Anda di halaman 1dari 18

ARIYAH

DI
S

OLEH :

NAMA : RISKY HASNUR (18112746)


MASTURA (18112733)
YUSTIA SAHARA (18112756)
UNIT/SMESTER : V /VI
PRODI : S-1 HES
PENGASUH : SAFWAN, MA

SEKOLAH TINGGI ILMU SYARI’AH


PERGURUAN TINGGI ISLAM
AL-HILAL SIGLI
2021
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah swt yang telah memberikan limpahan karunia
yang tidak terhingga sehingga penyusunan makalah ini terselesaikan dengan
baik, shalawat dan salam kepada janjungan alam Nabi besar Muhammad Saw.
pembawa risalah Allah swt mengandung pedoman hidup yang terang bagi umat
manusia didunia dan diakhirat.

Kami sadar bahwa penyusun makalah ini sangatlah jauh dari


kesempurnaan, maka dari ini saya sangat mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca. Mudah-mudahan makalah ini bermanfaat bagi para pembaca khususnya
mahasiswa/i. Semoga juga menjadi amal yang baik dan diterima disisi Allah
SWT. Amiin.

Sigli, Agustus 2021

Penulis

DAFTAR ISI
2
Halaman

KATA PENGANTAR...............................................................................i

DAFTAR ISI..............................................................................................ii

BAB I : PENDAHULUAN....................................................................1
A. Latar Belakang..........................................................................1
B. Rumusan Masalah ....................................................................1

BAB II : PEMBAHASAN............................................................................2
A. Definisi Ariyah.........................................................................2
B. Landasan Hukum Syara’...........................................................3
C. Rukun dan Syarat Araiyah .......................................................7
D. Ketentuan Hukum Akad ariyah................................................8
E. Ihwal Ariyah, Tanggung dan Amanat......................................12

BAB III : PENUTUP.....................................................................................14


A. Kesimpulan...............................................................................14
B. Saran.........................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Harta adalah komponen pokok dalam kehidupan manusia, yamng mana


harta merupakan unsur dharuri yang memang tidak bisa ditinggalkan dengan
begitu saja. Dengan harta manusia dapat memenuhi kebutuhannya, baik

3
kebutuhan sekunder ataupun primer dalam hidupnya. Dalam rantai untuk dapat
memenuhi kebutuhan hidup, terjadilah suatu hubungan yang horizontal antar
manusia yakni Muamalah, karena pada dasarnya manusia tidak ada yang
sempurna, dan saling membutuhkan, karena menusia juga memiliki hasrat untuk
mencukupi kebutuhan, yang tidak ada habisnya, kecuali dengan tumbuhnya rasa
syukur dan ikhlas yang luar biasa kepada Tuhan, secara pasti hal ini pula perlu
mengenalkan adanya Tuhan yang memberi nikmat dan rizki kepada manusia
sehingga dapat merasakan kebahagiaan dalam dirinya.
Manusia merupakan makhluk social yang tidak dapat memenuhi
kebutuhannya sendiri, dengan dibutuhkannya orang lain untuk mencukupinya
maka dalam dunia bisnis Islam biasa dikenal dengan kegiatan Muamalah, salah
satunya yakni yang membahas tentang harta dalam konteksnya harta hadir sebagai
obyek transaksi , sehingga harta pun dapat dijadikan sebagai obyek transaksi jual
beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam (ariyah),dan sebagainya. Jika diihat pula
dalam katakteristik dasarnya harta juga dijadikan sebagai obyek kepemilikan,
kecuali terdapat factor yang menghalanginya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Ariyah?
2. Apa Landasan Hukum Ariyah?
3. Apasaja Rukun dan Syarat Ariyah?
4. Bagaimana Hukum Ketetapan Ariyah?
5. Ihwal Ariyah, Tanggungan atau Amanat?
6. Apa Saja Yang Bisa Menggugurkan Ariyah?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Ariyah
Ariyah menurut bahasa, yang berasal dari bahasa Arab ( َُ‫ارية‬
ِ ‫ ) ْال َع‬diambil
dari kata (‫ )عار‬yang berarti datang atau pergi. Menurut sebagian pendapat ariyah
berasal dari kata (‫ )التعاور‬yang artinya sama dengan (‫ )التناول ا ُوالتناوب‬artinya saling
tukar menukar,yakni dalam tradisi pinjam-meminjam. Sedangkan menurut istilah
dapat dikatakan suatu kegiatan muamalah yang memberikan manfaat sesuatu yang
halal kepada orang lain untuk diambil manfaatnya, dengan tidak merusak zatnya
4
agar zatnyatetap bisa dikembalikan kepada pemiliknya, sedangkan dalam definisi
oleh para Ulama’ sebagai berikut :1
1. Menurut Syarkhasy dan ulama Malikiyah
“pemilikan atas manfaat suatu benda tanpa pengganti”
2. Menurut ulama syafi’iyah dan Hanbaliah
“pembolehan untuk mengambil manfaat tanpa mengganti”

Perbedaan pengertian tersebut menimbulkan adanya perbedaan dalam akibat


hukum selanjutnya,pendapat pertama memberikan makna kepemilikan kepada
peminjam,sehingga membolehkan untuk meminjamkan lagi terhadap orang lain
atau pihak ketiga tanpa melalui pemilik benda,sedangkan pengertian yang kedua
menunjukkan arti kebolehan dalam mengambil manfaat saja,sehingga peminjam
dilarang meminjamkan terhadap orang lain.
Akad dalam ariyah berbeda dengan hibah, karena dalam Ariyah hanya untuk
diambil manfaatnya tanpa mengambil zatnya. Tetapi dalam Hibah dapat diambil
keduanya, baik dari zat dan juga manfaatnya.
Dalam undang-undang Perdata dikatakan hak kebendaan (zekelijkrect)
adalah hak mutlak atas suatu benda tersebut, yang mana hak tersebut
memberikan kekuasaan langsung pada pemiliknya
Dalam ketentuan kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1754
dijumpai ketentuan yang berbunyi sebagai berikut : “ pinjam-meminjam
adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada
pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang menghabis karena
pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan
mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.

B. Landasan Hukum Syara’


Dalam kegiatan Pinjam-meminjam atau ariyah dianjurkan atau boleh
(mandub). Dalam praktik Ariyah pun mendapatkan pengakuan dari syariah.2
Al Qur’an

1
Sri Soedewi Masychoen Sofwan, HukumPerdata : Hukum Kebendaan,(Yogyakarta:
Liberty,2004)
2
Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, (Bandung : Pustaka Setia,2001)
5
Dasar hukum ariyah adalah anjuran agama supaya manusia hidup
tolongmenolong serta saling bantu membantu dalam lapangan kebajikan. Pada
surat almaidah ayat kedua allah berfirman :
        
       
        
        
       
        
      
Yang artinya 3
"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu melanggar
syi'ar-syi'ar kesucian Allah, dan jangan (melanggar kehormatan) bulan-bulan
haram, jangan (mengganggu) hadyu (hewan-hewan kurban), dan Qalaid
(hewan-hewan kurban yang diberi tanda), dan jangan (pula) mengganggu
orang-orang yang mengunjungi Baitulharam; mereka mencari karunia dan
keridaan Tuhannya. Tetapi apabila kamu telah menyelesaikan ihram, maka
bolehlah kamu berburu. Jangan sampai kebencian(mu) kepada suatu kaum
karena mereka menghalang-halangimu dari Masjidilharam mendorongmu
berbuat melampaui batas (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu
dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong
dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh,
Allah sangat berat siksa-Nya."
Dalam surat an – nisa’ ayat 58 Allah SWT berfirman :
         
         
        

Yang artinya : "Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang


berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia
hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang
memberi pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha
Melihat." 4

Bila Seseorang tidak mengembalikan waktu peminjamannya atau


menunda waktu pengembaliannya, berarti ia berbuat khianat. Serta berbuat
3
Dalam QS almaidah ayat 2
4
QS an nisa’ ayat 58
6
maksiat kepada pihak yang sudah menolongnya. Perbuatan seperti ini jelas bukan
merupakan suatu tindakan terpuji, sebab selain ia tidak berterima kasih kepada
orang yang menolongnya, pihak peminjam itu sudah menzalimi pihak yang sudah
membantunya. Ini berarti bahwa ia telah melanggar amanah dan melakukan suatu
yang dilarang agama.
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam bersabda: "Allah berfirman: Aku menjadi orang ketiga dari dua
orang yang bersekutu selama salah seorang dari mereka tidak berkhianat kepada
temannya. Jika ada yang berkhianat, aku keluar dari (persekutuan) mereka."
Riwayat Abu Dawud dan dinilai shahih oleh Hakim.

‫ال َرسُو ُل هَّللَا ِ صلى‬


َ َ‫ ق‬:‫ال‬ ٍ ‫َع ْن َس ُم َرةَ ب ِْن ُج ْن ُد‬
َ َ‫ب رضي هللا عنه ق‬
,‫ت َحتَّى تُ َؤ ِّديَهُ ) َر َواهُ أَحْ َم ُد‬
ْ ‫هللا عليه وسلم ( َعلَى اَ ْليَ ِد َما أَ َخ َذ‬
‫َّحهُ اَ ْل َحا ِك ُم‬
َ ‫صح‬َ ‫ َو‬,ُ‫َواأْل َرْ بَ َعة‬
Hadits
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam bersabda: "Tunaikanlah amanat kepada orang yang memberimu
amanat dan janganlah berkhianat kepada orang yang menghianatimu." Riwayat
Tirmidzi dan Abu Dawud. Hadits hasan menurut Abu Dawud, shahih menurut
Hakim, dan munkar menurut Abu Hatim Ar-Razi. Hadits itu diriwayatkan juga
oleh segolongan huffadz. Ia mencakup masalah pinjaman.

‫ال َرسُو ُل هَّللَا ِ صلى هللا‬ َ َ‫َو َع ْن أَبِي هُ َر ْي َرةَ رضي هللا عنه ق‬
َ َ‫ ق‬:‫ال‬
‫ك ) َر َواهُ أَبُو‬َ َ‫ َواَل تَ ُخ ْن َم ْن َخان‬,‫ك‬ َ َ‫عليه وسلم ( أَ ِّد اَأْل َ َمانَةَ إِلَى َم ْن اِ ْئتَ َمن‬
ِ ‫ َوا ْستَ ْن َك َرهُ أَبُو َحاتِ ٍم اَلر‬,‫َّحهُ اَ ْل َحا ِك ُم‬
ُّ‫َّازي‬ َ ‫صح‬ َ ‫ َو‬,ُ‫ َواَلتِّرْ ِم ِذيُّ َو َح َّسنَه‬,‫َدا ُو َد‬
Hadits
Ya'la Ibnu Umayyah Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda kepadaku: "Apabila utusanku datang
kepadamu, berikanlah kepada mereka tiga puluh baju besi." Aku berkata: Wahai
Rasulullah, apakah pinjaman yang ditanggung atau pinjaman yang
dikembalikan? Beliau bersabda: "Pinjaman yang dikembalikan." Riwayat
Ahmad, Abu Dawud, dan Nasa'i. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban.

7
‫ول اَللَّ ِه صلى اهلل عليه‬
ُ ‫ال َر ُس‬ َ َ‫َو َع ْن َي ْعلَى بْ ِن أ َُميَّةَ رضي اهلل عنه ق‬
َ َ‫ ق‬:‫ال‬

ٌ‫ول اَللَّ ِه ! أ ََعا ِريَة‬


َ ‫ يَا َر ُس‬:‫ت‬ ِ ِ‫وسلم ( إِذَا أََتْتك رسلِي فَأَع ِط ِهم ثَاَل ث‬
ُ ‫ ُق ْل‬, ً‫ني د ْرعا‬
َ ْ ْ ُُ َ
,‫ َوأَبُو َد ُاو َد‬,‫ بَ ْل َعا ِريَةٌ ُم َؤ َّداةٌ ) َر َواهُ أَمْح َ ُد‬:‫ض ُمونَةٌ أ َْو َعا ِريَةٌ ُم َؤ َّداةٌ? قَ َال‬
ْ ‫َم‬

‫ص َّح َحهُ اِبْ ُن ِحبَّا َن‬ ِ ‫والن‬


َ ‫ َو‬,‫َّسائ ُّي‬
َ َ
Hadits
Dari Shofwan Ibnu Umayyah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam meminjam darinya beberapa baju besi sewaktu
perang Hunain. Ia bertanya: Apakah ia rampasan, wahai Muhammad. beliau
menjawab: "Tidak, ia pinjaman yang ditanggung." Riwayat Abu Dawud,
Ahmad, dan Nasa'i. Hadits shahih menurut Hakim.5
Sebab perbuatan yang seperti itu, bertentangan dengan ajaran Allah
yang mewajibkan seseorang yang menunaikan amanah seta dilarang berbuat
khianat.
Al-Hadits

Keterangan hadits Rasulullah SAW mengenai pinjam meminjam antara


lain :

‫رضا َمَّرتنَي ِ ُاِ َّل َكا َن‬ ِ ِ ٍ ‫عن ُايِب م‬


ِ َ َ‫ ُق‬:ُ ‫سعود ُا َن ُالنيِّب ُصل‬
ً َ‫ال َمامن مسل ٍم ي قْ ِرض مسل ًما ُق‬ َ َ

ُ‫صد َقتَ ِه َامَّرة‬


َ ‫َك‬
Artinya :
” dari sahabat ibnu mas’ud bahwa nabi Muhammad SAW bersabda: tidak
ada seorang muslim yang meminjami muslim lainnya dua kali kecuali yang
satunya seperti shodaqoh.”
Dalam hadits lain Rasulullah bersabda:
ِ ‫الز ِعيم َغا ِرم والديَّن م‬
‫قض ٌي‬ َ َ ‫الَ َعا ِريَة‬
َ ٌ ُ َّ ‫مؤداَّةٌ َو‬

5
H. Hendi Suhendi ( 2008 ) , fiqih muamalah halaman 93 – 98
8
Artinya: “Pinjaman wajib dikembalikan, dan orang yang menjamin sesuatu
harus membayar dan hutang itu wajib dibayar.”
Dalam hadist Rasulullah:
“Dari Sofwan bin Ummayah berkata, sesungguhnya Nabi SAW. Telah
meminjam beberapa baju perang pada Sofwan pada waktu perang di Hunain.
Sofwan bertanya kepada Rasulullah, Sofwan bertanya, “paksaankah ya
Muhammad?”, jawab Rasulullah, “ bukan tapi pinjaman yang dijamin”.
Kemudian baju itu hilang sebagian , maka Rasulullah mengemukakan akan
digantinya, Sofwan berkata, “saya sekarang telah mendapat kepuasan dalam
Islam”. (HR. Ahmad dan An Nasai)

C. Rukun Dan Syarat Ariyah


1. Rukun Ariyah
Ulama’ Hanafiyah berpendapat bahwa rukun ariyah hanyalah ijab dari yang
meminjamkan barang, sedangkan qabul bukan merupakan rukun ariyah.
Menurut Syafi’iyah, dalam ariyah disyaratkan adanya lafadz shigot akad, yakni
ucapan ijab dan qabul dari peminjam dan yang meminjamkan barang pada waktu
transaksi sebab memanfaatkan milik barang bergantung pada adanya izin.6
Secara umum, jumhur ulama’ fiqih menyatakan bahwa rukun ariyah ada
empat, yaitu : mu’ir (peminjam), musta’ir(yang meminjamkan), mu’ar(yang
dipinjamkan), sighot, yakni sesuatu yang menunjukan kebolehan untuk
mengambil manfaat, baik dengan ucapan maupun perbuatan.
2. Syarat ariyah
Ulama Fuqoha mensyaratkan dalam akad ariyah sebagai berikut:
a. Mu’ir berakal sehat
Dengan demikian, orang gila dan anak kecil yang tidak berakal tidak
dapat meminjamkan barang. Ulama hanafiyah tidak mensyaratkan
sudah baligh, sedangkan ulama’ lainnya menambahkan bahwa yang
berhak meminjamkan adalah orang yang dapat berbuat kebaikan
sekehendaknya, tanpa dipaksa, bukan anak kecil, bukan orang bodoh
dan juga bangkrut.7
b. Pemegang barang oleh peminjam
6
Sulaiman Rashd, Fiqh Islam,(Bandung : Sinar Baru Algesindo, 1994)
7
H. Hendi Suhendi ( 2008 ) , fiqih muamalah halaman 94 - 95
9
Ariyah adalah transaksi dalam berbuat kebaikan, yang dianggap sah
memegang barang adalah peminjam, digunakan sesuai manfaatnya,
tetapi tidak dimiliki zatnya, hukumnya pun dalam syara’ seperti halnya
dalam hibah.
c. Barang (musta’ar) dapat dimanfaatlan tanpa merusak zatnya, jika
musta’ar tidak dapat dimanfaatkan akad tidak sah. Para Ulama telah
menetapkan ariyah diperbolehkan terhadap setiap barang yang dapat
diambil manfaatnya dan tanpa merusak zatnya, seperti meminjam
sebidang lahan tanah, pakaian, hewan ternak. Dalam musta’ar tidak
diperbolehkan meminjamkan barang yang satu kali guna atau mudah
habis zatnya, misalnya makanan. Diharamkan meminjam senjata dan
kuda kepada musuh, juga diharamkan meminjamkan Al Qur’an dan
yang berkaitan dengan Al Qur’an kepada orang kafir. Serta dilarang
pula untuk meminjamkan alat berburu kepada orang yang sedang
ihram.
d. Shighat

Menyangkut lafal, hendaklah ada pernyataan tentang pinjam


meminjam tersebut. Namun demikan, sebagian ahli berpendapat
bahwa perjanjian pinjam meminjam tersebut sah walaupun tidak
dengan lafal. Tetapi untuk kekuatan dan kejelasan akad haruslah
menggunakan lafal yang jelas dalm pinjam meminjam.

D. Ketetapan Hukum Akad Ariyah

1. Dasar Hukum Ariyah


Dari suatu kebiasaan, ariyah dapat diartikan dalam dua macam:8
a. Secara Hakikat
Pinjam-meminjam atau Ariyah adalah suatu kegiatan muamalah yang
mengambil manfaat dari suatu barang tanpa memiliki zatnya. Menurut ulama’
Malikiyah dan Hanafiyah, hukumnya adalah bagi peminjam tanpa ada
pengganti apapun, atau peminjaman memiliki sesuatu yang semaksa dengan
manfaat menurut kebiasaan.

8
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah,(Jakarta : Gaya Media Pratama,2000)
10
Sedangkan Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa ariyah
adalah suatu kebolehan untuk mengambil manfaat dari benda. Dari penjelasan
kedua berbeda maksud dan tujuan dari keduanya. Utnuk pendapat yang
pertama, dalam ariyah boleh hukumnya memaksimalkan manfaat dari
musta’ar (barang yang dipinjam, dan juga dapat dipinjamkan kepada orang
lain, akan tetapi untuk pendapat yang kedua hanya dapat menggunakan
manfaat dari musta’ar tanpa dipinjamkan kepada orang lain.
Allah Berfirman

       


      
      
       
       
       
        
   
“Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar
syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram,
jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-
id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah
sedang mereka mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu
telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah
sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-
halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada
mereka). Dan tolongmenolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan jangan tolongmenolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan
bertakwalah kamu kepada
Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”

Tafsir

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syiar-syiar


Allah) jamak sya`iiratun; artinya upacara-upacara agama-Nya. Melanggar
yaitu dengan berburu di waktu ihram (dan jangan pula melanggar bulan

11
haram) dengan melakukan peperangan padanya (dan jangan mengganggu
binatang-binatang hadya) yakni hewan yang dihadiahkan buat tanah suci (serta
binatang-binatang berkalung) jamak dari qilaadatun; artinya binatang yang
diberi kalung dengan kayu-kayuan yang terdapat di tanah suci sebagai tanda
agar ia aman, maka janganlah ada yang mengganggu baik hewan-hewan itu
sendiri maupun para pemiliknya (jangan pula) kamu halalkan atau kamu
ganggu (orang-orang yang berkunjung) atau menuju (Baitulharam) dengan
memerangi mereka (sedangkan mereka mencari karunia) artinya rezeki (dari
Tuhan mereka) dengan berniaga (dan keridaan) daripada-Nya di samping
berkunjung ke Baitullah tidak seperti pengertian mereka yang salah itu. Ayat
ini dimansukh oleh ayat Bara`ah. (Dan apabila kamu telah selesai) dari ihram
(maka perintahlah berburu) perintah di sini berarti ibahah atau
memperbolehkan (dan sekali-kali janganlah kamu terdorong oleh kebencian)
dibaca syana-aanu atau syan-aanu berarti kebencian atau kemarahan (kepada
suatu kaum disebabkan mereka telah menghalangi kamu dari Masjidilharam
untuk berbuat aniaya) kepada mereka dengan pembunuhan dan sebagainya.
(Bertolong-tolonglah kamu dalam kebaikan) dalam mengerjakan yang
dititahkan (dan ketakwaan) dengan meninggalkan apa-apa yang dilarang (dan
janganlah kamu bertolong-tolongan) pada ta`aawanu dibuang salah satu di
antara dua ta pada asalnya (dalam berbuat dosa) atau maksiat (dan
pelanggaran) artinya melampaui batas-batas ajaran Allah. (Dan bertakwalah
kamu kepada Allah) takutlah kamu kepada azab siksa-Nya dengan menaati-
Nya (sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya) bagi orang yang menentang-
Nya.9
Dalam hadist Rasulullah:

“Dari Sofwan bin Ummayah berkata, sesungguhnya Nabi SAW. Telah


meminjam beberapa baju perang pada Sofwan pada waktu perang di Hunain.
Sofwan bertanya kepada Rasulullah, Sofwan bertanya, “paksaankah ya

Muhammad?”, jawab Rasulullah, “ bukan tapi pinjaman yang dijamin”.


Kemudian baju itu hilang sebagian , maka Rasulullah mengemukakan akan
digantinya, Sofwan berkata, “saya sekarang telah mendapat kepuasan dalam

9
https://tafsirq.com/5-Al-Ma'idah/ayat-2
12
Islam”. (HR. Ahmad dan An Nasai)

Yang arti penjelasan dari hadist ini adanya unsur kerelaan antara
Mustair dan Muir atas musta’ar, sehingga ada keridhaan jika barang yang di
pinjam mengalami suatu kecacatan.
Dari golongan pertama dan kedua sepakat bahwa peminjam tidak
memiliki hak kepemilikan sebagaimana dengan gadai barang. Menurut
golongan kedua, peminjam hanya berhak memanfaatkannya saja, dan tidak
bisa untuk memiliki bendanya. Adapun menurut golongan pertama gadai
adalah akad yang lazim atau resmi akan tetapi ariyah adalah akad tabarru’
( tolong menolong).
b. Secara Majazi

Ariyah secara majazi adalah pinjam meminjam antara benda-benda


yang takaran, timbangan, hitungan dan lain-lain. Misalnya telur, uang, dan
segala sesuatu yang bisa dihitung. Dalam hal tersebut dalam
pengembaliannnya harus serupa dan senilai dengan benda yang dipinjam.
Dengan demikian dapat disebut dengan ariyah secara majazi , sebab tidak
dapat dimanfaatkan tanpa merusak zatnya.10
2. Hak Menggunakan Barang Pinjaman (Musta’ar)
Jumhur Ulama’ selain Hanafiyah berpendapat, bahwa musta’ar dapat
mengambil manfaat barang sesuai dengan izin dari pemberi pinjaman (muir).
Adapun ulama Hanafiyah berpendapat bahwa kewenangan yang dimiliki oleh
musta’ar bergantung pada jenis pinjaman, apakah muir meminjamkan secara
terikat atau secara mutlak.
a. Ariyah Mutlak
Yaitu pinjam-meminjam barang yang dalam akadnya tidak dijelaskan
persyaratan apapun, seperti apakah pemanfaatannya hanya untuk
peminjam saja atau dibolehkan untuk orang lain, atau tidak dijelaskan
penggunaannya.
b. Ariyah Muqayyad
Adalah meminjamkan suatu barang yang dibatasi dari segi waktu dan
kemanfaatannya, baik disyaratkan pada keduanya maupun salah

10
https//ejournal.stebisigm.ac.id
13
satunya. Hukumnya, mustair harus sebisa mungkin untuk menjaga
batasan
tersebut.batasan tersebut melingkupi,

1) batasan penggunaan ariyah oleh diri peminjam

2) pembatasan waktu dan tempat

3) pembatasan ukuran berat dan jenis .

Contoh yaitu apabila si C meminjam motor untuk keperluan tertentu kepada


si D maka ketika motor sudah selesai dipinjam, maka hendaknya
dikembalikan dalam keadaan utuh.

E. Ihwal Ariyah, Tanggungan, dan Amanat

Ulama hanafiyah berpendapat bahwa barang pinjaman iu merupakam


amanat bagi peminjam, baik dipakai maupun tidak. Dengan demikian, dia tidak
menaggung barang tersebut jika terjadi kerusakan, seperti itu juga dalam sewa
menyewa atau barang titipan, kecuali kerusakan tersebut akibat disengaja atau
kelalaian. Hal ini karena tanggunagn tidak dibebankan kepada mereka yang bukan
pelaku. Selain itu peminjapun dikategorikan sebagai orang yangmenjaga milik
orang.11
Dalam kalangan Ulama’ Malikiyah berpendapat bahwa peminjam
harus menanggung barang yang tidak ada adanya, yakni yang dapat
disembunyikan, seperti baju. Muir tidak perlu menanggung sesuatu yang tidak
dapat disembunyikan seperti hewan atau barang yang jelasdalam hal
kerusakannya.
Sedangkan dari para kalangan Syafi’iyah, peminjam menaggung harga
barang bila terjadi kerusakan dan bila ia menggunakannya tidak sesuai izin
yang diberikan pemilik walaupun tanpa disengaja. Yhadist tersebut sesuai
hadist tentang sofwan yang telah dibahas sebelumnya. Adapun barang tersebut
digunakan sesuai dengan izin pemilik, peminjam tidak menanggungnya ketika
terjadi kerusakan.

11
Dimyauddin Djuwaini,Pengantar Fiqh Muamalah,(Bandung : Pustaka Setia, 2008)
14
Sedangkan ulama hanabilahberpendapat bahwa peminjam menanggung
kerusakan barang pinjamannya secara mutlak, baik sengaja maupun tidak.
Golongan ini mendasarkan pendapat mereka pada hadis dari Shafwan bin
umayyah.

Ulama hanabilah pun mendasarkan pendapat dengan Hadist Rasulullah

SAW:

“Tangan (yang mengambil) adalah bertanggung jawab atas apa yang


diambilnya sehingga dipenuhi.” ( HR Ahmad )
Barang pinjaman adalah harta orang lain yang diambil manfaatnya.
Ulama hambaliyah menyatakan, jika barang-barang dipinjam adalah benda-
benda wakaf, seperti kitab-kitab ilmiah, dan suatu saat rusak, maka yang
meminjamnya tidak menanggung kerusakannya dikarenakan barang tersebut
untuk maslahat.
Ariyah dapat dikatakan berubah dari Amanah ke tanggungan, yang
menurut ulama Hanafiyah, penyebab perubahan ariyah dari amanah
ketanggungan karena diantara keduannya ada beberapa persamaan, seperti
penyebab perubahan tersebut pada penitipan barang yaitu dengan sebab-sebab:
1. Menghilangkan barang
2. Tidak menjaganya ketika menggunakan barang
3. Menggunakan barang pinjaman tidak sesuai dengan persyaratan
4. Menyalahi tata cara penjagaan yang seharusnya
Sedangkan untuk biaya pengembalian barang pinjaman itu
ditanggung oleh peminjam, sebab pengembaliannya barang merupakan
kewajiban peminjam yang telah mengambil manfaatnya.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Ariyah menurut istilah dapat dikatakan suatu kegiatan muamalah yang


memberikan manfaat sesuatu yang halal kepada orang lain untuk diambil
15
manfaatnya, dengan tidak merusak zatnya agar zat nyatetap bisa dikembalikan
kepadanya
Landasan hukum syara’
Dalam surat an – nisa’ ayat 58 Allah SWT berfirman :
         
         
        
Artinya "Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara
manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah
sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah
Maha Mendengar, Maha Melihat."

B. Saran
Mungkin inilah yang diwacanakan pada penulisan kelompok ini meskipun
penulisan ini jauh dari sempurna minimal kami mengimplementasikan tulisan ini.
kami juga butuh kritik dan saran agar bisa menjadi motivasi untuk masa depan
yang lebih baik daripada masa sebelumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Rashd.Sulaiman,(1994), Fiqh Islam,Bandung:Sinar Baru Algesindo

Rahman. Afzalur,(1996),Dok. Ekonomi Islam:Yogyakarta:Dhana Bakti

Haroen. Nasrun, (2000), Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama

Syafei.Rahmat,(2001),Fiqih Muamalah, Bandung:Pustaka Setia

16
Djuwaini. Dimyauddin (2008), Pengantar Fiqh Muamalah, bandung: Pustaka
setia

17

Anda mungkin juga menyukai