Anda di halaman 1dari 5

MAKALAH FIKIH MUAMALAH

MUZARA’AH DAN MUSAQAH

Disusun oleh :

Kelompok 3

Kuntum Khaira Sado (2213040105)

Dosen pengampu :

Dr. Duhriah, M.Ag

PRODI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

IMAM BONJOL PADANG

1444/2023
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN MUZARA’AH

Pengertian muzara’ah secara etimologis berasal dari kata al-zar’u yang berarti penanaman
atau pengolahan. Muzara’ah adalah kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan
dan penggarap, dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk
ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (persentase) dan hasil panen. Al-
muzara’ah seringkali di identikkan dengan mukhabarah. Di antara keduanya ada sedikit
perbedaan yaitu : muzara’ah adalah benih dari pemilik lahan, mukhabarah adalah benih dari
penggarap. Dalam pengertian istilah, muzara’ah diartikan sebagai suatu cara untuk
menjadikan tanah pertanian menjadi produktif dengan bekerjasama antara pemilik dengan
penggarap dalam memproduktifkannya, dan hasilnya dibagi diantara mereka berdua dengan
perbandingan (nisbah) yang dinyatakan dalam perjanjian atau berdasarkan urf (adat
kebiasaan). Hanafiah memberikan definisi muzara’ah sebagai suatu ibarat tentang akad kerja
sama penggarapan tanah dengan imbalan sebagian hasilnya, dengan syarat- syarat yang
ditetapkan oleh syara. Syafi’iyah menjelaskan muzara’ah adalah transaksi antara penggarap
(dengan pemilik tanah) untuk menggarap tanah dengan imbalan sebagian dari hasil yang akan
keluar dari tanah tersebut dengan ketentuan bibit dari pemilik tanah. Dari definisi- definisi
yang dikemukakan oleh para ulama mazhab tersebut dapat diambil intisari bahwa muzara’ah
adalah suatu akad kerja sama antara dua orang, dimana pihak pertama yaitu pemilik tanah
menyerahkan tanahnya kepada pihak kedua yaitu penggarap, untuk diolah sebagai tanah
pertanian dan hasilnya dibagi di antara mereka dengan perimbangan setengah setengah atau
sepertiga dua pertiga atau lebih kecil atau lebih besar dari nisbah tersebut, sesuai dengan hasil
kesepakatan mereka.

B. DASAR HUKUM MUZARA’AH

Sistem muzara’ah ini sudah ada sejak zaman Rasululah SAW yaitu ketika beliau
memberikan tanah khaibar kepada prang yahudi dengan sisem bagi hasil. Muzara’ah
hukumnya boleh bagi Syafi’iyah dengan alasan kebutuhan (hajah). Menurut ulama fiqh
hukumnya mubah (boleh) dimana dasar kebolehannya itu dapat dipahami secara khusus
hadist Nabi dari Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim : “Dari Ibnu Umar
r.a bahwasannya Rasulullah saw, memperkejarkan seorang penduduk khaibar pada sebidang
tanah dengan memberikan sebagian hasilnya (berupa) buah-buahan atau palawija” (H.R
Bukhari dan Muslim). Adapula hadist yang diriwayatkan olrh Bukhari dan Muslim dari Ibnu
Abbas r.a : “Sesungguhnya Nabi saw menyatakan tidak mengharamkan bermuzara’ah,
bahkan beliau menyuruhnya, suapaya yang sebagian meyayangi sebagian yang lain, dengan
katanya, barang siapa yang memiliki tanah, maka hendaklah ditanaminya taau diberikan
faedahnya kepada saudaranya, jika ia tidak mau, maka boleh ditahan saja tanah itu”. (H.R
Bukhari dan Muslim). Riwayat- riwayat ini menunjukkan dalil kebolehannya akad bagi hasil
atau paroan sawah yang didapat dari hasil kerja ama pertanian tersebut.

C. RUKUN DAN SYARAT MUZARA’AH

Rukun Muzara’ah menurut Hanafiah adalah ijab dan qabul, yaitu berupa pernyataan
pemilik tanah, “Saya serahkan tanah ini kepada anda untuk digarap dengan imbalan
separuh dari hasilnya “ dan pernyataan penggarap “Saya terima atau saya setuju”.
Sedangkan menurut jumhur ulama, sebagaimana dalam akad-akad yang lain, rukun
muzara’ah ada tiga, yaitu:

1. ‘aqid yaitu pemilik tanah dan penggarap


2. Ma’qud ‘alaih atau objek akad yaitu manfaat tanah dan pekerjaan penggarap
3. Ijab dan qabul

Syarat- syarat muzara’ah :

1. Pemilik lahan harus menyerahkan lahan yang akan digarap kepada pihak yang akan
menggarap.
2. Penggarap wajib memiliki keterampilan bertani dan bersedia menggarap lahan yang
diterimanya.
3. Penggarap wajib memberikan keuntungan kepada pemilik lahan bila pengelolaan
yang dilakukan menghasilkan keuntungan.

D. PENGERTIAN MUSAQAH

Musaqah dalam arti bahasa merupakan wazn mufa’alah dari kata as-saqyu yang
sinonimnya asy-syurbu, artinya memberi minum. Penduduk madinah menamai musaqah
dengan muamalah yang merupakan wazn mufa’alah dari kata ‘amalia yang artinya bekerja
(bekerjasama). Al-musaqah adalah bentuk yang lebih sederhana dari muzara’ah di mana si
penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan peeliharaan sebagai imbalan, si
pengarap berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen. Menurut syara’ musaqah adalah suatu
akad penyerahan pepohonan kepada orang yang mau menggarapnya dengan ketentuan hasil
buah-buahan dibagi diantara mereka berdua. Dapat dipahami bahwa musaqah adalah suatu
akad antara dua orang di mana pihak pertama memberikan pepohonan dalam sebidang tanah
perkebunan untuk diurus, ditanami sehingga pohon tersebut menghasilkan buah-buahan dan
hasil tersebut dibagi antara keduanya.

E. DASAR HUKUM MUSAQAH

Telah berkata Abu Ja’fat Muhammad bin Ali bin Husain bin Abu Thalib r.a bahwa
rasulullah SAW telah menjadikan penduduk khaibar sebagai penggarap dan pemelihara atas
daar bagi hasil. Hal ini dilanjutkan oleh abu bakar, umar, ali serta keluarga-keluarga mereka
sampai hari ini dengan rasio 1/3 dan 1/4. Semua telah dilakukan oleh khulafaur rasyidiin
pada zaman pemerintahannya dan semua pihak yang telah mengetahuinya, akan tetapi tak
seorang pun yang meynanggahnya. Berarti ini adalah ijma’ sukuti (konsensus dari umat).
Ibnu umar berkata bahwa Rasulullah pernah memberikan tanah di khaibar kepada yahudi
untuk dipelihara dengan menggunakan dana dan peralatan mereka. Sebagai imbalan, mereka
memperoleh persentase tertentu dari hasil panen.

F. RUKUN DAN SYARAT MUSAQAH

Rukun musaqah adalah :

1. Pihak pemasok tanaman


2. Pemeliharaan tanaman
3. Tanaman yang dipelihara
4. Akad

Syarat-syarat musaqah :

1. Kecakapan ‘aqidain, harus berakal dan mumayyiz. Menurut hanafiah, baligh tidak
menjadi syarat sedangkan menurut ulama yang lain, baligh menjadi syarat sahnya
musaqah.
2. Objek akad dimana diketahui mengharuskan pohon yang berbuah dan jelas.
3. Membebaskan ‘amil dari pohon. Dalam hal ini, pemilik tanah menyerahkan
sepenuhnya pohon yang akan dirawat kepada penggarap.
4. Kepemilikan bersama dalam hasil yang diperoleh dibagi antara pemilik dan
penggarap dengan kadar pembagian yang jelas. Apabila pembagian tidak jelas maka
musaqah menjadi fasid.

KESIMPULAN

Muzara’ah adalah suatu akad kerja sama antara dua orang, dimana pihak pertama yaitu
pemilik tanah menyerahkan tanahnya kepada pihak kedua yaitu penggarap, untuk diolah
sebagai tanah pertanian dan hasilnya dibagi di antara mereka dengan perimbangan setengah
setengah atau sepertiga dua pertiga atau lebih kecil atau lebih besar dari nisbah tersebut,
sesuai dengan hasil kesepakatan mereka. Sedangkan musaqah adalah suatu akad antara dua
orang di mana pihak pertama memberikan pepohonan dalam sebidang tanah perkebunan
untuk diurus, ditanami sehingga pohon tersebut menghasilkan buah-buahan dan hasil tersebut
dibagi antara keduanya. Perbedaan antara keduanya terletak pada musaqah, tanamannya
sudah ada namun butuh tenaga kerja untuk merawatnya sementara muzara’ah belum ada
tanaman di atas tanah, tanah harus digarap dulu oleh si penggarap dan benihnya berasal dari
si penggarap.
DAFTAR PUSTAKA

Muslich, Ahmad Wardi. (2013). Fiqh Muamalat. Jakarta: AMZAH

Mardani, (2016). Fiqh Ekonomi Syariah Fiqh Muamalah. Jakarta. Kencana

Anda mungkin juga menyukai