T
AF
Di Susun Oleh :
R
D
Kelompok 8
Muhammad Gandi
Arif
ِ ْ ِ ِ ْ ــــــــــــــــــ ِ ﷲِ ا ﱠ ْ َ ِ ا ﱠ
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat-Nya
lah kami bisa menyelesaikan makalah yang berjudul “Al-Qardh (Hutang
Piutang).”
Makalah ini diajukan guna memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqh Muamalah,
dengan dosen pembimbing Ibu Nurfitri Martaliah S.E.M.E.K
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini
masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan
saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
semua.
R
Team Penyusun
Kelompok 8
i
DAFTAR ISI
A. Kesimpulan ............................................................................................14
D
B. Saran .......................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA
FOOTE NOTE
ii
D
R
i
AF
T
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hutang piutang adalah perkara yang tidak bisa dipisahkan dalam interaksi
kehidupan manusia. Ketidakmerataan dalam hal materi adalah salah satu
penyebab munculnya perkara ini. Selain itu juga adanya pihak yang menyediakan
jasa peminjaman (hutang) juga ikut ambil bagian dalam transaksi ini.
Islam sebagai agama yang mengatur segala urusan dalam kehidupan manusia juga
mengatur mengenai perkara hutang piutang. Konsep hutang piutang yang ada
dalam Islam pada dasarnya adalah untuk memberikan kemudahan bagi orang yang
sedang kesusahan. Namun pada zaman sekarang, konsep muamalah sedikit
banyak telah bercampur aduk dengan konsep yang diadopsi dari luar Islam. Hal
ini sedikit demi sedikit mulai menyisihka, menggeser, bahkan bisa menghilangkan
T
konsep muamalah Islam itu sendiri. Oleh karena itulah, perkara hutang piutang ini
AF
penting untuk diketahui oleh umat Islam agar nantinya bisa melaksanakan
transaksi sesuai dengan yang telah disyariatkan oleh Allah swt.
R
Bertolak dari apa yang sedikit diuraikan di atas, makalah ini dibuat untuk
D
memaparkan apa yang telah disyariatkan oleh agama Islam terkait al-Qardh
(hutang piutang) dengan kajian normatif yang dikutip dari berbagai sumber terkait
definisi, landasan hukum, hukum qardh, dan lain sebagainya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, terdapat beberapa masalah yang akan
dibahas sebagai berikut:
1. Apa definisi al-Qardh menurut bahasa dan istilah?
2. Apa landasan hukum mengenai al-Qardh?
3. Apa saja rukun dan syarat al-Qardh?
4. Bagaimana tata cara pengembalian hutang dilihat dari waktu, tempat dan
harta yang dikembalikan?
5. Apa hikmah disyariatkan al-Qardh?
6. Bagaimana problemtika terkait al-Qardh pada masa sekarang?
T
AF
R
D
PEMBAHASAN
A. Pengertian Al-Qardh
Qardh adalah bentuk masdar yang berarti memutus. Dikatakan qaradhtu asy-
syai’a bil-miqradh, aku memutus sesuatu dengan gunting. Al-Qardh adalah
sesuatu yang diberikan oleh pemilik untuk dibayar.
Adapun qardh secara terminologis adalah memberikan harta kepada orang yang
T
akan memanfaatkannya dan mengembalikan gantinya dikemudian hari.[2]
AF
Menurut Firdaus at al., qardh adalah pemberian harta kepada orang lain yang
dapat ditagih atau diminta kembali. Dalam literature fikih, qardh dikategorikan
R
dalam aqad tathawwu’i atau akad saling membantu dan bukan transaksi
D
komersil.[3]
ِ ]ُ@ل ِ[ ْ^ ﺗ
ُْ ض5َ78 اYَُ َ[@ ھIِ \ْ Sْ ٍ [َ MJ
ِ ﱟb[ِ ُ@هd@ َ َg]ِ ِ> ى5َ iْ ُ أYَُ ھAٌ 7ْ kَ ٌصYُmnُ [ُ ﱡد5ُ َp qَJkَ Rِ Nْ @ل َد
َ َ7َ<َ<ِ8 ،َ@ر ٍة وْ أ ٍ [َ Mِ ﱟJbْ [ِ
ﱠد5ُ َ\ِ85َ َisِ ُIَJbْ [ِ
Artinya:
“Qaradh adalah harta yang diberikan seseorang dari harta mitsil (yang memiliki
perumpamaan) untuk kemudian dibayar atau dikembalikan. Atau dengan
ungkapan yang lain, qaradh adalah suatu perjanjian yang khusus untuk
menyerahkan harta (mal mitsil) kepada orang lain untuk kemudian dikembalikan
persis seperti yang diterimanya.”[4]
Artinya:
“Al-qardh adalah harta yang diberikan oleh pemberi hutang (muqrid) kepada
penerima utang (muqtarid) untuk kemudian dikembalikan kepadanya (muqridh)
seperti yang diterimanya, ketika ia telah mampu membayarnya.”[5]
Hanabilah sebagaimana dikutip oleh ali fikri memberikan definisi qardh sebagai
berikut:
Artinya:
@{ ﱠ8َُ اOِ ِ]\ﱠN ْ اYُ8@َC : ُْ ض5َ78ْ َ| ا ْ p @ًk ْ5َ ﺷqَz]ْ vَ ِ> ض5َ 7ْ vُ 8 ِء ْاMْ { ﱠ8ا.
ُ َJSُ
D
Artinya:
Dasar disyari’atkannya qardh (hutang piutang) adalah al-qur’an, hadits, dan ijma’:
^ْ [َ ي َذاxِ ﱠ8ضُ ا5َ 7ْ ُp ًَ@ ﷲzEَ ƒ@ َ \َN ُIَ8 @ًN@]َ ْdَةً أ5َْ \ِb…َ
َ ًd ْ5َC ُIَ7kِ @„ُ
Artinya:
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada allah pinjaman yang baik
(menafkahkan harta di jalan allah), maka allah akan melipatgandakan pembayaran
kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.” (Q.S Al-Baqarah :245)
Sisi pendalilan dari ayat diatas adalah bahwa allah swt menyerupakan amal salih
dan memberi infaq fi sabilillah dengan harta yang dipinjamkan. Dan
menyerupakan pembalasannya yang berlipat ganda dengan pembayaran hutang.
Amal kebaikan disebut pinjaman (hutang) karena orang yang berbuat baik
T
melakukannya untuk mendapatkan gantinya sehingga menyerupai orang yang
AF
^َِ k ^ِْ >ْ ٍد اYُ]Eْ [َ اَ ﱠنMًّ ِgﱠz8 اqَJK َ َC : ^ْ [ِ @[َ ‰ٍ ِJEْ [ُ ُض5ِ 7ْ ُp @vً ِJEْ [ُ @ًd ْ5َC ^ِْ \ َﺗ5 َ…@نَ اِ ﱠ‹ َ[ ﱠAَ m
َ ُ ﷲIِ \ْ َJkَ ‰َ َJŠَ @ل َو َ …َ Oٍ َC
ًة5 رواھــ@>^( َ[ ﱠIŒ@[ ^ـــ@ن وا>ـــgƒ)
Artinya:
“Dari Ibn Mas’ud bahwa Rasulullah SAW, bersabda, “tidak ada seorang muslim
yang menukarkan kepada seorang muslim qarad dua kali, maka seperti sedekah
sekali.” (HR. Ibn Majah dan Ibn Hibban)[9]
3. Ijma’
Kaum muslimin sepakat bahwa qarad dibolehkan dalam islam. Hukum qarad
adalah dianjurkan (mandhub) bagi muqrid dan mubah bagi muqtarid, berdasarkan
hadits diatas.
Jika orang yang berhutang adalah orang yang mempunyai kebutuhan sangat
mendesak, sedangkan orang yang dihutangi orang kaya, maka orang yang kaya itu
wajib memberinya hutang.
Jika seorang yang berhutang bukan karena adanya kebutuhan yang mendesak,
tetapi untuk menambah modal perdagangannya karena berambisi mendapat
T
keuntungan yang besar, maka hukum memberi hutang kepadanya adalah mubah.
AF
Seseorang boleh berhutang jika dirinya yakin dapat membayar, seperti jika ia
R
untuk membayar hutangnya. Jika hal ini tidak ada pada diri penghutang. Maka ia
tidak boleh berhutang.
Rukun qardh (hutang piutang) ada tiga, yaitu (1) shighah, (2) ‘aqidain (dua pihak
yang melakukan transaksi), dan (3) harta yang dihutangkan. Penjelasan rukun-
rukun tersebut beserta syarat-syaratnya adalah sebagai berikut.
1. Shighah
Demikian pula qabul sah dengan semua lafal yang menunjukkan kerelaan , seperti
“aku berhutang” atau “aku menerima” atau “aku ridha” dan lain sebagainya.
2. ‘Aqidain
Yang dimaksud dengan ‘aqidain (dua pihak yang melakukan transaksi) adalah
pemberi hutang dan penghutang. Keduanya mempunyai beberapa syarat berikut.
Fuqaha’ sepakat bahwa syarat bagi pemberi hutang adalah termasuk ahli tabarru’
(orang yang boleh memberikan derma), yakni merdeka, baligh, berakal shat, dan
T
pandai (rasyid, dapat membedakan yang baik dan yang buruk). Mereka
AF
dengan cara salam, yakni sesuatu yang tidak dapat dijelaskan dengan sifat,
seperti permata dan lain sebagainya. Hanya saja, Syafi’iyyah
R
Syarat ketiga ini mencakup dua hal, yaitu 1) diketahui kadarnya dan 2)
diketahui sifatnya. Demikian ini agar mudah membayarnya. Jika hutang
piutang tidak mempunyai syarat ketiga ini, maka tidak sah.[11]
Para ulama empat mazhab telah sepakat bahwa pengembalian barang pinjaman
hendaknya di tempat dimana akad qardh itu dilaksanakan. Dan boleh juga di
R
tempat mana saja, apabila tidak membutuhkan biaya kendaraan, bekal dan
D
terdapat jaminan keamanan. Apabila semua itu diperlukan, maka bukan sebuah
keharusan bagi pemberi pinjaman untuk menerimanya.[13]
¦ ُ Cْ ِل َر ﱢد َو َوAْ َ> ض ِ ْ5َ78 اAَ zْ kِ 5َْ \§َ O\ﱠFِ ِ8@vَ 8 اMِN ي ٍ Cْ ضُ ﺷَ@ َء َو5ِ 7ْ vُ 8 ْاAَ ]ْ َ> ¨ْ
¦أ ﱢ ِ gَC ض ِ 5ِ 7ْ َ<Eْ vُ 8@ل ْا ِ ْ5َ78ُ اIَ•ﱠsِ
َ [َ ض؛
Aٌ 7ْ kَ ‹َ َp¦ُ ُ gbْ Iِ \ْ ِN žُ Œَ َsا. –َ
َ ُ َو َذھO\ﱠFِ ِ8@vَ 8 ْاqَ8ِأن إ ِ ْ5َ78 اAَ zْ kِ ْ ِلYُJƒُ žِ Œَ َ@ء أ
¦َ ﱠCْ ِل َر ﱢد َوAْ َ> ض ِ َNض؛ َو ِ ْ5َ78َ ﱠن اsِ
ض َ ْ5َ78 اžُ Œ َ ﱠªَ<َp ‰ْ ُھAَ zْ kِ ،žِْ \Œِ ْª<ﱠ8@ِ> @vَ …َ َمAَ ﱠ7َُ ﺗIُ•@َ\َ>.[14]
Para ulama sepakat bahwa wajib hukumnya bagi peminjam untuk mengembalikan
harta semisal apabila ia meminjam harta mitsli, dan mengembalikan harta semisal
dengan bentuknya (dalam pandangan ulama selain Hanafiyah) bila pinjamannya
adalah harta qimiy, seperti mengembalikan kambing yang ciri-cirinya mirip
dengan domba yang dipinjam.[16]
Atas dasar itu, ulama hanafiyah tetap mewajibkan mengembalikan harta qimiy
sesuai dengan apa yang sebelumnya dipinjam.
Hikmah disyariatkannya Al-Qardh dapat dilihat dari dua sisi, sisi pertama dari
T
orang yang berhutang (muqtaridh) yaitu membantu mereka yang membutuhkan,
AF
dan sisi kedua adalah dari orang yang yang memberi hutang (muqridh) yaitu dapat
menumbuhkan jiwa ingin menolong orang lain, menghaluskan perasaan sehingga
R
ُOvَ Fْ ƒِ َوIِ ِ<\ﱠkِ ُْو5{ْ [َ : 5ُ \ْ Eِْ \َ<8 اqَJkَ @س ُ Nْ ﱢ58 وا5 ﱠ8ُواOvَ ْƒ ‰ْ -ِ ِ>, žُ vَ ]َ 8 واqَJkَ ›ْ
ِ ﱠz8ا, | ِ p5ِ =ْ َ ﺗ‰-ِ ِgkِ @َ<[َ , „@ء
َ َ Cو
‰-ِ œِ ِ8@m
َ [َ
ِ ﱠz8)ا.
1. Memudahkan kepada manusia (5ُ \ْ Eِْ \َ<8 اqَJkَ @س
ُ Nْ 58ا
2. Belas kasih dan kasih sayang terhadap mereka (| ِ ُOvَ ْƒ58وا
َ ‰ْ -ِ ِ>) .
3. Perbuatan yang membuka lebar-lebar (menguraikan) kesulitan yang
Para Ulama Fiqh sepakat bahwa akad qardh dikategorikan sebagai akad
Ta’awuniy (akad saling tolong menolong), bukan transaksi komersil. Maka, dalam
perbankan syariah akad ini dapat digunakan untuk menjalankan kegiatan sosial
bank syariah. Yaitu dengan memberi pinjaman murni kepada orang yang
membutuhkan tanpa dikenakan apapun. Meskipun demikian nasabah tetap
berkewajiban untuk mengembalikan dana tersebut, kecuali jika bank
mengikhlaskannya.[19]
Jika dengan pinjaman ini nasabah berinisiatif untuk mengembalikan lebih dari
pinjaman pokok, bank sah untuk menerima, selama kelebihan tersebut tidak
diperjanjikan di depan. Bahkan jika terjadi hal yang demikian, maka hal tersebut
merupakan wujud dari penerapan hadits Rasulullah SAW berikut ini:
@َzَﺛA ﱠƒَ Yُ>َ أ،‰ٍْ \]َ ُ• @َzَﺛA ﱠƒَ ، ُ ْ=\َ@نŠُ ^َْ k ،َOvَ َJŠَ ^َْ k Mِ>َ أ،َOvَ َJŠَ ^َْ k Mِ>َةَ أ5َْ p5َُ ھMَ d
ِ ﷲُ َر ﱠ،ُIzْ kَ @ل ٍ Œ5َ ِ8 qَJkَ
َ َC: َ َ…@نžُ
T
Mِ ﱢgﱠz8 اqﱠJK َ ُ ﷲIِ \ْ َJkَ ‰َ ﱠJŠَ ﱞ^ َوŠِ َ^[ِ ،žِ ِ>—ا َ َ7َ<َp َ@ َل7َN qﱠJK
ِ َُ َ«@ َءهN ،ُ@هd@ َ «ُهYُSkْ َ»أ، اYُgَJS
َ ُ ﷲIِ \ْ َJkَ ‰َ ﱠJŠَ و: َ َN ،ُIﱠzŠِ
AF
“Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim dari Sufyan dari Salamah dari Abu
D
Salamah dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu berkata; Ada seorang laki-laki
pernah dijanjikan seekor anak unta oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lalu
orang itu datang kepada Beliau untuk menagihnya. Maka Beliau shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Berikanlah". Maka orang-orang mencari anak unta namun
mereka tidak mendapatkannya kecuali anak unta yang lebih tua umurnya, maka
Beliau bersabda: "Berikanlah kepadanya". Orang itu berkata: "Anda telah
memberikannya kepadaku semoga Allah membalas anda". Maka Nabi shallallahu
'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya yang terbaik diantara kalian adalah
siapa yang paling baik menunaikan janji".
Dalam perbankan syariah, akad ini dijalankan untuk fungsi sosial bank. Dananya
bisa diambil dari dana zakat, infaq, dan sedekahyang dihimpun oleh bank dari
para aghniya’ atau diambilkan dari sebagian keuntungan Bank. Bank kemudian
membuat kriteria tertentu kepada nasabah yang akan mendapatkan qardh. Kriteria
T
tersebut berlandaskan berlandaskan pada tingkat kemiskinan dan kekurang
AF
mampuan nasabah. Akan jauh lebih efektif jika pinjaman yang diberikan adalah
dipergunakan untuk kepentingan produktif, bukan untuk konsumtif. Adapun cara
R
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian di atas, kami selaku team/kelompok penyusun dapat
menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
1. Landasan hukum al-Qardh :
a) Firman Allah dalam Al-Qur’an
b) Assunah
c) Ijma”
2. Rukun qardh (hutang piutang) ada tiga, yaitu (1) shighah, (2) ‘aqidain
(dua pihak yang melakukan transaksi), dan (3) harta yang dihutangkan.
Penjelasan rukun-rukun tersebut beserta syarat-syaratnya adalah
sebagai berikut.
T
AF
B. Saran
R
Kami sadar betul dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari kata sempurna,
D
oleh karena itu kami mengharap kepada pembaca untuk memberikan kritik dan
saran yang membangun, supaya kami bisa berbuat lebih baik lagi selanjutnya.
hal. 144.
Muhammad bin Ismail Abu Abdillah Al-Bukhari, “Shahih al-Bukhari”, (Cet.1;
R
Muhammad bin Isa bin Surah bin Musa (Imam Tirmidzi), “Sunan Tirmidzi”, (Cet.
2; Mesir: Syarikah Maktabah, 1395 H), hal. 1316.
Abdul Rahman Al-Jaziri, “Al-Fiqh ‘Ala Madzahibil Arba’ah Juz 2”, (Libanon,
Beirut: Dar- AlKutub Al-Ilmiyah, 2003),
FOOTE NOTE
[1] Abdul Rahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Ala Madzahibil Arba’ah Juz 2, (Libanon,
Beirut: Dar- AlKutub Al-Ilmiyah, 2003), hal. 303 maktabah syamilah.
[2] Abdullah bin Muhammad ath-Thayar, dkk. Ensiklopedi Fiqih Muamalah, terj.
Miftahul Khair, (Cet. 1; Yogyakarta: Maktabah al-Hanif, 2009), hal. 153.
[3] Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2012), hal. 178.
[4] Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Amzah, 2010), hal. 273.
[5] Sayid sabiq, Fiqh As-Sunnah, (Cet. 3; Beirut: Dar Al-Fikr, 1977), juz 3, hal
128.
[10] Abdullah bin Muhammad ath-Thayar, Ensiklopedi Fiqih Muamalah, hal 157-
158
D
[11] Abdullah bin Muhammad ath-Thayar, Ensiklopedi Fiqih Muamalah, hal 159-
164
[13] Wahbah Az-zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, terj. Abdul Hayyie al-
Kattani, dkk, (Cet: 1; Jakarta: Gema Insani, 2011) Jilid 5 hal. 378
[15] Wahbah Az-zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, terj. Abdul Hayyie al-
Kattani, dkk, Jilid 5 hal. 378.
[16] Wahbah Az-zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, terj. Abdul Hayyie al-
Kattani, dkk, Jilid 5 hal. 379.
[19] Yazid Afandi, Fiqh Muamalah, (Cet. 1; Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009),
hal. 144.
[20] Muhammad bin Ismail Abu Abdillah Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Cet.1;
Dar Thuq An-Najah, 1422 H) hal. 2393.
[21] Muhammad bin Isa bin Surah bin Musa (Imam Tirmidzi), Sunan Tirmidzi,
(Cet. 2; Mesir: Syarikah Maktabah, 1395 H), hal. 1316.
BlogThis!
Berbagi ke Twitter
Berbagi ke Facebook
Bagikan ke Pinterest
T
AF
R
D