Anda di halaman 1dari 14

PENDAHULUAN

Sektor-sektor pekerjaan yang bisa kita lakukan salah satunya adalah


pada sektor pertanian . masyarakat pedesaan yang pada umumnya hanya
menggantungkan hidupnya, hanya dari hasil pertanian, dimana taraf
kesejahtraan mereka ber beda-beda. Sebagian dari mereka ada yang memiliki
lahan dan ada yang tidak memiliki lahan. Mereka salinh bekerja sama dengan
yang memiliki lahan untuk menggarap lahan pertaniannya dengan imbalan bagi
hasil. Kondisi seperti ini pada umumnya terlihat pada masyarakat pedesaan kita
saat ini.

Menggarap tanah adalah termasuk jenis kerja sama yang diperbolehkan


oleh ajaran islam dan banyak dijumpai dimasyarakat luas. Dan kita mengetahui
manfaatnya yang besar bagi kedua pihak , kedua pihak mendapatkan
keuntungan dari kerjasama ini. Menggarap tanah dalam ajaran islam dii=sebut
dengan istilah Muzara’ah

Muzara’ah ialah sesorang memberikan tanahnya kepada orang lain untuk


ditanami dengan upah bagian tertentu dari hasil tanah. Tetapi ada sebagian
ulama yang melarang perbuatan ini dan ada pula yang menhukumkan makruh
pada permasalahan ini.

1
BAB 1

PEMBAHASAN

A . Definisi Muzara’ah

Secara etimologi muzara’ah berati menumbuhkan. Muzara’ah dinamai pula


dengan al-mukhabarah dan muhaqalah.

Secara terminology syara’, para ulama berbeda pendapat antara lain .

1. Ulama Malikiyah Muzara’ah ialah perkongsian adalah bercocok tanam.


2. Ulama Hanabilah berpendapat bahwa muzara’ah ,menyerahkan tanah
kepada orang yang akan bercocok tanam atau mengelolanya,sedangkan
tanaman (hasilnya) tersebut dibagi di antara keduanya.
3. Ulama Syafi’iyah berpendapat, muzara’ah ialah mengelola tanah diatas
sesuatu yang dihasilkannya dan benihnya berasal dari pemilik tanah.
4. Menurut Hanafiyah,muzara’ah yaitu akad untuk bercocok tanam dengan
sebagian yang keluar dari bumi.1

Jadi dapat disimpulkan bahwa muzara’ah adalah kerja sama dalam


penggarapan tanah dengan imbalan sebagian dari apa yang dihasilkan.
Maknanya yaitu,pemberian tanah kepada orang yang akan menanaminya
dengan catatan bahwa dia akan mendapat porsi tertentu dan apa yang
dihasilkannya,seperti setengah , sepertiga, atau lebih banyak dan lebih sedikit
dari itu,sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.2

Diantara kekuatan perekonomian umat yang berlangsung hingga sekarang


adalah muzara‟ah dan dikategorikan dalam akad pengupahan dalam hukum
Islam karena menggunakan jasa orang lain dalam bentuk kerjasama. Sedang
pengupahan dalam Islam dikenal dengan istilah ijarah, yaitu sesuatu yang pantas
diberikan kepada orang yang telah digunakan tenaganya atau yang disewa.
Sedang upah adalah sesuatu yang berhak dimiliki oleh orang lain yang telah
dimanfaatkan tenaganya atau jasanya. Adapun istilah ijarah bagi ulama
Hanafiyyah adalah kepemilikan kekuatan dan manfaat yang dimiliki orang lain
dengan ganti yang sewajarnya. Hal ini menunjukkan ada makna jual beli yang

1
Rahmat Syafe’i, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Seia, 2001), h.205.
2
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 5, (Darul Fath,2013), h.133.

2
terkandung didalamnya dimana ada pemberian ganti rugi dengan manfaat yang
telah dilakukan. Ulama Hanabilah memberikan pengertian sebagai jual beli jasa.3

B. Landasan Hukum

Imam Hanafi dan Jafar tidak mengakui keberadaan muzara’ah dan


menganggap fasid. Begitu pula Imam Syafi’I,tetapi sebagian ulama Syafi’iyah
mengakuinya dan mengaitkannya dengan musyaqah( pengelolaan kebun )
dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan.4

Di antara alasan yang dikemukakan oleh ulama hanafiyah,jafar,Imam


Syafi’I adalah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir Ibn Abdullah bahwa
Rasulullah SAW. melarang mukhabarah. Demikian pula dalam hadis Ibn Umar
yang juga diriwayatkan oleh muslim bahwa Rasulullah SAW melarang
muzara‟ah.5

Golongan ini berpendapat bahwa kerja sama Nabi dengan orang Khaibar
dalam mengelola tanah bukan termasuk mukhabarah atau muzara’ah, melainkan
pembagian atas hasil tanaman tersebut dengan membaginya, seperti dengan s
epertiga atau seperempat dari hasilnya yang didasarkan anugerah ( tanpa
biaya ) dan kemaslahatan. Hal itu diperbolehkan.

Dasar hukum Muzara‟ah terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadist, dalam Al-Qur’an
terdapat dalam :6
1. QS. Al-Baqarah ayat 267:
 
  
  
   
   
  
   
  

3
Firman Muh. Arif, Konstruksi Kekuatan Ekonomi Umat di Desa dengan Konsep Muzara’ah, Jurnal
Muamalah: Volume IV, No 1 April 2014.
4
Ibid, Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 5.
5
Muhammad Ibn Ali Ibn Muhammad Asy-Syaukani sebagaimana dikutip oleh Rahmat Syafe’i,
Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Seia, 2001), h.206.
6
Beny Septyliyan Primada, Tinjauan Mekanisme Kontrak Pengelolaan Lahan Pertanian Berbasis
Adat Istiadat dalam Kajian Fiqh Muamalah, JESTT Vol. 2 No. 11 November 2015

3
  
  
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari
hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan
dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu
kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau
mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan
ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.

2. QS. Al-Maidah ayat 2:


 
  
  
  
  
  
  
   
 
  
  
  
  
  
  
   
  
    
  
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah,
dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan
(mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id,
dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah
sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila
kamu telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan
janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka
menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya
(kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan

4
pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah
Amat berat siksa-Nya.

3. Sedang dalam hadis diriwayatkan oleh Muslim dari Thawus ra:

Sesungguhnya Thawus ra. Bermukhabarah, Umar ra. berkata; dan aku berkata
kepadanya; ya Abdurrahman, kalau engkau tinggalkan, mukhabarah ini, nanti
mereka mengatakan bahwa Nabi saw melarangnya. Kemudian Thawus berkata;
telah menceritakan kepadaku orang yang sungguh-sungguh mengetahui hal ini,
yaitu Ibnu Abbas, bahwa Nabi saw. Tidak melarang mukhabarah, hanya Beliau
berkata, bila seseorang memberi manfaat kepada saudaranya, hal itu lebih baik
daripada mengambil manfaat dari saudaranya dengan yang telah dimaklumi.
(HR. Muslim)

Abu Yusuf dan Muhammad (sahabat Imam Abu Hanifah), Imam Malik,
Ahmad, dan Abu Dawud Azh-Zhahiri berpendapat bahwa muzara‟ah
diperbolehkan. Hal itu didasarkan pada pada hadis yang diriwayatkan oleh
jama’ah dari Ibn Umar bahwa Nabi SAW. bermuamalah dengan ahli Khaibar
dengan setengah dari sesuatu yang di hasilkan dari tanaman,baik buah-buahan
maupun tumbuh-tumbuhan. Selain itu, muzara‟ah dapat di kategorikan
perkongsian antara harta dan pekerjaan, sehingga kebutuhan pemilik dan
pekerja dapat terpenuhi. Tidak jarang pemilik tidak dapat memelihara tanah,
sedangkan pekerja mampu memeliharanya dengan baik. Tetapi tidak memiliki
tanah, dengan demikian , diperbolehkan sebagaimana dalam mudharabah.

5
Adapun skema dari pembiayaan muzara‟ah dapat ditunjukkan pada gambar di
bawah ini:7

Jadi, dalam mekanisme pembiayaan muzara‟ah pemilik akan memberikan modal


untuk penanaman lahan pertanian dalam bentuk barang, yaitu benih, pupuk,
serta lahan secara langsung, atau tidak disetarakan dengan nominal uang
tertentu. Inilah yang membedakan pembiayaan salam dengan pembiayaan
muzara‟ah.

C. Rukun Muzara’ah dan Syarat-syaratnya

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun muzara‟ah adalah ijab dan


qabul antara pemilik tanah dan pekerja yang menunjukkan keridaan di antara
keduanya. Secara rinci, jumlah rukun-rukun muzara‟ah menurut Hanafiyah ada
empat8, yaitu :

 Tanah
 Perbuatan pekerja
 Modal
 Alat-alat untuk menanam

Adapun syarat-syarat Muzara’ah yaitu sebagai berikut :

 Menurut Hanafiyah :

7
Ridha Putri Amalia, Analisis Kesyariahan Pembiayaan pada Sektor Pertanian. Jurnal Ilmiah Studi
Kasus di Koperasi Serba Usaha Bin Syauf Syariah Batu, Tahun 2016.
8
Alauddin Al-Kasani sebagaimana dikutip oleh Rahmat Syafe’i, Fiqih Muamalah, (Bandung:
Pustaka Seia, 2001), h.207.

6
a. Syarat yang berkaitan harus „aqidain, yaitu harus berakal.
b. Syarat yang berkaitan dengan tanaman , yaitu disyaratkan adanya
oenentuan macam apa saja yang di tanam.
c. Hal yang berkaitan dengan perolehan hasil dari tanaman, yaitu : bagian
masing-masing harus disebutkan jumlahnya (persentasenya ketika akad)
,hasil adalah milik bersama, bagian antara Amil dan Malik adalah dari
satu jenis barang yang sama,misalnya bila Malik bagiannya padi
kemudian Amil bagiannya singkong, maka hal ini tidak sah, bagian kedua
belah pihak sudah dapat diketahui.
d. Hal yang berhubungan dengan tanah yang akan ditanami, yaitu : tanah
tersebut dapat ditanami, tanah tersebut dapat diketahui batas-batasnya.
e. Hal yang berkaitan dengan waktu, syaratnya ialah : waktunya telah di
tentukan, waktu itu memungkinkan untuk menanam tanaman dimaksud,
seperti menanam padi waktunya kurang lebih 4 bulan (tergantung
teknologi yang dipakainya, termasuk kebiasaan setempat ) .
f. Hal yang berkaitan dengan alat-alat muzara‟ah , alat-alat tersebut
disyaratkan berupa hewan atau yang lainnya dibebankan kepada pemilik
tanah.9

 Menurut Abu Yusuf dan Muhammad :


1. Syarat Aqid (orang yang melangsungkan akad) . mumayyiz,tetapi tidak
disyaratkan baligh.
2. Syarat tanaman
Di antara para ulama terjadi perbedaan pendapat, tetapi kebanyakan
menanggapi lebih baik jika diserahkan kepada pekerja.
3. Syarat dengan garapan
 Memungkinkan untuk di garap,yakni apabila ditanami tanah
tersebut akan menghasilkan.
 Jelas.
 Ada penyerahan tanah.
4. Syarat-syarat tanaman yang dihasilkan
 Jelas ketika akad
 Diharuskan ada kerja sama atas dua orang yang akad

9
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h.158.

7
 Ditetapkan ukuran diantara keduanya <seperti setengah ,
sepertiga, dan lain-lain.
 Hasil dari tanaman harus menyeluruh di antara dua orang yang
akan melangsungkan akad. Tidak di perbolehkan mensyaratkan
bagi salah satu yang melangsungkan akad hanya mendapatkan
sekedar pengganti biji.
5. Tujuan akad
Akad didalam muzara‟ah harus didasarkan pada tujuan syara’ yaitu untuk
memanfaatkan pekerja atau memanfaatkan tanah.
6. Syarat muzara‟ah
Dalam muzara‟ah diharuskan menetapkan waktu. Jika wakti tidak
ditetapkan, muzara‟ah dipandang tidak sah.

 Menurut ulama Malikiyah


a. Kedua orang yang melangsungkan akad harus menyerahkan benih,
b. Hasil yang diperoleh harus disamakan antara pemilik tanah dan
penggarap.
c. Benih harus berasal dari kedua orang yang melangsungkan akad.

 Menurut ulama Syafi‟iyah


Ulama Syafi’iyah tidak mensyaratkan permasalahan hasil yang diperoleh
kedua aqid dalam muzara‟ah yang mengikuti atau berkaitan dengan
musyaqoh.mereka berpendapat bahwa muzara‟ah adalah pengelolaan
tanah atas apa yang keluar dari bumi, sedangkan benihnya berasal dari
pemilik tanah.

 Ulama Hanabilah
Ulama Hanabilah sebagaimana ulama Syafi’iyah, tidak mensyaratkan
persamaan antara penghasilan dua orang yang akad. Namun demikian,
mereka mensyaratkan lainnya :
a. Benih berasal dari pemilik, tetapi diriwayatkan bahwa Imam Ahmad
membolehkan benih bersal dari penggarap,
b. Kedua orang yang melaksanakan akad harus menjelaskan bagian
masing-masing.
c. Mengetahui dengan jelas jenis benih.

8
Sifat akad Muzara’ah

Tentang sifat Muzara‟ah , menurut ulama Hanafiyah, merupakan sifat-sifat


perkongsian (kerja sama ) yang tidak lazim. Adapun menurut ulama Malikiyah,
diharuskan menaburkan benih di ats tanah supaya tumbuh tanaman atau dengan
menanam tumbyhan di atas tanah yang tidak ada bijinya. Meurut pendapat paling
kuat, perkongsian harta termasuk muzara‟ah dan harus mengunakan Shighat.

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa muzara‟ah dan musyaqah adalah dua


akad yang tidak lazim sehingga setiap yang melangsungkan akad dapat
membatalkan keduanya. Akad pun dapat dianggap batal jika salah seorang aqid
meninggal dunia.

D. Hukum Muzara’ah

Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW telah memberikan kebun beliau


kepada penduduk Khoibar atau dipelihara oleh mereka dengan perjanjian
mereka akan diberi sebagian penghasilan , baik dari buah-buahan maupun dari
hasil pertahunan (palawija) . “HR.Musllim”. pihak yang wajib membayar zakat
hasil Muzara’ah : dalam kerja sama bentuk ini, zakat diwajibkan atas pemilik
tanahlah, yang bertanam. Pengharap hanya mengambil upah kerja. Penghasilan
yang diambil dari upah tidak wajib zakatnya.10

a. Hukum Muzara‟ah Sahih menurut Hanafiyah adalah sebagai berikut ;


 Segala keperluan untuk memelihara tanaman diserahkan kepada
penggarap.
 Pembiayaan atas tanaman dibagi antara penggarap dan pemilik
tanah.
 Hasil yang diperoleh dibagikan berdasarkan kesepakatan waktu akad.
 Menyiram atau menjaga tanaman , jika disyaratkan akan dilakukan
bersama,hal itu harus dipenuhi. Akan tetapi, jika tidak ada
kesepakatan , penggaraplah yang paling bertanggung jawab atas
menyiram atau menjaga tanaman.
 Jika salah seorang yang akad meninggal sebelum diketahui hasilnya,
penggarap tidak mendapatkan apa-apa sebab ketetapan akad
didasarkan pada waktu.

10
Muhammad Ali, Fiqih, (Gedongmenneg, Bandar Lampung: Anugerah Utama Raharja, 2013),
h.67.

9
b. Hukum Muzara’ah Fasid Menurut Hanafiyah
Telah disinggung bahwa Ulama Syafi’iyah melarang Muzara‟ah,
jika benih berasal dari pemilik , kecuali bila dianggap sebagai Musyaqah.
Begit pula jika benih dari penggarap , hal itu tidak boleh sebagaimana
dalam Musyaqah.
Dengan demikian, hasil dari pemeliharaan tanah diberikan semuanya
untuk pemilik , sedangkan penggarap hanya diberi upah.

c. Hukum Muzara’ah Menurut Hanafiyah


Di antara hukum-hukum yang terdapat dalam Muzara’ah Fasid adalah :
 Penggarap tidak berkewajiban mengelola.
 Hasil yang keluar merupakan pemilik benih.
 Jika dari pemilik tanah , penggarap berhak mendapatkan upah dari
pekerjaannya.11

E. MUZARA’AH YANG TIDAK SAH

Telah kita katakana bahwa muzara‟ah yang benar adalah pemberian


tanah kepada orang yang akan menanaminya dengan catatan bahwa dia akan
mendapatkan porsi tertentu dari apa yang dihasilkannya, seprti
seprtiga,setengah, atau sejenisnya. Artinya, bagian pemilik tanah belum
ditentukan .

Apabila bagian pemili tanah sudah ditentukan , misalnya dibatasi dengan


berat tertentu dari apa yang dihasilkan oleh tanah atau dibatasi dengan luas
tertentu dari tanah yang dihasilnya adalah bagiannya, sementara sisanya adalah
bagian pekerja atau dibagi di antara keduanya, maka muzara‟ah batal karena di
dalamnya terdapat tipu daya dank arena dapat menimbulkan persengkataan.

Rafi’ bin Khadij berkata, “ Kami dulu adalah yang paling banyak bercocok
tanam di antara penduduk Madinah. Kami menyewakan tanah dengan imbalan
salah satu sisinyayang ditentukan untuk pemilik tanah. Sering kali sisi yang itu
ditimpa bencana dan sisi yang lain selamat. Dan sering kali sisi yang lain ditimpa

11
Rahmat Syafe’i, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Seia, 2001), h.207-211.

10
bencana dan sisi yang lain itu selamat. Kami pun dilarang untuk melakukan itu.”
12

Diriwayatkan juga bahwa Nabi SAW. berkata, “ apa yang kalian perbuat
dengan lading-ladang kalian?” mereka berkata, “ kami menyewakannya dengan
imbalan apa yang tumbuh di atas saluran air atau dengan imbalan sekian wasq
kurma dan gandum.” Beliau pun bersabda,

“ Janganlah kalian melakukan itu. Tanamilah ia, atau berikanlah ia kepada orang
lain agar ditanaminya, atau biarkanlah ia terbengkalai.” Rafi‟ berkata, “aku
berkata, „kami mendengar dan taat.’”13

F. Penghabisan Muzara’ah

Bebrapa hal yang menyebabkan Muzara‟ah habis :

a. Habis masa Muzara’ah (akad perjanjian tersebut).


b. Salah seorang yang melakukan akad meninggal dunia.
c. Adanya uzur, menurut Ulama Hanafiyah , di antara uzur yang
menyebabkan batalnya muzara‟ah , antara lain :
1. Tanah garapan terpaksa dijual. Misalnya untuk membayar utang,
2. Penggarap tidak dapat mengolah tanah, seperti sakit, jihad di jalan
Allah SWT.14

G. Eksistensi Muzara’ah

Menurut Abu Yusuf dan Muhammad ( dua sahabat Abu Hanifah ),


Muzara‟ah mempunyai empat keadaan, yaitu tiga sahih dan satu batal.

a. Dibolehkan Muzaraah jika tanah dan benih berasal dari pemilik,


sedangkan pekerjaan dan alat penggarap berasal dari penggarap.
b. Dibolehan Muzara‟ah jika tanah dari seseorang, sedangkan benih,
alat penggarap, dan pekerjaan dari penggarap.
c. Dibolehkan Muzara‟ah jika tanah, benih,dan alat penggarap berasal
dari pemilik. Sedangkan pekerjaan berasal dari penggarap.

12
Bukhari sebagaimana dikutip oleh Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Darul Fath, 2013), h.137.
13
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Darul Fath, 2013), h.137.
14
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Tangerang : Gaya Media Pratama, 2007) h.111

11
d. Muzara‟ah tidak boleh jika tanah dan hewan berasal dari pemilik
tanah, sedangkan benih dan pekerjaan dari penggarap.15

H. Hikmah Muzara’ah

Manusia banyak yang mempunyai binatang ternak seperti kerbau,sapi,kuda dan


yang lainnya. Dia sanggup untuk berladang dan bertani untuk mencukupi
keperluan hidupnya. Tetapi tidak memiliki tanah. Sebaliknya, banyak diantara
manusia mempunyai sawah, tanah , lading dan lainnya, yang layak untuk
ditanami ( bertani ), tetapi ia tidak memiliki binatang untuk mengolah sawah dan
ladangnya tersebut atau ia sendiri tidak sempat untuk mengerjakannya.
Sehingga banyak tanah yang dibiarka dan tidak dapat menghasilkan suatu
apapun.

Muzara‟ah disyariatkan untuk menghindari adanya pemilikan hewan ternak yang


kurang bisa dimanfaatkan karena tidak ada tanah untuk diolah dan menghindari
tanah yang juga dibiarkan tidak diproduksi kerna tidak ada yang mengolahnya.

Muzara‟ah terdapat pembagian hasil. Untuk hal-hal lainnya yang bersifat teknis
disesuaikan dengan syirkah yaitu konsep bekerja sama dalam upaya
menyatukan potensi yang ada pada masing-masing pihak dengan tujuan bisa
saling menguntungkan.16

15
Rachmat Syafi’i, Fiqh Muamalah, (Bandung : Pustaka Setia, 2001) h.210
16
Saleh Al-Fuzan, Fiqh Sehari-hari, (Jakarta : Gema Insani Press, 2005) h.159

12
PENUTUP

Kesimpulan

muzara’ah adalah kerja sama dalam penggarapan tanah dengan imbalan


sebagian dari apa yang dihasilkan. Maknanya yaitu,pemberian tanah kepada
orang yang akan menanaminya dengan catatan bahwa dia akan mendapat porsi
tertentu dan apa yang dihasilkannya,seperti setengah , sepertiga, atau lebih
banyak dan lebih sedikit dari itu,sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.
Dan muzara’ah memiliki rukun nya tersendiri yaitu : Tanah,Perbuatan
pekerja,Modal,Alat-alat untuk menanam. Muzara‟ah disyariatkan untuk
menghindari adanya pemilikan hewan ternak yang kurang bisa dimanfaatkan
karena tidak ada tanah untuk diolah dan menghindari tanah yang juga dibiarkan
tidak diproduksi kerna tidak ada yang mengolahnya.

13
DAFTAR PUSTAKA

Al-fauzan Saleh, Fiqh Sehari-hari, Jakarta : Gema Insani Pres, 2005.

Beny Septyliyan Primada, Tinjauan Mekanisme Kontrak Pengelolaan Lahan


Pertanian Berbasis Adat Istiadat dalam Kajian Fiqh Muamalah, JESTT Vol.
2 No. 11 November 2015

Ali Muhammad, Fiqih, Bandar Lampung : Anugrah Utama Raharja, 2013.

Firman Muh. Arif, Konstruksi Kekuatan Ekonomi Umat di Desa dengan Konsep
Muzara‟ah, Jurnal Muamalah: Volume IV, No 1 April 2014

Haroen Nasrun, Fiqh Muamalah, Tangerang : Gaya Media Pratama, 2007.

Ridha Putri Amalia, Analisis Kesyariahan Pembiayaan pada Sektor Pertanian.


Jurnal Ilmiah Studi Kasus di Koperasi Serba Usaha Bin Syauf Syariah
Batu, Tahun 2016.

Sabiq Sayyid, Fiqh Sunnah, Darul Fathl, 2013.

Suhendi Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta : Rajawali Pers, 2013.

Syafi’i Rachmat, Fiqh Muamalah, Bandung : Pustaka Setia, 2001.

14

Anda mungkin juga menyukai