Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Zaman sekarang ini banyak orang yang mengambil hasil karya orang lain, dengan
uang yang dimiliki ataupun mengambil karya cipta orang lain tanpa seizin orang yang
membuat karya tersebut, sehingga sering terjadi perebutan hak cipta. Bahkan orang mau
mengambil hasil karya orang lain agar ia bisa menjadi tenar dengan karya orang lain
yang dibelinya dengan uang banyak, padahal ia sendiri tidak pernah membuat hasil karya
tersebut, namun mengakui hasil karya orang lain sebagai hasil karyanya. Terkadang
banyak orang yang tidak menghargai hasil karya cipta orang lain, menghina dan
mencemoohkan hasil karya tersebut. Namun bila hasil karya tersebut banyak diminati
oleh orang lain barulah ia memanfaatkan hasil karya orang tersebut dan mengaku-ngaku
sebagai hasil karyanya. Hal tersebut banyak kita jumpai di Indonesia ini. Banyak hasil
karya atau Kebudayaan Indonesia yang diambil oleh Negara lain sebagai Kebudayaan
atau hasil karya Negaranya. Karena
hal ini sangat banyak terjadi dan tidak asing lagi di dengar, untuk itulah penulis
tertarik membuat makalah tentang Haq Al-Ibtikar (Hak Cipta) ini sekaligus memenuhi
tugas mata kuliah Fikih Kontemporer.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, adapun rumusan masalah makalah ini adalah:
1. Apa definisi dari Haq Al-Ibtikar itu?
2. Apa saja macam-macam Haq Al-Ibtikar itu?
3. Bagaimana Pandangan /Tinjauan Hukum Islam terhadap Haq Al-Ibtikar?

C. Tujuan
Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah:
1. Mengetahui definisi Haq Al-Ibtikar
2. Mengetahui macam-macam Haq Al-Ibtikar
3. Mengetahui Pandangan/ Tinjauan Hukum Islam terhadap Haq Al-Ibtikar

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Haq Al-Ibtikar (Hak Cipta)


Hak cipta diatur dalam Undang-Undang No. 6 tahun 1982 dan Undang-Undang No. 7
tahun 1987 yang menyempurnakan Undang-Undang No. 6 tahun 1982. Menurut ketentuan
Pasal 2 UU No. 6 tahun 1982, Hak Cipta adalah hak khusus bagi pencipta maupun penerima
hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya maupun memberi izin untuk itu
dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Dalam pasal 1 ayat 1 UU No. 19 tahun 2002, dinyatakan bahwa Hak Cipta adalah hak
eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak
ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Menurut Sri Rezki Hartono bahwa Hak milik Intelektual pada hakikatnya merupakan
suatu hak dengan karakteristik khusus dan istimewa, karena hak tersebut diberikan oleh
negara. Negara berdasarkan ketentuan Undang-Undang memberikan hak khusus tersebut
kepada yang berhak, sesuai dengan prosedur dan syarat-syarat yang harus dipenuhi.
Ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan dalam bidang Ilmu Pengetahuan, Seni dan
Sastra mencakup:
1. Buku, program dan semua hasil karya tulis lainnya
2. Ceramah, kuliah, pidato dan ciptaan lain yang sejenis dengan itu
3. Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan
4. Lagu atau musik dengan atau tanpa teks
5. Drama atau drama musical, tari, koreografi, pewayangan dan pantomime
6. Seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar seni ukir, seni kaligrafi,
seni pahat, seni patung, kolase dan seni terapan
7. Arsitektur
8. Peta
9. Seni batik
10. Fotografi
11. Sinematografi

2
12. Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil
pengalih wujudan.1
Dalam pasal 29 sampai dengan pasal 34 UU No. 19 Tahun 2003, diatur masa
jangka waktu untuk suatu ciptaan, yaitu:
1. Hak Cipta atas Ciptaan
a. Buku, pamflet dan semua hasil karya tulis lain
b. Lagu atau music dengan atau tanpa teks
c. Drama atau drama musical, tari, koreografi
d. Seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar seni ukir, seni
kaligrafi, seni pahat, seni patung
e. Arsitektur
f. Peta
g. Seni batik
h. Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai
i. Alat peraga
j. Ceramah, kuliah, pidato dan ciptaan lain yang sejenis
Berlaku selama hidup pencipta dan terus menerus berlangsung hingga 50
tahun setelah pencipta meninggal dunia. Untuk cipta sebagaimana disebut diatas
apabila dimiliki oleh 2 orang atau lebih, hak cipta berlaku selama hidup pencipta
yang meninggal dunia paling akhir dan berlangsung hingga 50 tahun sesudahnya.

2. Hak atas Ciptaan


a. Program Komputer
b. Sinematografi
c. Fotografi
d. Database
e. Karya hasil pengalih wujud
Dimiliki atau dipegang oleh suatu badan hukum berlaku selama 50 tahun
sejak pertama kali diumumkan. Adapun hak atas ciptaan yang dimaksud seperti:
a. Hak Paten
Dalam Pasal 1 butir 1 UU No. 14 Tahun 2001, Paten merupakan hak
eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya
dibidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksankan sendiri
1
Kichrad Burton Simatupang, Aspek hukum dalam Bisnis, (Jakarta : PT Bineka Cipta,1996 ), h. 87.

3
invensinya tersebut atau memberikan persetujuan kepada pihak lain untuk
melaksanakan. Invensi (penemuan) adalah ide inventor yang dituangkan dalam
suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik dibidang teknologi dapat
berupa produk atau proses atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau
proses.
Paten yang diberikan untuk invensi yang baru dan mengandung langkah
invensi serta dapat diterapkan dalam industri. Suatu invensi merupakan suatu
yang tidak dapat diduga sebelumnya harus dilakukan dengan memperhatikan
keahlian yang ada pada saat pertama kali diajukan permohonan. Suatu invensi
dianggap baru jika pada tanggal penerimaan invensi tersebut tidak sama dengan
teknologi yang diungkapkan sebelumnya.
Berdasarkan pasal 8 UU No. 14 Tahun 2001, paten diberikan untuk
jangka waktu selama 20 tahun terhitung sejak tanggal penerimaan dan jangka
waktu itu tidak dapat diperpanjang, sedangkan untuk paten sederhana diberikan
jangka waktu 10 tahun terhitung sejak tanggal penerimaan dan jangka waktu
tidak dapat diperpanjang, tanggal dimulai dan berakhirnya jangka waktu paten
dicatat dan diumumkan.
Paten diberikan atas dasar permohonan, setiap permohonan hanya dapat
diajukan untuk satu invensi. Permohonan tersebut diajukan dengan membayar
biaya kepada Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Hak Merk, untuk
memperoleh sertifikat paten sebagai bukti hak atas paten. Oleh karena itu paten
mulai berlaku pada tanggal diberikan sertifikat paten dan berlaku sejak tanggal
penerimaan.
Berdasarkan pasal 66 UU No. 14 Tahun 2003, paten dapat beralih atau
dialihkan baik seluruh maupun sebagian karena pewarisan, hibah, wasiat,
perjanjian tertulis, atau sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-
undangan. Setiap bentuk pengalihan paten wajib dicatat dan diumumkan di
Direktorat Jenderal.
b. Hak Merk
Berdasarkan Pasal 1 UU No. 15 Tahun 2001, Merk adalah tanda yang
berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau
kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan
digunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan jasa.
Jenis Merk terbagi atas :

4
1) Merk Dagang
Merk Dagang merupakan merk yang digunakan pada barang yang
diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama
atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenisnya.
2) Merk Jasa
Merk Jasa adalah merk yang digunakan pada jasa yang
diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama
atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya.
3) Merk Kolektif
Merk Kolektif merupakan merk yang digunakan pada barang atau
jasa dengan karakteristik yang sama yang diperdagangkan oleh beberapa
orang atau badan hukum secara bersama-sama untuk membedakan dengan
barang atau hal sejenis lainnya.
Setiap permohonan merk diajukan kepada Direktorat Jenderal Merk, dan
setiap permohonan yang telah disetujui akan memperoleh Sertifikat Merk
yang terdaftar dalam Daftar Umum Merk.
Merk terdaftar mendapat perlindungan hukum untuk jangka waktu 10
tahun sejak tanggal penerimaan dan jangka waktu perlindungan dapat
diperpanjang dengan jangka waktu yang sama.
Hak atas merk terdaftar dapat beralih atau dialihkan karena pewarisan,
wasiat, hibah, perjanjian atau sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh
peraturan perundang-undangan. Setiap pengalihan hak atas merk wajib
dimohonkan pencatatannya di Direktorat Jenderal untuk dicatat dalam
daftar umum merk.

B. Macam-macam Haq Al-Ibtikar (Hak Cipta)


Hak cipta menurut teorinya ada 2 macam:
1. Hak Moral (Moral Right)
Hak Moral yaitu hak dari seorang pencipta yang tidak dapat diambil sede
mikian rupa tanpa izin dari pemegang hak cipta. Artinya hak untuk
pemakaian, pengubahan isi, nama, judul dari ciptaannya, untuk mengumumkan
ciptaannya melekat pada penciptaannya. Orang lain dilarang untuk mengumumkan,
memakai atau mengubah hasil ciptaan seseorang.

5
Moral right ini tidak dapat lepas atau dirampas dari penciptaanya. Menurut
pasal 24 UU No.19 tahun 2002, penyerahan hak cipta atas seluruh ciptaan kepada
orang atau badan lain tidak mengurangi hak pencipta atau ahli warisnya untuk
menggugat seseorang yang tanpa persetujuannya (lihat pasal 55-56 UU No. 19
Tahun 2002):
a. Meniadakan nama pencipta yang tercantum pada ciptaan tersebut
b. Mencantumkan nama pencipta dan ciptaannya
c. Mengganti atau mengubah judul ciptaan atau
d. Mengubah isi ciptaan yang bersangkutan.

2. Hak Ekonomi (Economic Right)


Hak Ekonomi yaitu hak yang berkaitan dengan masalah yang bersangkutan
dengan keuangan dan penjualan hasil ciptaannya. Disini pencipta dapat
melisensikannya kepada pihak lain dengan menerima loyalty.
Lisensi adalah suatu pemberian hak kepada orang lain oleh pemegang hak
untuk dapat melaksanakan haknya.
Menurut ketentuan pasal 45-48 UU No 19 tahun 2002:
a. Pemegang hak cipta berhak memberikan lisensi dengan perjanjian lisensi untuk
melaksanakan ciptaannya, kecuali di perjanjikan lain, maka pelaksana wajib
untuk membayar royalty kepada pemegang hak.
b. Perjanjian lisensi dilarang memuat ketentuan yang langsung maupun tidak
langsung merugikan perekonomian Negara.
c. Perjanjian lisensi wajib di catat di Direktorat Jenderal, agar dapat mempunyai
akibat hukum terhadap pihak ketiga.

C. Pandangan/ Tinjauan Hukum Islam


Islam telah mengatur kepemilikan individu dengan suatu pandangan bahwa
kepemilikan tersebut merupakan salah satu manifestasi dari naluri mempertahankan diri
(gharizah al-baqa’). Secara umumnya kepemilikan dalam Islam bermaksud izin Asy-
Syari’ (Allah SWT) ke atas manusia untuk memanfaatkan barang. Kepemilikan individu
adalah hukum syara’ yang mengatur barang atau jasa yang disandarkan kepada individu
yang memungkinkannya untuk memanfaatkan barang dan mengambil bayaran darinya.
Kepemilikan individu dalam Islam ditentukan atas dasar ketetapan hukum syara’ bagi
kepemilikan tersebut dan ketentuan syara’ bagi sebab kepemilikan (asbab at-tamalluk)

6
tersebut. Karena itu, hak untuk memiliki sesuatu tidak muncul dari sesuatu itu sendiri atau
manfaatnya, akan tetapi ia muncul dari izin Asy-Syari’ untuk memilikinya dengan salah
satu sebab kepemilikan yang syar’i seperti jual-beli atau hadiah.

Hak cipta atau kreasi karya intlektual manusia, merupakan hal baru dan belum
ditemukan nash hukumnya (dalil khusus) baik dari ayat al-Qur’an maupun al-Hadits,
secara ijtihadi dapat didasarkan pada ; Pertama,‘urf (suatu kebiasaan atau adat yang
berlaku umum dalam suatu masyarakat). Adat yang telah berjalan dan berlaku umum
dapat dijadikan dasar hukum, sebagaimana dalam kaidah hukum Islam : “Adat kebiasaan
itu dapat ditetapkan sebagai hukum”2. Kedua, maslahah mursalah (sesuatu yang
dianggap maslahat, namun tidak ada ketegasan hukum untuk merealisasikannya dan tidak
pula ada dalil tertentu baik yang mendukung maupun yang menolaknya, tetapi maslahah
itu secara subtansial sejalan atau tidak bertentangan dengan petunjuk umum syari’ah atau
ruh syari’ah maupun maqasid syari’ah3.

Konsekwensi hukum Islam memandang bahwa hak cipta (ibtikar) termasuk


kedalam kategori harta yang berakibat bagi penemu atau pencipta terhadap hasil karya
atau ciptaanya menjadi hak milik mutlak yang bersifat materi. Penemu atau pencipta
berhak atas nilai materi itu atau hak tersebut, ketika digunakan atau dimanfaatkan oleh
orang lain dengan seizinnya. Hak ini layaknya harta dan berlaku pada hukum yang
melingkupinya4.

Islam telah memberikan kekuasaan kepada individu atas apa yang dimilikinya
yang membolehkan dia memanfaatkannya sesuai dengan hukum syara’. Islam juga telah
mewajibkan Negara agar memberikan perlindungan atas kepemilikan individu dan
menjatuhkan hukuman bagi setiap orang yang melanggar kepemilikan orang lain.

Mengenai kepemilikan atas ‘pemikiran baru’, ia melibatkan dua bentuk dari


kepemilikan individu. Pertama, sesuatu yang boleh diindera dan dirasa seperti cap
dagangan (trademark). Kedua, sesuatu yang boleh diindera tetapi tidak boleh dirasa
seperti pandangan ilmiah dan pemikiran yang tersimpan di dalam otak seseorang pakar.

2
Asmuni ,Abdurrahman, Qa’idah-Qa’idah Fiqih,( Jakarta; Bulan Bintang, 1975), hlm. 88
3
Satria Efendi, Ushul Fiqh,( Jakarta; Prenada Media, 2002),h. 148-149
4
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah,( Yogyakarta ; Pustaka Pelajar,2008),h. 289.

7
Sekiranya kepemilikan tersebut berupa kepemilikan jenis pertama, seperti cap
dagangan yang mubah (harus) sifatnya, maka seseorang individu boleh memilikinya serta
memanfaatkannya dengan cara mengusahakannya atau memperjual-belikannya.

Negara wajib menjaga hak individu tersebut, sehingga memungkinkan baginya


untuk mengelola dan mencegah orang lain dari melanggar hak-haknya. Ini adalah karena
di dalam Islam, cap dagangan memiliki nilai material, kerana keberadaannya sebagai
salah satu bentuk perniagaan yang diperbolehkan secara syar’i. Cap dagangan adalah
‘label produk’ yang dibuat oleh pedagang atau ahli industri bagi produk-produknya untuk
membedakannya dengan produk yang lain, yang dapat membantu para pembeli dan
pengguna untuk mengenal produknya. Perlu dipahami bahwa definisi di atas tidak
mencakup cap-cap dagangan yang sudah tidak digunakan lagi. Selain itu, seseorang boleh
menjual cap dagangannya di mana apabila ia telah menjualnya kepada orang lain,
manfaat dan pengelolaan cap dagangan itu akan berpindah kepada pemilik baru.

Adapun mengenai kepemilikan fikriyyah, yaitu jenis kepemilikan yang kedua,


seperti pandangan ilmiah atau pemikiran canggih yang dimiliki seseorang, yang belum
ditulis ke atas kertas atau belum direkam ke dalam disket atau ingatan komputer maka
semua itu adalah milik individu (milkiyyah al-fardiyyah) bagi pemiliknya. Ia boleh
mengajar atau menjualkannya kepada orang lain, jika hasil pemikirannya tersebut
memiliki nilai menurut pandangan Islam. Bila hal ini dilakukan (pemikiran yang telah
diajar atau dijual), maka orang yang mendapatkannya dengan sebab-sebab yang syar’i,
boleh mengelolanya tanpa terikat dengan pemilik pertama, sesuai dengan hukum-hukum
Islam.

Hukum ini juga berlaku bagi semua orang yang membeli buku, disket, atau
ingatan komputer yang mengandungi material pemikiran, baik pemikiran sains ataupun
sastera. Demikian pula, ia berhak untuk membaca dan memanfaatkan informasi yang ada
di dalamnya. Ia juga berhak mengelolanya, baik dengan cara menyalin, menjual atau
menghadiahkannya. Akan tetapi ia tidak boleh ‘menasabkan’ (mengatasnamakan)
penemuan tersebut kepada selain pemiliknya. Ini adalah karena pengatasnamaan
(penisbahan) kepada selain pemiliknya adalah suatu kedustaan dan penipuan dan
diharamkan secara syar’i. Oleh kerana itu, hak perlindungan atas kepemilikan fikriyyah
merupakan hak yang bersifat ‘maknawi’, yang mana hak pengatasnamaannya dimiliki
oleh pemiliknya. Namun, orang lain boleh memanfaatkannya tanpa izin dari pemiliknya.

8
Mengenai ‘syarat-syarat’ yang ditetapkan oleh undang-undang civil yang
membolehkan pengarang buku atau pencipta program atau para penemu untuk
mengenakannya atas nama ‘perlindungan hak cipta’ seperti hak cetak dan hak paten,
semua ini merupakan syarat-syarat yang tidak syar’i dan seseorang Muslim tidak wajib
terikat dengan syarat-syarat tersebut. Ini karena, berdasarkan akad jual-beli dalam Islam,
seseorang pembeli bukan sahaja mendapat haq al-milkiyyah/ownership (hak kepemilikan)
ke atas barang yang dibeli, malah pembeli juga mendapat haq at-tasarruf (hak untuk
mengelola) apa saja yang ia miliki (yang ia telah beli). Justru, meletakkan apa pun
‘syarat’ yang bertentangan dengan akad yang syar’i, hukumnya adalah haram, meskipun
dengan seratus syarat dan dibuat atas kerelaan pembeli.

Dari ‘Aisyah ra, “Barirah mendatangi seorang perempuan yaitu seorang mukatab
(hamba) yang akan dibebaskan oleh tuannya jika membayar 9 awaq (1 awaq = 12
dirham). Kemudian Barirah berkata kepadanya, ‘Jika tuanmu bersedia, aku akan
membayarkan jumlahnya, maka kesetiaan(mu) akan menjadi milikku. Mukatab tersebut
lalu mendatangi tuannya dan menceritakan hal itu kepadanya. Kemudian tuannya
menolak dan mensyaratkan agar kesetiaan (hamba tersebut) tetap menjadi miliknya. Hal
itu kemudian diceritakan ‘Aisyah kepada Rasulullah SAW. Rasulullah SAW bersabda,
‘Lakukanlah.’ Kemudian Barirah melaksanakan perintah tersebut dan Rasulullah SAW
berdiri, lalu berkhutbah di hadapan manusia. Baginda segera memuji Allah dan
menyanjung nama-Nya, kemudian bersabda, “Tidak akan diperdulikan seseorang yang
mensyaratkan suatu syarat yang tidak sesuai dengan apa yang tercantum dalam
Kitabullah.’ Kemudian baginda meneruskan, ‘Setiap syarat yang tidak ada dalam
Kitabullah, maka syarat tersebut adalah bathil. Kitabullah lebih berhak, dan syaratnya
(yang tercantum dalam Kitabullah) bersifat mengikat. Kesetiaan dimiliki oleh orang
yang membebaskan.”

Mantuq (teks) hadist ini menunjukkan bahwa syarat yang bertentangan dengan
apa yang tercantum dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, tidak boleh diikuti. Oleh
yang demikian, selama syarat ‘perlindungan hak cipta’ yang menjadikan barang yang
dijual (disyaratkan) sebatas untuk satu jenis pemanfaatan tertentu saja, tidak untuk
pemanfaatan yang lain seluruhnya, maka syarat tersebut adalah batal dan bertentangan
dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Ini adalah karena, syarat ‘perlindungan hak
cipta’ adalah jelas bertentangan dengan ketetapan akad jual-beli yang syar’i. Akad jual
beli yang syar’i membolehkan pembeli untuk mengelola dan memanfaatkan barang yang

9
dibelinya dengan cara apapun yang bertepatan dengan syara’, seperti menjualnya,
menghadiahkannya dan lain-lain. Syarat yang mengharamkan sesuatu yang halal adalah
syarat yang bathil, berdasarkan sabda Rasulullah SAW, “Kaum Muslimin terikat atas
syarat-syarat mereka, kecuali syarat yang mengharamkan sesuatu yang halal dan
menghalalkan yang haram.”

Oleh kerana itu, secara syar’i tidak dibolehkan ada syarat-syarat hak cetak,
menyalin atau melindungi sesuatu penemuan. Setiap individu berhak atas hal itu
(memanfaatkan produk-produk intelektual). Para pemikir, ilmuwan atau penemu sesuatu
program, berhak memiliki pengetahuannya selama pengetahuan tersebut adalah miliknya
dan tidak diajarkan kepada orang lain. Adapun setelah mereka memberikan ilmu kepada
orang lain dengan mengajarkannya, menjualnya atau dengan apa cara sekalipun (yang
syar’i), maka ilmunya tidak lagi menjadi miliknya.

Dalam hal ini, hak kepemilikannya telah hilang dengan diajar atau dijualnya ilmu
tersebut, sehingga mereka tidak mempunyai hak untuk menghalang atau melarang orang
lain dari memanfaatkannya. Justru, ‘kata-kata’ (syarat) yang tercantum pada buku-buku,
cakera padat, perisian komputer dan media yang lain yang tidak membenarkan dicetak
ulang, disalin atau direkam kecuali atas izin pemiliknya, adalah dilarang di dalam Islam.
Kesalahan ‘kata-kata’ (syarat) yang melindungi hak cipta tersebut adalah karena mereka
tidak meletakkan pengecualian sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah SAW
bahwa, “…kecuali syarat yang mengharamkan sesuatu yang halal... Ada di kalangan
mereka yang membolehkan perkara ini (hak cipta) bersitidlal (menyandarkan dalil)
kepada sabda Rasulullah SAW, “Tidak halal harta seorang Muslim kecuali dengan
kerelaan dirinya” dan kepada sabda baginda, “Barangsiapa mendapatkan paling awal
sesuatu yang mubah, maka ia adalah orang yang paling berhak”.

Hakikatnya, kedua-dua hadis ini tidak merujuk kepada kebolehan hak cipta,
karena manath (fakta) nya memang tidak demikian. Adapun hadis yang pertama, ia
bermaksud harta milik orang lain yang tidak boleh diambil dari pemiliknya setelah ia sah
secara syar’i menjadi miliknya. Misalnya, seseorang itu tidak boleh mencuri atau
merampas atau memaksa dengan cara apapun (termasuk melalui undang-undang) untuk
mengambil harta seseorang. Manakala ilmu yang telah diajar atau dijual tidak lagi
menjadi milik tuannya dan tidak timbul soal mengambil ‘tanpa kerelaan’ dari pemiliknya.

10
Dalam al-Qur’an maupun hadits masalah haq ibtikar belum mempunyai dalil atau
landasan nash yang eksplisit. Hal ini karena gagasan pengakuan haq ibtikar itu sendiri
merupakan masalah baru yang belum dikenal sebelumnya. Namun demikian secara
implisit perlindungan terhadap haq ibtikar ditemukan dalan sistim hukum Islam. Hal ini
dikarenakan konsep hak itu sendiri dalam hukum Islam tidak baku dan berkembang
secara fleksibel dan implementasinya tetap akan sangat tergantung kepada keadaan.

Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa landasan haq ibtikar atau kreasi


dalam fiqh Islam adalah u’rf (suatu kebiasaan yang berlaku umum dalam suatu
masyarakat) dan a-maslahah al-mursalah (suatu kemaslahatan yang tidak didukung oleh
ayat atau hadits, tetapi juga tidak ditolak). Urf dan al-maslahah almursalah dapat
dijadikan dasar dalam menetapkan hukum dalam fiqh Islam, selama tidak bertentangan
dengan teks ayat dan atau hadits, dan hukum yang ditetapkan itu merupakan persoalan-
persoalan kemasyarakatan.

Haq ibtikar (hak cipta) merupakan harta yang dilindungi oleh syara’, dengan


demikian segala sesuatu yang bersifat merugikan atau menzalimi pemilik hak
cipta tersebut dilarang dalam Islam. Pembajakan terhadap hak cipta dilarang karena
termasuk dalam pengambilan hak milik orang lain tanpa izin dari pemegang hak cipta
tersebut. Alasan ini dipertegas oleh firman Allah.

Dalam al-qur’an di jelaskan dalam surat An-nisa’ ayat 29:


       
            
    
29. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu[287]; Sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.

[287] Larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang lain,
sebab membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, karena umat merupakan
suatu kesatuan.

Dan dalam surat Al-Baqarah ayat 188:


       
       
 
188. dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara
kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu

11
kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang
lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.

Serta dalam surat Al-baqarah ayat 29:


           
        
29. Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia
berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha
mengetahui segala sesuatu.

Dari penjelasan diatas dapat dipahami bahwa, pelanggaran hak cipta termasuk
perbuatan yang melanggar etika bisnis atau perdagangan dalam Islam terutama yang
berkaitan dengan jenis pelanggaran memperbanyak dan memperjual belikan ciptaan hasil
dan pelanggaran hak cipta.
Hak cipta barulah ditetapkan dalam masyarakat barat yang mengukur segala
sesuatu dengan ukuran materi. Dan didirikan lembaga untuk mematenkan sebuah
penemuan dimana orang yang mendaftarkan akan berhak mendapatkan royalty dari siapa
pun yang meniru atau membuat sebuah formula yang dianggap menjiplak.
Perlindungan hukum atas hak cipta seseorang lewat undang-undang atau hukum yang
berlaku di negara, dapat menghindari terjadinya penipuan dan kerugian dari pihak-pihak
yang saling bertransaksi dalam bisnis (perdagangan). Upaya pemerintah membuat aturan
perlindungan hukum atas hak cipta bagi warga negaranya, disamping mendasarkan pada
‘Urf (adat) maupun maslahah mursalah, juga disemangati oleh hadits Nabi Saw :

“Rasulullah Saw pernah lewat seseorang yang sedang menjual bahan makanan,
lalu Rasulullah memasukkan tangannya ke dalam bahan makanan itu, lalu ternyata
bahan makanan tersebut tipuan. Maka Rasulullah Saw bersabda ; tidak termasuk
golongan kami orang yang menipu”.5

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

5
Ibnu Majah, , tt., Sunan Ibnu Majah, Beirut. Dar al-Fikr, Juz. II. h. 749.
12
Dari pembahasan diatas bahwa Hak Cipta adalah hak khusus bagi pencipta
maupun penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya maupun
memberi izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan dalam bentuk apapun Islam melarang
menyontek, meniru ataupun menjiplak (Memplagiat) karya orang lain sebagaimana yang
telah dijelaskan dalam Surat Al-Baqarah ayat 188, Surat Al-Baqarah ayat 29 dan Surat
An-Nisa’ ayat 29.

B. Saran
Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca agar
makalah ini dapat dibuat lebih baik lagi.

13

Anda mungkin juga menyukai