Anda di halaman 1dari 26

TUGAS TERSTRUKTUR DOSEN PEMBIMBING

FIQH MU’AMALAH SULAIMAN, S. AG, M, SY

KONSEP MUSAQQAH, MUZARA’AH DAN MUKHABARAH

OLEH:

NURUL HASANAH YURISTIA SIBORO (12030421538)

NUR HADHIRAH BINTI AHMAD RAMZI (12030426115)

PRODI ILMU HADIST 5C

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU

1444 H/2022 M
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami kehadirat allah SWT. karena dengan rahmat, karunia dan hidayah-Nya
saya dapat menyelesaikan makalah sesuai dengan waktu yang ditetapkan. Kemudian tidak lupa
pula saya haturkan shalawat serta salam kepada junjungan Nabi Muhammad SAW. semoga
syafaatnya mengalir kepada kita di hari akhirat kelak.

Kami ingin mengucapkan terima kasih kepada ustadz Sulaiman, S. Ag, M, Sy, selaku
dosen pengampu mata kuliah “fiqh mu’amalah” yang telah memberikan kami kepercayaan untuk
menyelasaikan tugas makalah kami yang berjudul “konsep musaqqah, muzara’ah, mukhabarah.”

Semoga tugas yang diberikan ini dapat menambah wawasan bagi kita semua, dan dalam
pembuatan makalah ini, kami menyelesaikannya dengan semaksimal mungkin, namun tidak
begitu tidak pula menutup kemungkinan bahwa terdapat kesalahan dalam penulisan makalah ini,
untuk itu diperlukan kritik dan saran yang bersifat membangun. Dengan demikian kami
mengucapkan terima kasih.

Pekanbaru, 7 November 2022

Pemakalah

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .........................................................................................ii


DAFTAR ISI ...................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 4
A. Latar Belakang .................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah............................................................................... 4
C. Tujuan Pembahasan ............................................................................ 4
BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................... 5
A. Definisi Musaqqah, Muzara’ah, dan Mukhabarah ............................. 5
B. Dasar Hukum Musaqqah, Muzara’ah, dan Mukhabarah .................... 7
C. Rukun-Rukun Musaqqah, Muzara’ah, dan Mukhabarah .................. 15
D. Syarat-Syarat Musaqqah, Muzara’ah, dan Mukhabarah .................. 17
E. Perbedaan Akad Musaqqah, Muzara’ah, dan Mukhabarah .............. 18
F. Berakhirnya Akad Musaqqah, Muzara’ah, dan Mukhabarah ........... 19
BAB III PENUTUP ........................................................................................... 23
A. Kesimpulan ....................................................................................... 23
B. Saran ................................................................................................. 25
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 26

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Muzara’ah yaitu kerja sama antara pemilik tanah dan si penggarap dengan perjanjian
bagi hasil yang jumlahnya menurut kesepakatan bersama, sedang benih (bibit
tanaman berasal dari pemilik tanah) apabila dalam kerjasama ini bibit disediakan oleh si
penggarap maka secara khusus kerja sama ini disebut al-mukhabarah.
Dalam musaqqah, muzara’ah, dan mukhabarah biasanya terjadi di kalangan masyarakat
saat ini, meskipun syarat dan ketentuan sudah ada tetapi masih saja sering terjadi
kesalahpahaman antara pemilik tanah dengan si penggarap, terutama dari segi hasilnya
yang harus dibagi tetapi perolehan panen tidak sesuai dengan harapannya dan juga
mengenai benih yang ingin di tanam oleh si penggarap.
Dari permasalahan ini, pemakalah ingin membahas tentang konsep Musaqqah,
Muzara’ah, dan Mukhabarah yang bertujuan untuk menjelaskan hal-hal yang berkaitan
masalah diatas dan menjadikan ini sebuah makalah untuk meluruskan dari
kesalahpahaman atau ketidaktahuan kita dan ini juga menjadi tambahan khazanah ilmu
pengetahuan kita.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksudkan dengan musaqqah, muzara’ah, dan mukhabarah?
2. Apa saja dasar hukum yang terdapat pada musaqqah, muzara’ah, dan mukhabarah?
3. Apa saja rukun serta syarat pada musaqqah, muzara’ah, dan mukhabarah?
4. Dimana letak perbedaan antara musaqqah, muzara’ah, dan mukhabarah ini?
5. Bagaimanakah berakhirnya musaqqah, muzara’ah, dan mukhabarah?

C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui maksud dari musaqqah, muzara’ah, dan mukhabarah.
2. Untuk mengetahui dasar hukum pada musaqqah, muzara’ah, dan mukhabarah.
3. Untuk mengetahui rukun dan syarat dari musaqqah, muzara’ah, dan mukhabarah.
4. Untuk mengetahui letak perbedaan antara musaqqah, muzara’ah, dan mukhabarah.
5. Untuk mengetahui berakhirnya musaqqah, muzara’ah, dan mukhabarah.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Musyaqah, Muzara’ah Dan Mukhabarah


1. Definisi Musyaqah
Musaqqah secara etimologi, berarti transaksi dalam pengairan yang oleh
penduduk Madinah disebut dengan al-mu’amalah. Secara terminologis fiqh,
musaqqah didefinisikan oleh para ulama fiqh dengan: “Penyerahan sebidang kebun
pada petani untuk digarap dan dirawat dengan ketentuan bahwa petani mendapatkan
bagian dari hasil kebun itu.”
Ulama Syafi’iyah mendefinisikannya dengan:
“Mempekerjakan petani penggarap untuk menggarap kurma atau pohon anggur
saja dengan cara mengairi dan merawatnya dan hasil kurma atau anggur itu dibagi
bersama antara pemilik dengan petani penggarap.”
Dengan demikian, akad musaqah adalah sebuah bentuk kerjasama pemilik
kebun dengan petani penggarap dengan tujuan agar kebun itu dipelihara dan dirawat
sehingga memberikan hasil yang maksimal.
Jumhur ulama fiqh, termasuk Abu Yusuf dan Muhammad ibn al-Hasan asy-
Syaibani, keduanya tokoh fiqh Hanafi, berpendirian bahwa akad musaqah dibolehkan
yang bersumber dari sebuah hadits dari ‘Abdullah ibn ‘Umar yang menyatakan:
“Bahwa Rasulullah SAW. melakukan kerjasama perkebunan dengan penduduk
Khaibar dengan ketentuan bahwa mereka mendapatkan sebagian dari hasil kebun atau
pertanian itu.” (HR. al-Jama’ah [mayoritas pakar hadits]).1

2. Definisi Muzara’ah
Muzara’ah menurut bahasa, Al-muzara’ah memiliki dua arti, yang pertama Al-
muzara’ah yang berarti Tharh Al-Zur’ah (melemparkan tanaman), maksudnya adalah
modal (Al-Hadzar). Makna yang pertama adalah makna majaz dan makna yang kedua
ialah makna hakiki. Secara etimologis berasal dari kata dari kata az-zar’u yang berarti
penanaman atau pengolahan. Adapun muzara’ah secara terminologis adalah kerja
sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, dimana pemilik lahan

1
http://repositori.uin-alauddin.ac.id/6411/1/Andi%20Arwini.pdf diakses pada 11 disember 2022

5
memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara
dengan imbalan bagian tertentu (persentase) dari hasil panen. Menurut Afzalur
Rahman, mengemukakan bahwa muzara’ah (system bagi hasil) adalah sistem
kerjasama antara pemilik lahan (tanah) dengan petani penggarap (pekerja) dengan
ketentuan pemilik lahan menerima bagian tertentu yang telah ditetapkan dari hasil
produksi, bisa ½ (setengah), 1/3 (sepertiga) atau ¼ (seperempat) dari petani penggarap
berdasarkan kesepakatan dalam perjanjian dan umumnya pembayaran diberikan
dalam bentuk hasil bumi.
Secara sederhana dapat dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan sistem bagi
hasil adalah “Perjanjian pengolahan tanah, dengan upah sebagian dari hasil yang
diperoleh dari pengolahan tanah itu”. Ahli lain memberikan definisi bahwa yang
dimaksud dengan sistem bagi hasil disebutnya mukharabah yakni satu pihak
menyediakan modal dan pihak lain memanfaatkannya untuk tujuantujuan usaha,
berdasarkan kesepakatan bahwa keuntungan dari usaha tersebut akan dibagi menurut
bagian yang ditentukan.
Bertitik tolak dari beberapa pandangan yang dikemukakan diatas, dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan bagi hasil adalah pembagian keuntungan
dari hasil usaha (kebun/tanah) antara pekerja (petani penggarap) dengan pemodal
(pemilik lahan) karena pemilik lahan tidak memiliki kemampuan memproduktifkan
lahannya, sehingga ia memberikan lahannya kepada orang lain untuk diproduktifkan
dengan ketentuan bagi hasil atau mukharabah. Maka perlu dipahami bahwa jika harta
berupa tanah dipersewakan dengan system mukharabah di sebut dengan muzara’ah.
Apabila yang dipekerjakan itu berupakebun maka ia disebut dengan musaqa.2

3. Definisi Mukhabarah
Dalam kamus, mukhabarah ialah kerja sama pengolahan pertanian antara lahan
dan penggarap, lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara
dengan imbalan tertentu persentase dari hasil panen yang benihnya berasal dari
penggarap.Bentukkerja sama antara pemilik tanah dan penggarap dengan perjanjian
bahwa hasilnya akan dibagi menurut kesepakatan biaya dan benihnya dari pemilik
tanah. Ulama syafi’iyah membedakan antara muzara’ah dan mukhabarah yaitu:

2
http://repositori.uin-alauddin.ac.id/6411/1/Andi%20Arwini.pdf diakses pada 11 disember 2022

6
Mengelola tanah diatas sesuatu dihasilkannya dan benihnya berasal dari penge
lola. Adapun muzara’ah sama seperti Mukabarah hanya saja benihnya berasal dari
pemilik tanah.
Dapat dipahami dari pemaparan diatas bahwa mukhabarah dan muzara’ah
ada kesamaan dan ada pula perbedaan. Persamaannya ialah antara mukhabarah dan
muzara’ah terjadi pada peristiwa yang sama, yaitu pemilik tanah menyerahkan
tanahnya kepada orang lain untuk dikelola.
Perbedaannya ialah pada modal, bila modal berasal dari pengelola disebut
mukhabarah dan bila modal dikeluarkan dari pemilik tanah disebut muzara’ah. Pada
umumnya, kerja sama mukhabarah ini dilakukan padaperkebunan yang benihnya
relative murah, seperti padi, jagung dan kacang. Namun tidak tertutup kemungkinan
pada tanaman yang benihnya relati murah juga dilakukan kerja sama muzara’ah.

B. Dasar Hukum Musaqqah, Muzara’ah, dan Mukhabarah


1. Dasar Hukum Musaqqah
Dasar hukum musaqqah yang bersumber dari al-Qur’an diantaranya ialah, Firman
Allah SWT.:

َ‫ْي َو ََل ا ْل َق َ َۤل ِٕى َد َو َ َٰٓل ۤا ِم ْينَ ا ْلبَيْتَ ا ْلح ََرا َم يَ ْبتَغُ ْون‬
َ ‫شه َْر ا ْلح ََرا َم َو ََل ا ْل َهد‬ ‫شعَ ۤا ِٕى َر ه‬
َّ ‫ّٰللاِ َو ََل ال‬ َ ‫ٰٓياَيُّهَا ا َّل ِذ ْينَ ا َمنُ ْوا ََل ت ُِحلُّ ْوا‬
َ ‫س ِج ِد ا ْل‬
‫حَر ِام اَ ْن‬ ْ ‫صد ُّْو ُك ْم ع َِن ا ْل َم‬ َ ‫شنَانُ قَ ْو ٍم ا َ ْن‬ ْ ‫ض َواناا َۗواِذَا َح َل ْلت ُ ْم َفا‬
َ ‫ص َطاد ُْوا َۗو ََل يَجْ ِر َمنَّ ُك ْم‬ ْ ‫ض اَل ِم ْن َّر ِب ِه ْم َو ِر‬ ْ َ‫ف‬
ِ ‫ش ِد ْي ُد ا ْل ِعقَا‬
‫ب‬ ِ ‫اَلثْ ِم َوا ْلعُد َْو‬
‫ان َۖواتَّقُوا ه‬
‫ّٰللاَ ۗاِنَّ ه‬
َ َ‫ّٰللا‬ ِ ْ ‫ع َلى‬ َ َ‫علَى ا ْل ِب ِر َوالتَّ ْقو ۖى َو ََل تَع‬
َ ‫اونُ ْوا‬ َ َ‫ت َ ْعتَد ْۘ ُْوا َوتَع‬
َ ‫اونُ ْوا‬

Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,


dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah
kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya”. 3

Dalam ayat tersebut Allah SWT. memerintahkan pada setiap orang orang yang
beriman guna memenuhi janji-janji yang telah diikrarkan, baik janji prasetya hamba
kepada Allah SWT. maupun janji yang dibuat antara manusia seperti yang bertalian
dengan perdagangan perkawinan dan sebagainya, selama janji itu tidak melanggar
syariat Allah.

Selain itu, dijelaskan dalam Surat al-Baqarah ayat 282, Firman Allah SWT.:

َ ‫ٰٓيا َ ُّيهَا ا َّل ِذ ْينَ ا َمنُ ْٰٓوا اِذَا تَدَا َي ْنت ُ ْم ِب َدي ٍْن ا ِٰٓلى ا َ َج ٍل ُّم‬
‫س ًّمى فَا ْكتُبُ ْو ۗ ُه َو ْل َي ْكت ُْب َّب ْينَ ُك ْم كَا ِتب ِبا ْل َع ْد ۖ ِل‬

3
Qs al-maidah ayat ke 2

7
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah, tidak secara
tunai guna waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah
seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar”. (Q.S Al-Baqarah: 282)

Ayat tersebut menyatakan bahwa Allah SWT. memerintahkan untuk hambaNya


dimuka bumi yang melakukan pekerjaan usaha kerjasama diantara kamu, hendaklah
dilaksanakan secara tertulis dan tidak dilaksanakan secara lisan supaya terhindar dari
hal-hal yang dapat merugikan dalam suatu kerjasama.

Adapun kaitannya dengan jangka waktu kerjasama ini yakni dijelaskan juga
dalam Surat al-Qashash ayat 28, sebagaimana Firman Allah SWT.:

‫علَ َّي َۗو ه‬


ࣖ ‫ّٰللاُ عَلى َما نَقُ ْو ُل َو ِكيْل‬ َ َ‫عد َْوان‬ َ َ‫قَا َل ذ ِلكَ بَ ْينِ ْي َوبَ ْي َن ۗكَ اَيَّ َما ْاَلَ َجلَي ِْن ق‬
ُ ‫ضيْتُ فَ ََل‬

Artinya: “Dia (Musa) berkata: Itulah (perjanjian) antara aku dan kamu. Mana saja dari
kedua waktu yang ditentukan itu aku sempurnakan, Maka tidak ada tuntutan tambahan
atas diriku (lagi). dan Allah ialah saksi atas apa yang kita ucapkan.” 4

Asas hukum musaqqah ialah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim dari Ibn Amr ra. bahwa Nabi Muhammad SAW. bersabda:
Artinya:“Memberikan tanah Khaibar dengan bagian separuh dari penghasilan,
baik buah-buahan maupun pertanian (tanaman). Pada riwayat lain dinyatakan bahwa
Rasul menyerahkan tanah Khaibar itu kepada Yahudi guna diolah dan modal dari
hartanya, penghasilan separohnya guna Nabi SAW”.

Dalam dalil yang lain, yang dijadikan landasan jumhur mengenai


dibolehkannya musaqqah ialah Hadits Ibnu Umar Yang Shahih.

‫علَى أ َ ْن يَ ْعت َ ِملُو َها ِم ْن‬


َ ‫ض َها‬َ ‫سلَّ َم أَنَّهُ َدفَ َع إِلَى يَ ُهو ِد َخ ْيبَ َر نَ ْخ َل َخ ْيبَ َر َوأ َ ْر‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫ص َّلى‬
َ ُ‫ّٰللا‬ َ ِ‫ّٰللا‬ ُ ‫أْ ْن َر‬
َّ ‫سو ِل‬
‫ش ْط ُر ثَ َم ِر َها‬َ ‫سلَّ َم‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫ص َّلى‬
َ ُ‫ّٰللا‬ َ ِ‫ّٰللا‬
َّ ‫سو ِل‬ ُ ‫أ َ ْم َوا ِل ِه ْم َو ِل َر‬

Artinya:“Bahwa Rasulullah SAW telah menyerahkan pohon kurma Khaibar dan


tanahnya kepada orang-orang Yahudi Khaibar agar mereka mengerjakannya dari harta

4
QS. Al-Qashash: 28

8
mereka, dan Rasulullah SAW mendapatkan setengah dari buahnya”. (HR. Al-Bukhari
dan Muslim)”.5

Dalam sebagian riwayatnya “bahwa Rasulullah SAW. mengadakan


kesepakatan musaqqah dengan mereka dan kriteria mendapatkan separuh hasil yang
dikeluarkan oleh bumi serta separuh buah”.6

Dasar hukum kebolehan musaqqah ialah ijma` dan qiyas terhadap musaqqah
(bagi hasil ladang) dengan keserupaan bahwa setiap kegiatan yang menghasilkan
sesuatu terdapat bayarannya walaupun tidak diketahui berapa besarnya, dan sebab
musaqqah dan qiradh keduanya diperbolehkan karena kebutuhan bilamana orang
yang mempunyai pohon kurma terkadang tidak bisa mengurus tanaman dan tidak ada
waktu dan orang yang bisa bekerja dengan baik terkadang tidak ada modalnya”.7
Hukum musaqqah shahih berdasarkan pendapat para ulama memiliki beberapa hukum
atau ketetapan, yakni sebagai berikut :

Berdasarkan pendapat ulama Hanafiyah hukum musaqqah shahih, diantaranya ialah:

a. Segala kegiatan yang berkaitan dengan pemeliharaan pohon diberikan kepada


penggarap, sedangkan ongkos yang dibutuhkan dalam pemeliharaan dipecah
dua.
b. Hasil dari musaqqah dipecah berdasarkan pendapat kesepakatan.
c. Jika pohon tidak menghasilkan sesuatu, keduanya tidak mendapatkan apa-apa.
d. Akad ialah lazim dari kedua belah pihak, dengan begitu pihak yang berakad
tidak dapat membatalkan akad tanpa izin salah satunya.
e. Pemilik boleh memaksa penggarap guna bekerja, kecuali ada uzur.
f. Boleh meningkatkan hasil dari ketetapan yang telah disepakati.
g. Penggarap tidak menyerahkan musaqqah untuk penggarap lain, kecuali bila
diperbolehkan oleh pemilik. Namun demikian, penggarap awal tidak
menemukan apa-apa dari hasil, sementara penggarap kedua berhak mendapat
upah sesuai dengan pekerjaannya”.

5
Muttafaqun 'Alaih.HP.. Al Bukhari (2328),Muslim (1551), Abu Daud (3408), AtTirmidzi (1383) dan
lbnu Majah (246'7').
6
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid jilid 2, (Jakarta : Pustaka Azzam, 2007), hlm. 483
7
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqih Muamalat,......hlm. 246

9
Ulama Malikiyah pada lazimnya menyepakati hukum-hukum yang diputuskan oleh
ulama Hanafiyah. Namun demikian, mereka berasumsi dalam penggarapan.
a. Sesuatu yang tidak bersangkutan dengan buah tidak wajib digarab dan jangan
disyaratkan.
b. Sesuatu yang bersangkutan dengan buah yang membekas di tanah, tidak wajib
dirapikan oleh penggarap.
c. Sesuatu yang berhubungan dengan buah, namun tidak tetap ialah kewajiban
penggarap, seperti menyiram atau menyediakan alat garapan, dan lain-lain.
Ulama Syafi`iyah dan Hanabilah sepakat dengan ulama Malikiyah dalam memberi
batas pekerjaan penggarap, dan menambahkan bahwa segala pekerjaan yang rutin
setiap tahun ialah kewajiban penggarap, sedangkan pekerjaan yang tidak rutin ialah
kewajiban pemilik tanah”.8

Di antara hukum-hukum musyaqah berdasarkan pendapat oleh Al- Jaziri:


a. Pohon kurma atau lainnya harus diketahui saat penandatanganan akad musyaqah,
jadi musyaqah tidak berlaku pada sesuatu yang tidak diketahui sebab
dikhawatirkan di dalamnya ada gharar (ketidakjelasan) yang diharamkan.
b. Bagian yang hendak diserahkan kepada penggarap harus diketahui, contohnya
seperempat atau seperlima dari hasil pohon, dan bagiannya berasal dari semua
pohon kurma tertentu atau pohon lainnya, karena andai hanya diberi batas pada
pohon kurma tertentu atau pohon lainnya yang terkadang berbuah dan terkadang
tidak berbuah, hal ini dinamakan gharar (ketidakjelasan) yang diharamkan Islam.
c. Penggarap harus menggarab apa saja yang dibutuhkan pohon kurma atau pohon
supaya pohon kurma atau pohon lainnya subur berdasarkan pendapat tradisi yang
berlaku dalam musaqqah.
d. Jika pada lahan tanah yang digarap, penggarap terdapat keharusan pajak, pajak
tersebut harus dibayar pemilik lahan, bukan oleh penggarap sebab pajak
berhubungan dengan pokok harta. Buktinya, pajak tetap diminta kendati lahan
tanah tidak ditanami, adapun zakat harus dibayar oleh yang hartanya mencapai
nisab, penggarap atau pemilik lahan tanah, karena zakat berhubungan dengan
buah yang didapatkan lahan tanah.

8
Hasan, M.SI Akhmad Farroh , Fiqh Muammalah dari Klasik hingga Kontemporer(Teori dan Praktek),
cetakan 1 . ( UIN-Maliki Malang Press,2018) hlmn 100

10
e. Musaqqah yang diperbolehkan dilakukan pada pokok harta (tanah), misalnya,
Milus menyerehkan tanahnya kepada farrak guna ditanami pohon kurma atau
pohon lainnya tersebut berbuah, kemudian farrak mendapatkan seperempat atau
sepetiganya dengan syarat masa buahnya ditentukan pada waktu tertentu, setelah
itu penggarap mendapatkan tanah sekaligus buahnya.
f. Jika penggarap tidak bisa menggarap tanah, ia berhak menunjuk orang lain guna
mengerjakan lahan itu dan ia berhak atas buah cocok akad dengan pemiliknya.
g. Jika penggarap kabur sebelum buah memasuki usia masak, pemilik lahan tanah
berhak membatalkan akad musaqqah, andai penggarap kabur sesudah buah
memasuki buah usia masak, pemilik tanah menunjuk orang lain guna melanjutkan
penggarapan lahan tanah tersebut dengan upah dari bagian penggarap yang kabur
tersebut.
h. Jika penggarap meninggal dunia, ahli warisnya berhak menunjuk orang lain guna
menggantikannya. Jika kedua belah pihak berhak sepakat membatalkan akad
musyaqah, akad musaqqah batal.9

2. Dasar Hukum Muzara’ah


Muzara’ah atau yang dikenal dimasyarakat sebagai bagi hasil dalam pengolahan
pertanian, ialah perbuatan yang dilakukan Rasulullah SAW dan dilakukan para
sahabat beliau sesudah itu. Sebagaimana Firman Allah SWT. dalam surat. Az-
Zukhruf ayat 32

َ‫ت ِليَتَّ ِخذ‬


ٍ ‫ض د ََرج‬ ٍ ‫ق بَ ْع‬ َ ‫شت َ ُه ْم فِى ا ْلحَيو ِة ال ُّد ْنيَ ۙا َو َرفَ ْعنَا بَ ْع‬
َ ‫ض ُه ْم فَ ْو‬ َ ‫س ُم ْونَ َرحْ َمتَ َر ِب ۗكَ نَحْ نُ َق‬
َ ‫س ْمنَا بَ ْينَ ُه ْم َّم ِع ْي‬ ِ ‫اَ ُه ْم يَ ْق‬
َ‫س ْخ ِريًّا َۗو َرحْ َمتُ َر ِبكَ َخيْر ِم َّما يَجْ َمعُ ْون‬ ُ ‫ض ُه ْم بَ ْعضاا‬ ُ ‫بَ ْع‬

Artinya: “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami sudah


menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami
sudah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat,
supaya sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat
Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (QS. Az- Zukhruf: 32)

Firman Allah SWT. dalam surat al-Maidah ayat 1:

9
Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik Dan Kontemporer, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2002), hlm.
166

11
‫ص ْي ِد َواَ ْنت ُ ْم ُح ُر ۗم اِنَّ ه‬
َ‫ّٰللا‬ َ ‫ٰٓياَيُّهَا ا َّل ِذ ْينَ ا َمنُ ْٰٓوا ا َ ْوفُ ْوا ِبا ْل ُعقُ ْو ۗ ِد ا ُ ِحلَّتْ لَ ُك ْم َب ِه ْي َمةُ ْاَلَ ْن َع ِام ا ََِّل َما يُتْلى‬
َ ‫علَ ْي ُك ْم‬
َّ ‫غي َْر ُم ِح ِلى ال‬
‫يَحْ ُك ُم َما يُ ِر ْي ُد‬

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu
binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepterdapatmu. (yang demikian itu)
dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji.
Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum berdasarkan pendapat yang
dikehendaki-Nya”. (QS. al-Maidah: 1)

Firman Allah SWT Dalam surat Al- Isra’ ayat 34:

ْ ‫شد َّۖه َوا َ ْوفُ ْوا بِا ْلعَ ْه ۖ ِد اِنَّ ا ْل َع ْه َد كَانَ َم‬
‫سـُٔ ْو اَل‬ َ ْ‫َو ََل ت َ ْق َربُ ْوا َما َل ا ْليَتِي ِْم ا ََِّل بِالَّتِ ْي ِه َي اَح‬
ُ َ ‫سنُ َحتهى يَ ْبلُ َغ ا‬

Artinya: Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang
lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; Sesungguhnya janji itu
pasti diminta pertanggungan jawabnya. (QS. Al-Isra’: 34)

Dari keterangan ayat diatas ialah setiap masing-masing perjanjian harus pertanggung
jawabannya yakni wajib menepatinya, supaya tidak terdapat pihak yang dirugikan.
Rasulullah SAW. bersabda

َ ‫ َح َّدث َ َنا يَحْ َيى‬:‫ قَ َاَل‬،)‫ظ ِل ُز َهي ٍْر‬


1 - (1551) ‫ ع َْن‬،) ُ‫(وه َُو ا ْل َق َّطان‬ ُ ‫(وال َّل ْف‬ ٍ ‫ َو ُز َهي ُْر ْبنُ ح َْر‬،‫َح َّدثَنَا أَحْ َم ُد ْبنُ َح ْن َب ٍل‬
َ ،‫ب‬
‫ج‬ َ ‫سلَّ َم عَا َم َل أَ ْه َل َخ ْيبَ َر ِب‬
ُ ‫ش ْط ِر َما يَ ْخ ُر‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ُ‫صلَّى هللا‬ ُ ‫ع َم َر « أَنَّ َر‬
َ ِ‫سو َل هللا‬ ُ ‫ ع َِن اب ِْن‬، ‫ أَ ْخبَ َرنِي َنافِع‬، ِ‫عبَ ْي ِد هللا‬ ُ
ٍ‫ ِم ْنهَا ِم ْن ث َ َم ٍر أ َ ْو َز ْرع‬.»

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Hanbal dan Zuhair bin Harb
sedangkan lafazhnya dari Zuhair keduanya berkata; Telah menceritakan kepada kami
Yahya yaitu Al Qaththan dari 'Ubaidillah telah mengabarkan kepadaku Nafi' dari Ibnu
Umar bahwa Rasulullah ‫ ﷺ‬pernah mempekerjakan penduduk Khaibar dengan upah
sebagian dari hasil buah-buahan atau tanam-tanaman yang mereka tanam. (HR.
Muslim).10

َ ‫سلَ َمةَ ب ِْن‬


‫ع ْب ِد‬ ٍ ِ‫ع ِلي ٍ ا ْل ُح ْل َوانِ ُّي َح َّدثَنَا أَبُو ت َ ْوبَةَ حَ َّدثَنَا ُمعَا ِويَةُ ع َْن يَحْ يَى ب ِْن أَبِي َكث‬
َ ‫ير ع َْن أَبِي‬ َ ‫َح َّدثَنَا َح‬
َ ُ‫سنُ ْبن‬
ُ‫سلَّ َم َم ْن كَانَتْ لَهُ أَ ْرض فَ ْل َي ْز َر ْعهَا أ َ ْو ِليَ ْمنَحْ هَا أَ َخاه‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫ص َّلى‬
َ ُ‫ّٰللا‬ َ ِ‫ّٰللا‬ ُ ‫الرحْ َم ِن ع َْن أَبِي ه َُري َْرةَ َقا َل َقا َل َر‬
َّ ‫سو ُل‬ َّ

10
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqih Muamalat), (Jakarta, PT. Raja
Grafindo Persada,2004), Edisi 1 Cetakan 2, hlm. 274

12
َ ‫سكْ أ َ ْر‬
ُ ‫ضه‬ ِ ‫فَ ِإ ْن أَبَى فَ ْليُ ْم‬

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Husain bin Ali Al Hulwani telah
menceritakan kepada kami Abu Taubah telah menceritakan kepada kami Mu'awiyah
dari Yahya bin Abi Katsair dari Abu Salamah bin Abdurrahman dari Abu Hurairah
dia berkata; Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda, "Barangsiapa memiliki sebidang tanah, hendaklah
ia menanaminya, atau memberikannya kepada saudaranya (supaya menanaminya),
Namun jika ia tidak mau, hendaklah ia menjaganya"..” (HR. Muslim).11

Begitu juga Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abdillah “Dari
Abdullah ra. berkata: Rasulullah sudah memberikan tanah kepada orang yahudi
khaibar untuk dikelola dan ia mendapatkan bagian (upah) dari apa yang dihasilkan
daripada terdapatnya.”12

Hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim dari Ibnu Abbas r.a

“Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW. Menyatakan: tidak mengharamkan


berMuzara’ah, bahkan beliau menyuruhnya, supaya sebagian menyayangi sebagian
yang lain, dengan katanya; barang siapa memiliki tanah, maka hendaklah ditanaminya
atau diberikan faedahnya kepterdapat saudaranya, jika ia tidak mau, maka boleh
ditahan saja tanah itu”.13

Dari sejumlah hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim diatas, bahwa
bagi hasil dengan sistem Muzara’ah itu dibolehkan. Akad ini bertujuan untuk saling
menolong antara petani dan pemilik lahan pertanian. Pemilik tanah tidak mampu
untuk mengerjakan tanahnya, sedangkan petani tidak memiliki lahan pertanian. Oleh
sebab itu, ialah wajar bilamana antara pemilik lahan berkolaborasi dengan petani
penggarap, dengan peraturan bahwa hasil yang mereka dapatkan dibagi sesuai dengan
kesepakatan bersama.

11
Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim, (Kairo: Dar Ihya Al-Kutub Al-‘Arabiyyah, t.t.), juz 5, h. 20.
12
Al-Imam Sihabuddin, Irsyadussari (Syarh Shohih al Bukhori), Terjemahan, ( Beirut Lebanon :
Daarul Kitab Alulumiyyah, 923 H ), Juz V hlm. 317
13
Abi Abdillah Muhammad bin Yazid, Sunan Ibnu Majjah, juz 3, No. Hadits 2449, hlm. 819

13
3. Dasar Hukum Mukhabarah
Hukum mukhabarah adalah mubah (boleh).Sebagaimana hadits yang
diriwayatkan oleh Muslim dari Thaus r.a:
121 - (1550) َ‫او ٍس « أَنَّهُ كَان‬ ُ ‫ ع َْن َط‬، ‫او ٍس‬ ُ ‫ َوا ْبنُ َط‬،‫ع ْم ٍرو‬ َ ‫ ع َْن‬، ُ‫س ْف َيان‬ ُ ‫َو َح َّدثَنَا ا ْبنُ أَبِي‬
ُ ‫ َح َّدثَنَا‬، ‫ع َم َر‬
َ ‫ع ُمونَ أَنَّ النَّ ِب َّي‬
ُ‫صلَّى هللا‬ ُ ‫ لَ ْو ت َ َركْتَ َه ِذ ِه ا ْل ُم َخابَ َرةَ! فَ ِإ َّن ُه ْم يَ ْز‬، ‫الرحْ َم ِن‬ َ ‫ يَا أَبَا‬:ُ‫ فَقُ ْلتُ لَه‬:‫ع ْمرو‬
َّ ‫ع ْب ِد‬ َ ‫ َقا َل‬،‫يُ َخا ِب ُر‬
َ ‫اس ) أَنَّ النَّ ِب َّي‬
‫صلَّى‬ َ َ‫ أ َ ْخبَ َرنِي أ َ ْعلَ ُم ُه ْم ِبذَ ِلكَ (يَ ْعنِي ا ْبن‬،‫ أَ ْي ع َْم ُرو‬:َ‫ َفقَال‬.‫سلَّ َم نَهَى ع َِن ا ْل ُم َخابَ َر ِة‬
ٍ َّ‫عب‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ
َ َ‫ يَ ْمنَ ُح أ َ َح ُد ُك ْم أ َ َخا ُه َخيْر َلهُ ِم ْن أَ ْن يَأ ْ ُخذ‬:َ‫ ِإنَّ َما قَال‬،‫ع ْنهَا‬
‫ع َل ْيهَا َخ ْر اجا َم ْعلُو اما‬ َ َ‫سلَّ َم لَ ْم َي ْنه‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ُ‫» هللا‬

Artinya :Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Umar telah menceritakan
kepada kami Sufyan dari 'Amru dan Ibnu Thawus dari Thawus bahwa dia adalah
seorang petani yang mengusahakan tanahnya dan memungut sebagian dari hasil
tanaman yang ditanamnya, Amru berkata; Lalu saya bertanya kepadanya, "Wahai
Abu Abdurrahman, sekiranya kamu menghentikan usahamu melakukan
mukhabarah, karena sesungguhnya mereka mengatakan bahwa Nabi ‫ ﷺ‬telah
melarang melakukan mukhabarah." Thawus menjawab, "Hai Amru, telah
mengabarkan kepadaku orang yang lebih mengetahui daripada mereka tentang
perihal itu -yaitu Ibnu Abbas - bahwa Nabi ‫ ﷺ‬tidak melarang hal itu, sesungguhnya
beliau bersabda, "Salah seorang dari kalian memberikan sebagian tanahnya kepada
saudaranya itu lebih baik daripada memungut imbalan tertentu." (HR. Muslim)14

Dari hadits diatas dijelaskan bahwa seseorang yang memberikan manfaat bagi
orang lain lebih baik dari pada seseorang yang mengambil manfaat dari orang lain.
Dalam akad mukhabarah,pemilik lahan memberikan manfaat dengan menyerahkan
lahan kepada petani agar dikelola sebagaimana mestinya, guna memberikan
keuntungan bagi kedua belah pihak.Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Abu
Daud dan alNasa’I juga dijelaskan bahwa:

‫ستَك َْرى أَ ْرضاا‬


ْ ‫ع َما ُمنِ َح أ َ ْو َر ُجل ا‬
ُ ‫عهَا أ َ ْو َر ُجل ُمنِ َح أ َ ْرضاا َف ُه َو يَ ْز َر‬
ُ ‫ع ث َ ََلثَة َر ُجل لَهُ أ َ ْرض َف ُه َو يَ ْز َر‬
ُ ‫إِنَّ َما يَ ْز َر‬
َّ ِ‫ب أَ ْو ف‬
‫ض ٍة‬ ٍ ‫ِبذَ َه‬

Artinya:"Sesungguhnya yang menanam itu ada tiga orang yaitu; seseorang yang
memiliki tanah kemudian dia menanaminya, atau seseorang yang diberi tanah

14
Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim, (Kairo: Dar Ihya Al-Kutub Al-‘Arabiyyah, t.t.), juz 5, h. 25

14
kemudian dia menanami apa yang diberikan kepadanya, atau seseorang yang
menyewa tanah dengan emas atau perak."

Dari hadits diatas dijelaskan bahwa ada tiga orang yang boleh atau berhak
melakukan kegiatan menanam yaitu seseorang yang memiliki tanah, seseorang
yang diberikan tanah untuk digarap dan seseorang yang menyewa tanah. Dalam
akad mukhabarah, petani/penggarap merupakan seseorang yang diberikan tanah
oleh pemiliknya untuk dimanfaatkan. Jadi akad mukhabarah sesuai dengan yang di
syariatkan oleh Islam melalui hadits diatas.15

C. Rukun-Rukun Musaqqah, Muzara’ah, Dan Mukhabarah


a. Musaqqah
1. Rukun musaqqah seperti rukun akad lainnya, diantaranya ialah ijab Kabul dan
segala formatnya baik perkataan, tulisan, isyarat sepanjang hal itu benar-benar
dari orang yang berhak bertindak guna itu”.
2. Konsensus Ulama menetapkan bahwa rukun musaqqah ada 5 (lima):
yakni sebagai berikut:
a. Dua orang yang akad (al-aqidani). Al-aqidani disyaratkan harus baligh dan
berakal
b. Objek musaqqah: berdasarkan pendapat ulama hanafiyah ialah pohon-pohon
yang berbuah, seperti kurma. Akan tetapi, berdasarkan pendapat sebagian
ulama Hanafiyah lainnya dibolehkan musaqqah atas pohon yang tidak
berbuah sebab sama-sama membutuhkan pengurusan dan siraman.
c. Buah Disyaratkan menentukan buah ketika akad guna kedua pihak.
d. Pekerjaan: Disyaratkan penggarap harus bekerja sendiri, jika disyaratkan
bahwa pemilik harus bekerja atau dikerjakan secara bersama-sama, akad
menjadi tidak sah. Ulama mensyaratkan penggarap harus mengetahui batas
waktu, yakni kapan maksimal berbuah dan kapan minimal berbuah. Ulama
hanafiyah tidak menyerahkan batasan waktu, baik dalam muzara`ah maupun
musaqqah sebab Rasulullah SAW pun tidak memberikan Batasan ketika
bermuamalah dengan orang khaibar.

15
http://repository.uinbanten.ac.id/1560/4/BAB%20II.pdf diakses pada 11 disember 2022

15
e. Shighat: Berdasarkan pendapat ulama Syafi`iyah, tidak dibolehkan
menggunakan kata ijarah (sewaan) dalam akad musyaqah sebabberlainan
akad. Adapun ulama Hanabila membolehkannya sebab yang terpenting ialah
maksudnya”.16

b. Muzara’ah
1. Berdasarkan pendapat Hanabilah, rukun Muzara’ah terdapat satu yakni ijab dan
kabul, boleh dilakukan dengan lafazh apa saja yang mengindikasikan terdapatnya
ijab dan kabul dan bahkan Muzara’ah sah dilafazhkan dengan lafazh Ijarah”.
2. Berdasarkan Konsensus ulama terdapat empat rukun dalam Muzara’ah,
diantaranya ialah:
a. Pemilik tanah.
b. Petani penggarap.
c. Objek Al-Muzara’ah.
d. Ijab dan qabul secara lisan maupun tulisan.
3. Berdasarkan Konsensus ulama yang membolehkan akad Muzara’ah bilamana
akad sudah memenuhi rukun dan syarat, maka dampak hukumnya ialah:
a. Petani bertanggung jawab mengeluarkan ongkos benih dan pemeliharaan
pertanian tersebut.
b. Biaya pertanian seperti pupuk, biaya perairan, serta biaya pembersihan
tanaman, ditanggung oleh petani dan pemilik lahan sesuai dengan persentase
bagian masing-masing.17
c. Hasil panen dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama.
d. Pengairan dilakukan sesuai dengan kesepakatan bersama dan bilamana tidak
terdapat kesepakatan, berlaku kebiasaan ditempat masing-masing.
e. Bilamana salah seorang meninggal dunia sebelum panen, maka akad tetap
berlaku sampai panen dan yang meninggal diwakili oleh ahli warisnya. Lebih
lanjut, akad itu dapat dipertimbangkan oleh ahli waris, apakah akan
diteruskan atau tidak.18

16
Hasan, M.SI Akhmad Farroh , Fiqh Muammalah dari Klasik hingga Kontemporer(Teori dan Praktek),
cetakan 1 . ( UIN-Maliki Malang Press,2018) hlmn 103
17
Hasan, M.SI Akhmad Farroh , Fiqh Muammalah dari Klasik hingga Kontemporer(Teori dan
Praktek),cetakan 1 . ( UIN-Maliki Malang Press,2018) hlmn 92
18
Hasan, M.SI Akhmad Farroh , Fiqh Muammalah dari Klasik hingga Kontemporer(Teori dan
Praktek)cetakan 1 . ( UIN-Maliki Malang Press,2018) hlmn 93

16
c. Mukhabarah
Adapun rukun-rukun dari mukhabarah adalah sebagai berikut.
1. Adanya pemilik tanah yang sah.
2. Adanya petani atau penggarap tanah.
3. Tanah yang akan digarap.
4. Proses ijab dan qabul membuat kesepakatan dilakukan secara lisan.

D. Syarat-syarat Musaqqah, Muzara’ah Dan Mukhabarah


1. Syarat-syarat Musaqqah
Syarat-syarat musaqqah diantaranya ialah:
a. Syarat yang berhubungan dengan ‘aqidain, yakni harus berakal.
b. Syarat yang berhubungan dengan tanaman, yakni disyaratkan adanya penentuan
macam apa saja yang akan ditanam.
c. Hal yang Berkaitan dengan pendapatan hasil dari tanaman, yakni:
➢ Bagian masing-masing harus disebutkan jumlahnya (persentase Ketika
akad).
➢ Hasil ialah milik bersama.
➢ Bagian antara Amil dan Malik ialah dari satu jenis barang yang sama.
➢ Bagian kedua belah pihak sudah dapat diketahui.
➢ Tidak disyaratkan bagi salah satunya penambahan yang ma’lum.
d. Hal yang berhubungan dengan tanah yang akan ditanami.
e. Hal yang berhubungan dengan waktu.
f. Hal yang berhubungan dengan alat-alat muzara’ah, alat-alat tersebut disyaratkan
berupa hewan atau yang lainnya dibebankan kepada pemilik tanah.19
Syarat- syarat musyaqah sebetulnya tidak jauh bebeda dengan persyaratan yang
terdapat dalam muzaraah. Hanya saja, musyaqah tidak disyaratkan guna menjelaskan
jenis benih, pemilik benih kelayakan kebun, serta ketetapan waktu. Beberapa syarat
yang terdapat dalam muzaraah dan bisa diterapkan dalam musaqqah diantaranya
ialah:
a. Ahli dalam akad.

19
Hasan, M.SI Akhmad Farroh , Fiqh Muammalah dari Klasik hingga Kontemporer(Teori dan Praktek),
cetakan 1 . ( UIN-Maliki Malang Press,2018) hlmn 101

17
b. Menjelaskan unsur atau bagian dalam akad.
c. Membebaskan pemilik dari pohon.
d. Hasil dari pohon dibagi antara dua orang yang melangsungkan akad.
e. Sampai batas akhir, yakni menyeluruh sampai akhir”.
Dalam referensi lain, syarat-syarat dalam musaqah ialah sebagi berikut:
a. Pohon yang dibutuhkan dalam musaqah harus jelas sebab akad tidak sah terhadap
sesuatu yang tidak jelas.
b. Waktu yang diperlukan dalam musaqah juga harus diketahui dengan jelas.
c. Akad musyaqah dilaksanakan dalam keadaan pohon menampakkan baiknya buah
atau hasilnya, sebab dalam keadaan yang demikian tentunya pohon membutuhkan
perawatan.
d. Imbalan yang diterima oleh penggarap harus jelas seberapa banyaknya.20

2. Syarat-syarat Muzara’ah
Diantara syarat-syarat Muzarah ialah:
a. Syarat bertalian dengan ‘Aqidain, yakni harus berakal.
b. Syarat yang berhubungan dengan tanaman, yakni disyaratkan terdapatnya
penentuan macam apa saja yang ditanam.
c. Hal yang berhubungan dengan perolehan hasil tanaman, yakni bagian masing-
masing harus disebutkan jumlahnya (persentasenya), hasil ialah milik bersama.
d. Hal yang berhubungan dengan tanah yang akan ditanami seperti lokasi tanah dan
batas tanah.
e. Hal yang berhubungan dengan waktu dan syarat-syaratnya;
f. Hal yang berhubungan dengan alat-alat yang dipakai dalam bercocok tanam
Muzara’ah.

3. Syarat-syarat Mukhabarah
Adapun syarat mukhabarah adalah sebagai berikut.
1. Pemilik tanah dan penggarap harus orang yang sudah baligh dan berakal.
2. Peralatan dibebankan kepada petani penggarap lahan.

20
Hasan, M.SI Akhmad Farroh , Fiqh Muammalah dari Klasik hingga Kontemporer(Teori dan Praktek),
cetakan 1 . ( UIN-Maliki Malang Press,2018) hlmn 103

18
3. Lahan harus bisa menghasilkan, jelas batas-batasnya, dan diserahkan sepenuhnya
kepada penggarap.
4. Benih yang akan ditanam harus jelas dan menghasilkan.
5. Jangka waktu harus jelas menurut kebiasaan masa tanam dan masa panen.
6. Pembagian hasil harus jelas dan sesuai dengan ketentuannya.21

E. Perbedaan Akad Musaqqah, Muzara’ah, dan Mukhabarah


Berikut ini merupakan perbedaan dari musaqqah, muzara'ah dan mukhabarah:

1. Musaqqah, sudah disediakan benih atau tanaman oleh pemilik kebun.


2. Muzaraah, tanaman disediakan oleh petani.
3. Mukhabarah, tanaman disediakan oleh pemilik tanah.

Untuk penjelasan yang lebih rincinya:

Musaqqah adalah kerja sama yang dilakukan antara pemilik kebun dengan pengelola
atau penggarap untuk memelihara serta merawat kebun dengan perjanjian adanya bagi
hasil yang jumlahnya sesuai kesepakatan bersama, adapun perjanjian itersebut disebutkan
dalam aqad. Adapun hukum musaqqah adalah mubah (boleh).

Muzara’ah merupakan kerjasama yang dilakukan antara pemilik lahan dengan


penggarap, dan benih dari penggarap. Berbeda dengan mukhabarah, benih muzaraah relatif
murah, seperti benih jagung, padi, kedelai, kacang, dll.

Mukhabarah adalah adanya pengerjaan lahan dari pemilik lahan kepada pengelola
atau penggarap. Adapun benihnya disediakan oleh pemilik tanah, dan biasanya untuk
kerjasama mukhabarah ini dilakukan pada tanamanan yang harga benihnya cukup mahal,
yaitu seperti cengkeh, vanili, pala, dll. Hukum mukhabarah adalah mubah (boleh).

Dari penjelasan di atas, ketiga kerja sama itu sama-sama merupakan aqad (perjanjian).
Adapun perbedaannya:

1. Musaqqah sudah ada tanaman, belum ada tenaga kerja yang memeliharanya.

21
https://www.kapanlagi.com/plus/mukhabarah-adalah-kerja-sama-antara-pemilik-tanah-dan-petani-
ketahui-pengertian-rukun-dan-syarat-syaratnya-9aeb46.html diakses pada 11 disember 2022

19
2. Muzara'ah, tanaman belum ada di tanah dan tanahnya juga harus digarap terlebih
dahulu oleh penggarapnya. sedangkan benih dari petani atau penggarap juga.
3. Mukharabah, tanaman belum ada di tanah dan tanahnya harus digarap terlebih
dahulu oleh penggarap. Adapun benihnya disediakan oleh pemilik tanah.

Selain itu, Muzara’ah sering sekali diidentikan dengan musaqah dan mukhabarah.
Akan tetapi diantaranya ada sedikit perbedaan sebagai berikut:

1. Musaqah merupakan kerja sama antara pemilik kebun atau tanaman dan pengelola
atau penggarap untuk memelihara dan merawat kebun atau tanaman dengan perjanjian
bagi hasil yang jumlahnya menurut kesepakatan bersama dan perjanjian itu disebutkan
dalam aqad.
2. Sedangkan muzara’ah dan mukhabarah mempunyai pengertian yang sama, yaitu kerja
sama antara pemilik sawah atau tanah dengan penggarapnya, namun yang
dipersoalkan di sini hanya mengenai bibit pertanian itu. muzara’ah bibitnya berasal
dari pemilik lahan, sedangkan mukhabarah bibitnya dari petani atau penggarap lahan
pertanian itu sendiri yang diserahi lahan untuk ia garap.

F. Berakhirnya akad Musaqqah, Muzara’ah, Dan Mukhabarah


1. Musaqqah
Berdasarkan pendapat ulama Hanafiyyah, adanya salah satu dari tiga hal, yakni
memang karena jangka waktu al-Musaqqah yang disepakati sudah habis,
meninggalnya diantara pihak, dan yang ketiga ialah adanya pembatalan akad, baik
dengan Teknik al-Iqaalah (pembatalan yang diharapkan oleh salah satu pihak,
kemudian pihak yang satunya mengamini pembatalan itu), maupun sebab udzur atau
alasan yang dapat diterima”.22
Berdasarkan pendapat ulama Syafi’iyyah, akad al-Musaqqah berakhir dengan
berakhirnya jangka waktu al-Musaaqaah. Jika jangka waktu yang disepakati sudah
habis, seperti sepuluh tahun misalnya. Kemudian ternyata buah yang seharusnya
muncul pada tahun kesepuluh, kemunculannya terjadi sesaat berakhirnya jangka
waktu tersebut, maka pihak penggarap tidak memiliki hak bagian atas buah tersebut.
Karena buah itu muncul setelah berakhirnya jangka waktu al-Musaaqaah yang
disepakati.

22
Wahbah Az – Zuhaili. Fiqih Islam Wa Adillatuhu jilid 6. hlm. 600

20
Berdasarkan pendapat Ulama Hanabilah al-Musaaqaah sama seperti al-
Muzaara’ah, yakni akad yang berlaku tidak mengikat, sehingga masing masing pihak
bisa membatalkannya. Jika akad al-Musaaqaah dibatalkan setelah buah muncul, maka
buah itu dibagi diantara kedua elah pihak sesuai dengan bagian masing-masing seperti
yang disepakati sebelumnya didalam akad. Karena buah itu muncul sebagai milik
mereka berdua.
Berdasarkan pendapat Hanabilah bahwa Musaqqah tidak batal (fasakh) karena
meninggalnya penggarap. Apabila penggarap meninggal maka ahli warisnya
menggantikan tempat penggarap dalam bekerja. Apabila mereka menolak maka
mereka tidak boleh dipaksa guna bekerja. Dalam hal ini atas dasar putusan hakim, ahli
waris pemilik boleh menyewa orang guna bekerja dengan imbalan yang diambil dari
tirkah (harta waris) nya”.23

2. Muzara’ah
Terdapat beberapa hal yang mengakibatkan akad Muzara’ah berakhir yakni:
➢ Meninggalnya salah seorang yang berakad.
➢ Penyimpangan yang dilaksanakan penggarap dalam akad Muzara’ah.
➢ Terdapatnya halangan atau Uzur atas permintaan diantara pihak dan pihak pekerja
jelas-jelas tidak lagi dapat melanjutkan pekerjaannya. Uzur yang dimaksud antara
lain ialah:
a. Pemilik lahan terlilit hutang, sampai-sampai lahan pertanian tersebut harus
ia jual, sebab tidak terdapat harta lain yang dapat melunasi hutang itu.
Pembatalan ini dilakukan melalui campur tangan hakim. Akan tetapi
bilamana tumbuh-tumbuhan tersebut sudah berbuah, tetapi belum layak
panen, maka lahan tersebut boleh dijual sebelum panen.
b. Terdapatnya uzur petani, seperti sakit atau harus melakukan perjalanan
keluar kota, atau sakit yang tidak dimungkinkan untuk bisa sembuh sehingga
ia tidak mampu melaksanakan pekerjaannya.

23
Hasan, M.SI Akhmad Farroh , Fiqh Muammalah dari Klasik hingga Kontemporer(Teori dan Praktek),
cetakan 1 . ( UIN-Maliki Malang Press,2018) hlmn 104

21
3. Mukhabarah
➢ Apabila telah usai masa mukhabarah sesuai dengan kesepakatan saat akad atau
ijab qabul. Dengan kata lain, jika bermaksud melanjutkan mukhabarah, maka
harus memulai dari proses akad kembali.
➢ Apabila salah satu pihak meninggal dunia.
➢ Adanya uzur misalnya tanah garapan terpaksa dijual pemiliknya dengan alasan
krusial. Misalnya untuk membayar hutang. Atau conttoh lain, semisal si
penggarap tanah tidak dapat mengelola tanah dikarenakan sakit.
➢ Apabila telah terjadi bencana alam, misalnya banjir yang melanda tanah garapan,
sehingga mengakibatkan kondisi tanah dan tanaman rusak.

22
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
• musaqqah adalah penyerahan sebidang kebun pada petani untuk digarap dan dirawat
dengan ketentuan bahwa petani mendapatkan bagian dari hasil kebun itu.
muzara’ah adalah kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan
penggarap, dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap
untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (persentase) dari hasil
panen.
mukhabarah ialah kerja sama penglahan pertanian antara lahan dan penggarap,
dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk
ditanami dan dipelihara dengan imbalan tertentu persentase dari hasil panen yang
benihnya berasal dari penggarap.
• Dasar hukum musaqqah: QS. Al-Maidah: 2, QS. Al-Baqarah: 282, QS. Al-
Qashash: 28.
Dasar hukum muzara’ah: QS. Az-Zukhruf: 32, QS. Al-Maidah: 1, QS. Al-Isra’:34,
HR. Muslim.
Dasar Hukum mukhabarah: Hadis dari riwayat muslim , Abu Daud dan An-Nasai.
• Rukun musaqqah (Menurut konsensus ulama): Dua orang yang akad (al-
aqidani), Objek musaqqah, Buah Disyaratkan menentukan buah ketika akad guna
kedua pihak, Pekerjaan, Shighat.
Rukun muzara’ah (Menurut konsensus ulama): Pemilik tanah, Petani penggarap,
Objek Al-Muzara’ah, Ijab dan qabul secara lisan maupun tulisan.
Rukun mukhabarah: Adanya pemilik tanah yang sah, Adanya petani atau
penggarap tanah, Tanah yang akan digarap, Proses ijab dan qabul membuat
kesepakatan dilakukan secara lisan.
• Syarat musaqqah: Syarat yang berhubungan dengan ‘aqidain, yakni harus berakal;
Syarat yang berhubungan dengan tanaman, yakni disyaratkan adanya penentuan
macam apa saja yang akan ditanam; Hal yang Berkaitan dengan pendapatan hasil
dari tanaman; Hal yang berhubungan dengan tanah yang akan ditanami; Hal yang
berhubungan dengan waktu; Hal yang berhubungan dengan alat-alat muzara’ah,

23
alat-alat tersebut disyaratkan berupa hewan atau yang lainnya dibebankan kepada
pemilik tanah.
Syarat muzara’ah: Syarat bertalian dengan ‘Aqidain, yakni harus berakal; Syarat
yang berhubungan dengan tanaman, yakni disyaratkan terdapatnya penentuan
macam apa saja yang ditanam; Hal yang berhubungan dengan perolehan hasil
tanaman, yakni bagian masing-masing harus disebutkan jumlahnya (persentasenya),
hasil ialah milik bersama; Hal yang berhubungan dengan tanah yang akan ditanami
seperti lokasi tanah dan batas tanah; Hal yang berhubungan dengan waktu dan
syarat-syaratnya; Hal yang berhubungan dengan alat-alat yang dipakai dalam
bercocok tanam Muzara’ah.
Syarat mukhabarah: Pemilik tanah dan penggarap harus orang yang sudah baligh
dan berakal; Peralatan dibebankan kepada petani penggarap lahan; Lahan harus bisa
menghasilkan, jelas batas-batasnya, dan diserahkan sepenuhnya kepada penggarap;
Benih yang akan ditanam harus jelas dan menghasilkan; Jangka waktu harus jelas
menurut kebiasaan masa tanam dan masa panen; Pembagian hasil harus jelas dan
sesuai dengan ketentuannya.
• Berikut ini merupakan perbedaan dari musaqqah, muzara'ah dan mukhabarah:
Musaqqah, sudah disediakan benih atau tanaman oleh pemilik kebun.
Muzaraah, tanaman disediakan oleh petani.
Mukhabarah, tanaman disediakan oleh pemilik tanah.
• Berakhirnya akad musaqqah: karena jangka waktu al-Musaaqaah yang disepakati
sudah habis, meninggalnya diantara pihak, dan yang ketiga ialah adanya pembatalan
akad.
Berakhirnya akad muzara’ah: Meninggalnya salah seorang yang berakad,
Penyimpangan yang dilaksanakan penggarap dalam akad Muzara’ah, Terdapatnya
halangan atau Uzur atas permintaan diantara pihak dan pihak pekerja jelas-jelas tidak
lagi dapat melanjutkan pekerjaannya.
Berakhirnya akad mukhabarah: Apabila telah usai masa mukhabarah sesuai
dengan kesepakatan saat akad atau ijab qabul, Apabila salah satu pihak meninggal
dunia, Adanya uzur misalnya tanah garapan terpaksa dijual pemiliknya dengan
alasan krusial, Apabila telah terjadi bencana alam, misalnya banjir yang melanda
tanah garapan, sehingga mengakibatkan kondisi tanah dan tanaman rusak.

24
B. SARAN
Tentunya terhadap penulis sudah menyadari jika dalam penyusunan makalah di atas
masih banyak ada kesalahan serta jauh dari kata sempurna. Adapun nantinya penulis akan
segera melakukan perbaikan makalah ini dengan menggunakan pedoman dari beberapa
sumber dan kritik yang bisa membangun dari para pembaca.

25
DAFTAR PUSTAKA

Abi Abdillah Muhammad bin Yazid, Sunan Ibnu Majjah, juz 3


Ali Hasan, M. 2004, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqih Muamalat), Jakarta, PT.
Raja Grafindo Persada, Edisi 1 Cet ke 2

http://repository.uinbanten.ac.id/1560/4/BAB%20II.pdf . diakses pada 11 disember 2022

http://repositori.uin-alauddin.ac.id/6411/1/Andi%20Arwini.pdf diakses pada 11 disember2022

https://www.kapanlagi.com/plus/mukhabarah-adalah-kerja-sama-antara-pemilik-tanah-dan-
petani-ketahui-pengertian-rukun-dan-syarat-syaratnya-9aeb46.html

Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim, (Kairo: Dar Ihya Al-Kutub Al-‘Arabiyyah, t.t.), juz 5

Rusyd, Ibnu 2007 Bidayatul Mujtahid jilid 6 , Jakarta : Pustaka Azzam

Muhammad Azzam, Abdul Aziz 2010 Fiqh Muamalat, Jakarta : Amzah

Nawawi Ismail, Fikih Muamalah Klasik Dan Kontemporer, Bogor : Ghalia


Indonesia, 2002

Sihabuddin, Al-Imam 923 H Irsyadussari (Syarh Shohih al Bukhori),


Terjemahan, Beirut Lebanon : Daarul Kitab Alulumiyyah, Juz V

Zuhaili, Wahbah 1985 Al-fiqhu Al-Islamiy Wa Adillatuhu, Beirut: Darul Fikr,cet ke 2

26

Anda mungkin juga menyukai