Anda di halaman 1dari 9

MATERI KERJASAMA ATAS LAHAN PERTANIAN (MUSAQAH, MUZARA’AH, DAN

MEKHABARAH
A. Pengertian dan Hukum Musaqah, Muzara’ah dan Mukhabarah

Secara sederhana Musaqah diartikan dengan kerjasama dalam perawatan tanaman


dengan imbalan bagian dari hasil yang diperoleh dari tanaman tersebut.1

Menurut Amir Syarifuddin, yang dimaksud dengan tanaman dalam muamalah ini
adalah tanaman tua, atau tanaman keras yang berbuah untuk mengharapkan buahnya.
Perawatan disini mencakup mengairi (inilah arti sebenarnya musaqah) menyiangi,
merawat dan usaha lain yang berkenaan dengan buahnya.2

Musaqah diambil dari kata al-saqa, yaitu seseorang bekerja pada pohon tamar,
anggur (mengurusnya), atau pohon-pohon yang lainnya supaya mendatangkan
kemaslahatan dan mendapatkan bagian tertentu dari hasil yang diurus sebagai
imbalan.3

Musaqah adalah bentuk yang lebih sederhana dari muzara‟ah dimana si


penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai
imbalan, si penggarap berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen.4

Secara etimologi, al-musaqah berarti transaksi dalam pengairan, yang oleh


penduduk Madinah disebut dengan al-mu‟amalah. Secara terminologis fiqh, al-
musaqah didefinisikan oleh para ulama fiqh dengan :

“penyerahan sebidang kebun pada petani untuk digarap dan dirawat dengan
ketentuan bahwa petani mendapatkan bagian dari hasil kebun itu”.

Musaqah, didefinisikan oleh para ulama, sebagaimana dikemukakan oleh


Abdurrahman al-Jaziri, sebagai berikut:

“Akad untuk pemeliharaan pohon kurma, tanaman (pertanian), dan hal lainnya,
dengan syarat-syarat tertentu”.5

1
Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqih, Prenada Media, Jakarta, 2003, hlm. 243.
2
Ibid.
3
Hendi Suhendi, Op.Cit., hlm. 145.
4
Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani, 2001, hlm. 100.
5
Hendi Suhendi, Op.,Cit, hlm. 145.
Menurut Malikiyah, musaqah ialah:

“sesuatu yang tumbuh ditanah”.6


Menurut Malikiyah, sesuatu yang tumbuh ditanah terbagi menjadi lima macam,
yaitu sebagai berikut:7

a. Pohon-pohon tersebut berakar kuat (tetap) dan berbuah. Buah itu dipetik
serta pohon tersebut tetap ada dengan waktu yang lama, misalnya pohon
anggur dan zaitun.
b. Pohon-pohon tersebut berakar tetap, tetapi tidak berbuah, seperti pohon
kayu keras, karet dan jati.
c. Pohon-pohon tersebut tidak berakar kuat, tetapi berbuah dan dapat dipetik
seperti padi.
d. Pohon-pohon yang tidak berakar kuat dan tidak ada buahnya yang dapat
dipetik, tetapi memiliki kembang yang bermanfaat, seperti bunga mawar.
e. Pohon-pohon yang diambil manfaatnya, bukan buahnya, seperti tanaman
hias yang ditanam dihalaman rumah dan ditempat lainnya.

Sedangkan menurut ulama Syafi‟iyah mendifinisikan dengan :

“mempekerjakan petani penggarap untuk menggarap kurma atau pohon


anggur saja dengan cara mengairi dan merawatnya dan hasil kurma atau
anggur itu dibagi bersama antara pemilik dengan petani penggarap‟‟8

Menurut ulama Hanabilah, musaqah mencakup dua masalah berikut ini:9

a. Pemilik menyerahkan tanah yang sudah ditanami, seperti pohon anggur,


kurma dan yang lainnya. Baginya, ada buah yang dapat dimakan sebagai
bagian tertentu dari buah pohon tersebut, seperti sepertiga atau
setengahnya.
b. Seseorang menyerahkan tanah dan pohon, pohon tersebut belum
ditanamkan, maksudnya supaya pohon tersebut ditanam pada tanahnya,

6
Ibid.
7
Ibid., hlm. 146.
8
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2000, hlm. 281-282.
9
Ibid., hlm. 147.
yang menanam akan memperoleh bagian tertentu dari buah pohon yang
ditanamnya, yang kedua ini disebut munashabah mugharasah karena
pemilik menyerahkan tanah dan pohon-pohon untuk ditanamkannya.

Menurut bahasa, Al-Muzara’ah yang berarti Tharh Al- Zur’ah


(melemparkantanaman) , muzara’ah memilki dua arti yang pertama al-muzara’ah yag
10

berarti tharh al-zur’ah (melemparkan tanaman) maksuudnya adalah modal(al- budzar).


Makna yang pertama adalah makna majaz, makna yang kedu adalah al-inbat makna
hakikimakna kedua ini berarti menumbukan.11

Menrut istilah, menurut Hanafiyah,

muzara’ah adalah akad untuk bercocok tanm dengan sebagian yang keluar dari bumi.12
Menuut Hanabilah,

muzara’h adalah pemilik tanah yang sebenarnya menyerahkan tanahnya untuk ditanami
dan yang bekerja diberi bibit.13
Daam kitab al-umm, Imam Syafi’I menjelaskan bahwa sunnah rosul menunukkan dua
hal tentang makna muzara’ah yakni pertama : kebolehan bermamalah atas pohon kurma
atau diperbolehkan bertransaksi atas tanah dan apa yang dihasilkan. Artinya ialah bahwa
pohon kurma tersebut telah ada baru kemudian diserahkan pada perawat (pekerja) untuk
dirawat sampai berbuah. Namun sebelum kedua belah pihak (pemilik kebun dan pekerja)
harus terlebih dahulu bersepakat tentang pembagian hasil , bahwa sebagian buah untuk
pemilik kebun sedangkan yang lainya untuk pekerja. Kedua : ketidak bolehan muzara’ah
dengan menyerahkan tanah kosong dan tidak ada tanaman didalamnya kemudian tanah
itu ditanami tanaman oleh pengarap dengan tanaman lain.14
Muzara’ah adalah akad transaksi kerjasama pengolahan pertanian antara pemilik
lahan dan penggarap, dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian dan bibit kepada
sipenggarap untuk menanami dan memelihara dengan imbalan pembagian tertenru
(persentase) dari hasil panen.15

10
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid 4, PT. Alma’Arif, Bandung, 1996, hlm. 81
11
Hadi Suhendi, Fiqih Mu’amalah, PT, Raja Grofindo Persada, Jakarta, 2013,hlm.153
12
Ibid, hlm. 153
13
Ibid, hlm. 54
14
Imam Abi Abdillah Muhammad bin Idris Asy-Safi’I, al-Umm, Juz III, Dar al-Fikr, Mesir, hlm.12
15
Mardani, Fiqh Ekonomi Syari’ah, Kencana Prenada Media Group, Jln. Tambara Raya, No. 23, Rawa
Manggung, Jakarta, 2012, Hlm. 240
Menurut para ulama ada yang berpendapat bahwa Muzara’ah sama dengan
mukhabarah, menurut Hanafiyah, mukhabarah dan muzara’ah hampir tidak bisa
dibedakan, muzara’ah menggunakan kalimat bi ba’d al-kharij min al- ard, sedangkan
dalam mukhabarah menggunakan kalimat bi ba’d ma yakhruju min al-arad, Menurut
hanafiyah belum diketahi perbedaan tersebut berdasarkan pemikiran Hanafiyah.16
B. Rukun dan Syarat Mesaqah dan Muzara’ah
1. SyaratMuzara’ahatau Mukhabarah
Menurut jumhur ulama, syarat-syarat muzara’ah, ada yang berkaitan dengan
orang-orang yang berakad, benih yang akan ditanam, lahan yang akan dikerjakan, hasil
yang akan dipanen, dan jangka waktu berlaku akad.
1) Syarat yang berkaitan dengan orang yang melakukan akad, harus baligh
dan berakal, agar mereka dapat bertindak atas nama hukum. Oleh sebagian
ulama mazhab Hanafi, selain syarat tersebut ditambah lagi syarat bukan
orang murtad, karena tindakan orang murtad dianggap Mauquf, yaitu tidak
mempunyai efek hukum, seperti ia masuk islam kembali, namun, Abu
Yusuf dan Muhammad Hasan Asy- Syaibani, tidak menyetujui syarat
tambahan itu karena akad muzara’ah tidak dilakukan sesama muslim saja,
tetapi boleh juga antara muslim dengan non muslim.
2) Syarat yang berkaita dengan benih yang akan ditanam harus jelas dan
menghasilkan.
3) Syarat yang berkaitan dengan lahan pertanian adalah:
a) Lahan itu bisa diolah dan menghasilkan, sebab ada tanaman yang
tidak cocok ditanam didaerah tertentu.
b) Batas-batas lahan itu jalas.
c) Lahan itu sepenuhnya diserahkan kepada petani untuk dioalah
dan pemilik lahan tidak boleh ikut campur tangan untuk
mengelolanya.
4) Syarat yang berkaitan dengan hasil sebagai berikut:
a) Pembagian hasil panen harus jelas
b) Hasil panen itu benar-benar milik bersama orang yang berakad,
tanpa ada pengkhususan seperti disisihkan lebih dahulu sekian
persen.
c) Bagian atara amil dan malik adalah dari satu jenis barang yang
sama.
d) Bagian kedua belah pihak sudah dapat diketahui
e) Tidak disyaratkan bagi salah satunya penambahan yang maklum.
5) syarat yang berkaitan dengan waktu pun harus jelas didalam akad,
sehingga pengelola tidak dirugikan seperti membatalkan akad sewaktu-
waktu.
a) Waktu yang telah ditentukan.
b) Waktu itu memungkinkan untuk menanam tanaman yang
dimaksud.
c) Waktu tersebut memungkinkan dua belah pehak hidup menurut

16
Hendi Suhendi, Loc.Cit.53
kabiasaan.
6) Syarat yang berhubungan dengan alat-alat muzara’ah, alat-alat tersebut
disyaratkan berupa hewan atau yang lain dibebankan kepada pemilik
tanah.17

2. Rukun-rukunMuzara’ahdanMukhabarah
Jumhur ulama membolehkan akad muzara’ah, mengemukakan rukun yang
harus dipenuhi, agar akad itu menjadi sah.
a. Penggarap dan pemilik tanah (akid)
Akid adalah seseorang yang mengadakan akad, disini berperan
sebagai penggarap atau pemilik tanah pihak-pihak yang
mengadakan akid, maka para mujtahid sepakat bahwa akad
muzara’ah atau mukhabarah sah apabila dilakukan oleh : seseorang
yemg telah mencapai umur, seseorang berakal sempurna dan
seseorang yang telah mampu berihtiar.
Jika tidak bisa terselenggara akad muzara’ah atau
mukhabarah di atas orang gila dan anak kecil yang belum pandai,
maka apabila melakukan akad ini dapat terjadi dengan tanpa adanya
pernyataan membolehkan. Hal ini dibolehkan apabila ada izin dari
walinya. Untuk kedua belah pihak yang melakukan akad
disyaratkan berkemampuan yaitu keduanya berakal dan dapat
membedakan. Jika salah seorang yang berakat itu gila atau anak
kecil yang belum dapat membedakan, maka akad itu tidak sah.18
Adapun kaitannya dengan orang yang berakal sempurna,
yaitu orang tersebut telah dapat dimintai pertanggungjawaban, yang
memiliki kemampuan untuk membedakan yang baik dan buruk
(berakal).Nampak padanya bahwa ddoirinya telah mampu mengatur
harta bendanya.

b. Obyek muzara’ah danmukhabarah (ma’qud ilaih)


Ma’qud ilaih adalah benda yang berlaku pada hukum akad atau
barang yang dijaddikan obyek pada akad. 19 Ia dijadikan rukun
karena kedua belah pihak telah mengetahui wujud barangnya, sifat
keduanya serta harganya dan manfaat apa yang diambil. Akad
muzara’ah atau mukhabarah itu tidak boleh kecuali tanah yang
sudah diketahui.Kalau tidak diketahui kecuali dengan dilihat seperti
tanah pekarangan, maka dengan hal ini tidak boleh hingga dilihat
terlebih dahulu.Dan juga tidak boleh kecuali atas tanah-tanah yang
bermanfaat atau subur.Kesuburan tanah-tanah terseebut dapat
17
M. Ali Hasa, Berbagai Macam Transakasi Dalam Islam ,Raja Grapido, Persada, Jakarta,2003, Hlm.
276-277
18
Sayyid Sabiq, Op. Cit, hlm.115
19
Tengku Muhammad Hasbi As-Shididieqy, Pengantar Fiqh Mu’amalah, Bulan Bintang, Jakarta, 1998,
hlm. 23
dilihat dari penggunaan tersebut pada masa sebelumnya atau dapat
menggunakan alat pengukur kualaitas kesuburan tanah tersebut. Hal
ini dilakukan untuk menghindari kerugian(baik tenaga maupun
biaya) dari masing-masing pihak yang bersangkutan.
Hal-hal yang harus diperhatikan perjanjian kerjasama yang
berkaitan dengan tanah antara lain : untuk apakah tanah tersebut
digunakan ? apabila tanah digunakan untuk lahan pertanian, maka
harus diterangkan, dalam perjanjian jenis apakah tanaman yang
harus ditanam ditanah tersebut. Sebab jenis tanaman yang ditanam
akan berpengaruh terhadap jangka perjanjian (sewa) tersebut.
Dengan sendirnya akan berpengaruh terhadap uang sewanya.
Penggunaan yang tidak jelas dalam perjanjian, dikhawatirkan akan
melahirkan prestasi yang akan berbeda antara pemilik tanah dengan
penyewa (penggarap) dan pada akhirnya akan menimbulkan
persengketaan.20

c. Harus ada ketentuan bagi hasil


Menurut ketentuan dalam akad muzara’ah atau
mukhabarah perlu diperhatikan ketentuan pembagian hasil
seperti setengah, sepertiga, seperempat, lebih banyak atau lebih
sedikit dari itu.21Hal itu harus diketahui dengan jelas, disamping
untuk pembagiannya.Karena masalah yang sering muncul
kepermukaan dewasa ini dalam dunia perserikatan adalah
masalah yang menyangkut pembagian hasil serta waktu
pembiayaan.Pembagian hasil harus sesuai dengan kesepakatan
keduanya.

d. Ijab dan Qabul.22


Suatu akad akan terjadi apabila ada ijab dan qabul, baik
dalam bentuk perkataan atau dalam bentuk persyaratan yang
menunjukkan adanya persetujuan kedua belah pihak dalam
melakukan akad tersebut. Ijab dan Qabul artinya ikatan antara
pemilik tanah dan penggarapnya. Dalam hal ini baik akad
munajjaz (akad yang di ucapan seseorang dengan member tahu
batasan) maupun qhairu munajjas (akad yang diucapkan
seseorang tanpa memberikan batasan) dengan suatu kaidah tanpa
mensyaratkan dengan suatu syarat.23

20
Suhwardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hlm. 148
21
Syekh Muhammad Yusuf Qardawi, Halal Dan Haram Dalam Islam, PT. Bina Ilmu, Jakarta, 2001,
hlm. 384
22
Hendi suhendi, Op.Cit, Hlm.
23
Tengku Muhammad Hasbi As-Shididieqy, Op. Cit, hlm. 75
C. Berakhirnya Akad Musaqah
Menurut ulama fiqh24, akad musaqah berakhir apabila:
a. Tenggang waktu yang disepakati dalam akad telah habis

b. Salah satu pihak meninggal dunia

c. Uzur yang membuat salah satu pihak tidak boleh melanjutkan


akad

Uzur yang mereka maksudkan dalam hal ini di antaranya adalah petani

penggarap itu terkenal sebagai seorang pencuri hasil tanaman dan petani

penggarap sakit yang tidak memungkinkan dia untuk bekerja.

Jika petani wafat, maka ahli warisnya boleh melanjutkan akad itu jika

tanaman itu belum dipanen, sedangkan jika pemilik perkebunan yang wafat,

maka pekerjaan petani harus dilanjutkan. Jika kedua belah pihak yang

berakad meninggal dunia, kedua belah pihak ahli waris boleh memilih antara

meneruskan akad atau menghentikannya.25

Akan tetapi ulama malikiyah menyatakan bahwa akad musaqah adalah

akad yang boleh diwarisi, jika salah satu pihak meninggal dunia dan tidak

boleh dibatalkan hanya karena ada uzur dari pihak petani.

Ulama Syafi‟iyah juga mengatakan bahwa akad musaqah tidak boleh

dibatalkan karena adanya uzur. Jika petani penggarap mempunyai uzur maka

harus ditunjuk salah seorang yang bertanggung jawab untuk melanjutkan

pekerjaan itu.26

A. Hikmah Musaqah, Mezara’ah dan Mukhabarah

24
Ibid,
25
Ibid, hlm. 287-288.
26
Ibid
Manusia banyak yang mempunyai binatang ternak seperti sapi, kebau, kuda, dan
yang lainnya. Dia sanggup untuk berladang dan bertani untuk mencukupi keperluan
hidupnya, tetapi tidak memiliki tanah. Sebaliknya banyak diantara manusia mempunyai
tanah, sawah, ladang, dan lainnya, yang layak untuk ditanami (bertani), tetapi ia tidak
memiliki binatang untuk mengolah sawah dan ladangnya tersebutatau ia sendiri tidak
sempat untuk mengerjakannya, sehingga banyak tanah yang dibiarkan dan tidak dapat
menghasilkan sesuatu apapun.
Muzara’ah dan mukhabarah disyariatkan untuk menghidari adanya kepemilikan
ternak yang kurang bisa dimanfaatkan karena tidak ada tanah untuk diolah dan
menghindari tanah yang juga dibiarkan tidak diproduksi karena tidak ada yang
mengolahnya. Muzara’ah dan mukhabarah terdapat pembagian hasil. Untuk hal-hal
lainnya yang bersifat teknis disesuaikan dengan syirkah yaitu konsep bekerja sama
dengan upaya menyatukan potensi yang ada pada masing-masing pihak dengan tujuan
bisa saling menguntungkan dan saling bertanggungjawab.
Muzara’ah dan mukhabarah dalam Islam tidak membedakan antara bagi laki-laki
maupun perempuan. Pada masyarakat yang suka merantau seperti masyarakat Pidie.
Suami akan merantau, sedangkan istri tinggal di kampung bersama orang tuanya. Istri
yang ditinggalkan suami akan melakukan kegiatan, seperti menanam kacang hijau, cabe,
bawang atau kegiatan lainnya untuk menambah penghasilan yang dkirim oleh suaminya
diperantauan. Hasil kerja istri biasanya akan dibeli perhiasan-perhiasan atau benda-benda
lain yang khusus untuk perempuan. Ketika rumah tangga mereka bubar, jenis harta
kekayaan ini menjadi milik bekas istri.27

27
Dr. A. Hamid Sarong, dkk., Fiqh, (Banda Aceh: Bandar Publishing, Januari 2009), hal. 114.

Anda mungkin juga menyukai