Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

AL-QARDH (HUTANG – PIUTANG)


Dosen Pembimbing : Nurfitri Martaliah S.E.M.E.K

T
AF

Di Susun Oleh :
R
D

Kelompok 8

Namanya Agina Putri Sulian

Muhammad Gandi

Arif

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)


AHSANTA
PRODI PENDIDIKAN EKONOMI SYARI’AH
TAHUN AKADEMIK 2018/2019
KATA PENGANTAR

ِ ْ ِ ‫ِ ْ ــــــــــــــــــ ِ ﷲِ ا ﱠ ْ َ ِ ا ﱠ‬

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat-Nya
lah kami bisa menyelesaikan makalah yang berjudul “Al-Qardh (Hutang
Piutang).”

Makalah ini diajukan guna memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqh Muamalah,
dengan dosen pembimbing Ibu Nurfitri Martaliah S.E.M.E.K

Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini
masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan
saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.

Semoga makalah ini memberikan informasi bagi mahasiswa dan bermanfaat


T
untuk pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita
AF

semua.
R

Amin Ya Rabbal ‘Alamin.


D

Team Penyusun

Kelompok 8

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..............................................................................................i


DAFTAR ISI .............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .......................................................................................1
B. Rumusan Masalah ..................................................................................1
C. Tujuan .....................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Al-Qardh ..............................................................................3
B. Landasan Hukum Al-Qardh ...................................................................5
C. Hukum Al-Qardh ....................................................................................6
D. Rukun dan Syarat Al-Qardh ...................................................................6
E. Waktu dan Tempat Pengembalian Al-Qardh ..........................................10
F. Harta yang harus dikembalikan ..............................................................11
T
G. Hikmah disyariatkan Al-Qardh ..............................................................11
AF

H. Problematika terkait Al-Qardh pada masa sekarang ..............................12


BAB III PENUTUP
R

A. Kesimpulan ............................................................................................14
D

B. Saran .......................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA
FOOTE NOTE

ii
D
R

i
AF
T
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hutang piutang adalah perkara yang tidak bisa dipisahkan dalam interaksi
kehidupan manusia. Ketidakmerataan dalam hal materi adalah salah satu
penyebab munculnya perkara ini. Selain itu juga adanya pihak yang menyediakan
jasa peminjaman (hutang) juga ikut ambil bagian dalam transaksi ini.

Islam sebagai agama yang mengatur segala urusan dalam kehidupan manusia juga
mengatur mengenai perkara hutang piutang. Konsep hutang piutang yang ada
dalam Islam pada dasarnya adalah untuk memberikan kemudahan bagi orang yang
sedang kesusahan. Namun pada zaman sekarang, konsep muamalah sedikit
banyak telah bercampur aduk dengan konsep yang diadopsi dari luar Islam. Hal
ini sedikit demi sedikit mulai menyisihka, menggeser, bahkan bisa menghilangkan
T
konsep muamalah Islam itu sendiri. Oleh karena itulah, perkara hutang piutang ini
AF

penting untuk diketahui oleh umat Islam agar nantinya bisa melaksanakan
transaksi sesuai dengan yang telah disyariatkan oleh Allah swt.
R

Bertolak dari apa yang sedikit diuraikan di atas, makalah ini dibuat untuk
D

memaparkan apa yang telah disyariatkan oleh agama Islam terkait al-Qardh
(hutang piutang) dengan kajian normatif yang dikutip dari berbagai sumber terkait
definisi, landasan hukum, hukum qardh, dan lain sebagainya.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, terdapat beberapa masalah yang akan
dibahas sebagai berikut:
1. Apa definisi al-Qardh menurut bahasa dan istilah?
2. Apa landasan hukum mengenai al-Qardh?
3. Apa saja rukun dan syarat al-Qardh?
4. Bagaimana tata cara pengembalian hutang dilihat dari waktu, tempat dan
harta yang dikembalikan?
5. Apa hikmah disyariatkan al-Qardh?
6. Bagaimana problemtika terkait al-Qardh pada masa sekarang?

Makalah Fiqih Muamalah(Al-Qardh) Page 1


C. Tujuan
1. Untuk menjelaskan definisi al-Qardh menurut bahasa dan istilah.
2. Untuk memaparkan landasan hukum mengenai al-Qardh.
3. Untuk menjelaskan rukun dan syarat al-Qardh.
4. Untuk menjelaskan tata cara pengembalian hutang dilihat dari waktu,
tempat dan harta yang dikembalikan.
5. Untuk memaparkan hikmah disyariatkan al-Qardh.
6. Untuk menjelaskan problemtika terkait al-Qardh pada masa sekarang.

T
AF
R
D

Makalah Fiqih Muamalah(Al-Qardh) Page 2


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Al-Qardh

Qardh secara etimologi merupakan bentuk masdar dari qaradha asy-syai’-


yaqridhuhu, yang berarti dia memutuskanya.

ِ َ78‫ ْا‬A‫ــ‬C‫ و‬5‫ـــــ‬EF‫ﺗ‬، ُIُJ ْKَ‫ َوأ‬MِN Oِ Pَ J8‫ا‬: ْ َ78‫ا‬.[1]


‫ ﱡ‬Rُ S
ِ <ْ َ=ِ> ‫@ف‬
ُ‫ْ ض‬5َ78‫; ا‬

Qardh adalah bentuk masdar yang berarti memutus. Dikatakan qaradhtu asy-
syai’a bil-miqradh, aku memutus sesuatu dengan gunting. Al-Qardh adalah
sesuatu yang diberikan oleh pemilik untuk dibayar.

Adapun qardh secara terminologis adalah memberikan harta kepada orang yang
T
akan memanfaatkannya dan mengembalikan gantinya dikemudian hari.[2]
AF

Menurut Firdaus at al., qardh adalah pemberian harta kepada orang lain yang
dapat ditagih atau diminta kembali. Dalam literature fikih, qardh dikategorikan
R

dalam aqad tathawwu’i atau akad saling membantu dan bukan transaksi
D

komersil.[3]

Menurut ulama Hanafiyah:

ِ ]ُ‫@ل ِ[ ْ^ ﺗ‬
ُ‫ْ ض‬5َ78‫ ا‬Yَُ ‫ َ[@ ھ‬Iِ \ْ Sْ ٍ [َ MJ
‫ِ ﱟ‬b[ِ ُ‫@ه‬d@ َ َg]ِ ِ> ‫ى‬5َ iْ ُ‫ أ‬Yَُ ‫ ھ‬Aٌ 7ْ kَ ٌ‫ص‬Yُmnُ [ُ ‫ ﱡد‬5ُ َp qَJkَ Rِ Nْ ‫@ل َد‬
َ َ7َ<َ<ِ8 ،َ‫@ر ٍة وْ أ‬ ٍ [َ M‫ِ ﱟ‬Jbْ [ِ
‫ ﱠد‬5ُ َ\ِ85َ َisِ ُIَJbْ [ِ

Artinya:

“Qaradh adalah harta yang diberikan seseorang dari harta mitsil (yang memiliki
perumpamaan) untuk kemudian dibayar atau dikembalikan. Atau dengan
ungkapan yang lain, qaradh adalah suatu perjanjian yang khusus untuk
menyerahkan harta (mal mitsil) kepada orang lain untuk kemudian dikembalikan
persis seperti yang diterimanya.”[4]

Makalah Fiqih Muamalah(Al-Qardh) Page 3


Sayyid Sabiq memberikan definisi qardh sebagai berikut:

ُ‫ْ ض‬5َ78‫ ْا‬Yَُ ‫@ ُل ھ‬vَ 8‫يْ ْا‬xِ ‫ﱠ‬8‫ ا‬Iِ \ْ Sْ


ِ ]ُp ُ‫ض‬5ِ 7ْ vُ 8‫ضُ ْا‬5َِ <7ْ vُ Jْ ِ8 ‫ ﱠد‬5ُ َ\ِ8 ُIَJbْ [ِ Iِ \ْ َ8ِ‫ إ‬Aَ zْ kِ Iِ ِ‫ َرﺗ‬Aْ ُC Iِ \ْ َJkَ

Artinya:

“Al-qardh adalah harta yang diberikan oleh pemberi hutang (muqrid) kepada
penerima utang (muqtarid) untuk kemudian dikembalikan kepadanya (muqridh)
seperti yang diterimanya, ketika ia telah mampu membayarnya.”[5]

Hanabilah sebagaimana dikutip oleh ali fikri memberikan definisi qardh sebagai
berikut:

ُ‫ْ ض‬5َ78ْ َ‫ ا‬Rُ Nْ ‫@ل َد‬


ٍ [َ ^ْ vَ ِ8 Rُ ِ=َ<zْ َp Iِ ِ> ‫ ﱡد‬5ُ pَ ‫ َو‬Iَ8Aَ َ>

Artinya:

“Qardh adalah memberikan harta kepada orang yang memanfaatkannya dan


T
kemudian mengembalikan penggantinya.”[6]
AF

Adapun pendapat Syafi’iyah adalah sebagai berikut:


R

@{‫ ﱠ‬8َ‫ُ ا‬O‫ِ ِ]\ﱠ‬N ‫ْ ا‬Yُ8@َC : ُ‫ْ ض‬5َ78ْ َ‫| ا‬ ْ p @ًk ْ5َ‫ ﺷ‬qَz]ْ vَ ِ> ‫ض‬5َ 7ْ vُ 8‫ ِء ْا‬Mْ {‫ ﱠ‬8‫ا‬.
ُ َJSُ
D

Artinya:

“Syafi’iyah berpendapat bahwa qaradh dalam istilah syara’ diartikan dengan


sesuatu yang diberikan kepada orang lain (yang pada suatu saat harus
dikembalikan).”[7]

Makalah Fiqih Muamalah(Al-Qardh) Page 4


B. Landasan Hukum Al-Qardh

Dasar disyari’atkannya qardh (hutang piutang) adalah al-qur’an, hadits, dan ijma’:

1. Dasar dari al-Qur’an adalah firman allah swt:

^ْ [َ ‫ي َذا‬xِ ‫ﱠ‬8‫ضُ ا‬5َ 7ْ ُp َ‫ً@ ﷲ‬zEَ ƒ@ َ \َN ُIَ8 @ًN@]َ ْdَ‫ةً أ‬5َْ \ِb…َ
َ ًd ْ5َC ُIَ7kِ @„ُ

Artinya:

“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada allah pinjaman yang baik
(menafkahkan harta di jalan allah), maka allah akan melipatgandakan pembayaran
kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.” (Q.S Al-Baqarah :245)

Sisi pendalilan dari ayat diatas adalah bahwa allah swt menyerupakan amal salih
dan memberi infaq fi sabilillah dengan harta yang dipinjamkan. Dan
menyerupakan pembalasannya yang berlipat ganda dengan pembayaran hutang.
Amal kebaikan disebut pinjaman (hutang) karena orang yang berbuat baik
T
melakukannya untuk mendapatkan gantinya sehingga menyerupai orang yang
AF

menghutangkan sesuatu agar mendapat gantinya.[8]


R

2. Dasar dari as-sunnah :


D

^َِ k ^ِْ >‫ْ ٍد ا‬Yُ]Eْ [َ ‫ اَ ﱠن‬Mًّ ِg‫ﱠ‬z8‫ ا‬qَJK َ َC : ^ْ [ِ @[َ ‰ٍ ِJEْ [ُ ُ‫ض‬5ِ 7ْ ُp @vً ِJEْ [ُ @ًd ْ5َC ^ِْ \‫ َﺗ‬5‫ َ…@نَ اِ ﱠ‹ َ[ ﱠ‬Aَ m
َ ُ‫ ﷲ‬Iِ \ْ َJkَ ‰َ َJŠَ ‫@ل َو‬ َ …َ Oٍ َC
ً‫ة‬5‫ رواھــ@>^( َ[ ﱠ‬IŒ@[ ^‫ـــ@ن وا>ـــ‬gƒ)

Artinya:

“Dari Ibn Mas’ud bahwa Rasulullah SAW, bersabda, “tidak ada seorang muslim
yang menukarkan kepada seorang muslim qarad dua kali, maka seperti sedekah
sekali.” (HR. Ibn Majah dan Ibn Hibban)[9]

3. Ijma’

Kaum muslimin sepakat bahwa qarad dibolehkan dalam islam. Hukum qarad
adalah dianjurkan (mandhub) bagi muqrid dan mubah bagi muqtarid, berdasarkan
hadits diatas.

Makalah Fiqih Muamalah(Al-Qardh) Page 5


C. Hukum Al-Qardh

Hukum qardh (hutang piutang) mengikuti hukum taklifi: terkadang boleh,


terkadang makruh, terkadang wajib, dan terkadang haram. Semua itu sesuai
dengan cara mempraktekannya karena hukum wasilah itu mengikuti hukum
tujuan.

Jika orang yang berhutang adalah orang yang mempunyai kebutuhan sangat
mendesak, sedangkan orang yang dihutangi orang kaya, maka orang yang kaya itu
wajib memberinya hutang.

Jika pemberi hutang mengetahui bahwa penghutang akan menggunakan uangnya


untuk berbuat maksiat atau perbuatan yang makruh, maka hukum memberi hutang
juga haram atau makruh sesuai dengan kondisinya.

Jika seorang yang berhutang bukan karena adanya kebutuhan yang mendesak,
tetapi untuk menambah modal perdagangannya karena berambisi mendapat
T
keuntungan yang besar, maka hukum memberi hutang kepadanya adalah mubah.
AF

Seseorang boleh berhutang jika dirinya yakin dapat membayar, seperti jika ia
R

mempunyai harta yang dapat diharapkan dan mempunyai niat menggunakannya


D

untuk membayar hutangnya. Jika hal ini tidak ada pada diri penghutang. Maka ia
tidak boleh berhutang.

Seseorang wajib berhutang jika dalam kondisi terpaksa dalam rangka


menghindarkan diri dari bahaya, seperti untuk membeli makanan agar dirinya
tertolong dari kelaparan.[10]

D. Rukun dan Syarat Al-Qardh

Rukun qardh (hutang piutang) ada tiga, yaitu (1) shighah, (2) ‘aqidain (dua pihak
yang melakukan transaksi), dan (3) harta yang dihutangkan. Penjelasan rukun-
rukun tersebut beserta syarat-syaratnya adalah sebagai berikut.

1. Shighah

Makalah Fiqih Muamalah(Al-Qardh) Page 6


Yang dimaksud shighah adalah ijab dan qabul. Tidak ada perbedaan dikalangan
fuqaha’ bahwa ijab itu sah dengan lafal hutang dan dengan semua lafaz yang
menunjukkan maknanya, seperti kata,”aku memberimu hutang” atau “aku
menghutangimu”.

Demikian pula qabul sah dengan semua lafal yang menunjukkan kerelaan , seperti
“aku berhutang” atau “aku menerima” atau “aku ridha” dan lain sebagainya.

2. ‘Aqidain

Yang dimaksud dengan ‘aqidain (dua pihak yang melakukan transaksi) adalah
pemberi hutang dan penghutang. Keduanya mempunyai beberapa syarat berikut.

a. Syarat-syarat bagi pemberi hutang

Fuqaha’ sepakat bahwa syarat bagi pemberi hutang adalah termasuk ahli tabarru’
(orang yang boleh memberikan derma), yakni merdeka, baligh, berakal shat, dan
T
pandai (rasyid, dapat membedakan yang baik dan yang buruk). Mereka
AF

berargumentasi bahwa hutang piutang adalah transaksi irfaq (memberi manfaat).


Oleh karenanya tidak sah kecuali dilakukan oleh orang yang sah amal
R

kebaikannya, seperti shadaqah.


D

Syafi’iyyah berargumentasi bahwa al-qardh (hutang piutang) mengandung


tabarru’ (pemberian derma), bukan merupakan transaksi irfaq (memberi manfaat)
dan tabarru’.

Syafi’iyah menyebutkan bahwa ahliyah (kecakapan, keahlian) memberi derma


harus dengan kerelaan, bukan dengan paksaan. Tidak sah berhutang kepada orang
yang dipaksa tanpa alasan yang benar. Jika paksaan itu ada alasan yang haq.
Seperti jika seseorang harus berutang dalam keadaan terpaksa, maka sah
berhutang dengan memaksa.

Hanafiyah mengkritisi syarat ahliyah at-tabarru’ (kecakapan member derma) bagi


pemberi hutang bahwa tidak sah seorang ayah atau pemberi wasiat
menghutangkan harta anak kecil.

Makalah Fiqih Muamalah(Al-Qardh) Page 7


Hanabilah mengkritisi syarat ahliyah at-tabarru’ (kelayakan member derma) bagi
pemberi hutang bahwa seorang wali anak yatim tidak boleh menghutangkan harta
anak yatim itu dan nazhir (pengelola) wakaf tidak boleh menghutangkan harta
wakaf.

Syafi’iyah merinci permasalahan tersebut. Mereka berpendapat bahwa seorang


wali tidak boleh menghutangkan hartaorang yang dibawah perwaliannya kecuali
dalam keadaan darurat jika tidak ada hakim. Adapun bagi hakim boleh
menghutangkannya meskipun bukan dalam kondisi darurat.

b. Syarat bagi penghutang

1) Syafi’iyah mensyaratkan penghutang termasuk kategori orang yang


T
mempunyai ahliyah al-mu’amalah (kelayakan melakukan transaksi) bukan ahliyah
AF

at-tabarru’ (kelayakan member derma). Adapun kalangan ahnaf mensyaratkan


penghutangkan mempunyai ahliyah at-tasharrufat (kelayakan memberikan harta)
R

secara lisan, yakni merdeka, baligh, dan berakal sehat.


D

2) Hanabilah mensyaratkan penghutang mampu menanggung karena hutang


tidak ada kecuali dalam tanggungan. Misalnya, tidak sah member hutang kepada
masjid, sekolah, atau ribath (berjaga diperbatasan dengan musuh) karena semua
ini tidak mempunyai potensi menanggung.

3. Harta yang dihutangkan

Rukun yang ketiga ini mempunyai beberapa syarat berikut.

a. Harta yang dihutangkan berupa harta yang ada padanannya, maksudnya


harta yang satu sama lain dalam jenis yang sama tidak banyak berbeda
yang megakibatkan perbedaan nilai, seperti uang, barang-barang yang
dapat di takar, ditimbang, ditahan, dan dihitung.

Makalah Fiqih Muamalah(Al-Qardh) Page 8


Tidak boleh menghutangkan harta yang nilainya satu sama lain dalam satu
jenis berbeda-beda. Yang perbedaan itu mempengaruhi harga, seperti
hewan, pekarangan dan lain sebagainya. Hal ini karena tidak ada cara
untuk mengembalikan barang dan tidak ada cara mengembalikan harga
sehingga dapat menyebabkan perselisihan karena perbedaan harga dan
taksiran nilainya. Demikian ini pendapat kalangan hanafiyah.

Malikiyyah dan Syafi’iyyah, menurut pendapat yang paling benar di


kalangan mereka, menyatakan bahwa boleh menghutangkan harta yang
ada padanya. Bahkan, semua barang yang boleh ditransaksikan dengan
cara salam, baik berupa hewan maupun lainnya, yakni semua yang boleh
diperjual belikan dan dapat dijelaskan sifat-sifatnya meskipun harta itu
berupa sesuatu yang berubah-ubah harganya. Mereka berargumentasi
bahwa nabi Muhammad saw pernah berhutang unta muda sehingga
masalah ini dikiaskan dengannya.
T
Tidak boleh menghutangkan sesuatu yang tidak boleh diperjualbelikan
AF

dengan cara salam, yakni sesuatu yang tidak dapat dijelaskan dengan sifat,
seperti permata dan lain sebagainya. Hanya saja, Syafi’iyyah
R

mengecualikan sesuatu yang tidak boleh dijual dengan salam, yakni


D

hutang roti dengan timbangan karena adanya kebutuhan dan toleransi.

Hanabilah berpendapat bahwa bole menghutangkan semua benda yang


boleh dijual, baik yang ada padanannya maupun yang berubah-ubah
harganya, baik yang dapat djelaskan dengan sifat maupun tidak.

b. Harta yang dihutangkan disyaratkan berupa benda, tidak sah


menghutangkan manfaat (jasa). Ini merupakan pendapat kalangan Mazhab
Hanafiyyah dan Hanabilah. Berbeda dengan kalangan syafi’iyyah dan
malikiyyah, mereka tidak mensyaratkan harta yang dihutangkan berupa
benda sehingga boleh saja menghutangkan manfaat (jasa) yang dapat
dijelaskan dengan sifat. Hal ini karena bagi mereka semua yang boleh
diperjualbelikan dengan cara salam boleh dihutangkan, sedangkan bagi

Makalah Fiqih Muamalah(Al-Qardh) Page 9


mereka salam boleh pada manfaat (jasa). Seperti halnya benda padaa
umumnya.
Pendapat yang dipilih oleh ibnu taimiyyah dan ahli ilmu lainnya adalah
bolehnya menghutangkan manfaat (jasa).
c. Harta yang dihutangkan diketahui. Syarat ini tidak dipertentangkan oleh
fuqaha’ karena dengan demikian penghutang dapat membayar hutangnya
dengan harta semisalnya (yang sama).

Syarat ketiga ini mencakup dua hal, yaitu 1) diketahui kadarnya dan 2)
diketahui sifatnya. Demikian ini agar mudah membayarnya. Jika hutang
piutang tidak mempunyai syarat ketiga ini, maka tidak sah.[11]

E. Waktu dan Tempat Pengembalian Al-Qardh

ُ‫َ@ن‬F[َ ‫َ@ ِء‬NY8‫ا‬:


َ | ِ ‫ا ِھ‬xَ vَ 8‫ ا‬Oِ ]َ َ> ْ‫َر‬s‫ ْا‬qَJkَ ‫َ@ َء أَ ﱠن‬N‫ض َو‬
َ َ=‫@ ُء اِﺗﱠ‬vَ َJkُ – ِ ْ5َ78‫ْ نُ ا‬YFُ َp MِN Aِ َJَg8‫ي ا‬xِ ‫ﱠ‬8‫ ا‬‰‫ ﺗَ ﱠ‬Iِ \ْ ِN Cْ —‫ا‬، ُ‫اض‬5َ ‫;ﱡ‬m ِ َp‫َو‬
ُ‫=َ@ ُؤه‬pْ ‫ إ‬MِN ‫@ن أَيﱢ‬
ٍ Fَ [َ 5َ َi‫ إِ َذا آ‬‰ْ َ8 ْ›َ< ْœَp ُIَJَ7َ• qَ8ِ‫ إ‬žٍ vْ ƒَ Oٍ َ•Ÿْ [ُ ‫ أَوْ َو‬Aَ Œَ ‫ف َو‬
ِ ْY َi ،|
ٍ p5ِ ‫ط‬ َ ‫¡ن‬ َ < ْƒ‫ ا‬qَ8ِ‫ إ‬£
ْ َN ‫َ@ج‬ َ ِ8‫ َذ‬‰َ8 ‫َ م‬¥Jْ َp
T
ُ‫ض‬5ِ 7ْ vُ 8‫ ا‬Iِ vِ ِJEْ َ<ِ>.[12]
AF

Para ulama empat mazhab telah sepakat bahwa pengembalian barang pinjaman
hendaknya di tempat dimana akad qardh itu dilaksanakan. Dan boleh juga di
R

tempat mana saja, apabila tidak membutuhkan biaya kendaraan, bekal dan
D

terdapat jaminan keamanan. Apabila semua itu diperlukan, maka bukan sebuah
keharusan bagi pemberi pinjaman untuk menerimanya.[13]

Adapun untuk waktu pengembalian adalah sebagai berikut:

¦ ُ Cْ ‫ ِل َر ﱢد َو َو‬Aْ َ> ‫ض‬ ِ ْ5َ78‫ ا‬Aَ zْ kِ 5َْ \§َ O‫\ﱠ‬Fِ ِ8@vَ 8‫ ا‬MِN ‫ي‬ ٍ Cْ ‫ضُ ﺷَ@ َء َو‬5ِ 7ْ vُ 8‫ ْا‬Aَ ]ْ َ> ¨ْ
‫¦أ ﱢ‬ ِ gَC ‫ض‬ ِ 5ِ 7ْ َ<Eْ vُ 8‫@ل ْا‬ ِ ْ5َ78‫ُ ا‬I‫َ•ﱠ‬sِ
َ [َ ‫ض؛‬
Aٌ 7ْ kَ ‹َ َp¦ُ ُ gbْ Iِ \ْ ِN žُ Œَ َs‫ا‬. –َ
َ ‫ُ َو َذھ‬O‫\ﱠ‬Fِ ِ8@vَ 8‫ ْا‬qَ8ِ‫أن إ‬ ِ ْ5َ78‫ ا‬Aَ zْ kِ ‫ْ ِل‬YُJƒُ žِ Œَ َ‫@ء أ‬
‫¦َ ﱠ‬Cْ ‫ ِل َر ﱢد َو‬Aْ َ> ‫ض‬ ِ َN‫ض؛ َو‬ ِ ْ5َ78‫َ ﱠن ا‬sِ
‫ض‬ َ ْ5َ78‫ ا‬žُ Œ‫ َ ﱠ‬ªَ<َp ‰ْ ُ‫ھ‬Aَ zْ kِ ،žِْ \Œِ ْª‫<ﱠ‬8@ِ> @vَ …َ ‫ َم‬A‫َ ﱠ‬7َ‫ُ ﺗ‬Iُ•@َ\َ>.[14]

Menurut ulama selain Malikiyah, waktu pengembalian harta pengganti adalah


kapan saja terserah kehendak si pemberi pinjaman, setelah peminjam menerima
pinjamannya. Karena qardh merupakan akad yang tidak mengenal batas waktu.
Sedangkan menurut Malikiyah, waktu pengembalian itu adalah ketika sampai
pada batas waktu pembayaran yang sudah ditentukan diawal. Karena mereka
berpendapat bahwa qardh bisa dibatasi dengan waktu.[15]

Makalah Fiqih Muamalah(Al-Qardh) Page 10


F. Harta yang harus dikembalikan

Para ulama sepakat bahwa wajib hukumnya bagi peminjam untuk mengembalikan
harta semisal apabila ia meminjam harta mitsli, dan mengembalikan harta semisal
dengan bentuknya (dalam pandangan ulama selain Hanafiyah) bila pinjamannya
adalah harta qimiy, seperti mengembalikan kambing yang ciri-cirinya mirip
dengan domba yang dipinjam.[16]

ُ–«ِ َp qَJkَ 8‫ض ْا‬


ِ 5َِ <7ْ vُ ‫ ﱠد أَ ْن‬5ُ َp žُ bْ [ِ ‫@ ِل‬vَ 8‫ي ْا‬xِ ‫ﱠ‬8‫ُ ا‬Id
َ 5ََ <Cْ ‫@ ُل َ…@نَ إِ ْن ا‬vَ 8‫ِ\ّ@ً ْا‬Jbْ [ِ ،‫@ق‬ ِ ِ> ‫ ﱠد‬5ُ َp‫ُ َو‬IُJbْ [ِ ً‫رة‬Yُ
ِ َ=‫@‹ﺗﱢ‬ َ K Aَ zْ kِ 5ِْ \§َ
َ ‫ﱡ َ…@نَ إِ َذا‬žœَ [َ ‫ض‬
Oِ ‫َ=ِ\ﱠ‬zœ8‫ا‬ ِ ْ5َ78‫ َ[@‹ً ا‬،ً@ّ\vِ \ْ ِC ‫ ﱢد‬5َ …َ ‫ُ ﺷَ@ ٍة‬Iِg{ْ ُ‫ ﱠ{@ ِة ﺗ‬8‫ ا‬Mِ<‫ﱠ‬8‫<َ ا‬Cْ ‫َ@ا‬-d َ 5َ MِN @َ-ِN@K َ ْ‫أَو‬.

Atas dasar itu, ulama hanafiyah tetap mewajibkan mengembalikan harta qimiy
sesuai dengan apa yang sebelumnya dipinjam.

G. Hikmah disyariatkan Al-Qardh

Hikmah disyariatkannya Al-Qardh dapat dilihat dari dua sisi, sisi pertama dari
T
orang yang berhutang (muqtaridh) yaitu membantu mereka yang membutuhkan,
AF

dan sisi kedua adalah dari orang yang yang memberi hutang (muqridh) yaitu dapat
menumbuhkan jiwa ingin menolong orang lain, menghaluskan perasaan sehingga
R

ia peka terhadap kesulitan yang dialami oleh orang lain.[17]


D

Adapun hikmah disyariatkannya Al-Qardh (hutang piutang) menurut Syekh


Sayyid Tanthawi dalam kitabnya, Fiqh al-Muyassar adalah sebagai berikut:[18]

ُOvَ Fْ ƒِ ‫ َو‬Iِ ِ<‫\ﱠ‬kِ ْ‫ُو‬5{ْ [َ : 5ُ \ْ Eِْ \َ<8‫ ا‬qَJkَ ‫@س‬ ُ Nْ ‫ﱢ‬58‫ وا‬5‫ ﱠ‬8‫ُوا‬Ovَ ْƒ ‰ْ -ِ ِ>, žُ vَ ]َ 8‫ وا‬qَJkَ ›ْ
ِ ‫ﱠ‬z8‫ا‬, | ِ p5ِ =ْ َ‫ ﺗ‬‰-ِ ِgkِ @َ<[َ , ‫„@ء‬
َ َ C‫و‬
‰-ِ œِ ِ8@m
َ [َ

ِ ‫ﱠ‬z8‫)ا‬.
1. Memudahkan kepada manusia (5ُ \ْ Eِْ \َ<8‫ ا‬qَJkَ ‫@س‬
ُ Nْ 58‫ا‬
2. Belas kasih dan kasih sayang terhadap mereka (| ِ ُOvَ ْƒ58‫وا‬
َ ‰ْ -ِ ِ>) .
3. Perbuatan yang membuka lebar-lebar (menguraikan) kesulitan yang

ِ p5ِ =ْ ‫ َﺗ‬‰ْ -ِ ِgkِ @َ<[َ ).


mereka hadapi (žُ vَ ]َ 8‫ ا‬qَJkَ ›ْ
َ َC ‰-ِ œِ ِ8@m
4. Mendatangkan kemaslahatan bagi mereka yang berhutang (‫„@ء‬ َ [َ ).

Makalah Fiqih Muamalah(Al-Qardh) Page 11


H. Problematika terkait Al-Qardh pada masa sekarang

Para Ulama Fiqh sepakat bahwa akad qardh dikategorikan sebagai akad
Ta’awuniy (akad saling tolong menolong), bukan transaksi komersil. Maka, dalam
perbankan syariah akad ini dapat digunakan untuk menjalankan kegiatan sosial
bank syariah. Yaitu dengan memberi pinjaman murni kepada orang yang
membutuhkan tanpa dikenakan apapun. Meskipun demikian nasabah tetap
berkewajiban untuk mengembalikan dana tersebut, kecuali jika bank
mengikhlaskannya.[19]

Jika dengan pinjaman ini nasabah berinisiatif untuk mengembalikan lebih dari
pinjaman pokok, bank sah untuk menerima, selama kelebihan tersebut tidak
diperjanjikan di depan. Bahkan jika terjadi hal yang demikian, maka hal tersebut
merupakan wujud dari penerapan hadits Rasulullah SAW berikut ini:

@َzَ‫ﺛ‬A‫ ﱠ‬ƒَ Yُ>َ‫ أ‬،‰ٍْ \]َ ُ• @َzَ‫ﺛ‬A‫ ﱠ‬ƒَ ، ُ‫ ْ=\َ@ن‬Šُ ^َْ k ،َOvَ َJŠَ ^َْ k Mِ>َ‫ أ‬،َOvَ َJŠَ ^َْ k Mِ>َ‫ةَ أ‬5َْ p5َُ ‫ ھ‬Mَ d
ِ ‫ﷲُ َر‬ ‫ ﱠ‬،ُIzْ kَ ‫@ل‬ ٍ Œ5َ ِ8 qَJkَ
َ َC: َ‫ َ…@ن‬žُ
T
M‫ِ ﱢ‬g‫ﱠ‬z8‫ ا‬q‫ﱠ‬JK َ ُ‫ ﷲ‬Iِ \ْ َJkَ ‰َ ‫ﱠ‬JŠَ ‫ ﱞ^ َو‬Šِ َ^[ِ ،žِ ِ>—‫ا‬ َ َ7َ<َp ‫َ@ َل‬7َN q‫ﱠ‬JK
ِ ُ‫َ َ«@ َءه‬N ،ُ‫@ه‬d@ َ «ُ‫ه‬YُSkْ َ‫»أ‬، ‫ا‬YُgَJS
َ ُ‫ ﷲ‬Iِ \ْ َJkَ ‰َ ‫ﱠ‬JŠَ ‫و‬: َ َN ،ُI‫ﱠ‬zŠِ
AF

‰ْ َJَN «ِ َp‫ُوا‬A ُIَ8 ‹‫ًّ@ إِ ﱠ‬zŠِ ،@َ-َC ْYَN ‫@ل‬


َ َ7َN: «ُ‫ه‬YُSkْ َ‫»أ‬، ‫َ@ َل‬7َN: Mِzَ<\ْ َN ْ‫ أَو‬qَN‫ﷲُ َو‬
‫ ﱠ‬، َ£ِ> ‫@ل‬
َ َC M‫ِ ﱡ‬g‫ﱠ‬z8‫ ا‬q‫ﱠ‬JK
َ ُ‫ ﷲ‬Iِ \ْ َJkَ ‰َ ‫ﱠ‬JŠَ ‫و‬:
َ «‫إِ ﱠن‬
َ َ\iِ ‰ْ Fُ ُzEَ ْƒَ‫„@ ًء أ‬
‰ْ …ُ ‫@ر‬ َ َC» (‫ــــ@ري رواه‬ng8‫[)ا‬20]
R

“Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim dari Sufyan dari Salamah dari Abu
D

Salamah dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu berkata; Ada seorang laki-laki
pernah dijanjikan seekor anak unta oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lalu
orang itu datang kepada Beliau untuk menagihnya. Maka Beliau shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Berikanlah". Maka orang-orang mencari anak unta namun
mereka tidak mendapatkannya kecuali anak unta yang lebih tua umurnya, maka
Beliau bersabda: "Berikanlah kepadanya". Orang itu berkata: "Anda telah
memberikannya kepadaku semoga Allah membalas anda". Maka Nabi shallallahu
'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya yang terbaik diantara kalian adalah
siapa yang paling baik menunaikan janji".

@َzَ‫ﺛ‬A‫ ﱠ‬ƒَ Yُ>َ‫– أ‬


ٍ pْ 5َ …ُ @َzَ‫ﺛ‬A‫ ﱠ‬ƒَ Rٌ \…ِ ‫ َْ^ َو‬k M‫ِ ﱢ‬Jkَ ^ِْ > ٍ;ِ8@K َ ^َْ k َOvَ َJŠَ >ْ ^ِ žٍْ \َ-…ُ ^َْ k Mِ>َ‫َ أ‬Ovَ َJŠَ ^َْ k Mِ>َ‫ةَ أ‬5َْ p5َُ ‫@ل ھ‬ َ َC
‫ض‬َ 5َ 7ْ َ<Šْ ‫ ُل ا‬YُŠ‫ﷲِ َر‬ ‫ ﱠ‬q‫ﱠ‬JK َ ُ‫ﷲ‬ ‫ ﱠ‬Iِ \ْ َJkَ ‰َ ‫ﱠ‬JŠَ ‫ًّ@ َو‬zŠِ ُ‫@ه‬S
َ kْ َ ªَN @ًّzŠِ ‫ً ا‬5ْ\ َi ^ْ [ِ Iِ ‫ﱢ‬zŠِ ‫@ل‬ ِ ƒَ َ‫„@ ًء أ‬
َ َC‫ َو‬‰ْ …ُ ‫\َ@ ُر‬iِ ‰ْ Fُ ُzŠ@ َ َC. (‫رواه‬
‫ي‬x‫[ــــ‬5<8‫[)ا‬21]

Makalah Fiqih Muamalah(Al-Qardh) Page 12


“Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami
Waki' dari Ali bin Shalih dari Salamah bin Kuhail dari Abu Salamah dari Abu
Hurairah ia berkata; “Rasulullah SAW meminjam (berhutang) kepada seseorang
seekor unta yang sudah berumur tertentu. Kemudian beliau mengembalikan
pinjaman tersebut dengan unta yang telah berumur yang lebih baik dari yang
beliau pinjam. Dan beliau berkata, sebaik-baik kamu adalah mereka yang
mengembalikan pinjamannya dengan sesuatu yang lebih baik (dari yang
dipinjam).”

Hadits tersebut menunjukkan bahwa seorang peminjam sebaiknya


mengembalikan pinjamannya lebih dari apa yang dia pinjam.

Dalam perbankan syariah, akad ini dijalankan untuk fungsi sosial bank. Dananya
bisa diambil dari dana zakat, infaq, dan sedekahyang dihimpun oleh bank dari
para aghniya’ atau diambilkan dari sebagian keuntungan Bank. Bank kemudian
membuat kriteria tertentu kepada nasabah yang akan mendapatkan qardh. Kriteria
T
tersebut berlandaskan berlandaskan pada tingkat kemiskinan dan kekurang
AF

mampuan nasabah. Akan jauh lebih efektif jika pinjaman yang diberikan adalah
dipergunakan untuk kepentingan produktif, bukan untuk konsumtif. Adapun cara
R

pengembaliannya dengan cara diangsur, maupun dibayar sekaligus. Jika pinjaman


D

sudah dikembalikan, bank dapat memutar kembali secara bergulir.[22]

Makalah Fiqih Muamalah(Al-Qardh) Page 13


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari uraian di atas, kami selaku team/kelompok penyusun dapat
menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
1. Landasan hukum al-Qardh :
a) Firman Allah dalam Al-Qur’an
b) Assunah
c) Ijma”
2. Rukun qardh (hutang piutang) ada tiga, yaitu (1) shighah, (2) ‘aqidain
(dua pihak yang melakukan transaksi), dan (3) harta yang dihutangkan.
Penjelasan rukun-rukun tersebut beserta syarat-syaratnya adalah
sebagai berikut.
T
AF

B. Saran
R

Kami sadar betul dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari kata sempurna,
D

oleh karena itu kami mengharap kepada pembaca untuk memberikan kritik dan
saran yang membangun, supaya kami bisa berbuat lebih baik lagi selanjutnya.

Makalah Fiqih Muamalah(Al-Qardh) Page 14


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah bin Muhammad ath-Thayar, dkk. “Ensiklopedi Fiqih Muamalah, terj.


Miftahul Khair”, (Cet. 1; Yogyakarta: Maktabah al-Hanif, 2009), hal. 153.
Ismail Nawawi, ”Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer”, (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2012), hal. 178.
Ahmad Wardi Muslich, “Fiqh Muamalah”, (Jakarta: Amzah, 2010), hal. 273.
Sayid sabiq, “Fiqh as-sunnah”, (Cet. 3; Beirut: Dar Al-Fikr, 1977), juz 3, hal
182.
Mushtafa Al-Babiy Al-Halabiy, “Al-Muamalat al-maddiyah wa al-adabiyah, terj.
Ali Fikri”, mesir 1356 H, hal 346.
Wahbah Az-zuhaili, “Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu”. Jilid 4 hal. 720.
Wahbah Az-zuhaili,” Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, terj. Abdul Hayyie al-
Kattani, dkk,” (Cet: 1; Jakarta: Gema Insani, 2011) Jilid 5 hal. 378
Sayyid Tanthawi, “Fiqh Al-Muyassar”, Juz 3, hal. 39.
T
Yazid Afandi, “Fiqh Muamalah”, (Cet. 1; Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009),
AF

hal. 144.
Muhammad bin Ismail Abu Abdillah Al-Bukhari, “Shahih al-Bukhari”, (Cet.1;
R

Dar Thuq An-Najah, 1422 H) hal. 2393.


D

Muhammad bin Isa bin Surah bin Musa (Imam Tirmidzi), “Sunan Tirmidzi”, (Cet.
2; Mesir: Syarikah Maktabah, 1395 H), hal. 1316.
Abdul Rahman Al-Jaziri, “Al-Fiqh ‘Ala Madzahibil Arba’ah Juz 2”, (Libanon,
Beirut: Dar- AlKutub Al-Ilmiyah, 2003),
FOOTE NOTE

[1] Abdul Rahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Ala Madzahibil Arba’ah Juz 2, (Libanon,
Beirut: Dar- AlKutub Al-Ilmiyah, 2003), hal. 303 maktabah syamilah.

[2] Abdullah bin Muhammad ath-Thayar, dkk. Ensiklopedi Fiqih Muamalah, terj.
Miftahul Khair, (Cet. 1; Yogyakarta: Maktabah al-Hanif, 2009), hal. 153.

[3] Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2012), hal. 178.

[4] Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Amzah, 2010), hal. 273.

[5] Sayid sabiq, Fiqh As-Sunnah, (Cet. 3; Beirut: Dar Al-Fikr, 1977), juz 3, hal
128.

[6]Mushtafa Al-Babiy Al-Halabiy, Al-Muamalat al-maddiyah wa al-adabiyah,


terj. Ali Fikri, mesir 1356, hal 346.

[7] Ali Fikri, Al-Muamalat al-maddiyah wa al-adabiyah, hal. 346.


T
[8] Abdullah bin Muhammad ath-Thayar, Ensiklopedi Fiqih Muamalah, hal 154
AF

[9] Wahbah Az-zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu. Jilid 4 hal. 720.


R

[10] Abdullah bin Muhammad ath-Thayar, Ensiklopedi Fiqih Muamalah, hal 157-
158
D

[11] Abdullah bin Muhammad ath-Thayar, Ensiklopedi Fiqih Muamalah, hal 159-
164

[12] Wahbah Az-zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, Jilid 4 hal. 724.

[13] Wahbah Az-zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, terj. Abdul Hayyie al-
Kattani, dkk, (Cet: 1; Jakarta: Gema Insani, 2011) Jilid 5 hal. 378

[14] Wahbah Az-zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, (Maktabah Syamilah),


Jilid 4 hal. 3793.

[15] Wahbah Az-zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, terj. Abdul Hayyie al-
Kattani, dkk, Jilid 5 hal. 378.

[16] Wahbah Az-zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, terj. Abdul Hayyie al-
Kattani, dkk, Jilid 5 hal. 379.

[17] Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalah, hal. 277


[18] Sayyid Tanthawi, Fiqh Al-Muyassar, Juz 3, hal. 39.

[19] Yazid Afandi, Fiqh Muamalah, (Cet. 1; Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009),
hal. 144.

[20] Muhammad bin Ismail Abu Abdillah Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Cet.1;
Dar Thuq An-Najah, 1422 H) hal. 2393.

[21] Muhammad bin Isa bin Surah bin Musa (Imam Tirmidzi), Sunan Tirmidzi,
(Cet. 2; Mesir: Syarikah Maktabah, 1395 H), hal. 1316.

[22] Yazid Afandi, Fiqh Muamalah, hal. 144

Kirimkan Ini lewat Email

BlogThis!

Berbagi ke Twitter

Berbagi ke Facebook

Bagikan ke Pinterest
T
AF
R
D

Anda mungkin juga menyukai