Anda di halaman 1dari 15

FILOSOFI ASURANSI SYARIAH

Makalah di susun guna memenuhi Tugas Mata Kuliah Asuransi


Syariah

Dosen Pengampu
Ika Trisnawati Alawiyah, M.Si

Disusun Oleh:
Komarudin : (171130030)
Fita Indriani: (181130030)

Prodi : Perbankan Syari’ah

FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM


INSTITUT AGAMA ISLAM MA’ARIF NU (IAIM NU)

1
METRO-LAMPUNG
2021

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang
telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ilmiah tentang “Filosofi Asuransi
Syariah”.
Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan
mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar
pembuatan makalah ini.Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih
kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih
ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya.Oleh
karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik
dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini. Akhir kata
kami berharap semoga makalah ilmiah tentang “Filosofi Asuransi Syariah”.
ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.

Metro,27 Februari 2021

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………... 2
DAFTAR ISI………………………………………………………………..3
A.PENDAHULUAN.......................................................................
1. LATAR BELAKANG…………………………………………… 4
2. RUMUSAN MASALAH………………………………………….. 5

B.PEMBAHASAN…………………………………………………
1. Pengertian Asuransi Syariah…………………......................................6
2. Prinsip Dan Dasar Filosofi Syariah.....................................................7
3. Berasuransi Bukan Menolak Takdir..............................................13

C.KESIMPULAN DAN SARAN


1. KESIMPULAN……………………………………………………14
2. SARAN…………………………………………………………….14

D.DAFTARPUSTAKA............................................................................15

3
A.PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Selain perbankan syariah, juga muncul pertanyaan, bagaimana
dengan asuransi? Warga masyarakat Islam saat ini membutuhkan
asuransi untuk melindungi harta dan keluarga mereka dari akibat
musibah. Sebuah keluarga hanya mengandalkan pemasukkan dari
kepala keluarga, tentu akan sangat terganggu kondisi keuangannya
bila terjadi suatu musibah yang menimpanya. Anak dan istri yang
ditinggalkan belum tentu dapat memenuhi sendiri kebutuhan
hidupnya; sementara lembaga amil zakat belum bisa secara optimal
dan menyeluruh berperan sebagai salah satu solusi untuk mengatasi
masalahnya. Selain risiko musibah terhadap jiwa, asuransi juga
dibutuhkan oleh sektor usaha. Usaha yang sudah maju dan
menguntungkan mungkin bisa bangkrut dalam seketika bila terjadi
kebakaran melanda tempat usahanya. Karena itu, keluarga yang
telantar ditinggal oleh pemberi nafkah, dan usaha yang bangkrut
karena kebakaran sebenarnya tak perlu terjadi kalau ada perlindungan
dari asuransi. Asuransi memang tidak dapat mencegah musibah, tetapi
setidaknya dapat menanggulangi akibat keuangan yang terjadi. Karena
itu, bagaimana warga menggunakan asuransi kalau ternyata produk
asuransi ada yang mengandung unsur ketidakhalalan? Masalah
dimaksud dapat diatasi melalui asuransi syariah atau asuransi
konvensional yang membuka cabang khusus syariah.
Sejak tahun 1994, industri perasuransian mulai dimasuki oleh
asuransi syariah yang ditandai dengan berdirinya salah satu
perusahaan asuransi syariah, yaitu Asuransi Syariah Takaful.
Meskipun pada awalnya pendirian perusahaan asuransi syariah ini
menjadi kontradiksi pendapat tentang kehalalan atas usaha tersebut,
yaitu di satu pihak ada kalangan orang Islam beranggapan bahwa
asuransi sama dengan menentang qadha dan qadar atau bertentangan

4
dengan takdir. Mereka beranggapan bahwa kecelakaan, kemalangan,
dan kematian merupakan takdir Allah dan merupakan hal yang tidak
dapat ditolak. Namun, di pihak yang lain bagi sebagian umat Islam
beranggapan bahwa setiap manusia juga diperintahkan membuat
perencanaan untuk menghadapi masa depan.
Permasalahan asuransi tidak berhenti hanya pada transaksinya,
melainkan juga pada investasinya. Sebagian besar asuransi yang dibeli
oleh warga masyarakat justru asuransi yang mengandung investasi
(asuransi dwiguna). Selama ini, asuransi konvensional
menginvetasikan dana yang didapatnya tanpa mempertimbangkan lagi
faktor halal dan haram. Hal itu, menjadikan uang hasil investasi yang
diterima oleh nasabah juga menjadi tidak terjaga kehalalannya. Hal ini
juga yang menjadi salah satu perbedaan lagi dari asuransi syariah.
Investasi pada asuransi syariah diawasi oleh dewan pengawas syariah
yang memastikan bahwa semua mekanisme asuransi dan alokasi
investasinya tidak bertentangan dengan hukum syariah.

2. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Asuransi Syariah?
2. Bagaimana Prinsip Dan Dasar Dalam Filosofi Asuransi Syariah?
3. Apakah berasuransi dapat dikatakan menolak takdir?

5
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Asuransi Syariah
Istilah akuntansi dalam perkembangannya di indonesia berasal
dari bahasa belanda assurantie yang kemudian menjadi “asuransi”
dalam bahasa indonesia. Namun istilah asuransi itu sendiri sebenarnya
bukanlah istilah asli bahasa belanda, akan tetapi berasal dari bahasa
Latin yaitu assecurare yang berarti “meyakinkan orang”. Dengan
demikian pula istilah assuradeur yang berarti “penanggung” dan
geassureede yang berarti “tertanggung” keduanya berasal dari
perbendaharaan bahasa belanda. Sedangkan dalam bahasa belanda
istilah “Pertanggungan” dapat di terjemahkan menjadi “insurance”
dan “assursnce”. Kedua istilah ini sebenarnya memiliki pengertian
yang berbeda, insurance mengandung arti menanggung segala sesuatu
yang mungkin terjadi. Sedangkan assurance berarti menanggung
segala sesuatu yang pasti terjadi. Istilah assurance lebih lanjut di
kaitkan dengan pertanggungan yang berkaitan dengan masalah jiwa
seseorang.
Berikut ini beberapa pendapat mengenai asuransi, yaitu:
a. Asuransi dapat pula di artikan sebagai sustu persetujuan dimana,
penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan
mendapat premi, untuk mengganti kerugian, atau tidak
diperolehnya keuntungan yang di harapkan, yang dapat di derita
karena peristiwa yang tidak di ketahui dahulu.
b. Asuransi atau pertanggungan menurut UU No. 2 Tahun 1992, yaitu
: Perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak
penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan
menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada
tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan
keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum pihak ke
tiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari

6
suatu peristiwa yang tidak pasti, atau memberikan suatu
pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya
seseorang yang dipertanggungkan.
Sedangkan asuransi syariah, setiap peserta sejak awal
bermaksud saling menolong dan melindungi satu dengan yang lain
dengan menyisihkan dananya sebagai iuran kebijakan yang disebut
Tabarru’. Jadi sistem ini tidak menggunakan pengalihan resiko
dimana tertanggung harus membayar premi, tetapi lebih merupakan
pembagian resiko dimana peserta saling menanggung. Kemudian akad
yang digunakan dalam asuransi harus selaras dengan hukum Islam,
artinya akad yang dilakukan harus terhindar dari unsur gharar
(penipuan), maysir (perjudian), riba, zhulm (penganiayaan), risyiwah
(suap), disamping itu investasi dana harus pada objek yang halal
thoyyibah bukan barang haram dan maksiat.

2. Prinsip Dan Dasar Filosofi Asuransi Syariah


Sebagaimana disebut di atas bahwa prinsip dan dasar filosofis
Asuransi Takaful berasal dari Al-Quran dan Sunnah. Setidaknya, ada
tiga prinsip dan dasar filosofis Takaful yang digali dari Al-Quran dan
Sunnah, yaitu 1. Prinsip tauhid, 2. Tolong menolong, 3. Saling
melindungi dan menyayangi.
a. Tauhid
Tauhid merupakan wacana teologis yang mendasari segala
aktivitas manusia, termasuk kegiatan asuransi. Jadi, seluruah
kegiatan Asuransi Takaful, didasari oleh sebuah doktrin Islam dan
fundamental yang disebut dengan tauhid. Muatan konsep tauhid
dalam tataran ini adalah iman dan taqwa. Seseorang yang masuk
dan menceburkan diri dalam kancah Takaful, baik pengelola
maupun nasabahnya (pemegang polis), harus mendasarkan
aktivitasnya kepada iman dan taqwa, manusia akan bersifat jujur,
adil, amanah, dan bertanggungjawab. Jujur, adil, dan amanah
merupakan dasar bisnis yang fundamental. Sedangkan

7
pertanggungjawaban tersebut, tidak saja terhadap manusia, tetapi
juga kepada Allah swt.
Syed Nawab Haidar an-Naqwi, intelektual India kontemporer
yang terkemuka, dalam buku Etika dan Ilmi Ekonomi, memaparkan
empat aksioma ekonomi Islam, yaitu tauhid, keadilan, kebebasan
dan tanggungjawab.
Tauhid menurutnya, adalah prinsip fundamental aktivitas
ekonomi manusia muslim. Tauhid menyadarkan manusia sebagai
makhluk Ilahiyah, sosok makhluk yang bertuhan, dengan demikian
seluruh kegiatan asuransi tidak terlepas dari pengawasan Allah dan
dalam rangka melaksanakan titah Tuhan (QS. 62: 10).
Manusia yang bertauhid dalam menjalankan setiap
aktivitasnya adalah sosok yang mempunyai kesadaran ketuhanan.
Kesadaran ketuhanan, tidak saja mewujudkan insan jujur, amanah
dan bertanggungjawab, tetapi juga memberikan vitalitas dengan
daya kreatif dan dinamis. Itulah sebabnya, Rasulullah menegaskan,
supaya dalam setiap aktivitas, kita menghadirkan Allah dalam
kesadaran kita. Nabi bersabda, “Setiap aktivitas yang baik, tidak
dmulai dengan nama Allah, maka aktivitas itu tidak berakah.”
Menyebut nama Allah sudah barang tentu mengandung arti
komitmen dan konsisten kesadaran kita terhadap Allah dalam
keseluruhan aktivitas kita. Lebih lanjut, hal itu berarti bahwa kita
membawa Allah ke dalam keseluruhan kehidupan kita.
Konsekwensinya, adalah bahwa di satu pihak kita harus
menjunjung norma-normanya (norma ekonomi Islam) serte bekerja
secara optimal dan sempurna dalam setiap profesi dan kedudukan
yang dipercayakan kepada kita, dan pihak lain kita merasa
dibimbing dan dilindungi Allah setiap saat. Oleh karena itu kita
senantiasa tegar dan dinamis, efisien dan efektif dalam hidup ini.
Sebab, Allah senantiasa hadir dalam diri kita.
Secara terminologis, tauhid sebenarnya bermakna
mengesakan Allah, baik pengesaan dalam tataran ‘ubudiyah’

8
(semata-mata menyembah kepada Allah), uluhiyah (mengesakan
Allah dalam tataran Zat dan Sifat), maupun tataran tauhid
rububiyah (keyakinan bahwa pemelihara alam hanya Allah).
Tauhid yang bernuansa aqidah tersebut, harus direfleksikan
kepada tauhis sosial yang bersifat empiris. Dengan kata lain, tauhid
aqidah harus memantulkan sikap dinamis, aktif, kreatif dan
progesif, serta memantulkan aktifitas dan perilaku jujur, amanah,
adil dan bertanggungjawab dan dapat dipercaya. Seseorang yang
jujur, adil, bertanggungjawab dan dapat dipercaya, pasti disenangi
umat. Dan bila meraka yang bertauhid itu melakukan hubungan
dalam konteks asuransi, maka hubungan tersebut akan berjalan
serasi, harmonis dan penuh kedamaian.
b. Tolong menolong
Takaful didasarkan kepada prinsip tolong menolong sesama
muslim dan manusia. Islam mengajarkan bahwa umat manusia
merupakan keluarga besar kemanusian. (Kemanusiaan universal).
Untuk dapat diselenggarakan kehidupan bersama, umat harus
tolong menolong. Ibnu Khaldun dalam karya monumnetalnya
Muqaddimah, menyebut manusia sebagai al-insan madaniyyun bi
al-thabi’i (makhluk sosial dan beradapan yang saling
membutuhkan).
Ayat Al-Qur’an surah al-Maidah ayat 2 sangat lantang
mendeklerasikan keniscayaan tolong menolong dalam mengemban
misi kemanusian menuju kebajikan dan taqwa. “Tolong
menolonglah kamu dalam kebajikan dan taqwa dan jangan kamu
tolong menolong dalan dosa dan permusuhan.”
Dalam konteks ini, tolong menolong dalam kebajikan
diwujudkan dalam kegiatan takaful, yaitu saling menanggung,
saling menjaga amanah, saling melindungi dan saling
bertanggungjawab.
Tolong menolong atau saling membantu merupakan upaya
strategis mewujudkan kekuatan umat Islam, sebagaimana sabda

9
Nabi Muhammad SAW, ”Seorang mukmin dengan seorang
mukmin laksana sebagian bangunan menguatkan sebagian yang
lain.” (Muslim).
Dalam Takaful Syariah, dipakai akad takafuli, bukan
akad tabaduli. Akad takafuli adalah akad yang bermuatan
melaksanakan tolong menolong dan saling menanggung resiko.
Wujud tolong menolong terejawantah dalam dana tabarru’ (derma)
yang ditentukan berdasarkan program yang dipilih dan klasifikasi
umur. Sedangkan akad tabaduli adalah akad yang bernuansa jual
beli semata-mata. Hubungan nasabah dan perusahaan hanyalah
dalam bentuk transaksi bisnis. Takaful Syariah menerapkan akad
takafuli sedangkan asuransi biasa (konvensional) menerapkan akad
tabaduli.
c. Saling Melindungi dan Menanggung (Takaful dan Ta’min)
Prinsip Takaful didasarkan kepada prinsip saling melindungi
dan bertanggungjawab antara yang satu dengan yang lain. Jadi,
Takaful (saling menanggung) antar umat manusia merupakan dasar
pijakan Asuransi Takaful. Dalam Takaful diujudkan hubungan
manusia yang islami di antara para pesertanya yang bersepakat
untuk menanggung bersama antara mereka, atas resiko yang
diakibatkan musibah atau lainnya, seperti kebakaran, kematian dan
sebagainya.
Semangat takaful adalah menekankan kepada kepentingan
bersama atas dasar rasa persaudaraan di antara para peserta.
Persaudaraan di sini meliputi dua bentuk, yakni berdasarkan
kesamaan keyakinan (Ukhuwah Islamiyah) dan persaudaraan atas
dasar kesamaan derajat manusia (Ukhuwah Insaniyah).
Persaudaraan dalam konsep Islam, membutuhkan sikap saling
menyayangi di antara sesama manusia. Sikap saling menyayangi
ini tentunya mewujudkan sikap sosial yang terpuji untuk
melepaskan dan membantu orang yang mendapat kesulitan hidup.

10
Sifat mengutamakan kepentingan pribadi atau dorongan untuk
mendapatkan keuntungan semata-mata, tidak tercermin dalam
asuransi Islam. Karena asuransi Islam berlandaskan prinsip-prinsip
kemanusiaan universal yang bersifat sosial, yaitu saling
menyayangi, saling bertanggungjawab antar peserta, saling
bekerjasama dan tolong menolong (ta’awun), saling bantu dan
meringankan penderitaan orang lain, terutama sesama peserta.

3. Berasuransi Bukan Berarti Menolak Takdir


Berasuransi tidaklah berarti menolak takdir atau menghilangkan
ketawakalan seorang muslim kepada Allah SWT, karena: (a) segala
sesuatunya terjadi setelah berpikir dengan baik, bekerja dengan penuh
kesungguhan, teliti dan cermat, (b) segala sesuatu yang terjadi di
dunia ini, semuanya ditentukan oleh Allah SWT. Sedangkan manusia
hanya diminta oleh Allah SWT untuk berusaha semaksimal mungkin.
Hal tersebut berdasarkan firman Allah dalam QS. At-Taghabun (64)
ayat 11: Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang
kecuali dengan izin Allah.
Berdasarkan ayat Alquran di atas, dapat diketahui bahwa pada
dasarnya ajaran Islam mengakui bahwa kecelakaan, musibah, dan
kematian merupakan qadha dan qadar Allah yang tidak dapat ditolak.
Namun manusia diminta oleh Allah SWT untuk membuat
perencanaan hari depan sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Hasyr
(59) ayat 18: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada
Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah
diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Berdasarkan ayat di atas, muncul ide yang sekaligus melahirkan
aktivitas saling membantu untuk mengantisipasi teradinya musibah di
masa mendatang. Karena itu, solusi yang tampak sebagai prakarsa
warga masyarakat Islam adalah pembentukan asuransi syariah dan
saat ini sudah berkembang pesat. Hal dimaksud, dimulai dengan

11
berdirinya Asuransi Takaful Indonesia tahun 1994, dan kini ada 14
(empat belas) perusahaan asuransi syariah. Walaupun asuransi syariah
begitu semarak, belum ada literatur lengkap tentang bisnis yang dapat
menjadi rujukan standar praktisi dan akademisi di bidang asuransi
syariah. Karena itu, yang terjadi selama ini kajian ilmiah yang ada
hanya terdapat di beberapa jurnal atau makalah-makalah seminar
ekonomi syariah. Peredaran terbatas beberapa buku karya penulis
asing, baik dari Timur Tengah maupun non-Timur Tengah masih jauh
dari memadai atau mencukupi.
Kehadiran buku Asuransi Syariah, Life and General, Konsep dan
Sistem Operasional tampaknya dimaksudkan untuk mengisi
kekosongan itu. Apalagi isinya memang berusaha mengkaver semua
seluk-beluk asuransi syariah. Mulai persoalan penipuan (gharar),
maysir (judi), dan riba (bunga) yang dilarang oleh syariat Islam,
hingga ke bentuk pengawasan aspek syariah bisnisnya. Selain itu,
ditemukan uraian mengenai konsep investasi asuransi syariah dan
sistem akuntansi yang dipakai hingga silabus pendidikan yang mesti
ditempuh untuk menjadi seorang ahli asuransi syariah. Kemasannya
dalam bentuk hardcover dengan tebal 778 halaman lebih, sehingga
semakin mengukuhkan kesan buku ini untuk menjadi panduan dan
literatur utama asuransi syariah di Indonesia.
Selain itu, buku dimaksud menguraikan karakteristik syariat Islam
yang menjadi landasan keberadaan asuransi syariah, penulis buku, Ir.
Muhammad Syakir Sula, AAIJ, FIIS, yang ketika itu menjabat
Direktur Pemasaran Asuransi Takaful, mengungkap kembali pro-
kontra para ulama ahli fikih yang sering muncul tentang anggapan
sebagian warga masyarakat yang mengatakan bahwa kegiatan asuransi
merupakan satu bentuk aktivitas untuk melawan takdir. Karena itu,
asuransi bukanlah satu bentuk upaya melawan takdir, melainkan justru
sebuah perencanaan hidup yang sesuai dengan tuntunan Alquran.
Adapun kontrak dan operasional bisnis asuransi bisa dibuat sefleksibel
mungkin tanpa kehilangan ruh syariahnya. Penulis buku itu

12
menyatakan, selain dengan akad mudharabah dan tijarah yang telah
difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia,
masih ada akad-akad tijarah lain yang bisa dilakukan seperti al
musyarakah, al-wakalah, al-wadhi'ah, asy-syirkah, al-musahamah, dan
sebagainya. Tentu harus dikaji lebih lanjut apakah akad-akad tersebut
marketable atau tidak, dengan kata lain apakah sejalan dengan prinsip-
prinsip syariah atau tidak.

13
C. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Kedua bentuk asuransi baik konvensional maupun syariah
mempunyai pengelolaan yang sama, tidak terlalu kentara
perbedaannya. Sebab, secara teknis prosedur mempunyai kemiripan.
Namun, ada satu hal yang mendasari perbedaan, yaitu perjanjian
transaksinya. Pada asuransi konvensional, nasabah membeli
perlindungan atau jaminan dari perusahaan asuransi. Sedangkan pada
asuransi syariah, perjanjiannya adalah para nasabah mengikat diri
dalam suatu komunitas dan saling menanggung jika terjadi musibah.
Perbedaan perjanjian dimaksud, akan menimbulkan konsekuensi yang
berbeda pula. Di antaranya adalah masalah kepemilikan uang premi.
Pada asuransi konvensional yang transaksinya adalah jual beli maka
premi yang sudah dibayarkan sepenuhnya menjadi milik perusahaan
asuransi. Sedangkan asuransi syariah, premi yang dibayar nasabah
tetap menjadi milik nasabah yang diamanahkan kepada perusahaan
asuransi syariah untuk dikelola dan dikembangkan dananya.
Sedangkan perkembangan asuransi syariah di indonesia di mulai pada
tahun 1994, yaitu pada saat berdirinya asuransi Takaful indonesia.
Walaupun banyak asuransi syariah bermunculan, ada jejak beda
pendapat antar ulama, ada ulama yang mengharamkan asuransi, ada
juga ulama yang membolehkan asuransi.

2. Saran
Dalam makalah ini penulis berharap agar makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua dan semoga bisa menambah wawasan
pembaca. Di sini penulis juga minta maaf kepada pembaca jika ada
kesalahan dan kekurangan dalam penulisan makalah ini atau ada
persepsi yang berbeda dari pembaca, kami harap untuk dapat
dimaklumi.

14
D.DAFTAR PUSTAKA

Ali, Zainuddin. 2008. Hukum Asuransi Syariah. Jakarta: Sinar Grafika


Wirdyaningsih, at, al. 2005. Bank dan Asuransi Islam di Indonesia.
Jakarta: Kencana
Prakoso, Djoko. 2000. Hukum Asuransi Indonesia. Jakarta: Rineka cipta
Sumitro, Warkum. 2002. Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-
lembaga Keuangan Terkait BMT dan Takaful Indonesia.
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada

15

Anda mungkin juga menyukai