Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia dijadikan Allah SWT sebagi makhluk sosial yang saling membutuhkan
antara satu dengan yang lain. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia harus berusaha
mencari karunia Allah yang ada dimuka bumi ini sebagai sumber ekonomi. Dalam
kehidupam sosial Nabi Muhmmad mengajarkan kepda kita semua tentang bermuamalah agar
terjadi kerukunan antar umat serta memberikan keuntungan bersama.
Dalam Islam yang terkombinasi seperti halnya ibadah dan muamalah mengarah pada
produksi dalam berbagai hal aktifitas misalnya perdagangan, perindustrian, pertanian,
perkebunan, dan lain sebagainya. Semua pekerjaan termasuk ibadah dan dalam melakukan ini
dengan konsisten sebagai muslim yang harus mentaati hukum syara’. Serta dalam pola
muzara’ah membutuhkan kerjasama seperti halnya berupa tenaga dan benda untuk
mewujudkan rasa kebersamaan. Kerjasama diterapkan untuk menyediakan sarana, tenaga dan
pihak lainnya sebagai penyedia modal, biaya ataupun sarana. Kemitraan dalam muzara’ah
merupakan salah satu solusi untuk pemanfaatan ladang pertanian untuk membendung tingkah
laku moral, spiritual dan mengurangi kesombongan sosial budaya dengan menerapkan nilai-
nilai Islam.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Muzara’ah/Mukhabarah?
2. Apa yang dimaksud dengan Musyaqah?
3. Bagaimana rukun dan syarat Muzara’ah dan Musyaqah?

C. Batasan Istilah
Dalam penelitian ini agar tidak terjadinya kesalah pahaman penafsiran, maka dalam
hal iyu penulis membuat batasan istilah yang menjadi kajian khusus yang akan penulis teliti.
Pada makalah ini batasan istilah dalam ruang lingkup pemahaman Ahlussunnah wal Jammah
yang membahas tentang permasalahan Muzara’ah/Mukhabarah, Musyaqah, dan rukun dan
syarat Muzara’ah dan Musyaqah.

D. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui yang dimaksud dengan Muzara’ah/Mukhabrah
2. Mengetahui yang dimaksud dengan Musyaqah
3. Agar mengerti tentang rukun dan syarat Muzara’ah dan Musyaqah

1|Page
E. Kajian Terdahulu
Berbagai ragam penelitian tentang Muzara’ah/Mukhabrah dan Musyaqah telah
banyak dilakukan, beberapa penelitian yang berkaitan dengan kajian terdahulu akan diuraikan
dan digunakan sebagai bahan perbandingan bagi penulis.
Shania Verra Nita, Mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ponorogo dengan
judul Jurnal nya “Kajian Muzara'ah Dan Musaqah (Hukum Bagi Hasil Pertanian
Dalam Islam)”. Pada jurnal ini penulis membahas tentang Tujuan dari penelitian ini
untuk menganalisis kesesuaian sistem kerjasama bagi hasil dalam pertanian petani
muslim menurut Islam atau fiqh muamalah. Kajian ini berisi tentang faktor-faktor
yang melatarbelakangi kerjasama penggarapan lahan, pendapatan pemilik lahan
dengan petani penggarap, serta kesesuaian hukum muzara’ah dan musaqah dalam
kajian hukum Islam.1
Suyoto Arief & Adib Susilo, Mahasiswa Universitas Darussalam Gontor dengan judul
artikel nya “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Model Bagi Hasil Pada
Sektor Pertanian di Wilayah Karesidenan Madiun”. Pada artikel ini ini penulis
membahas tentang Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah faktor sosial
ekonomi, faktor produksi, faktor religiusitas dan faktor transparansi berpengaruh
terhadap pemilihan model bagi hasil pertanian di Karesidenan Madiun.2

1
Shania Verra Nita, “Kajian Muzara'ah Dan Musaqah (Hukum Bagi Hasil Pertanian Dalam Islam)”,
https://jurnal.iainkediri.ac.id/index.php/qawanin/article/download/2503/1132 (Online). Diakses pada 29 Juni
2021

2
Suyoto Arief & Adib Susilo, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Model Bagi Hasil Pada
Sektor Pertanian di Wilayah Karesidenan Madiun,
https://ejournal.umm.ac.id/index.php/JES/article/download/10091/7042 (Online). Diakses pada 29 Juni 2021

2|Page
BAB II
LANDASAN TEORI
A. AL-MUZARA’AH / AL-MUKHABARAH
a. Pengertian
Secara etimologi, al-muzara’ah berarti kerjasama di bidang pertanian antara pemilik
tanah dengan petani penggarap. Sedangkan dalam terminologi fiqh terdapat beberapa definisi
yang di kemukakan ulama’ fiqh. Ulama’ Malikiyah mendefinisikan dengan “perserikatan
dalam pertanian”. Menurut ulama Hanabilah “Penyerahan tanah pertanian kepada seorang
petani untuk di garap dan hasilnya di bagi dua.3
Dalam al-muzara’ah bibit yang akan di tanam boleh dari pemilik.
‫الشركة فى الزرع‬
Perserikatan dalam pertanian.
Menurut ulama Hanabilah al-muzara’ah adalah.

‫دفع االرض الى من يزرعها اؤ يعمل عليها والزرع بينهما‬

Penyerahan tanah pertanian kepada seorang petani untuk digarap dan hasilnya dibagi berdua.

Kedua definisi ini dalam kebiasaan Indonesia disebut sebagai “paroan sawah”
penduduk Irak menyebutnya “al-mukhabarah’ tetapi dalam al-mukhabrah, bibit yang akan
ditanam berasal dari pemilik tanah.

Imam as-Syafi’i mendefinisikan mukahbarah dengan:

‫عمل االرض ببعض ما يخرج منها والبذر من العامل‬

Pengelolaan tanah oleh petani dengan imbalan hasil pertanian, sedangkan bibit
pertanian disediakan penggarap tanah.
Dalam al-mudhrabah bibit yang akan ditanam disediakan oleh penggarap tanah,
sedangkan dalam al-muzara’ah bibit yang akan di tanam boleh dari pemilik.
b. Hukum Akad Al-Muzara’ah
Terjadi perbedaan pendapat para ulama’ dalam membahas hukum al-muzara’ah.
Imam Abu Hanifah (80-150 H 699-767 M) dan Zulfar Ibnu Huzail (728-774 M), pakar fiqh
Hanafi, berpendapat bahwa akad al-muzara’ah tidak boleh. Menurut mereka, akad al-
muzara’ah dengan bagi hasil, seperempat dan seperdua, hukumnya batal.
3
Haroen Nasrun. Fiqih muamalah. (Jakarta: Gaya Media Pratama. 2007). Hal 275-281.

3|Page
Rasulullah saw, melarang al-muzara’ah (HR Muslim)
Menurut mereka, obyek akad dalam al;muzara’ah belum ada dan tidak jelas
kadarnya, karena yang di jadikan imbalan untuk petani adalah hasil pertanian yang belum ada
(al-ma’dum) dan tidak jelas (al-jahalah) ukurannya, sehingga keu ntungan yang akan di bagi,
sejak semula tidak jelas. Boleh saja pertanian itu tidak menghasilkan, sehingga petani tidak
mendapatkan apa-apa dari hasil kerjanya. Obyek akad yang bersifat al-ma’dum dan al-
jahalah inilah yang membuat akad ini tidak sah. Adapun perbuatan Rasulullah saw. Dengan
penduduk Khaibar dalam hadits yang di riwayatkan al-jama’ah (mayoritas pakar hadits),
menurut mereka, bukan merupakan akad al-muzara’ah, adalah berbentuk al-kharaj al-
muqasamah, yaitu ketentuan pajak yang harus di bayarkan petani kepada Rasulullah setiap
kali panen dalam prosentase tertentu.

Ulama Syafi’iyah juga berpendapat bahwa akad al;muzara’ah tidak sah, kecuali
apabila al-muzara’ah mengikut pada akad al-musaqah (kerjasama pemilik kebun dengan
petani dalam mengelola pepohonan yang ada di kebun itu, yang hasilnya nanti di bagi
menurut kesepakatan bersama). Misalnya, apabila terjadi kerjasama dalam pengolahan
perkebunan, kemudian ada tanah kosong yang boleh di manfaatkan untuk al-
muzara’ah(pertanian), maka menurut ulama Syafi’iyah, akad al-muzara’ah boleh di lakukan.
Akad ini tidak berdiri sendiri, tetapi mengikut pada akad al-musaqah.

Ulama Malikiyah, Hanabilah, Abu Yusuf (113-182 H 731-798 M), Muhammad ibn
al-Hasan asy-Syaibani(748-804 M), keduanya sahabat Abu Hanifah, dan ulama azh-
Zhahiriyah berpendapat bahwa akad al-muzara’ah hukumnya boleh, karena akadnya cukup
jelas, yaitu menjadikan petani sebagai serikat dalam penggarapan sawah.

Menurut Mereka, dalam sebuah riwayat di katakana bahwa:

Rasulullah saw. Melakukan akad muzara’ah dengan penduduk Khaibar, yang hasilnya
di bagi antara Rasul dengan para pekerja. (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, an-Nasa’i,
Ibnu Majah, at-Tirmizi, dan Imam Ahmad ibn Hanbal dari Abdullah ibn Umar).

Menurut mereka akad ini bertujuan untuk saling membantu antara petani dengan
pemilik tanah pertanian. Pemilik tanah tidak mampu untuk mengerjakan tanahnya, sedangkan
petani tidak mempunyai tanah pertanian. Oleh sebab itu, wajar apabila antara pemilik tanah
persawahan bekerjasama dengan petani penggarap, dengan ketentuan bahwa hasilnya mereka
bagi sesuai dengan kesepakatan bersama. Menurut ulama Malikiyah danHanabilah, akad

4|Page
seperti ini termasuk dalam firman Allah dalam surah al-Ma’idah, 5:2 ynag berbunyi:
Bertolong-tolonganlah kamu atas kebajikan dan ketaqwaan dan jangan bertolong-tolongan
atas dosa dan permusuhan.

c. Rukun al-Muzara’ah

Jumhur ulama, yang membolehkan akad al-muzara’ah, mengemukakan rukun dan


syarat yang harus di penuhi, sehingga akad di anggap sah. Rukun al-muzara’ah menurut
mereka adalah:

a) Pemilik tanah
b) Petani penggarap
c) Obyek al-muzara’ah, yaitu antara manfaat tanah dengan hasil kerja petani.
d) Ijab (ungkapan penyerahan tanah dari pemilik tanah) dan qabul (pernyataan
menerima tanah untuk digarap dari petani). Contoh ijab qabul itu adalah “ Saya
serahkan tanah pertanian saya ini kepada kamu untuk di garap, dan hasilnya nanti kita
bagi berdua”. Kemudian petani penggarap menawab: “Saya terima tanah pertanian ini
untuk di garap dengan imbalan hasilnya di bagi dua”. Jika hal ini telah terlaksana,
maka akad itu telah sah dan mengikat. Namun, ulama Hanabilah mangatakan bahwa
penerimaan (qabul) al-muzara’ah tidak perlu dengan ungkapan, tetapi boleh juga
dengan tindakan, yaitu petani langsung menggarap tanah itu.

d. Syarat-syarat al-Muzara’ah

Adapun syarat-syarat al-muzara’ah, menurut jumhur ulama, ada yang menyangkut


orang yang berakad, benih yang akan di tanam, tanah yang di kerjakan, hsil yang akan di
panen, dan yang menyangkut jangka waktu berlakunya akad.

Untuk orang yang melakukan akad disyaratkan bahwa keduanya harus orang yang
telah balig dan berakal. Karena kedua syarat inilah yang membuat seseorang di anggap telah
cukup bertindak hukum. Pendapat lain kalangan ulama Hanafiyah menambahkan bahwa
salah seorang atau keduanya bukan orang yang murtad (keluar dari agma islam), karena
tindakan hukum orang yang murtad di anggap mauquf (tidak punya efek hukum, sampai ia
masuk islam kembali).

5|Page
Akan tetapi, Abu Yusuf dan Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani tidak menyetujui
syarat tambahan ini, karena, menurut mereka, akad al-muzara’ah boleh dilakukan antara
muslim dengan non islam, termasuk orang murtad.

Syarat yang menyangkut benih yang akan di tanam harus jelas, sehingga sesuai
dengan kebiasaan tanah itu benih yang di tanam itu jelas dan akan menghasilkan. Sedangkan
syarat yang menyangkut tanah pertanian adalah:

a. Menurut adat di kalangan para petani, tanah itu boleh di garap dan menghasilkan. Jika
tanah itu adalah tanah yang tandus dan kering, sehingga tidak memungkinkan di
jadikan tanah pertanian, maka akad al-muzara’ah tidak sah.
b. Batas-batas tanah itu jelas.
c. Tanah itu di serahkan sepenuhnya kepada petani untuk digarap. Apabila disyaratkan
bahwa pemilik tanah ikut mengolah pertanian itu, maka akad al-muzara’ah tidak sah.

Syarat-syarat yang menyangkut dengan hasil panen adalah sebagai berikut:

1) Pembagian hasil panen bagi masing-masing pihak harus jelas.


2) Hasil itu benar-benar milik bersama orang yang ber-akad, tanpa boleh ada
pengkhususan.
3) Pembagian hasil panen itu di tentukan setengah, sepertiga, atau seperempat sejak dari
awal akad, sehingga tidak timbul perselisihan di kemudian hari, dan penentuannya
tidak boleh berdasarkan jumlah tertentu secara mutlak, seperti satu kuintal untuk
pekerja, atau satu karung; karena kemungkinan seluruh hasil panen jauh di bawah
jumlah itu atau dapat juga jauh melampaui jumlah itu.

Syarat yang menyangkut jangka waktu uga harus di jelaskan dalam akad sejak
semula, karena akad al muzara’ah mengandung makna akad al-ijarah (sewa-menyewa atau
upah mengupah) dengan imbalan sebagian hasil panen. Oleh sebab itu, jangka waktunya
harus jelas. Untuk penentuan jangka waktu ini, biasanya di sesuaikan dengan adat kebiasaan
setempat.

Untuk obyek akad, jumhur ulama yang membolehkan al-muzara’ah mensyaratkan


juga harus jelas, baik berupa jasa petani, sehingga benih yang akan di tanam datangnya dari
pemilik tanah, maupun pemanfaatan tanah, maupun pemanfaatan tanah, sehingga benihnya
dari petani.

6|Page
Abu yusuf dan Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani menyatakan bahwa dilihat dari
segi sah atau tidaknya akad al-muzara’ah, ada 4 bentuk yaitu:

1) Apabila tanah dan bibit dari pemilik tanah, kerja dan alat dari petani, sehingga yang
menjadi obyek al-muzara’ah adalah jasa petani, maka hukumnya sah.
2) Apabila pemilik tanah hanya menyediakan tanah, sedangkan petani menyediakan
bibit, alat, dan kerja, sehingga yang menjadi obyek al-muzara’ah adalah manfaat
tanah, maka akad al-muzara’ah juga sah.
3) Apabila tanah,, alat, dan bibit dari pemilik tanah dan kerja dari petani, sehingga yang
menjadi obyek dari al-muzara’ah adalah asa petani, maka akad al-muzara’ah juga
sah.
4) Apabila tanah pertanian dan alat di sediakan pemilik tanah dan bibit serta kerja dari
petani, maka akad ini tidak sah. Menurut Abu Yusuf dan Muhammad ibn al-Hasan
asy-Syaibani, menentkan alat pertanian dari pemilik tanah membuat akad ini jadi
rusak, karena alat pertanian tidak boleh mengikut pada tanah. Menurut mereka,
manfaat alat pertanian itu tidak sejenis dengan manfaat tanah, karena tanah adalah
untuk menghasilkan tumbuh-tumbuhan dan buah, sedangkan manfaat alat hanya
untuk menggarap tanah. Alat pertanian, menurut mereka, harus mengikut kepada
petani penggarap, bukan kepada pemilik tanah.

e. Akibat Akad al-muzara’ah

Menurut jumhur ulama yang membolehkan akad al-muzara’ah, apabila akad ini telah
memenuhi rukun dan syaratnya, maka akibat hukumnya adalah sebagai berikut:

a) Petani bertanggung jawab mengeluarkan biaya benih dan biaya pemeliharaan


pertanian itu.
b) Biaya pertanian, seperti pupuk, biaya penuaian, serta biaya pembersihan tanaman,
ditanggung oleh petani dan pemilik tanah sesuai dengan prosentase bagian masing-
masing.
c) Hasil panen dibagi sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.
d) Pengairan di laksanakan sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. Apabila tidak
ada kesepakatan, berlaku kebiasaan di tempat masing-masing. Apabila kebiasaan
tanah itu diairi dengan air hujan, maka masing-masing pihak tidak boleh dipaksa
untuk mengairi tanah itu dengan melalui irigasi. Apabila tanah pertanian itu biasanya

7|Page
diairi melalui irigasi, sedangkan dalam akad disepakati menjadi tanggung jawab
petani, maka petani bertanggung jawab mengairi pertanian itu dengan irigasi.
e) Apabila salah seorang meninggal dunia sebelum panen, akad tetap berlaku sampai
panen, dan yang meninggal di wakili oleh ahli warisnya, karena jumhur ulama
berpendapat bahwa akad upah-mengupah(al-ijarah) bersifat mengikat kedua belah
pihak dan boleh di wariskan. Oleh sebab itu, menurut mereka, kematian salah satu
pihak yang berakad tidak membatalkan akad ini.

f. Berakhirnya Akad al-Muzara’ah

Para ulama fiqh yang membolehkan akad al-muzara’ah mengatakan bahwa akad ini
akan berakhir apabila:

1) Jangka waktu yang di sepakati berakhir. Akan tetapi, apabila jangka waktunya sudah
habis, sedangkan hasil pertanian itu belum layak panen, maka akad itu tidak di
batalkan sampai panen dan hasilnya dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama
diwaktu akad. Oleh sebab itu, dalam menunggu panen itu, menurut jumhur ulama,
petani berhak mendapatkan upah sesuai dengan upah minimal yang berlaku bagi
petani setempat. Selanjutnya, dalam menunggu masa panen itu biaya tanaman, seperti
pupuk, biaya pemeliharaan, dan pengairan merupakan tanggung jawab bersama
pemilik tanah dan petani, sesuai dengan prosentase pembagian masing-masing.
2) Menurut ulama Hanafiyah dan Hanabilah, apabila salah seorang yang berakad wafat,
maka akad ini berakhir, karena mereka berpendapat bahwa akad al-ijarah tidak boleh
di wariskan. Akan tetapi ulama Malikiyah dan ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa
akad al-muzara’ah itu dapat di wariskan. Oleh sebab itu tidak berakhir dengan
wafatnya salah satu pihak yang berakad.
3) Adanya uzur dari salah satu pihak, baik dari pihak pemilik tanah maupun dari pihak
petani yang menyebabkan mereka tidak boleh melanjutkan akad al-muzara’ah itu.
Uzur dimaksud antara lain adalah:
a. Pemilik tanah terbelit utang, sehingga tanah pertanian itu harus ia jual, karena tidak
ada harta lain yang dapat melunasi utang itu. Pembatalan ini harus dilaksanakan
melalui campur tangan haki. Akan tetapi, apabila tumbuh-tumbuhan itu telah berbuah,
tetapi belum layak panen, maka tanah itu tidak boleh di jual sampai panen.
b. Adanya uzur petani, seperti sakit atau harus melakukan suatu perjalanan ke luar kota,
sehingga ia tidak mampu melaksanakan pekerjaanya.

8|Page
B. MUSYAQAH
a. Arti, Landasan, Rukun dan Perbedaan dengan Mujara’ah
a) Arti Musyaqah

Menurut etimologi, Musyaqah adalah salah satu bentuk penyiraman. Orang Madinah
menyebutnya dengan istilah muamalah. Akan tetapi, istilah yang lebih dikenal adalah
Musyaqah.

Adapun menurut terminologi Islam adalah:4

‫معاقدة دفعاالشجار الى من يعمل فيها على ان الثمرة بينهما‬

Artinya: “Sesuatu akad dengan memberikan pohon kepada penggaran agar di kelola dan
hasilnya di bagi diantara keduanya.”

b) Asas Legalitas

Musyaqah menurut ulama Hanafiyah seperti mujara’ah, baik dalam hukum dan
persyaratan yang memungkinkan terjadi musyaqah. Abu hanifah dan Abu jarah tidak
membolehkan nya,dengan mendasarkan pendapatnya pada hadits:

)‫من كانت له ارض فاليزرعها واليكريها بثلث البربع والبطعام (متفاق عليه‬

Artinya: “Barang siapa yang memiliki tanah, hendaklah mengelolanya, tidak boleh
menyewakan nya dengan sepertiga atau seperempat, dan tidak pula dengan makanan yang
telah di tentuka. (Muttafaq alaih).”

Abu yusuf dan muhammad (dua sahabat abu hanifah), dan jumhur ulama (imam
Malik,imam Syafi’I,dan imam Ahmad) memperbolehkan musyaqah yang didasarkan pada
muamalah rasulullah SAW bersama orang Khaibar.

c) Perbedaan antara musyaqah dan mujara’ah

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa musyaqah, sama dengan mujara’ah, kecuali dalam
empat perkara:

1) Jika salah seorang yang menyepakati akad tidak memenuhi akad, dalam musyaqah, ia
harus di paksa,tetapi dalam mujara’ah, ia tidak boleh di paksa.
4
Syafe’I, Rachmad, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka setia. 2001) hlm. 212

9|Page
2) Jika waktu musyaqah habis,akad di teruskan sampai berbuah tanpa pemberian upah,
sedangkan dalam mujara’ah. Jika waktu habis, pekerjaan di teruskan dengan
pemberian upah.
3) Waktu dalam musyaqah di tetapkan berdasarkan ihtisan, sebab dapat diketahui
dengan tepat, sedangkan waktu dalam mujara’ah terkadang tertentu.
4) Jika pohon di minta oleh selain pemilik tanah pengara di beri upah. Sedangkan dalam
mujara’ah jika di minta sebelum menghasilkan sesuatu penggarap tidak mendapatka
apa-apa.

b. Syarat-Syarat Musyaqah

Syarat-Syarat Musyaqah sebenarnya tidak berbeda dengan persyaratan yang ada


dalam Mujara’ah. Hanya saja pada Musyaqah tidak disyaratkan untuk menjelaskan jenis
benih, pemilik benih, kelayakan kebun, serta ketetapan waktu. Beberapa Syarat Musyaqah
adalah:

a. Ahli dalam akad


b. Menjelaskan bagian penggarap
c. Membebaskan pemilik dari pohon
d. Hasil dari pohon dibagi antara dua orang yang melangsungkan akad
e. Sampai batas akhir, yakni menyeluruh sampai akhir

c. Rukun Musyaqah

Jumhur Ulama’ menetapkan bahwa rukun Musyaqah ada 5, yaitu berikut ini:

1) Dua orang yang akad (al-aqidani). Al-Aqidani disyaratkan harus baligh dan berakal.
2) Objek Musyaqah. Objek Musyaqah menurut ulama Hanafiyah5 adalah pohon-pohon
yang berbuah, seperti kurma. Akan tetapi, menurut sebagian ulama Hanafiyah lainnya
dibolehkan Musyaqah atas pohon yang tidak berbuah sebab sama-sama membutuhkan
pengurusan dan siraman.
3) Buah. Disyaratkan menentukan buah ketika akad untuk kedua pihak.
4) Pekerjaan. Disyaratkan penggarap harus bekerja sendiri. Jika disyaratkan bahwa
pemilik harus bekerja atau dikerjakan secara bersama-sama, akad menjadi tidak sah.

5
Syafe’I, Rachmad, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka setia, 2001) hlm 212-221.

10 | P a g e
5) Shigat. Menurut ulama Syafi’iyah, tidak dibolehkan menggunakan kata ijarah
(sewaan) dalam akad Musyaqah sebab berlainan akad.

d. Hukum Musyaqah Shahih dan fasid (Rusak)


a) Hukum Musyaqah Shahih

Musyaqah Shahih menurut para ulama memiliki beberapa hukum dan ketetapan.

1) Menurut ulama Hanafiyah, hukum musyaqah shahih adalah berikut ini.


a. Segala perkerjaan yang berkenaan dengan pemeliharaan pohon yang di serahkan
kepada penggarap. Sedangkan biaya yang di perlukan dalam pemeliharaan di bagu
dua.
b. Hasil dari musyaqah dibagi berdasarkan kesepakatan.
c. Jika pohon tidak menghasilkan sesuatu, keduanya tidak mendapatkan apa-apa.
d. Akad adalah lazim dari kedua belah pihak. Dengan demikian, pihak yang berakad
tidak dapat membatalkan akad tanpa izin salah satunya.
e. Pemilik boleh memeriksa penggarap untuk bekerja, kecuali ada udzur.
f. Boleh menambah hasil dari ketetapan yang telah di sepakati.
g. Penggarap tidak mendapatkan musyaqah kepada penggarap lain, kecuali di
izinkan oleh pemilik,namun demikian,penggarap awal tidak mendapat apa-apa
dari hasil, sedangkan penggarap kedua berhak mendapatkan upah sesuai dengan
pekerjaannya.
2) Menurut Ulama malikiyah pada umumnya menyepakati hukum-hukum yang di
tetapkan ulama hanafiyah di atas. Namun demikian, mereka berpendapat dalam
pengarapan.
a. Sesuatu yang tidak berhubungan dengan buah tidak wajib di kerjakan tidak boleh
di syaratkan.
b. Sesuatu yang berkaitan dengan buah yang membekas di tanah, tidak wajib di
bebeni oleh penggarap.
c. Sesuatu yang berkaitan dengan buah, tetapi tidak tetap adalah kewajiban
penggarap,seperti menyiram atau menyediakan alat garapan.dan lain-lain.
3) Ulama syafi’iyah dan hanabilah sepakat dengan ulama malikiyah dalam membatasi
pekerjaan penggarap di atas.dan menambahkan bahwa segala pekerjaan yang rutin

11 | P a g e
setiap tahun adalah kewajiban penggarap, sedangkan pekerjaan yang tidak rutin
adalah kewajiban pemilik tanah.
b) Hukum dan dampak musyaqah fasid.

Musyaqah fasid adalah akad yang tidak memenuhi persayaratan yang telah di
tetapkan syara’. Beberapa keadaan yang telah di tetapkan syara’.beberapa keadaan yang
dapat di katgorikan musyaqah fasidah menurut ulama Hanafiyah antara lain.

1. Mensyaratkan hasil musyaqah bagi salah seorang dari yang akad.


2. Mensyaratkan salah satu bagian tertentu bagi yang akad.
3. Mensyaratkan pemilik untuk ikut dalam penggarap.
4. Mensyaratka pemetik dan kelebihan kepada penggarap, sebab penggarap hanya
berkewajiban memelihara tanaman sebelum dipetik hasilnya. Dengan demikian,
pemeriksa dan hal tambahan merupakan kewajiban dua orang yang akad.
5. Mensayaratkan penjagaan kepada penggarap setelah pembagian.
6. Mensyaratkan kepada penggarap untuk terus bekerja setelah habis waktu akad.
7. Bersepakat sampai batas waktu menurut kebiasaan.
8. Musyaqah digarap oleh banyak orang sehingga penggarap membagi lagi kepada
penggarap lainnya.

Dampak Musyaqah fasid menurut para ulama:

1) Menurut ulama Hanafiyah:


a. Pemilik tidak boleh memaksa penggarap untuk bekerja.
b. Semua hasil adalah hak pemilik kebun.
c. Jika Musyaqah rusak, penggarap berhak mendapatkan upah.
2) Menurut ulama Malikiyah, jika Musyaqah rusak sebelum penggarapan, upah tidak
berikan. Sebaliknya, apabila Musyaqah rusak setelah penggarap bekerja atau pada
pertengahan Musyaqah, penggarap berhak mendapatkan upah atas pekerjaannya, baik
sedikit maupun banyak.
3) Ulama Hanifiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa jika buah yang keluar setelah
penggarapan ternyata bukan milik orang yang melangsungkan akad dengannya, si
penggarap berhak mendapatkan upah atas pekerjaannya sebab dia telah kehilangan
manfaat dari jeri payahnya dalam Musyaqah.

12 | P a g e
e. Habis Waktu Musyaqah
a. Menurut Ulama Hanafiyah
1. Habis waktu yang telah disepakati
2. Meninggalnya salah seorang yang akad
3. Membatalkannya, baik dengan ucapan secara jelas atau adanya uzur
b. Menurut Ulama Malikiyah

Ulama malikiyah berpendapat bahwa musyaqah adalah akad yang dapat diwariskan.
Dengan demikian, ahli waris penggarap berhak untuk meneruskan garapan. Akan tetapi, jika
ahli warisnya menolak, pemilik harus menggarapnya.

Musyaqah dianggap tidak batal jika penggarap diketahui seorang pencuri, tukang
berbuat zalim atau tidak dapat bekerja. Penggarap boleh memburuhkan orang lain untuk
bekerja. Jika tidak memilik modal, ia boleh mengambil bagiannya dari upah yang
diperolehnya bila tanaman telah berbuah. Ulama Malikiyah beralasan bahwa musyaqah
adalah akad yang lazim yang tidak dapat dibatalkan karena adanya uzur, juga tidak dapat
dibatalkan dengan pembatalan sepihak sebab harus ada kerelaan diantara keduanya.

c. Menurut Ulama Syafi’iyah

Ulama syafi’iayah berpendapat bahwa musyaqah tidak batal dengan adanya uzur,
walaupun diketahui bahwa penggarap berkhianat. Akan tetapi, pekerjaan penggarap harus
diawasi oleh seorang pengawas sampai penggarap menyelesaikan pekerjaannya. Jika
pengawas tidak mampu mengawasinya, tanggung jawab dicabut kemudian diberikan kepada
penggarap yang upahnya diambil dari harta penggarap.

Menurut ulama Syafi’iyah, musayaqah slesai jika habis waktunya.jika buah kluar
setelah habis waktu, penggarap tudak berhak atas hasilnya. Akan tetapi, jika akhir waktu
musyaqah buah belum matang, penggarap berhak atas bagiannya dan meneruskan
pekerjaanya.

Musyaqah dipandang btala jika penggarap meninggal, tetapitidak dianggap batal jika
pemiliknya meninggal. Penggarap meneruskan pekerjaannya sampai mendapatkan hasilnya.
Akan tetapi, jika seorang ahli warisnya pun meninggal, akad menjadi batal.

d. Menurut Ulama Hanabilah

13 | P a g e
Ulama hanabilah berpendapat bahwa musyaqah sama dengan mujara’ah, yakni
termasuk akad yang dibolehkan, tetapi tidak lazim. Dengan demikian, setiap sisi dari
musyaqah dapat membatalkannya. Jika musyaqah rusak setelah tampak buah , buah tersebut
dibagikan kepada pemilik dan penggarap sesuai dengan perjanjian awal waktu dan dengan
catatan penggarap berkewajiban menyempurnakan pekerjaannya meskipun musyaqah rusak.

Jika penggarap meninggal, musyaqah di pandang tidak rusak, tetapi dapt diteruskan
oleh ahli warisnya. Jika ahli waris menolak, mereka tidak boleh dipaksa, tetappi hakim dapat
menyuruh orang lainuntuk mengelolanya dan upah diambil dari tirkah (peninggalannya).
Akan tetapi jika tidak memilki tirkah, upah tersebut diambil dari bagian penggarap sebatas
yang dibutuhkan ssehingga musyaqah sempurna.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Secara etimologi, al-muzara’ah berarti kerjasama di bidang pertanian antara pemilik
tanah dengan petani penggarap.

14 | P a g e
2. Ulama Syafi’iyah juga berpendapat bahwa akad al;muzara’ah tidak sah, kecuali
apabila al-muzara’ah mengikut pada akad al-musaqah (kerjasama pemilik kebun
dengan petani dalam mengelola pepohonan yang ada di kebun itu, yang hasilnya nanti
di bagi menurut kesepakatan bersama).
3. Jumhur ulama, yang membolehkan akad al-muzara’ah, mengemukakan rukun dan
syarat yang harus di penuhi, sehingga akad di anggap sah.
4. Syarat-Syarat Musyaqah sebenarnya tidak berbeda dengan persyaratan yang ada
dalam Mujara’ah. Hanya saja pada Musyaqah tidak disyaratkan untuk menjelaskan
jenis benih, pemilik benih, kelayakan kebun, serta ketetapan waktu.
5. Adapun syarat-syarat al-muzara’ah, menurut jumhur ulama, ada yang menyangkut
orang yang berakad, benih yang akan di tanam, tanah yang di kerjakan, hsil yang akan
di panen, dan yang menyangkut jangka waktu berlakunya akad.
6. Menurut etimologi, Musyaqah adalah salah satu bentuk penyiraman. Orang Madinah
menyebutnya dengan istilah muamalah. Akan tetapi, istilah yang lebih dikenal adalah
Musyaqah.
7. Syarat-Syarat Musyaqah sebenarnya tidak berbeda dengan persyaratan yang ada
dalam Mujara’ah. Hanya saja pada Musyaqah tidak disyaratkan untuk menjelaskan
jenis benih, pemilik benih, kelayakan kebun, serta ketetapan waktu. Beberapa Syarat
Musyaqah adalah:
a. Ahli dalam akad
b. Menjelaskan bagian penggarap
c. Membebaskan pemilik dari pohon
d. Hasil dari pohon dibagi antara dua orang yang melangsungkan akad
e. Sampai batas akhir, yakni menyeluruh sampai akhir

8.

15 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA

Nasrun, Haroen. 2007. Fiqih muamalah. Jakrta: Gaya Media Pratama.


Rachmad, Syafe’I. 2001. Fiqih Muamalah, Pustaka setia: Bandung.

16 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai