka ia
wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan.
Pasal 41
Pengadilan kemudian memeriksa mengenai :
a. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seseorang suami kawin lagi
b. Ada atau tidaknya persetujuan dari istri, baik persetujuan lisan maupun
tertulis, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu
harus diucapkan di depan sidang pengadilan
c. Ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup
istri-istri dan anak-anak, dengan memperlihatkan:
1) Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditanda-tangani
oleh bendahara tempat kerja; atau
2) Surat keterangan pajak penghasilan; atau
3) Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan
d. Ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-
istri dan anak-anak mereka dengan Pernyataan atau janji dari suami yang
dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu
Pada pasal 42 juga dijelaskan keharusan pengadilan memanggil para istri
untuk memberikan penjelasan atau kesaksian.Pengadilan Agama memiliki wewenang
untuk memberi izin kepada seseorang untuk melakukan poligami. Hal ini dinyatakan
dalam pasal 43 yang bunyinya:
Apabila Pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemihon untuk
beristri lebih dari seorang, maka pengadilan memberikan putusan-putusan yang
berupa izin untuk beristri lebih dari seorang.6
c. Kompilasi hukum islam
KHI memuat masalah poligami pada bagian IX dengan judul, Beristri lebih
dari satu orang yang diungkap dari pasal 55 sampai 59.
Pada pasal 55 dinyatakan:
1. Beristri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai
empat orang istri.

6
Manan, Abdul, M.fauzan. 2001. Pokok-pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan Agama. Jakarta: PT
RajaGrafindo. Hal 2

5
2. Syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil
terhadap istri-istri dan anak-anaknya
3. Apabila syarat-syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin
dipenuhi, suami dilarang beristri lebih dari seorang
Lebih lanjut dalam KHI pasal 56 dijelaskan:
1. Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari
Pengadilan Agama
2. Pengajuan permohonan izin dimaksudkan pada ayat 1 dilakukan Menurut tata
cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII PP No. 9 Tahun 1975
3. Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin
dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum
Pasal 57
Pengadilan agama hanya memberi izin kepada seorang suami yang akan
beristri lebih dari seorang apabila :
a. istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai seorang istri
b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
c. Bahwa istri tidak dapat melahirkan keturunan

Pasal 58
1. Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2), maka untuk
memperoleh izin pengadilan agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang
ditentukan pada pasal 5 UU No. 1 tahun 1974:
a. Adanya persetujuan istri
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-
istri dan anak-anak mereka
2. Dengan tidak mengurangi keturunan pasal 41 huruf b peraturan pemerintahan
No. 9 tahun 1975, persetujuan istri/istri-istri dapat diberikan secara tertulis
atau dengan lisan, tetapi sekalipun sudah ada persetujuan tertulis persetujuan
ini dipertegas dengan persetujuan lisan istri pada sidang pengadilan agama
3. Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang
suami apabila istri atau istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya
dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar

6
dari istri atau istri-istrinya yang sekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab
lain yang perlu dapat penilaian hakim.7

Prosedur Poligami
Pasal 56
1. Suami yang telah beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari pengadilan
agama
2. Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut tatacara
sebagai diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975
3. Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari
pengadilan agama, tidak mempunyai kekuatan hukum

Pasal 59
Dalam hal istri tidak mau memberi persetujuan, dan permohonan izin untuk beristri
lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2)
dan 57, pengadilan agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa
dan mendengar istri yang bersangkutan di persidangan pengadilan agama, dan terhadap
penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi. 8

C. Pandangan Hukum Islam Tentang Poligami


Poligami atau memiliki istri lebih dari satu didasarkan pada firman Allah,
meskipun substansi ayat tersebut tidak berimplikasi pada “wajib” dan juga “haram”.
Dalam perspektif ini berarti poligami adalah mubah, artinya dibolehkan jika dalam
kondisi yang sangat terpaksa, tetapi persyaratan yang mesti dipenuhi oleh suami yang
hendak berpoligami harus dijalani dalam konteks kewajiban, bukan karena terpaksa atau
sebagainya.
Allah SWT membolehkan berpoligami sampai 4 orang istri dengan syarat berlaku
adil kepada mereka, yaitu adil dalam melayani istri, seperti urusan nafkah, tempat
tinggal, pakaian, giliran dan segala hal yang bersifat lahiriah. Jika tidak bisa berlaku adil
maka cukup satu istri saja (monogami). Sebagaimana dijelaskan dalam QS. an-Nisa’
(4) : 3)

7
Nuruddin, Amiur, Azhari Akmal tarigan. Op.cit. hal 166
8
Ghozali, Abdul Rahman. 2010. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana. Hal 134

7
Islam memandang poligami banyak mudharat daripada manfaatnya, karena
manusia itu menurut fitrahnya mempunyai watak cemburu, iri hati dan suka mengeluh.
Watak tersebut akan timbul dengan kadar tinggi jika hidup dalam keluarga yang
poligamis. Poligami itu bisa menjadi sumber konflik dalam kehidupan kelurga, baik
konflik suami dengan istri, istri dengan istri dan istri dengan anak istri-istrinya dan
sebagainya. Oleh karena itu hukum asal dalam perkawinan menurut Islam adalah
monogami, karena monogami dapat menetralisir watak-watak tersebut.9
Dalam Islam berpoligami hanya dibolehkan dalam keadaan darurat, misalnya istri
ternyata mandul, sebab dalam Islam anak itu adalah salah satu dari tiga human invesment
yang sangat berguna bagi manusia setelah ia meninggal dunia.
Dalam pandangan fikih, poligami yang di dalam kitab-kitab fikih disebut
ta’addul al-zaujat, sebenarnya tidak lagi menjadi persoalan. Ulama sepakat tentang
kebolehan poligami, kendatipun dengan persyaratan yang bermacam-macam. As-
Sarakhsi menyatakan kebolehan poligami dan mensyaratkan pelakunya harus berlaku
adil. Al-Kasani menyatakan lelaki yang berpoligami wajib berlaku adil terhadap istri-
istrinya. As-Syafi’i juga mensyaratkan keadilan di antara para istri, dan menurutnya
keadilan ini hanya menyangkut urusan fisik.

D. Proses Perceraian Di Pengadilan Agama


Prosedur yang dapat dilakukan dalam melakukan Gugatan Perceraian di
Pengadilan Agama, yakni sebagai berikut :
1. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah :
a. Mengajukan Gugatan secara tertulis atau lisan kepada Pengadilan Agama, hal
ini berdasarkan Pasal 73 UU No. 7 Tahun 1989;
b. Penggugat dianjurkan untuk meminta petunjuk kepada Pengadilan Agama
tentang tata cara membuat Surat Gugatan, hal ini berdasarkan Pasal 58 UU
No. 7 Tahun 1989;
c. Surat gugatan dapat dirubah sepanjang tidak merubah posita dan petitum,
namun jika Tergugat telah menjawab surat gugatan dan ternyata terdapat
perubahan, maka perubahan tersebut harus atas persetujuan Tergugat.

2. Pengadilan tempat Gugatan didaftarkan :

9
Zuhdi, Masyfuk. 1991. Masail Fiqhyah. Jakarta: Haji Masagung. Hal 12

8
a. Bilamana Penggugat meninggalkan tempat kediaman yang telah disepakati
bersama tanpa izin Tergugat, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan
Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat, hal ini
berdasarkan Pasal 73 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 jo Pasal 32 ayat (2) UU
No. 1 Tahun 1974;
b. Bilamana Penggugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan
diajukan kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat
kediaman Tergugat, hal ini berdasarkan Pasal 73 ayat (2) UU No.7 Tahun
1989;
c. Bilamana Penggugat dan Tergugat bertempat kediaman di luar negeri, maka
gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama, yang daerah hukumnya
meliputi tempat perkawinan dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama
Jakarta Pusat, hal ini berdasarkan Pasal 73 ayat (3) UU No.7 Tahun 1989.

3. Alasan dalam Gugatan Perceraian di Pengadilan Agama :


a. Suami berbuat zina, pemabuk, pemadat, penjudi dan sebagainya;
b. Suami meninggalkan isteri selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa ada ijin
ataupun alasan yang jelas, dengan kata lain perbuatan suami merupakan
perbuatan sadar dan sengaja dilakukan.
c. Suami mendapat hukuman penjara selama 5 (lima) tahun atau lebih setelah
perkawinan dilangsungkan;
d. Suami melakukan kekerasan terhadap isteri, bertindak kejam dan suka
menganiaya;
e. Suami tidak menjalankan kewajibannya sebagai suami karena cacat badan
atau penyakit yang diderita;
f. Terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus tanpa kemungkinan
untuk rukun kembali;
g. Suami melanggar taklik talaq yang diucapkan saat ijab qabul;
h. Suami beralih agama atau murtad yang mengakibatkan ketidakharmonisan
dalam keluarga. (ketentuan hal-hal sebagaimana tersebut diatas berdasarkan
Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam jo Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975).

4. Saksi dan Bukti

9
Pihak Penggugat (isteri) wajib membuktikan di Pengadilan kebenaran
alasan-alasan tersebut, dengan hal-hal berikut ini :
a. Salinan Putusan Pengadilan, jika alasan yang dipakai adalah suami mendapat
hukuman 5 (lima) tahun atau lebih, hal ini berdasarkan Pasal 74 UU No. 7
Tahun 1989 dan Pasal 135 KHI.
b. Bukti hasil pemeriksaan dokter atas perintah dari pengadilan, bila alasan
isteri adalah suami mendapat cacat badan atau penyakit yang menyebabkan
tidak mampu memenuhi kewajibannya, hal ini berdasarkan Pasal 75 UU No.
7 Tahun 1989.
c. Keterangan dari saksi-saksi, baik saksi yang berasal dari keluarga atau orang-
orang dekat yang mengetahui terjadinya pertengkaran antara isteri (si
penggugat) dengan suaminya, hal ini berdasarkan Pasal 76 UU No. 7 Tahun
1989 dan Pasal 134 KHI. 

5. Surat-surat yang harus dipersiapkan, antara lain :


a. Surat Nikah asli:
b. Foto copy surat Nikah masing-masing 2 (dua) lembar yang dibubuhi materai
dan dilegalisir;
c. Foto copy Kartu Tanda Penduduk (KTP) terbaru dari pihak Penggugat;
d. Foto copy Kartu Keluarga; dan
e. Foro copy akta kelahiran anak (apabila sudah memiliki anak) dengan
dibubuhi materai serta dilegalisir.

6. Permohonan Gugatan harus memuat :


a. Nama, umur, pekerjaan, agama dan tempat kediaman Pemohon dan
Termohon.
b. Posita atau fakta kejadian dan fakta hukum.
c. Petitum yakni hal-hal yang dituntut berdasarkan posita.

7. Terkait Gugatan lain seperti halnya penguasaan anak, nafkah anak dan isteri serta
harta bersama, dapat diajukan secara bersama-sama dalam Gugatan Perceraian
atau dapat diajukan setelah putusan perceraian memperoleh keputusan yang
berkekuatan hukum tetap, hal ini berdasarkan Pasal 86 ayat (1) UU No. 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama.

10
8. Biaya Perkara :
a. Biaya perkara dalam bidang perkawinan dibebankan kepada penggugat atau
pemohon.
b. Biaya perkara penetapan atau putusan Pengadilan yang bukan merupakan
penetapan atau putusan akhir akan diperhitungkan dalam penetapan atau
putusan akhir, hal ini berdasarkan Pasal 89 UU No. 7 Tahun 1989.
c. Namun terhadap mereka yang tidak mampu, maka dapat berperkara secara
cuma-cuma (prodeo), hal ini berdasarkan Pasal 237 HIR, 273 R.Bg.

9. Setelah melalui proses diatas dan Penggugat telah mendaftarkan Gugatan


Perceraiannya ke Pengadilan Agama, maka Penggugat dan Tergugat atau
kuasanya menghadiri persidangan berdasarkan panggilan pengadilan agama.

10. Tahapan Persidangan :


a. Pada pemeriksaan sidang pertama, hakim berusaha mendamaikan kedua
belah pihak, dan suami istri harus datang secara pribadi, hal ini berdasarkan
Pasal 82 UU No. 7 Tahun 1989;
b. Apabila tidak berhasil, maka hakim mewajibkan kepada kedua belah pihak
agar lebih dahulu menempuh mediasi, hal ini berdasarkan Pasal 3 ayat (1)
PERMA No. 2 Tahun 2003;
c. Apabila mediasi tidak berhasil, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan
dengan membacakan surat permohonan, jawaban, jawab menjawab,
pembuktian dan kesimpulan. Dalam tahap jawab menjawab (sebelum
pembuktian) Termohon dapat mengajukan gugatan rekonvensi (gugat balik),
berdasarkan Pasal 132 a HIR, 158 R.Bg.

11. Putusan Pengadilan Agama atas Gugatan Cerai :


a. Gugatan dikabulkan.  (dalam hal ini bilamana Tergugat tidak puas dapat
mengajukan upaya hukum banding melalui Pengadilan Agama).
b. Gugatan ditolak. (dalam hal ini bilamana tidak menerima putusan hakim
maka Penggugat dapat mengajukan banding melalui pengadilan agama).
c. Gugatan tidak diterima. (dalam hal ini Penggugat dapat mengajukan gugatan
baru).

11
Dan terhadap hal-hal tersebut diatas, bilamana Putusan telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, maka Panitera Pengadilan Agama akan memberikan Akta
Cerai sebagai surat bukti cerai kepada kedua belah pihak selambat-lambatnya 7
(tujuh) hari setelah putusan tersebut diberitahukan kepada para pihak.10
E. Nikah sirih menurut hukum
Nikah Siri merupakan pernikahan yang dilakukan secara sembunyi–sembunyi
tanpa wali dan saksi. Inilah pengertian yg pernah diungkap oleh Imam Syafi’i di dalam
kitab Al Umm 5/ 23, dan dalam katagori nikah siri ini semua ulama sepakat bahwa
pernikahan itu menjadi batal atau tidak sah dalam hukum islam.
Hukum nikah siri dalam Islam adalah sah sepanjang hal-hal yang menjadi dan
rukun nikah terpenuhi, dimana rukun nikah dalam agama Islam adalah sebagai berikut :

 Adanya calon mempelai pria dan wanita


 Adanya wali dari calon mempelai wanita
 Adanya dua orang saksi dari kedua belah pihak
 Adanya ijab yaitu ucapan penyerahan mempelai wanita oleh wali kepada mempelai
pria untuk dinikahi
 Qabul yaitu ucapan penerimaan pernikahan oleh mempelai pria (jawaban dari ijab)

Hukum Nikah Siri Menurut Negara

Dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 pasal 2 [2] disebutkan,


“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Dari sini, pencatatan disinggung secara lebih lanjut. Sedang dalam PP No 9 tahun 1975
tentang pelaksanaan UU Perkawinan, pasal 3 disebutkan:

Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan


kehendaknya kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinannya dilangsungkan.
Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari kerja
sebelum perkawinan dilangsungkan. Pengecualian dalam jangka tersebut dalam ayat 2
disebabkan sesuatu alasan yang penting diberikan oleh Camat (atas nama) Bupati Kepala
Daerah.11

10
http://www.tanyahukum.com/keluarga-dan-waris/75/prosedur-gugatan-perceraian-di-pengadilan-agama/

11
http://www.dieza.org/2012/11/nikah-siri-dan-poligami-menurut-agama.html

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Monogami merupakan perkawinan dimana seorang suami memiliki satu istri
atau seorang istri memiliki satu suami, sedangkan poligami adalah perkawinan
dimana seorang suami memiliki istri lebih dari satu. Pandangan islam terhadap
poligami adalah berpoligami merupakan hal yang mubah dimana syarat dan

13
ketentuannya juga berlaku. Berpoligami dalam islam hanya dibolehkan sampai 4 istri
jika suami bisa berlaku adil terhadap istri-istrinya. Sama halnya dengan undang-
undang, poligami juga diperbolehkan dengan syarat tertentu.

B. Saran
Pemakalah menyarankan bagi pembaca yang ingin memahami tentang
monogami dan poligami, maka makalah ini dapat dijadikan sebagai rujukan. Dan
pemakalah juga sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk
kesempurnaan makalah ini selanjutnya.

14

Anda mungkin juga menyukai