Umi Rofiqoh
2
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................4
1.1 Latar Belakang.........................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................5
1.3 Tujuan......................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................6
2.1 Definisi Akad Musaqah dan Pendapat Ulama Tentang Akad Musaqah. .6
2.2 Rukun dan Syarat Akad Musaqah............................................................8
2.3 Hal yang Membatalkan Akad Musaqah...................................................9
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Istilah dalm ilmu fiqih dikenal dengan muamalah yaitu membahas tentang
hubungan manusia dengan manusia lainnya. Misalnya dalam persoalan jual-beli,
utang-piutang, kerjasama dagang, perserikatan, kerjasama dalam penggarapan tanah
dan sewa menyewa1. Salah satu bentuk kerja sama muamalah masyarakat adalah akad
musaqah yang di pratikan oleh masyarakat hampir diseluruh dunia termasuk
masyarakat yang beragama islam. Akad musaqah mengandung unsur tolong
menolong (tabarru). Allah SWT. Memerintahkan kepada manusia agar saling
membantu dan tolong menolong dalam kebaikan. Kerjasama yang terjadi antara
pemilik pohon dengan pekerja perawat pepohonan disebut musaqah. Musaqah
termasuk jenis pekerjaan yang telah dilakukan orang-orang sejak dahulu kala, karena
kebutuhan mereka atas pekerjaan itu menguntungkan satu sama lain. Jadi musaqah
diperbolehkan demi kebaikan kedua belah pihak dalam rangka mewujudkan kebaikan
serta menghilangkan kerugian.
Dalam usaha pertanian, tidak semua orang memiliki kemampuan mengelolah
tanah dan mengelolah lahan perkebunan. Adakalanya seorang pemilik kebun juga
tidak dapat mengelolah kebunnya karena adanya kesibukan lain sehingga kebunnya
menjadi terlantar dan terkadang ada orang yang memiliki kemampuan bertani tetapi
tidak memiliki lahan pertanian.2
Musaqah ialah pemilik kebun yang memeberikan kebunnya kepada tukang
kebun agar dipelihara dan penghasilan yang di dapat dari kebun itu dibagi antara
keduanya, menurut perjanjian keduanya sewaktu akad. Akad semacam ini
diperbolehkan oleh agama, sebagai solusi bagi umat yang perjalan hidupnya berbeda
atau gaya hidupnya berbeda-beda. Hal semacam ini terjadi karena dipengaruhi oleh
sumber perekonomian yang berbeda. Maka dengan adanya akad musaqah yang
diperbolehkan agama keduanya dapat saling membantu satu sama lain sehingga
tercipta kehidupan yang baik.
1
Eka Sakti Habibullah, Prinsip Prinsip Muamalah Dalam Islam, Ad-Deenar: Jurnal Pernamkam Syariah, (2018),
h.30.
2
Alimuddin, Praktek Musaqah dalam Masyarakat Aceh Utara (suatu usaha analisi perspektif hadist), Al-
Mabhats: Jurnal Penelitian Sosial Agama, 2.1 (2017). h .2
4
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari akad musaqah dan pendapat ulama tentang akad musaqah?
2. Apa saja rukun dan syarat akad musaqah?
3. Hal apa saja yang dapat membatal akad musaqah?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk memahami dan mengetahui definisi dari akad musaqah dan pendapat ulama
tentang akad musaqah
2. Untuk mengetahui rukun dan syarat apa saja yang terdapat dalam akad musaqah
3. Untuk mengetahui hal apa saja yang dapat membatakan akad musaqah.
5
BAB II
PEMBAHASAN
6
Menurut Malikiyah, Musaqah ialah:
ِ ُْت باَألر
ض ُ َما يَ ْنب
“Sesuatu yang tumbuh ditanah”.9
Menurut Malikiyah, sesuatu yang tumbuh ditanah terbagi menjadi lima
macam, yaitu sebagai berikut:
a. Pohon-pohon tersebut berakar kuat (tetap) dan berbuah. buah itu dipetik serta
pohon tersebut tetap ada dengan waktu yang lama, misalnya pohon anggur dan
zaitun.
b. Pohon-pohon tersebut berakar tetap, tetapi tidak berbuah, seperti pohon kayu
keras, karet dan jati.
c. Pohon-pohon tersebut tidak berakar kuat, tetapi berbuah dan dapat dipetik seperti
padi.
d. Pohon-pohon yang tidak berakar kuat dan tidak ada buahnya yang dapat dipetik,
tetapi memiliki kembang yang bermanfaat seperti bunga mawar.
e. Pohon-pohon yang diambil manfaatnya bukan hanya buahnya, seperti tanaman
hias yang ditanam dihalaman rumah dan ditempat lainnya.
Sedangkan menurut ulama syafi’iyah mendefinisikan dengan:
َ ك نَحْ الً َأوْ ِعنَبًا َسحْ صًا َأ َخ َر َعلَى َأ ْن يُبَا ِش َر ثانِي ِه َما النَّ ْخ َل أو ال ِعن
َب بِال َّسقِى َوالتَّرْ بِيَ ِة ُ ِِإ ْن يُ َعا َم َل َشخص يَ ْمل
ُك َولَهُ فِي نَ ِظيْر َع َمل ِه ج ُْزا ٌء َم َعي ٌَّن ِمنَ ال َّد َم ِر الَّ ِذي يَحْ ُر ُج ِم ْنه َ َِو ْال ِح ْن ِظ َونَحْ و َذل
“memperkejakan petani untuk menggarap kurma atau pohon anggur saja dengan
cara mengairi dan merawatnya dan hasil kurma atau anggur itu dibagi bersama
antara pemilik dengan petani penggarap.”10
Menurut ulama Hanabilah, musaqah mencakup dua masalah berikut ini:11
a. Pemilik menyerahkan tanah yang sudah ditanami seperti pohon anggur, kurma
dan yang lainnya. Baginya ada buah yang dapat dimakan sebagai bagian
tertentu dari buah pohon tersebut seperti sepertiganya atau setengahnya.
b. Seseorang menyerahkan tanah dan pohon, pohon tersebut belum ditanami,
maksudnya supaya pohon tersebut ditanam pada tanahnya, yang menananm
akan memperoleh bagian tertentu dari buah dan pohon yang ditanamnya. Yang
9
Ibid., hlm, 146.
10
Nasrun Hareon, Fiqh Muamalah, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2000, hlm 281-282.
11
Ibid., hlm 147.
7
kedua ini disebut munashabah mugharasah karena pemilik meyerahkan tanah
dan pohon-pohon untuk ditanamkannya.
Dengan demikian akad al-musaqah adalah sebuah bentuk kerjasama
pemilik kebun dengan petani penggarap dengan tujuan agar kebun itu
dipelihara dan dirawat sehingga memberikan hasil yang maksimal. Kemudian
segala sesuatu yang dihasilkan pihak kedua berupa buah adalah hak bersama
antara pemilik dan penggarap sesuai dengan kesepakatan yang mereka buat.
12
Ibid, hlm, 283.
13
Hendi Suhendi, Op,Cit., hlm 148-149.
8
3. Hal yang Membatalkan Akad Musaqah.
Apabila penggarap tidak mampu bekerja keras karena sakit atau
berpergian yang mendesak, maka musaqah menjadi batal (fasakh), apabila
dalam akad musaqah disyaratkan bahwa penggarap harus menggarap secara
langsung (tidak diwakili) jika tidak disyaratkan demikian berupa buah adalah
hak bersama antara pemilik dan penggarap sesuai dengan kesepakatan yang
mereka buat, maka musaqah tidak menjadi batal tetapi penggarap diwajibkan
untuk mendapatkan penggantinya selama ia berhalangan itu. Pendapat ini
dikemukakan oleh Mazhab Hanafi.
Kemudian apabila si penggarap tidak mampu menggarap tugasnya
sedangkan penjualan hasil kebun sudah waktunya. menurut Imam Malik
penggarap berkewajiban menyewa orang lain untuk menggantikan tugasnya
dan orang kedua ini tidak memperoleh bagian yang dihasilkan dari musaqah
karena orang kedua ini di bayar oleh penggarap (musaqi) sesuai dengan
perjajian. Sedangkan menurut Imam Syafi’I berpendapat bahwa musaqah
batal apabila pengelolah tidak lagi mampu bekerja untuk mengurus kebun
yang ada sebab si penggarap telah kehilangan kemampuan untuk
menggarapnya. 14
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN.
14
Abdul Rahman Ghazali, loc cit.
9
Akad al-musaqah adalah sebuah bentuk kerjasama pemilik kebun dengan petani
penggarap dengan tujuan agar kebun itu dipelihara dan dirawat sehingga memberikan
hasil yang maksimal. Kemudian segala sesuatu yang dihasilkan pihak kedua berupa buah
adalah hak bersama antara pemilik dan penggarap sesuai dengan kesepakatan yang
mereka buat.
Rukun-rukun musaqah menurut menurut ulama Syafi’iyah terdiri dari lima, yaitu
shigat, dua orang atau pihak yang berakad (al-aqidun), kebun dan semua pohon yang
berbuah, masa kerja dan buah.
Akad musaqah akan batal apabila penggarap tidak mampu bekerja keras karena sakit
atau berpergian yang mendesak, maka musaqah menjadi batal (fasakh), apabila dalam
akad musaqah disyaratkan bahwa penggarap harus menggarap secara langsung (tidak
diwakili) jika tidak disyaratkan demikian berupa buah adalah hak bersama antara pemilik
dan penggarap sesuai dengan kesepakatan yang mereka buat, maka musaqah tidak
menjadi batal tetapi penggarap diwajibkan untuk mendapatkan penggantinya selama ia
berhalangan itu.
DAFTAR PUSTAKA
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih, Prenada Media, Jakarta, 2003, hlm 243.
Ibid.
10
Hendi Suhendi, Op,cit, hlm 145. Saleh Al-Fauzan, Fiqh Sehari-hari, (Jakarta; Gema Insani
Press, 2005), hal 476.
Muhammmad Syafi’I Antonio, Bank Syariah Dari Teori kr Praktik, Jakarta: Gema Insani,
20001, hlm 100.
Hendi Suhendi, Op.,Cit, hlm 145.
Ibid., hlm, 146.
Nasrun Hareon, Fiqh Muamalah, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2000, hlm 281-282.
Ibid., hlm 147.
Hendi Suhendi, Op,Cit., hlm 148-149.
Abdul Rahman Ghazali, loc cit.
11