Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Qawaid fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqih) terdiri dari kaidah umum dan kaidah khusus, kaidah
khusus terbagi lagi kepada beberapa bidang, salah satunya adalah di bidang Ekonomi
(Muamalah) Kaidah yang khusus di bidang Ekonomi (Muamalah) menjadi sangat penting 
karena perhatian sumber hukum islam yaitu al-Qur’an dan Hadis terkait ibadah mahdhoh dan
hukum keluarga islam lebih dominan dibanding dengan fikih-fikih yang lain. Akibatnya, di
bidang fikih-fikih selain ibadah mahdhoh dan hukum keluarga islam, ruang lingkup ijtihad
menjadi sangat luas dan materi-materi fikih sebagai hasil ijtihad menjadi sangat banyak.
Al-Qur’an dan Hadis untuk bidang selain ibadah mahdhoh dan hukum keluarga islam
hanya menentukan garis-garis besarnya saja yang tercermin dalam dalil-dalil yang bersifat
umum. Hal ini tampaknya erat kaitannya dengan fungsi manusia yang selain sebagai hamba
Allah juga sebagai khalifah fi al-ardh.Oleh karena itu, dalam makalah ini pemakalah hanya
membahas kaidah-kaidah yang berkaitan dengan Ekonomi (Muamalah) saja.
B.  Rumusan Masalah
1.    Kaidah-kaidah fiqih yang berhubungan dengan Ekonomi
2.    Penerapan Kaidah Fiqih dalam ekonomi

BAB II
PEMBAHASAN
A.  Kaidah-Kaidah Fiqih Yang Berhubungan dengan Masalah Ekonomi
Kaidah-kaidah fiqih terdiri dari kaidah fiqih yang umum dan kaidah fiqih yang khusus,
salah satu kaidah fiqih yang khusus yaitu kaidah yang berhubungan dengan masalah ekonomi
(muamalah), kaidah-kaidah tersebut antara lain :

‫األصل في المعاملة اإلباحة إال أن يدل دليل على تحريمها‬    .1


“Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang
mengharamkannya”
‫األصل في العقد رضى المتعاقدين ونتيجته ما التزماه بالتعاقد‬    .2
“Hukum asal dalam transaksi adalah keridhaan kedua belah pihak yang berakad, hasilnya
adalah berlaku sahnya yang diakadkan”
‫ال يجوز ألحد أن يصرف في ملك غيره بال إذنه‬    .3
“Tiada seorangpun boleh melakukan tindakan hukum atas milik orang lain tanpa izin si pemilik
harta”
‫الباكل ال يقبل اإلجازة‬    .4
“Akad yang batal tidak menjadi sah karena dibolehkan”
‫اإلجازة الالحقة كالوكالة السابقة‬    .5
“Izin yang datang kemudian sama kedudukannya dengan perwakilan yang telah dilakukan lebih
dahulu”

‫األجر والضمان ال يجتمعان‬    .6


“Pemberian upah dan tanggung jawab untuk mengganti kerugian tidak berjalan bersamaan”
‫الخراج بالضمان‬    .7
“Manfaat suatu benda merupakan fakor pengganti kerugian”
‫الغرم بالغمن‬    .8
“Risiko itu menyertai manfaat”
‫إذا بطل شيئ بطل ما في ضمنه‬    .9
“Apabila sesuatu akad batal, maka batal pula yang ada dalam tanggungannya”
‫العقد على األعيان كالعقد على منافعها‬     .10
“Akad yang objeknya suatu benda tertentu adalah seperti akad terhadap manfaat benda
tersebut”
‫كل ما يصح تأبيده من العقود المعاوضات فال يصح توقيته‬     .11
“Setiap akad mu’awadhah yang sah diberlakukan selamanya, maka tidak sah diberlakukan
sementara”
‫األمر بالتصرف في ملك الغير باطل‬     .12
“Setiap perintah untuk bertindak hukum terhadap hak milik orang lain adalah batal”
‫ال يتم التبرع إال بالقبض‬       .13
“Tidak sempurna akad tabarru’ kecuali dengan penyerahan barang”
‫الجواز السرعي ينافي الضمان‬     .14
“Suatu hal yang dibolehkan oleh syara’ tidak dapat dijadikan objek tuntutan ganti rugi”
‫كل قبول جائز أن يكون قبلت‬       .15
“Setiap kabul/penerimaan boleh dengan ungkapan saya telah terima”
‫كل شرط كان من مضلحة العقد أو من مقتضاه فهو جائز‬     .16
“Setiap syarat untuk kemaslahatan akad atau diperlukan oleh akad tersebut, maka syarat
tersebut dibolehkan”
‫ما جاز بيعه جاز رهنه‬     .17
“Apa yang boleh dijual boleh pula digadaikan”
‫كل قرض جر منفعة فهو ربا‬     .18
“Setiap pinjaman dengan menarik manfaat (oleh kreditor) adalah sama dengan riba”
‫الض َر ُريُزَ ا ُل‬
َ      .19
“Kemadharatan harus dihilangkan”[1]
َ ‫ضرُو َر ِةعَا َمةً َكانَ أَوْ خَ ا‬
ً‫صة‬ َ ‫ال َحا َجةُ تَ ْن ِز ُل َم ْن ِزلَةَ ال‬     .20
“Kedudukan kebutuhan itu menempati kedudukan darurat baik umum maupun khusus”
‫االجرو واضمانل اليجتمعان‬     .21
“Sewa dan membayar kerusakan, tidaklah berkumpul”

B.  Penerapan Kaidah Fiqih dalam Ekonomi


Penerapan Kaidah-kaidah fikih dalam ekonomi  adalah sebagai berikut:
1.    Kaidah pertama:
‫األصل في المعاملة اإلباحة إال أن يدل دليل على تحريمها‬
“Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang
mengharamkannya”
Maksud kaidah ini adalah bahwa dalam setiap muamalah dan transaksi, pada dasarnya
boleh, seperti jual beli, sewa menyewa, gadai kerjasama (mudharabah dan musyarakah)
perwakilan, dan lain-lain, kecuali yang tegas-tegas diharamkan seperti mengakibatkan
kemudaratan, tipuan, judi, dan riba.
2.    Kaidah kedua:
‫األصل في العقد رضى المتعاقدين‹ ونتيجته ما التزماه بالتعاقد‬
“Hukum asal dalam transaksi adalah keridhaan kedua belah pihak yang berakad, hasilnya
adalah berlaku sahnya yang diakadkan”
Keridhaan dalam transaksi adalah merupakan prinsip. Oleh karena itu, transaksi barulah
sah apabila didasarkan kepada keridhaan kedua belah pihak. Artinya, tidak sah suatu akad
apabila salah satu pihak dalam keadaan terpaksa atau dipakasa atau juga merasa tertipu. Bisa
terjadi pada waktu akad sudah saling meridhai, tetapi kemudian salah satu pihak merasa tertipu,
artinya hilang keridhaannya, maka akad tersebut bisa batal. Contohnya seperti pembeli yang
merasa tertipu karena dirugikan oleh penjual karena barangnya terdapat cacat.

3.    Kaidah ketiga:
‫ال يجوز ألحد أن يصرف في ملك غيره بال إذنه‬
“Tiada seorangpun boleh melakukan tindakan hukum atas milik orang lain tanpa izin si pemilik
harta”
Atas dasar kaidah ini, maka si penjual haruslah pemilik barang yang dijual atau wakil dari
pemilik barang atau yang diberi wasiat atau wakilnya. Tidak ada hak orang lain pada barang
yang dijual.
4.    Kaidah keempat:
‫الباكل ال يقبل اإلجازة‬
“Akad yang batal tidak menjadi sah karena dibolehkan”
Akad yang batal dalam hukum Islam dianggap tidak ada atau tidak pernah terjadi. Oleh
karena itu, akad yang batal tetap tidak sah walaupun diterima salah satu pihak. Contohnya, Bank
syariah tidak boleh melakukan akad dengan lembaga keuangan lain yang menggunakan sistem
bunga, meskipun sistem bunga dibolehkan oleh pihak lain, karena sistem bunga sudah
dinyatakan haram oleh Dewan Syariah Nasional. Akad baru sah apabila lembaga keuangan lain
itu mau menggunakan akad-akad yang diberlakukan pada perbankan syariah, yaitu akad-akad
atau transaksi tanpa menggunakan sistem bunga.
5.    Kaidah kelima:
‫اإلجازة الالحقة كالوكالة السابقة‬
“Izin yang datang kemudian sama kedudukannya dengan perwakilan yang telah dilakukan lebih
dahulu”
Seperti telah dikemukakan pada kaidah ketiga  bahwa pada dasarnya seseorang tidak boleh
bertindak hukum terhadap harta milik orang lain tanpa seizin pemiliknya. Tetapi, berdasarkan
kaidah di atas, apabila seseorang bertindak hukum pada harta milik orang lain, dan kemudian si
pemilik harta memberikan izin kepadanya, maka tindakan hukum itu menjadi sah, dan orang tadi
dianggap sebagai perwakilan dari si pemilik harta. Contohnya adalah akad wakalah yang
diberlakukan di Bank Syariah.
6.    Kaidah keenam:
‫األجر والضمان ال يجتمعان‬
“Pemberian upah dan tanggung jawab untuk mengganti kerugian tidak berjalan bersamaan”
Yang disebut dengan dhaman atau ganti rugi dalam kaidah tersebut adalah mengganti
dengan barang yang sama. Apabila barang tersebut ada di pasaran atau membayar seharga
barang tersebut apabila barangnya tidak ada di pasaran.
Contoh, seseorang menyewa kendaraan penumpang untuk membawa keluarganya, tetapi si
penyewa menggunakannya untuk membawa barang-barang yang berat yang mengakibatkan
kendaraan tersebut rusak berat. Maka, si penyewa harus mengganti kerusakan tersebut dan tidak
perlu membawa sewaannya.
7.    Kaidah ketujuh:
‫الخراج بالضمان‬
“Manfaat suatu benda merupakan fakor pengganti kerugian”
Arti asal al-kharaj adalah sesuatu yang dikeluarkan baik manfaat benda maupun pekerjaan,
seperti pohon mengeluarkan buah atau binatang mengeluarkan susu. Sedangkan al-dhaman
adalah ganti rugi.
Contohnya, seekor binatang dikembalikan oleh pembelinya dengan alasan cacat. Si penjual
tidak boleh meminta bayaran atas penggunaan binatang tadi. Sebab, penggunaan binatang tadi
sudah menjadi hak pembeli.

8.    Kaidah kedelapan:
‫الغرم بالغمن‬
“Risiko itu menyertai manfaat”
Maksud dari kaidah al ghurmu bi al ghunmi ialah bahwa seseorang yang memanfaatkan
sesuatu harus menanggung risiko. Sedangkan menurut Umar Abdullah al-Kamil, makna yang
tersirat dari kaidah ini adalah bahwa barang siapa yang memperoleh manfaat dari sesuatu yang
dimanfaatkannya maka ia harus bertanggung jawab atas dhoror atau ghurmu serta dhomān yang
akan terjadi.
Contohnya Biaya notaris adalah tanggung jawab pembeli kecuali ada keridhaan dari
penjual atau ditanggung bersama. Demikian pula halnya, seseorang yang meminjam barang,
maka dia wajib mengembalikan barang dan risiko ongkos-ongkos pengembaliannya. Berbeda
dengan ongkos mengangkut dan memelihara barang, dibebankan pada pemilik barang.
9.    Kaidah kesembilan:
‫إذا بطل شيئ بطل ما في ضمنه‬
“Apabila sesuatu akad batal, maka batal pula yang ada dalam tanggungannya”
Contohnya, penjual dan pembeli telah melaksanakan akad jual beli. Si pembeli telah
menerima barang dan si penjual telah menerima uang. Kemudian kedua belah pihak
membatalkan jual beli tadi. Maka, hak pembeli terhadap barang menjadi batal dan hak penjual
terhadap harga barang menjadi batal. Artinya, si pembeli harus mengembalikan barangnya dan si
penjual harus mengembalikan harga barangnya.
10.  Kaidah kesepuluh:
‫العقد على األعيان كالعقد على منافعها‬
“Akad yang objeknya suatu benda tertentu adalah seperti akad terhadap manfaat benda
tersebut”
Objek suatu akad bisa berupa barang tertentu, misalnya jual beli, dan nnisa pula berupa
manfaat suatu barang seperti sewa menyewa. Bahkan sekaran, objeknya bisa berupa jasa seperti
jasa broker. Maka, pengaruh hukum dari akad yang objeknya barang atau manfaat dari barang
adalah sama, dalam arti rukun dan syaratnya sama.
11.  Kaidah kesebelas:
‫كل ما يصح تأبيده من العقود المعاوضات فال يصح توقيته‬
“Setiap akad mu’awadhah yang sah diberlakukan selamanya, maka tidak sah diberlakukan
sementara”
Akad mu’awadhah adalah akad yang dilakukan oleh dua pihak yang masing-masing
memiliki hak dan kewajiban, seperti jual beli. Satu pihak (penjual) berkewajiban menyerahkan
barang dan berhak terhadap harga barang. Di pihak lain yaitu pembeli berkewajiban
menyerahkan harga barang dan berhak terhadap barang yang dibelinnya. Dalam akad yang
semacam ini tidak sah apabila dibatasi waktunya, sebab akad jual beli tidak dibatasi waktunya.
Apabila waktuya dibatasi, maka bukan jial beli tapi sewa menyewa.
12.  Kaidah kedua belas:
 ‫األمر بالتصرف في ملك الغير باطل‬
“Setiap perintah untuk bertindak hukum terhadap hak milik orang lain adalah batal”
Maksud kaidah ini adalah apabila seseorang memerintahkan untuk bertransaksi terhadap
milik orang lain yang dilakukannya seperti terhadap miliknya sendiri, maka hukumnya batal.
Contohnya, seorang kepala penjaga keamanan memerintahkan kepada bawahannya untuk
menjual barang yang dititipkan kepadanya, maka perintah tersebut adalah batal.
13.  Kaidah ketiga belas:
  ‫ال يتم التبرع إال بالقبض‬
“Tidak sempurna akad tabarru’ kecuali dengan penyerahan barang”
Akad tabarru adalah akad yang dilakukan demi untuk kebajikan semata seperti hibah atau
hadiah. Hibah tersebut belum mengikat sampai penyerahan barangnya dilaksanakan.
14.  Kaidah keempat belas:
‫الجواز السرعي ينافي الضمان‬
“Suatu hal yang dibolehkan oleh syara’ tidak dapat dijadikan objek tuntutan ganti rugi”
Maksud kaidah ini adalah sesuatu yang dibolehkan oleh syariah baik melakukan atau
meninggalkannya, tidak dapat dijadikan tuntutan ganti rugi. Contohnya, si A menggali sumur di
tempat miliknya sendiri. Kemudian binatang tetangganya jatuh kedalam sumur tersebut dan mati.
Maka, tetangga tadi tidak bisa menuntut ganti rugi kepada si A, sebab menggali sumur
ditempatnya sendiri dibolehkan oleh syariah.
15.  Kaidah kelima belas:
  ‫كل قبول جائز أن يكون قبلت‬
“Setiap kabul/penerimaan boleh dengan ungkapan saya telah terima”
Sesungguhnya berdasarkan kaidah ini, adalah sah dalam setiap akad jual beli, sewa
menyewa dan lain-lainnya, akad untuk menyebut “qabiltu” (saya telah terima) dengan tidak
mengulangi rincian dari ijab. Rincian ijab itu, seperti saya jual barang ini dengan harga sekian
dibayar tunai, cukup dijawab dengan “saya terima”.
16.  Kaidah keenam belas:
 ‫كل شرط كان من مضلحة العقد أو من مقتضاه فهو جائز‬
“Setiap syarat untuk kemaslahatan akad atau diperlukan oleh akad tersebut, maka syarat
tersebut dibolehkan”
Contohnya seperti dalam hal gadai emas kemudian ada syarat bahwa apabila barang gadai
tidak ditebus dalam waktu sekian bulan, maka penerima gadai berhak untuk menjualnya. Atau
syarat kebolehan memilih, syarat tercatat di notaris.
17.  Kaidah ketujuh belas:
 ‫ما جاز بيعه جاز رهنه‬
“Apa yang boleh dijual boleh pula digadaikan”
Sudah tentu barang yang boleh dijual boleh pula digadaikan namun, ada pengecualiannya, seperti
manfaat barang boleh disewakan tapi tidak boleh digadaikan karena tidak bisa diserah terimakan
18.  Kaidah kedelapan belas:
‫كل قرض جر منفعة فهو ربا‬
“setiap pinjaman dengan menarik manfaat (oleh kreditor) adalah sama dengan riba”[2]
Riba adalah penambahan-penambahan yang diisyaratkan oleh orang yang memiliki harta
kepada orang yang meminjam hartanya (uang), karena pengunduran janji pembayaran oleh
peminjam dari waktu yang telah ditentukan.[3] dalam perbankan syariah dilarang menggunakan
transaksi yang menimbulkan riba, oleh sebab itu sistem bunga diganti menjadi sistem bagi hasil.
19.  Kaidah Sembilan belas:
‫الض َر ُريُ َزا ُل‬
َ
“Kemadharatan harus dihilangkan”[4]
Konsepsi kaidah ini memberikan pengertian bahwa manusia harus dijauhkan dari idhrar
(tindakan menyakiti) baik oleh dirinya maupun orang lain, dan tidak semestinya ia menimbulkan
bahaya (menyakiti orang lain). Contohnya larangan menimbun barang-barang kebutuhan pokok
masyarakat karena perbuatan tersebut mengakibatkan kemadharatan bagi rakyat.
20.  Kaidah kedua puluh:
َ َ‫ضرُو َر ِةعَا َمةً َكانَ أَوْ خ‬
ً‫اصة‬ َ ‫الحا َجةُ تَ ْن ِز ُل َم ْن ِزلَةَ ال‬
َ
“Kedudukan kebutuhan itu menempati kedudukan darurat baik umum maupun khusus”
Contohnya dalam jual beli, objek yang di jual telah wujud. Akan tetapi, demi untuk
kelancaran transaksi, boleh menjual barang yang belum berwujud asal sifat-sifatnya atau
contohnya telah ada.
21.  Kaidah kedua puluh satu:
‫االجرو واضمانل اليجتمعان‬
“Sewa dan membayar kerusakan, tidaklah berkumpul”
Maksud dari kaidah ini ialah, bahwa upah tanggungan (ganti rugi) dari suatu barang, tidak
dapat dikumpulkan pada seorang dalam kejadian peristiwa yang sama. Sewa Yang dimaksud
dalam kaidah ini adalah ganti terhadap manfaat barang, sedangkan tanggungan  (ganti rugi)
adalah kewajiban mengganti kerugian dari suatu barang yang dimanfaatkan.
Misalnya seorang tukang sol sepatu (penjahit sepatu), ia boleh menahan jahitan atau sepatu
yang dipesan sampai dilunasi upah yang akan diberikan, jika tidak ada syarat adanya penundaan
pembayaran. Dengan cara ini apabila seseorang menahan barang tersebut dan kemudian rusak, ia
tidak mengganti karena kerusakan itu dan ia tetap masih berhak atas upah. [5]

BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
1.      Kaidah-kaidah fiqih tentang ekonomin (muamlah) merupakan kaidah fiqih yang khusus
membahas permasalahan ekonomi (muamalah).
2.      Kaidah dasar Ekonomi (Muamalah) adalah: “Hukum asal dalam semua bentuk muamalah
adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya”.
3.      Kaidah tentang akad dalam Ekonomi (Muamalah) yaitu: “Akad yang objeknya suatu benda
tertentu adalah seperti akad terhadap manfaat benda tersebut”
4.      Kaidah tentang adanya unsur keridhoan dalam jual beli: “Hukum asal dalam transaksi adalah
keridhaan kedua belah pihak yang berakad, hasilnya adalah berlaku sahnya yang diakadkan”

B.  Saran
Pemakalah menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan di dalamnya. Oleh karena itu, Pemakalah sangat membutuhkan
saran dari pembaca, terutama Bapak Dosen selaku pembimbing dalam mata kuliah ini.

[1] Nash Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam,Qawa’id


Fiqhiyyah.(Jakarta:Hamzah.2009). hal. 17.
[2] http://faizalhusen.blogspot.com/2012/03/kaidah-kaidah-fiqh-muamalah.html
[3] Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah.(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.2011). hal.
58.
[4] A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fiqh kaidah-kaidah hukum Islam dalam
menyelesaikan masalah-masalah praktis,(Jakarta: Kencana.2006). hal. 67.
[5] Imam Musbikin,Qawa’id Al-Fiqhiyah.(Jakarta:PT. RajaGrafindo Persada.2001).
hal. 210.
Diposkan oleh Ali Muda Simanjuntak di Senin, Januari 13, 2014 

A.    Pendahuluan
Dalam menghadapi permasalahan yang muncul pada zaman sekarang ini, hukum Islam
menawarkan suatu metode dalam mengistinbathkan hukum. Qawaid Fiqhiyyah diharapkan dapat
menjadi jawaban dalam memecahkan permasalahan yang ada. Kaidah-kaidah yang telah
dihimpun oleh para ulama ini penting dalam dalam kajian ilmu syari’ah, dengan mempelajari
kaidah fiqh seseorang dapat menguasai fiqh dengan baik. Kaidah ini menjadi pedoman berfikir
dalam memikirkan suatu masalah dan mengistinbathkan hukum dari permasalahan tersebut.
Kaidah fiqh tidak hanya berkutat dipermasalahan ibadah saja tetapi menyangkut kepada
bidang-bidang lain, salah satunya yang akan dibahas dalam makalah ini adalah Qawaid
Fiqhiyyah dalam bidang Ekonomi. Jika mendengar kata ekonomi maka kita akan langsung
berpikir tentang jual beli dan uang. Ekonomi menghubungkan seseorang yang satu dengan yang
lain. Hubungan yang dimaksud berarti saling bertransaksi dan dalam setiap kegiatan kehidupan
atau ekonomi sangat memerlukan transaksi. Ekonomi kita telah berubah menjadi ekonomi Islam
maka dalam transaksi mutlak diperlukan transaksi yang Islami dan diridhai oleh Allah
SWT Penulis akan mengumpulkan beberapa kaidah dalam bidang ekonomi dan menjelaskannya
dengan beberapa contoh riil yang ada didalam kehidupan kita sehari-hari.

C.    Hukum Dasar dan Kaidah Pokok Ekonomi


Pengertian ekonomi Islam menurut Yusuf Halim al-Alim adalah ilmu tentang hukum-
hukum syarat aplikatif yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci terkait dengan
mencari,membelanjakan, dan tata cara membelanjakan harta. Fokus kajian ekonomi Islam adalah
mempelajari perilaku muamalah masyarakat Islam yang sesuai dengan nash al-Qur’an, al- Hadis,
Qiyas, dan Ijma’ dalam kebutuhan hidup manusia dalam mencari ridho Allah SWT.[5]
Sedangkan menurut M.Akram Khan yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah
“Islamic economic aims the study of human falah (well being) achieved by organizing the
resources of the earth on the basic of coorperation and participation”.[6] Muhammad Abdul
Manan memberikan penjelasan “Islamic economics is social science which studies the
economics problems of a people imbued with values of Islam” (ilmu ekonomi Islam adalah ilmu
pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi masyarakat yang dilihat oleh
nilai-nilai Islam).[7]
Dari definisi diatas dapat kita ambil kesimpulan bahwa ekonomi Islam adalah ilmu yang
berkaitan dengan aktifitas ekonomi masyarakat muslim dengan melihat Islam sebagai
sumbernya. Aktifitas disini adalah produksi, distribusi, maupun konsumsi yang dilihat secara
empirik dan actual dan menjadikan nilai keislaman yang ada di al-Quran, al-Hadis, Ijma’ dan
Qiyas sebagai dasar bermuamalah. Hal ini merupakan tujuan kebahagian dari Muslim itu sendiri,
dengan menjalankan aktifitas ekonomi berdasarkan syariat maka keuntungan yang didapatkan
adalah keuntungan dunia serta ridho Allah SWT. Selain itu akan mendapatkan balasan pahala
kebaikan untuk modal seorang muslim di akhirat kelak.
Hukum dasar dalam fiqh muamalah merupakan asas yang dapat dikatakan sebagai teori
yang membentuk hukum-hukum dalam bidang ekonomi. Dr Abbas Arfan dalam bukunya 99
kaidah fiqh muamalah kulliyah menuliskan lima asas.[8]Asas pertama adalah Taba’dul al-
Mana’fi yaitu segala bentuk kegiatan muamalah harus memberikan keuntungan dan manfaat bagi
pihak-pihak yang terlibat. Hal ini menunjukkan bahwa manusia bukanlah pemilik mutlaq
melainkan hanya sebagai pemilik hak manfaatnya saja.
Asas kedua adalah asas pemerataan dan keadilan yaitu asas yang berupa prinsip keadilan
dalam bidang muamalah yang menghendaki agar harta tidak hanya dikuasai oleh segelintir orang
sehingga harta itu harus didistribusikan secara merata diantara masyarakat baik kaya maupun
miskin. Keadilan dalam Islam menyangkut kepada, yaitu

1.      Keadilan sosial
2.      Keadilan ekonomi
3.      Keadilan distribusi pendapatan
Asas ketiga adalah keridaan dan kerelaan, asas ini menyatakan bahwa setiap bentuk
muamalat antar muslim atau antar pihak harus berdasarkan kerelaan masing-masing. Kerelaan
disini dalam arti kerelaan melakukan suatu bentuk penyerahan benda yang dijadikan objek
perikatan dan bentuk muamalah lainnya. Asas keempat yaitu tidak adanya penipuan atau dapat
dikatakan asas kejujuran dalam bertransaksi, asas kelima yaitu asas kebaikan dan ketaqwaan
yang dalam hal ini muslim harus melakukan segala hal untuk kebaikan dan peningkatan
ketaqwaannya kepada Allah SWT. Asas yang terakir adalah asas Musyarakah yaitu asas yang
menghendaki kerjasama antar pihak yang memiliki tujuan yang sama dalam hal saling
menguntungkan namun tetap dalam tindakan yang diridhoi Allah.
Sedangkan Yusuf Al- Qardhawi menetapkan tujuh kaidah, yaitu :[9]
1.      Hukum asal bagi muamalah adalah boleh
2.      Yang menjadi patokan adalah maksud yang dituju bukan lahiriah belaka
3.      Keharaman mengambil harta orang lain dengan cara yang batil
4.      Tidak boleh ada kemudharatan
5.      Landasan keringanan dan kemudahan
6.      Pertimbangan darurat dan kebutuhan
7.      Pertimbangan adat dan kebiasaan, selama tidak bertentangan dengan syariat

D.    Qawaid Fiqhiyyah Dalam Bidang Ekonomi


Banyak sekali usaha-usaha manusia yang berhubungan dengan barang dan jasa. Dalam
transaksi saja para ulama menyebut tidak kurang dari 25 jam. Sudah barang tentu sekarang
dengan perkembangan ilmu dan teknologi, serta tuntutan masyarakat yang makin meningkat,
melahirkan model-model transaksi baru yang membutuhkan penyelesaiannya dari sisi hukum
Islam. Penyelesaian yang di satu sisi tetap Islami dan di sisi lain mampu menyelesaikan masalah
kehidupan yang nyata. Sudah tentu caranya adalah dengan menggunakan kaidah-kaidah.
Kaidah-kaidah fikih bidang muamalah dari kaidah asasi dan cabangnya, kaidah umum
dan kaidah khusus yang kemudian dihimpun oleh ulama-ulama Turki zaman kekhalifahan Turki
Utsmani tidak kurang dari 99 kaidah, yang termuat dalam Majalah Al-Ahkam Al-Adliyah.
Kesembilan puluh Sembilan kaidah tadi menjadi acuan dan menjadi jiwa dari 1851 pasal tentang
transaksi yang tercantum dalam Majalah al-Ahkam al-Adliyah.[10]
Dalam karangan Ali Ahmad Al-Nadwy yang berjudul Jamharah al-Qawâid al-
Fiqhiyyah dan Mushthafa Ahmad al-Zarqa, al-Madkhal al-Fiqh al-‘Amm, ditemukan kaidah-
kaidah ekonomi yang berkaitan dengan akad. Kemudian akan ini akan melahirkan perikatan
yang merupakan seperangkat kaidah hukum yang bersumber dari al-Qur’an, sunnah, dan ar-ra’yu
yang mengatur hubungan antara dua orang atau lebih mengenai suatu benda yang dihalalkan
menjadi objek suatu transaksi.
Didalam Muamalah akad merupakan bagian dari tasharruf. Tasharruf adalah segala yang
keluar dari seorang manusia dengan kehendaknya dan syara’ menetapkan beberapa hak.
Tasharruf dibagi menjadi dua, yaitu tasharruf fi’li dan tasharruf qauli. Tasharruf fi’li ialah usaha
yang dilakukan manusia dengan tenaga dan badannya, selain dari lidah, seperti memanfaatkan
tanah yang tandus, menerima barang dalam jual beli, merusak benda orang lain. Tasharruf qauli
ialah tasharruf yang keluar dari lidah manusia ang dibagi menjadi dua, yaitu aqdi dan bukan
aqdi. Tasharruf qauli aqdi adalah sesuatu yang dibentuk dari ucapan kedua belah pihak dan
saling bertalian seperti jual beli, sewa menyewa, dan perkongsian. Tasharruf qauli bukan aqdi
ada dua macam, yaitu merupakan pernyataan pengadaan dua hak atau mencabut suatu hak,
seperti wakaf, talak, dan memerdekan, tidak menyatakan suatu kehendak. Tetapi dia menyatakan
suatu kehendak, tetapi dia mewujudkan tuntutan-tuntutan hak, seperti gugatan,ikrar, sumpak dan
untuk menolak gugatan.[11]
Ada sepuluh kaidah yang akan dituliskan dibawah ini yang berkaitan dengan akad
transaksi dan akibat hukum untuk mereka yang saling bertransaksi, yaitu :
]12[‫اللزوم‬ ‫العقود‬ ‫فى‬ ‫و‬ ، ‫الصحة‬ ‫المعامالت‬ ‫فى‬ ‫صل‬ ‫األ‬     .1
“Pada dasarnya hukum bermuamalah adalah sah dan hukum bertransaksi adalah mengikat pihak-
pihak yang bertransaksi.”
            Kaidah pertama menjelaskan dalam berinteraksi baik dalam bidang ekonomi maupun
dalam bidang muamalah lainnya adalah sah. Dan bagi setiap pihak yang bertransaksi memiliki
hukum yang mengikat bagi pihak yang melakukan perjanjian tersebut. Hukum islam
memberikan kesempatan luas bagi perkembangan bentuk dan jenis muamalah (bisnis) baru
sesuai denan perkembangan kebutuhan hidup masyarakat, termasuk di dalamnya kegiatan
transaksi ekonomi di lembaga keungan syariah. Selain itu di zaman modern sekarang ini, segala
macam barang kebutuhan hidup dapat dibeli walau hanya tetap tinggal dirumah yaitu dengan
pembelian online. Selagi transaksi ini tidak menyalahi aturan syar’I dan memberikan manfaat
bagi penjual dan pembeli maka hukumnya mubah. Setiap orang yang bermuamalah harus
dilakukan berdasarkan pertimbangan mendatangkan manfaat dan menghindari mudarat (jalbu al-
mashalih wa dar’u al-mafasid) atau sering disebut mashlahah(kemaslahatan).
]13[ ‫األ صل فى العقد رضى المتعاقد ين و نتيجته ما التزماه بالتعاقد‬      .2
“Suatu transaksi pada dasarnya harus dilandasi kerelaan kedua belah pihak dan hasilnya adalah
sah dan mengikat kedua belah pihak terhadap diktum yang ditransaksikan.”
Keridhaan dalam transaksi adalah merupakan prinsip. Oleh karena itu, transaksi barulah
sah apabila didasarkan kepada keridhaan kedua belah pihak. Artinya, tidak sah suatu akad
apabila salah satu pihak dalam keadaan terpaksa atau dipaksa atau juga merasa tertipu. Bisa
terjadi pada waktu akad sudah saling meridhai, tetapi kemudian salah satu pihak merasa tertipu,
artinya hilang keridhaannya, maka akad tersebut bisa batal.
Perjanjian yang mereka buat akan mengikat kedua belah pihak yang telah melakukan
transaksi tersebut. Orang-orang yang melakukan pemaksaan dalam menjalankan akad jual beli
sungguh bertentangan dengan perintah Nabi SAW, yaitu : Nabi SAW melarang jual beli secara
paksa, jual beli dengan tipuan dan menjual buah yang belum ada. Jual beli dengan paksaan dapat
terjadi dalam dua bentuk, yaitu, Pertama: terdapat dalam akad, yaitu paksaan untuk melakukan
akad, jual beli ini adalah rusak dan dianggap tidak sah. Kedua: adanya keterpaksaan untuk
menjual sesuatu karena sedang dililit utang yang bertumpuk atau beban berat sehingga menjual
apa saja yang dimiliki meskipun dengan harga yang rendah karena kondisi darurat.[14]
]15[ ‹‫العقد على األ عيان كالعقد على منافعها‬     .3
Bertransaksi dengan obyek benda, sama hukumnya dengan bertransaksi dengan obyek manfaat
benda tersebut.
Contoh pada kaidah ketiga ini adalah jika seseorang menyewa suatu rumah atau ruko
maka hukum bertransaksi tersebut sama dengan manfaat dari obyeknya yaitu sebagai sebuah
tempat hunian.
]16[ ‫كل ما يصح تأبيده من العقود المعاو ضات فال يصح توقيته‬     .4
Setiap transaksi pertukaran (baik jual-beli maupun barter) yang berlaku selamanya, maka tidak
dibenarkan untuk dibuat tentatif.
Suatu perdagangan itu berlaku selamanya, penjual yang menjual barangnya dan pembeli
yang menyerahkan uangnya maka hal itu berlaku selamanya. Tidak ada pembatasan-pembatasan,
uang adalah miliki penjual dan barang menjadi milik sang pembeli, hal ini sah dan tidak dapat
dibatasi.
]17[‫كل شرط‹ كان من مصلحة العقد أو من مقتضاه فهو جائز‬     .5
Setiap syarat dalam suatu transaksi yang bertujuan untuk kesuksesan dan tujuan transaksi
tersebut, maka dibolehkan.
Kewajiban memenuhi persyaratan yang diminta salah satu dari kedua belah pihak yang
bertransaksi dan disepakati bersama. Namun akad ini harus sesuai dengan kemampuan dari pihak
yang memenuhi syarat tersebut. Jika diluar kemampuan maka tidak wajib dipenuhi.           
Jika dalam bertransaksi kedua belah pihak meminta bank sebagai pihak ketiga dalam
mengelola dana mereka, maka hal ini boleh karena dianggap memiliki tujuan dalam mencapai
kemaslahatan bersama. Contoh lain seperti dalam hal gadai emas kemudian ada syarat bahwa
apabila  barang gadai tidak ditebus dalam waktu sekian bulan, maka penerima gadai berhak
untuk menjualnya. Atau syarat kebolehan memilih, syarat dicatat notaris
]18[‫العقد الباطل اليقبل الإلجازة‬     .6
Transaksi yang batal (karena tidak memenuhi unsur syarat ataupun rukun) tidak berubah menjadi
sah karena dibolehkan.
Kaidah ini bisa diartikan apabila sesuatu yang memuatnya batal maka muatannya juga batal.
Apabila dalam suatu tasharruf (tindakan hukum terhadap benda) terdapat beberapa langkah-
langkah, maka hukumnya tetap dengan tetapnya hukum tasarruf yang mencakupnya. Hukum
langkah-langkah ini akan batal, jika hukum tasarruf yang mencakupnya batal.
]19[‫الخراج بالضمان‬     .7
Manfaat suatu benda adalah faktor pengganti kerugian.
Arti asal kata al-Kharaj adalah sesuatu yang dikeluarkan baik manfaat benda atau
pekerjaan, seperti buah yang keluar dari pohon[20] anak hewan keluar dari induknya atau
pekerjaan yang dihasilkan oleh seorang buruh atau pembantu. Sedangkan kata al-daman adalah
tanggung jawab ganti rugi. Maksud kaidah diatas menurut Al-Zarkarshi adalah bahwa sesuatu
yang keluar dari sesuatu berupa barang, baik manfaat atau hasil, adalah milik pembeli sebagai
ganti atas apa yang wajib padanya berupa tanggungan kepemilikan. Sebab jika barang rusak,
maka ini menjadi tanggungannya. Maka ini menjadi haknya agar dia memperoleh keuntungan
dalam menghadapi kerugian.[21]
Seorang yang telah menyewa suatu barang kemudian barang tersebut dikembalikan kepada
pemiliki barang karena ada suatu kecacatan. Maka sang pemilik barang tidak boleh meminta
manfaat dari barang tersebut karena hak memanfaatkan barang sewaan itu adalah hak sang
penyewa.
]22[‫إذا بطل الشيئ بطل ما فى ضمنه‬     .8
Apabila suatu transaksi batal, maka akan batal secara otomatis diktum-diktum dalam transaksi
tersebut.
]23[‫البيع الفا سد يفيد الملك بالقبض والباطل ال يفيده أصال‬     .9
Transaksi jual beli ada dua macam: jual-beli yang rusak yang berakibat hukum pada pemilikan
obyek transaksi dan jual-beli batal yang tidak memiliki akibat hukum memiliki obyek transaksi
tersebut.
‫ما ثبت بالشرع مقدم على ما ثبت بالشرط‬   .10
Ketentuan yang berdasarkan syari’at lebih didahulukan dari pada ketentuan yang berdasarkan
syarat.
Dalam kaidah kedelapan sampai sepuluh jelaslah jika suatu transaksi batal maka segala
hal yang ada didalam perjanjian adalah batal dan tidak mengikat lagi. Maka barang yang telah
diberikan wajib dikembalikan kembali, selain itu ketentuan berdasarkan syari’at lebih
didahulukan daripada syarat dari transaksi tersebut. Selain itu ada beberapa kaidah tentang
kepemilikan suatu harta.
‫أكل المال بالبا طل حرام‬   .11
Mengkonsumsi materi yang berasal dari pendapatan yang dilarang oleh syâri’at Islam adalah
haram hukumnya.
            Uang hasil dari korupsi, merampok, penjualan miras narkoba ataupun hasil dari tindakan
maksiat lainnya adalah haram karena uang tersebut didapatkan dari tindakan yang dilarang oleh
syariat. Menjual barang mubah kepada pembeli yang diketahui akan menggunakannya untuk
berbuat maksiat juga diharamkan seperti menjual anggur kepada pabrik pembuatan wine,
menjual senjata kepada perampok, atau menyewakan kamar untuk pasangan yang belum
menikah.

]24[‫اليجوز ألحد أن يتصرف فى ملك غبره بال إذنه‬                  .12


Seseorang tidak dibenarkan untuk mendistribusikan atau mentransaksikan asset kekayaan orang
lain tanpa seizin pemiliknya.
            Maksud dari kaidah ini adalah tidak diperbolehkan atau tidak halal bagi siapapun juga
untuk melakukan tasharuf terhadap benda/hak milik orang lain tanpa izin dari pemiliknya. Baik
tasharruf dalam memakai dan memanfaatkan benda itu, terlebih lagi jika melakukan akad jual
beli atau menyewakan asset kekayaan orang lain. 
‫ال يجوز‹ ألحد أن يأخذ مال أحد بال سبب شرعي‬               .13
Tidak boleh bagi seseorang mengambil milik orang lain tanpa sebab syar’i.
            Kaidah ini bisa menjadi pelengkap dari kaidah diatas, bahwa syariat Islam melarang
seseorang melakukan tasharruf atau perinta tasharruf terhadap milik orang lain. Apalagi jika
seseorang mengambil milik orang lain tanpa sebab yang syar’I. Karena mengambil harta orang
lain lebih berat dosannya daripada tasharruf kepada harta tersebut, sebab jika tasharruf masih ada
harapan untuk memberitahu atau meminta izin pemiliknya, sedangakn mengambil benda milik
orang lain tanpa izin atau tidak legak ada indikasi mencuri.[25]
Kedua kaidah diatas bisa kita kaitkan dengan firman Allah SWT
yg•ƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#þqè=à2ù's? $
Nä3s9ºuqøBr&Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& šcqä3s? ¸ot»pgÏB 
`tã <Ú#ts?öNä3ZÏiB 4 Ÿwur (#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 4 ¨bÎ) ©!$# 
  tb%x. öNä3Î/$VJŠÏmu‘ ÇËÒÈ
 Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan
yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara
kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.
Beberapa hadis juga menyatakan “Seorang muslim terhadap sesama muslim adalah
haram harta bendanya, kehormatannya, dan jiwanya (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)”.
“barangsiapa mengambil tanah secara zalim, ia kelak akan menghadap Allah dalam keadaan
Allah murka kepadanya(HR. Muslim)”. “seorang Muslim adalah besaudara dengan muslim
lainnya, tidak menzalimi dan tidak menekannya(HR.Muslim).”
Dalam tiga belas kaidah yang dituliskan diatas dapat kita lihat bahwa dalam menghadapi
isu ekonomi kontemporer, kita dapat menggunakan kaidah tersebut dalam mengistinbathkan
hukum. Pada dasarnya semua transaksi adalah boleh selama tidak ada pelanggaran hukum syar’I.
Di zaman sekarang, transaksi jual beli memiliki banyak jenis diakibatkan dengan perkembangan
teknologi. Penjual dan pembeli tidak saling mengetahui wajah, bentuk badan dan warna kulit,
barang yang diperjualbelikan pun tidak nampak secara nyata, namun proses jual beli dapat
berlangsung dengan baik. Proses pembayaran juga memiliki banyak macamnya, hal-hal ini bisa
kita lakukan asal memenuhi kaidah fiqhiyyah dan antara penjual serta pembeli sama-sama ridho.
Keridhoan penjual dan pembeli menjadi hal yang penting juga, tidak boleh ada
pemaksaan disini. Dalam bertransaksi kedua belah pihak dapat mendiskusikan bagaimana proses
transaksi yang diinginkan. Tidak boleh ada unsur ketidaksenangan dalam mencapai sebuah
perjanjian. Jika perjanjian telah dilakukan, maka perikatan akan muncul bagi kedua belah pihak
dan menyebabkan adanya hak dan kewajiban. Misalnya pembeli wajib mentransfer sejumlah
uang sesuai harga barang dan ongkos kirimnya, penjual wajib mengirim barang sesuai pesanan
yang diterima dan barang wajib sesuai dengan apa yang telah penjual tawarkan kepada pembeli.
Namun jika dalam bertransaksi ternyata suatu pihak wanprestasi dan menimbulkan
ketidaksenangan pihak lain dan perjanjian itu batal. Maka hal ini menggugurkan hak dan
kewajiban antara keduanya, tidak ada lagi keterikatan antara keduanya. Selain dalam proses
transaksi, kaidah diatas juga berbicara tentang objek yang menjadi transaksi tersebut. Objek itu
haruslah milik sendiri bukan milik orang lain, dilarang menjualbelikan atau mendistribusikan
barang yang milik orang lain.
Dalam proses jual beli yang halal maka akan mendapatkan hasil keuntungan yang halal
juga. Umat Islam wajib memenuhi unsur-unsur syar’I dalam bertindak, tidak boleh menjual
barang/jasa yang haram dan tidak boleh memakan hak orang lain. Jadi kaidah-kaidah ini menjadi
panutan kita dalam memproduksi, mendistribusi, dan mengkonsumsi.
E.     Kesimpulan
Qawaid fiqhiyyah memberikan panduan untuk seseorang dalam bertindak didalam
masyarakat. Ilmu ini juga mutlak diperlukan untuk melakukan suatu “ijtihad” atau pembaharuan
pemikiran dalam hukum Islam. Dengan menguasai Qawaid fiqhiyyah maka seseorang akan
mengetahui hukum sebenarnya dalam mencari solusi dari permasalahan hukum yang ada.
Permasalah hukum tersebut mencakup bidang ibadah, siyasah, muamalah maupun lingkungan.
Dalam makalah ini kita temukan bahwa ekonomi merupakan hal penting dalam
kehidupan dimasyarakat. Muslim dituntut bertindak sesuai dengan apa yang telah disyariatkan
dan untuk itu kaidah-kaidah dalam bidang ekonomi diharapkan dapat membantu setiap muslim
yang ingin melakukan transaksi ekonomi. Walaupun pada dasarnya dalam bermuamalah adalah
boleh namun tetap melihat unsur halal-haram diprosesnya.

DAFTAR PUSTAKA
Al- Nadwi, Ali Muhammad. Al-Qawaid al- Fiqhiyyah, Beirut : Dar al-Qalam,1991
Al-Alim, Yusuf Halim. Al- Nizam al-Sujasi wa al-Iqtishadi fi al Islam, Beirut : Dar al Qalm 1975
Al-Nadwy, Ali Ahmad, Jamharah al-Qawaid al-Fiqhiyyah fi al-Mu’amalat al-Maliyyah,Juz. I, Riyadh:
Syirkah al-Rajihi al-Mashrafiyah lil Istithmar, 2000
Al-Qardhawi, Yusuf. al-Qawaid al-Hakimah li fiqh al-Muamalat, Cairo : Dar al-Shuruq 2010
Al-Ruki, Muhammad, al-Qawaid al-Fiqhiyyah al-Islamiyyah, Beirut : Dar al-Qalam, 1998
Al-Zarqa, Ahmad Muhammad. Sharh al-Qawaid al-fiqhiyyah,(Damaskus : Dar al-Qalam,Cet.IX,2011
Al-Zarqa, Mushthafa Ahmad, al-Madkhal al-Fiqh al-‘Amm, Juz. II, Damaskus: Mathba’ah Jami’ah,
1983
 Arfan,Abbas. 99 Kaidah Fiqh Muamalah Kulliyah, Malang : UIN Maliki Press 2013
As-siddiqy, Hasbi. Pengantar Hukum Islam, Jakarta : bulan bintang 1975
Asy-Syafii, Ahmad Muhammad. ushul fiqh al-Islami, Iskandariyah muassasah tsaqofah al-Jamiiyah
1983
Khan,Akram. Economic Message of the Quran, (Kuwait : Islamic Book Publisher 1996
Manan, Muhammad Abdul. Islamic Economics : Theory and Practiceterj.M.Nastangin,(Yogyakarta :
1997
Mardani. Hukum Bisnis Syariah, Jakarta : Kencana 2014
Rivai ,Veitzal dan Andi Bukhari. Islamic Economics, Jakarta : Bumi Aksara 2009

[1] Ali Muhammad Nadwi, Al-Qawaid al- Fiqhiyyah, (Beirut: Dar al-Qalam,1991)


hal.41.
[2] Ibid 45.
[3] Ahmad Muhammad Asy-Syafii, ushul fiqh al-Islami, (Iskandariyah muassasah tsaqofah al-
Jamiiyah, 1983), hal.4.
[4] Hasbi as-siddiqy, Pengantar Hukum Islam,(Jakarta : bulan bintang, 1975), hal. 25.
[5] Yusuf Halim al-Alim, Al- Nizam al-Sujasi wa al-Iqtishadi fi al Islam,(Beirut : Dar al
Qalm, 1975), hal.19.
[6] Akram Khan, Economic Message of the Quran, (Kuwait : Islamic Book Publisher,
1996),hal.43.
[7] Muhammad Abdul Manan, Islamic Economics : Theory and
Practice terj.M.Nastangin,(Yogyakarta : 1997) hal.20-22.
[8] Abbas Arfan, 99 Kaidah Fiqh Muamalah Kulliyah, (Malang : UIN Maliki Press,
2013), hal.103-105.
[9] Yusuf Al-Qardhawi, al-Qawaid al-Hakimah li fiqh al-Muamalat,(Cairo : Dar al-
Shuruq, 2010), hal.13-14.
[10]H.A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih, (Jakarta : Kencana 2014) hal.129
[11] Veitzal Rivai dan Andi Bukhari, Islamic Economics, (Jakarta : Bumi Aksara
2009),hal.333-334.
[12] Ali Ahmad al-Nadwy, Jamharah al-Qawaid al-Fiqhiyyah fi al-Mu’amalat al-
Maliyyah,Juz. I, (Riyadh: Syirkah al-Rajihi al-Mashrafiyah lil Istithmar, 2000), hal.297.
[13] Mushthafa Ahmad al-Zarqa, al-Madkhal al-Fiqh al-‘Amm, Juz. II, (Damaskus:
Mathba’ah Jami’ah, 1983)
[14] Mardani, Hukum Bisnis Syariah, (Jakarta : Kencana 2014) Hal.44
[15] Muhammad al-Ruki, al-Qawaid al-Fiqhiyyah al-Islamiyyah, (Beirut : Dar al-
Qalam, 1998), hal.293.
[16]Ibid 
[17] Ali Ahmad al-Nadwy, Jamharah al-Qawaid al-Fiqhiyyah fi al-Mu’amalat al-
Maliyyah, hal.114
[18] Ali Ahmad al-Nadwy, Jamharah al-Qawaid al-Fiqhiyyah fi al-Mu’amalat al-
Maliyyah,hal.114
[19] Mushthafa Ahmad al-Zarqa, al-Madkhal al-Fiqh al-‘Amm, hal.184.
[20] Ahmad Muhammad al-Zarqa, Sharh al-Qawaid al-fiqhiyyah,(Damaskus : Dar al-
Qalam,Cet.IX,2011) ,hal.429.
[21] Al-Nadawi, hal.407
[22] Mushthafa Ahmad al-Zarqa, al-Madkhal al-Fiqh al-‘Amm, hal.437.
[23]Ali Ahmad al-Nadwy, Jamharah al-Qawaid al-Fiqhiyyah fi al-Mu’amalat al-
Maliyyah,hal.351

[24] Mushthafa Ahmad al-Zarqa, al-Madkhal al-Fiqh al-‘Amm, hal.461


[25] Abbas Arfan,99 Kaidah Fiqh,hal.257-258

Anda mungkin juga menyukai