Anda di halaman 1dari 27

MUSAQAH, MUZARA’AH DAN MUKHABARAH

Makalah ini di Susun Utuk Menenuhi Tugas Indifidu


Pada Mata Kuliah Tafsir Ahkam II

Dosen Pengampu :
Moh Kholik, S.Pd.I., M.Pd.

Oleh :
Khozainil Fauza
NIMKO. 2017.4.112.0020.1.000284

PRODI S-I MENEJEMEN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH

AL URWATUL WUTSQO – JOMBANG

2019
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Puji dan syukur kita kehadirat Allah SWT. Atas segala limpahan rahmat
dan taufik serta hidayah-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan tugas
kelompok dalam mata kuliah Manajemen Kurikulum, dengan judul “Musaqah,
Muzara’ah dan Mukhabarah".
Sholawat beserta salam senantiasa tercurahkan kepada nabi Muhammad
SAW. Kepada keluarganya, sahabatnya, kepada pengikutnya yang senantiasa
mencontoh kemuliaan akhlaknya sebagai tauladan hidup.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena, itu, kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun
selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata saya ucapkan terima kasih terutama kepada Dosen pembimbing
Bapak Moh Kholik, S.Pd.I., M.Pd., serta teman- teman sekelas yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah
SWT. Senantiasa meridhoi segala usaha kita. Amin.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Kediri, 31 Januari 2019

Penulis

[i]
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................. i

DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii

BAB I ...................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN .................................................................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah ............................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 1

C. Tujuan .......................................................................................................... 2

BAB II ..................................................................................................................... 3

PEMBAHASAN ..................................................................................................... 3

A. Musaqah ....................................................................................................... 3

B. Muzarah........................................................................................................ 6

C. Mukhabarah................................................................................................ 16

BAB III ................................................................................................................. 22

PENUTUP ............................................................................................................. 22

A. Kesimpulan ................................................................................................ 22

B. Kritik dan Saran ......................................................................................... 23

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 24

[ii]
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bekerja merupakan suatu kewajiban bagi setiap manusia, banyak sektor-
sektor pekerjaan yang bisa kita lakukan salah satunya adalah pada sektor
pertanian. Masyarakat pedesaan yang pada umumnya hanya menggantungkan
hidupnya dari hasil pertanian, dimana taraf kesejahteraan mereka berbeda-
beda. Sebagian dari mereka ada yang memiliki lahan sendiri untuk digarap,
yang luasnya bervariasi. Tapi ada juga yang tidak memiliki lahan sendiri
untuk digarap sehingga untuk mencukupi kebutuhannya, mereka bekerjasama
dengan yang memiliki lahan untuk menggarap lahan pertaniannya dengan
imbalan bagi hasil. Namun ada juga mereka yang telah memiliki lahan
sendiri, dikarenakan lahannya sedikit maka hasilnya belum mencukupi
kebutuhan hidupnya, untuk menambah penghasilan mereka juga bekerja di
lahan milik orang lain dengan imbalan bagi hasil pertanian. Terdapat juga
pemilik yang mempunyai beberapa bidang tanah tetapi tidak dapat
menggarapnya karena suatu sebab sehingga penggarapannya diwakili orang
lain dengan mendapat sebagian hasilnya. Kondisi seperti ini pada umumnya
terlihat pada masyarakat pedesaan kita saat ini.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dapat ditentukan rumusan
masalah dalam makalah ini antaralain :
1. Bagaimana pengertian dan penjelasan Musaqah, Muzara’ah dan
Mukhabarah ?
2. Apa saja rukun dan syarat Musaqah, Muzara’ah dan Mukhabarah ?
3. Sebutkan dalil-dalil yang menjelaskan Musaqah, Muzara’ah dan
Mukhabarah ?
4. Apa hikmah di balik Musaqah, Muzara’ah dan Mukhabarah ?

[1]
5. Bagaimana hikmah dan contoh penerapan dari Musaqah, Muzara’ah dan
Mukhabarah ?

C. Tujuan
1. Memahami pengertian dan penjelasan Musaqah, Muzara’ah dan
Mukhabarah ?
2. Mengetahui rukun dan syarat Musaqah, Muzara’ah dan Mukhabarah ?
3. Faham dalil-dalil yang menjelaskan Musaqah, Muzara’ah dan
Mukhabarah ?
4. Mengetahui hikmah di balik Musaqah, Muzara’ah dan Mukhabarah ?
5. Memahami hikmah dan contoh penerapan dari Musaqah, Muzara’ah dan
Mukhabarah ?

[2]
BAB II

PEMBAHASAN
A. Musaqah
1. Pengertian Musaqah
Musyaqah berasal dari kata saqay, yang mempunyai arti memberi
minum, musaqah adalah salah satu bentuk penyiraman. Orang Madinah
menyebutnya dengan istilah muammalah. Tapi yang lebih dikenal adalah
musaqah.1
Secara terminologi, musaqah didefinisikan oleh para ulama fiqh
sebagai berikut:
a. Menurut Abdurrahman al-Jaziri, musaqah ialah:

‫عقد على خدمة شجر ونخل وزرع ونحو ذالك بشرائط مخصوصة‬
“Akad untuk pemeliharaan pohon kurma, tanaman (pertanian), dan
yang lainnya dengan syarat-syarat tertentu”.
b. Menurut Ibn ‘Abidin yang dikutip Nasrun Haroen, musaqah ialah;

ّ ‫معاقدة دفع األشجار الى من يعمل فيها على‬


‫أن الثمرة بينهما‬
“Penyerahan sebidang kebun pada petani untuk digarap dan
dirawat dengan ketentuan bahwa petani mendapatkan bagian dari
hasil kebun itu”.
c. Ulama Syafi’iyah mendefinisikan:

‫ان يعامل غيره على نخل او شجر عنب فقط ليتعهده بالسقى و التربية على ان الثمرة لهما‬
“Mempekerjakan petani penggarap untuk menggarap kurma atau
pohon anggur saja dengan cara mengairi dan merawatnya, dan
hasil kurma atau anggur itu dibagi bersama antara pemilik dan
petani yang menggarap”.
Dengan demikian, akad musaqah adalah sebuah bentuk kerjasama
antara pemilik kebun dan petani penggarap dengan tujuan agar kebun itu

1
Abdul Rahman, Fiqh Muamalah (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012). 9.

[3]
dipelihara dan dirawat sehingga memberikan hasil yang maksimal.
Kemudian, segala sesuatu yang dihasilkan pihak kedua berupa buah
merupakan hak bersama antara pemilik dan penggarap sesuai dengan
kesepakatan yang mereka buat.2
2. Hukum Akad Musaqah
a. Menurut Imam Abu Hanifah dan Zufar ibn Huzail, akad musaqah
tidak dibolehkan, berdasarkan hadis:
‫من كان له ارض فليزرعها و اليكريها ب ثلث و البربع و الضض بطعام مسمى‬
“Barang siapa yang memiliki tanah, hendaklah mengelolanya, tidak
boleh menyewakannya dengan sepertiga atau seperempat, dan tidak
pula dengan makanan yang telah ditentukan”.
b. Menurut Abu yusuf dan Muhammad dan jumhur ulama
membolehkan musaqah yang didasarkan pada hadis;

‫عن ابن عمر رضي هللا عنهما ان رسول هللا صلى هللا عليه و سلم عامل اهل خيبر بشرط‬
‫ما يخرج من ثمر او زرع‬
Bahwa Rasulullah saw melakukan kerjasama perkebunan dengan
penduduk Khaibar dengan ketentuan bahwa mereka mendapatkan
sebagian dari hasil kebun atau pertanian itu (HR.Jama’ah).
3. Syarat dan Rukun Musaqah
a. Syarat musaqah:
1) Kedua belah pihak yang melakukan transaksi harus orang yang
cakap hukum, yakni dewasa (balig) dan berakal.
2) Obyek musaqah itu harus terdiri atas pepohonan yang
mempunyai buah.
3) Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani penggarap
setelah akad berlangsung untuk digarapi, tanpa campur tangan
pemilik tanah.
4) Hasil (buah) yang dihasilkan dari kebun itu merupakan hak
mereka bersama, sesui dengan kesepakatan yang mereka buat,
baik dibagi dua, dibagi tiga dan sebagianya.

2
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), 5-6.

[4]
5) Lamanya perjanjian itu harus jelas, karna transaksi ini hampir
sama dengan transaksi sewa menyewa, agar terhindar dari
ketidakpastian.3
b. Jumhur ulama menetapkan rukun musyaqah 5 yaitu :
1) Dua orang yang akad (al-aqidani)
Al-aqidani disyaratkan harus balig dan berakal.
2) Objek musaqah
Menurut ulama Hanafiyah adalah pohon-pohon yang
berbuah, seperti kurma. Menurut ulama Malikiyah adalah
tumbuhan seperti kacang, pohon yang berbuah dan memiliki
akar yang tetap di tanah, seperti anggur, kurma yang berbuah,
dan lainnya dengan dua syarat :
a) Akad dilakukan sebelum buah tampak dan dapat
diperjualbelikan.
b) Akad ditentukan dengan waktu tertentu.
Menurut ulama Hanabilah berpendapat musyaqah
dimaksudkan pada pohon-pohon berbuah yang dapat di makan.
Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa musyaqah hanya
dapat dilakukan pada kurma dan anggur.
3) Buah
Disyaratkan menentukan buah ketika akad untuk kedua
pihak.
4) Pekerjaan
Disyaratkan pekerja harus bekerja sendiri
5) Shighat (ungkapan ijab qabul)4
4. Berakhirnya Akad Musaqah
Menurut para ulama fiqh, akad musaqah berakhir apabila:
1. Tenggang waktu yang disepakati dalam akad telah habis.
2. Salah satu pihak meninggal dunia.

3
Masjupri. Fiqh Muamalah 1 (Surakarta: FSEI Publlishing, 2013), 26.
4
Ibid., 28.

[5]
3. Ada uzur yang membuat salah satu pihak tidak boleh melanjutkan
akad.5
5. Hikmah Musaqah
a. Terwujudnya kerjasama antara si miskin dan si kaya sebagai relaisasi
ukhuwah islamiyyah.
b. Memberikan lapangan pekerjaan kepada orang yang tidak punya
kebun tapi punya potensi untuk menggarapnya dengan baik
c. Mengikuti sunnah Rasululloh
d. Menghindari praktek pemerasan/penipuan dari pemilik kebun.
e.
Menghilangkan bahaya kefakiran dan kemiskinan.6
6. Contoh Penerapan Musyaqah
Kala itu fatimah baru menjadi janda kaya setelah mendapatkan
warisan dari mendiang suaminya, salahsatu bagianya adalah perkebunan
kelapa, namun karena ia tak mampu mengelola, akhirnya fatimah
menyuruh ihsan (salah satu pemuda desa yang status pekerjaanya masih
serabutan namun giat dalam bekerja dan dapat di percaya) untuk
mengelola kebunanya. Dalam perjanjianya fatimah akan menyerahkan
80% hasil panen sebagai imbalannya ihsan namun segala bentuk
kebutuhan pengelolaan di tanggung oleh ihsan, dan fatimah mempercayai
ihsan untuk mengelola kebunya hingga kelak anaknya fatimah tumbuh
dewasa. Ihsan pun tidak keberatan, dan langsung menyetujuinya. Saat ini
sudah berjalan 4 tahun dari waktu perjanjian itu, kebunnya fatimah tetap
terawat, bahkan bertambah subur, ihsanpun kini telah mempunyai
perkebunan kecil miliknya sendiri yang ia belikan dari uang hasil kebun
fatimah yang ia kelola.7
B. Muzarah
1. Pengertian Muzaraah
Muzara’ah secara bahasa berasal dari Bahasa Arab dari kata dasar
az-zar’u. Kata az-zar’u sendiri memiliki dua makna, makna yang

5
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), 40.
6
Rahmat Syafe'i, Fiqih Muamalah (Bandung: Pustaka Setia, 2001), 35.
7
Pemakalah

[6]
pertama ialah tharh az-zur’ah yang artinya melemparkan benih dalam
istilah lain dari az-zur’ah ialah al-budzr, yakni melemparkan benih ke
tanah. Dan makna yang kedua dari az-zar’u ialah al-inbaat yang
memiliki arti “menumbuhkan tanaman”. Makna yang pertama adalah
makna yang sebenarnya (ma’na haqiqiy), dan makna yang kedua adalah
makna konotasi (ma’na majaziy). Oleh karenanya Rasulullah SAW
dalam sebuah hadis bersabda:
‫ال يقول أحدكم زرعت وليقل حرثت‬

“Janganlah seseorang diantara kalian mengatakan zara’tu,


melainkan katakanlah harats-tu”.

Kedua kata ini memiliki arti keseharian yang mirip, namum kata
haratsa lebih cenderung mendekati makna bercocok tanam. Maksud dari
hadits ini adalah jangan menggunakan kata zara’a jika yang
dimaksudkan adalah makna denotasi yang artinya menumbuhkan, karena
hanya Allah-lah yang dapat menumbuhkan.

)64( ‫) أأنتم تزرعونه ام نحن الزارعون‬63( ‫افرأيتم ما تحرثون‬

“Maka terangkanlah kepadaku tentang yang kamu tanam, kamukah


yang menumbuhkannya atau Kamikah yang menumbuhkannya?”. (QS.
Al-Waqi’ah: 63-64).8

Menurut etimologi, muzara’ah adalah wazan “mufa’alatun” dari kata


“az-zar’a” artinya menumbuhkan. Al-muzara’ah memiliki arti yaitu al-
muzara’ah yang berarti tharhal-zur’ah (melemparkan tanaman),
maksudnya adalah modal.

Adapun secara terminologi para ulama mazhab berbeda pendapat


dalam mendefinisikannya, diantaranya sebagai berikut:

a. Menurut Hanafiah muzara’ah ialah akad untuk bercocok tanam


dengan sebagian yang keluar dari bumi.

8
Suliman Rasjid, Fiqih Islam (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2011), 98-99.

[7]
b. Menurut Hanabilah muzara’ah adalah pemilik tanah yang
sebenarnya menyerahkan tanahnya untuk ditanami dan yang bekerja
diberi bibit.
c. Menurut al-Syafi’i berpendapat bahwa muzâra’ah adalah seorang
pekerja menyewa tanah dengan apa yang dihasilkan dari tanah
tersebut.
d. Menurut Syaikh Ibrahim al-Bajuri bahwa muzara’ah adalah pekerja
mengelola tanah dengan sebagian apa yang dihasilkan darinya dan
modal dari pemilik tanah.
e. Adapun menurut Sulaiman Rasyid penulis kitab Fiqih Islam,
mukhabarah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau
ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau
seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung
pemilik tanah. Sementara muzarO’ah adalah mengerjakan tanah
(orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian
hasilnya (seperdua, sepertiga, atau seperempat). Sedangkan biaya
pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang mengerjakannya.

Jadi, dari beberapa definisi di atas kita bisa ambil kesimpulan bahwa
muzara’ah menurut bahasa berarti muamalah atas tanah dengan sebagian
yang keluar sebagian darinya. Dan secara istilah muzara’ah adalah akad
kerjasama dalam pengolahan tanah pertanian atau perkebunan antara
pemilik tanah dan penggarap dengan pembagian hasil sesuai kesepakatan
kedua pihak.9

Kerjasama muzara'ah ini biasanya dilakukan dalam bidang tanaman


yang benih dan biayanya relative murah dan terjangkau, seperti tanaman
padi, jagung, gandum, kacang. dsb. Hukum muzara'ah pada dasarnya
mubah (boleh), bahkan ada sebagian ulama yang menyebutkan sunnah.
Sabda Rasulullah saw. :

‫يحرم المزارعة ولكن امر ان يرفق بعضهم ببعض‬


ّ ‫أن النبي صلعم لم‬: ‫ قال‬.‫ع‬.‫عن ابن عباس ر‬
)‫بقوله من كانت له ارض فليزرعها او ليمنحها اخاه فان لم فليمسك ارضه (رواه بخاري مسلم‬
9
Ibid., 100-101.

[8]
Dari Ibnu Abbas r.a. berkata : “Sesungguhnya nabi saw. Tidak
mengharamkan muzara'ah, bahkan beliau menyuruh supaya yang
sebagian menyayangi yang sebagian dengan katanya : Barang siapa
yang punya tanah hendaklah ditanaminya, atau diberikan faedahnya
kepada saudaranya dan jika ia tidak mau, maka biarkan saja tanah itu”.
(H.R. Bukhari Muslim).10

2. Dasar Hukum dan Pendapat Ulama


Muzara’ah atau yang dikenal di masyarakat sebagai bagi hasil
dalam pengolahan pertanian, adalah perbuatan yang dilakukan Rasulullah
SAW dan dilakukan para sahabat beliau sesudah itu.
Dalam sebuah hadis shahih yang diriwayatkan melalui Imam
Bukhari, Muhammad al Baqir bin Ali bin Al-Husain ra. Berkata: “Tidak
ada seorang muhajirin pun yang ada di Madinah kecuali mereka
menjadi petani dengan mendapatkan sepertiga atau seperempat. Dan
Ali, Said bin Malik, Abdullah bin Mas’ud, Umar bin Abdul ‘Aziz, Qasim,
Urwah, keluarga Abu Bakar, keluarga Umar, keluarga Ali, dan Ibnu
Sirrin, semua terjun ke dunia pertanian.”. Di dalam kitab Al-Mughni
dikatakan :“Hal ini masyhur, Rasulullah SAW mengerjakan sampai
beliau kembali kerahmatullah, kemudian dilakukan pula oleh para
khalifahnya sampai mereka meninggal dunia, kemudian keluarga mereka
sesudah mereka.”
Sampai-sampai ketika itu di Madinah tak ada seorang pun
penghuni rumah yang tidak melakukan ini, termasuk istri-istri Nabi SAW
yang terjun setelah beliau melakukan muzara’ah ini.11
a. Pendapat Yang Memperbolehkan Muzara’ah
Pendapat Jumhur ulama diantaranya Imam Malik, para ulama
Syafiiyyah, Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan (dua murid Imam
Abu Hanifah), Imam Hanbali dan Dawud Ad-Dzâhiry. Mereka
menyatakan bahwa akad muzara’ah di perbolehkan dalam Islam.

10
Rahman, Muamalah.145.
11
Haroen, Muamalah, 72.

[9]
Pendapat mereka di dasarkan pada al-Quran, sunnah, Ijma’ dan dalil
‘aqli.
1) Dalil al-Quran

‫واخرون يضربون في االرض يبتغون من فضل هللا‬

“…dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari


sebagian karunia Allah…” (al-Muzammil: 20)

‫اهم يقسمون رحمت ربك نحخ قسمنا بينهم معيشتهم في الحياة الدنيا ورفعنا بعضهم‬
‫فوق بعض درجات ليتخذ بعضهم بعضا سخريا ورحمت ربك خيرمما يجمعون‬

“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami


telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam
kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian
mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar
sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain.
dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka
kumpulkan.” (al-Zukhruf : 32)

Kedua ayat diatas menerangkan kepada kita bahwa Allah


memberikan keluasan dan kebebasan kepada umat-Nya untuk bisa
mencari rahmat-Nya dan karunia-Nya untuk bisa tetap bertahan
hidup di muka bumi.

2) Hadits

‫ قال رسول هللا صلى هللا عليه و سلم من كانت له‬:‫عن أبي هريرة رضي هللا عنه قال‬
‫أرض فليزرعها أو ليمنحها أخاه فإن أبى فليمسك أرضه‬

“Dari Abu Hurairah ra. Berkata: Bersabda Rasulullah Saw


(barangsiapa yang memiliki tanah maka hendaklah ditanami
atau diberikan faedahnya kepada saudaranya jika ia tidak mau
maka boleh ditahan saja tanah itu.” (Hadits Riwayat Muslim).

‫من كانت له أرض فليزرعها فإن لم يزرعها فليزرها اخاه‬

[10]
“Barang siapa yang mempunyai tanah, hendaklah ia
menanaminya atau hendaklah ia menyuruh saudaranya untuk
menanaminya.” (Hadits Riwayat Bukhari)

‫عن ابن عمر رضي هللا عنه (ان رسول هللا صلى هللا و سلم عامل اهل خيبر بشطر‬
‫ما يخرج منها منثمر اؤ زرع) اخرجه البخاري‬

” Diriwayatkan oleh Ibnu Umar R.A. sesungguhnya Rasulullah


Saw. Melakukan bisnis atau perdagangan dengan penduduk
Khaibar untuk digarap dengan imbalan pembagian hasil berupa
buah-buahan atau tanaman” (HR. Bukhari).

3) Ijma’
Banyak sekali riwayat yang menerangkan bahwa para
sahabat telah melakukan praktek muzara’ah dan tidak ada dari
mereka yang mengingkari kebolehannya. Tidak adanya
pengingkaran terhadap diperbolehkannya muzara’ah dan praktek
yang mereka lakukan dianggap sebagai ijma’.
4) Dalil ‘Aqli
Muzara’ah merupakan suatu bentuk akad kerjasama yang
mensinergikan antara harta dan pekerjaan, maka hal ini
diperbolehkan sebagaimana diperbolehkannya mudarabah untuk
memenuhi kebutuhan manusia. Sering kali kita temukan
seseorang memiliki harta (lahan) tapi tidak memiliki
keterampilan khusus dalam bercocok tanam ataupun sebaliknya.
Di sini Islam memberikan solusi terbaik untuk kedua pihak agar
bisa bersinergi dan bekerjasama sehingga keuntungannya pun
bisa dirasakan oleh kedua pihak. Simbiosis mutualisme antara
pemilik tanah dan penggarap ini akan menjadikan produktivitas
di bidang pertanian dan perkebunan semakin meningkat.
b. Pendapat Yang Melarang Muzara’ah
Abu Hanifah, Zafar dan Imam Syafii berpendapat bahwa
muzara’ah tidak diperbolehkan. Abu Hanifah dan Zafar mengatakan
bahwa muzara’ah itu fasidah (rusak) atau dengan kata lain

[11]
muzâra’ah dengan pembagian 1/3, 1/4 atau semisalnya tidaklah
dibenarkan.
Imam Syafi’i sendiri juga melarang prakterk muzara’ah, tetapi ia
diperbolehkan ketika didahului oleh musaqâh apabila memang
dibutuhkan dengan syarat penggarap adalah orang yang sama.
Pendapat yang Ashah menurut ulama Syafiiyyah juga mensyaratkan
adanya kesinambungan kedua pihak dalam kedua akad (musaqâh
dan Muzara’ah) yang mereka langsungkan tanpa adanya jeda waktu.
Akad muzara’ah sendiri tidak diperbolehkan mendahului akad
musaqâh karena akad muzara’ah adalah tabi’, sebagaimana kaidah
mengatakan bahwa tabi’ tidak boleh mandahului mathbu’nya.
Adapun melangsungkan akad mukhabarah setelah musaqah tidak
diperbolehkan menurut ulama Syafiiyyah karena tidak adanya dalil
yang memperbolehkannya.
Para ulama yang melarang akad muzara’ah menggunakan dalil
dari hadis dan dalil aqli.
a. Hadist

‫ وما‬: ‫ قلنا‬: ‫ كان نخابر على عهد رسوله انفع لنا و انفع قال‬: ‫أن رافع ابن خديج قال‬
‫ قال رسول هللا "من كانت له ارض فليزرعها او فليزرعها اخاه وال‬: ‫ذالك ؟ قال‬
‫يكاريها بثالث وال بربع وال بطعام مسمى" اخرجه مسلم و ابو داود‬

“Diriwayatkan oleh Râfi’ bin Khudaij R.A., ia berkata : Suatu


ketika ketika kami sedang mengadakan pengolahan lahan
dengan bagi hasil tertentu (mukhâbarah), kemudian datanglah
kepadanya sebagian dari keluarga pamannya dan mengatakan :
Sesungguhnya Rasulullah Saw. melarang akan sesuatu perkara
yang sebenarnya bermanfaat bagi kami, dan sungguh ketaatan
atas Allah Swt. Dan Rasul-Nya adalah lebih bermanfaat bagi
kami. Lalu kami mengatakan: dan apakah perkara itu? Ia
berkata: Rasulullah Saw. bersabda : Barang siapa yang
memiliki lahan hendaklah ia menanaminya atau memberikannya
kepada saudaranya untuk ditanami. Dan janganlah ia

[12]
menyewakan sepertiganya, atau seperempatnya, dan tidak juga
dengan makanan.” (H.R. Muslim dan Abu Dawud)

b. Dalil Aqli
Muzara’ah dilarang karena upah penggarapan lahannya
ma’dum (tidak ada wujudnya ketika proses akad berlangsung)
dan majhul karena tidak adanya kepastian hasil yang akan dituai
nanti, boleh jadi lahan yang digarap tidak menghasilkan sama
sekali pada akhirnya. Sebagaimana kita ketahui bahwa jahâlah
dan ketiadaan mahallul ‘aqdi akan merusak akad ijarah.
Adapun muamalah Nabi Saw. terhadap penduduk Khaibar
bukan termasuk akad Muzâra’ah akan tetapi termasuk Kharaj
Muqâsamah.12
3. Rukun dan Syarat-syatar Muzara’ah
a. Rukun Muzara’ah
Menurut Hanafiah rukun muzara’ah ialah akad, yaitu ijab dan
kabul antara pemilik dan pekerja, secara rinci rukun-rukunya yaitu
tanah, perbuatan pekerja, modal dan alat-alat untuk menanam”.
Menurut jamhur ulama ada empat rukun dalam muzara’ah:
1) Pemilik tanah
2) Petani penggarap
3) Objek al-muzaraah
4) Ijab dan qabul secara lisan maupun tulisan

Menurut Hanabilah, dalam akad muzara’ah tidak diperlukan


qabul dengan perkataan, melainkan cukup dengan penggarapan
tanah secara langsung. Dengan demikian, qabulnya dengan
perbuatan (bil fi’li).

b. Syarat-syarat Muzara’ah
1) Menurut Abu Yusuf dan Muhammad
Syarat-syarat muzara’ah ini meliputi syarat-syarat yang
berkaitan dengan pelaku (‘Aqid), tanaman, hasil tanaman, tanah
12
Masjupri. Fiqh Muamalah 1

[13]
yang akan ditanami, objek akad, alat yang digunakan, serta masa
muzara’ah.
2) Menurut Malikiyah
a) Akad tidak boleh mencakup penyewaan tanah dengan
imbalan sesuatu yang dilarang, yaitu dengan menjadikan
tanah sebagai imbalan bibit (benih).
b) Kedua belah pihak yang berserikat.
c) Bibit yang dikeluarkan kedua belah pihak harus sama
jenisnya.
3) Menurut Syafi’iyah
Ulama’ Syafi’iyah tidak mensyaratkan dalam muzara’ah
persamaan hasil yang diperoleh antara pemilik tanah dengan
pengelola (penggarap). Menurut mereka muzara’ah adalah
penggarapan tanah dengan imbalan hasil yang keluar dari
padanya, sedangkan bibit dari pemilik tanah.
4) Menurut Hanabilah
a) Benih harus dikeluarkan oleh pemilik tanah.
b) Bagian masing-masing pihak harus jelas.
c) Jenis benih yang akan ditanamkan harus diketahui.13
4. Berakhirnya Akad Muzara’ah
Muzara’ah terkadang berakhir karena terwujudnya maksud dan
tujuan akad, misalnya tanaman telah selesai dipanen. Akan tetapi,
terkadang akad muzara’ah berakhir sebelum terwujudnya tujuan
muzara’ah, karena sebab-sebab berikut:
a. Masa perjanjian muzara’ah telah berakhir.
b. Meninggalnya salah satu pihak, baik meninggalnya itu sebelum
dimulainya penggarapan maupun sesudahnya, baik buahnya sudah
bisa dipanen atau belum.
c. Adanya uzdur atau alasan, baik dari pihak pemilik tanah maupun
dari pihak penggarap.14

13
Rahmat, Muamalah. 150.
14
Ibid., 157

[14]
5. Perbedaan antara Musaqah dan Muzara’ah
Menurut Hanafiah, musyaqah sama dengan muzara’ah kecuali
dalam 4 hal yaitu:
a. Dalam musaqah, apabila salah satu pihak tidak mau melaksanakan
akad maka ia bisa dipaksa, sedangkan dalam muzara’ah hal tersebut
tidak bisa dilakukan.
b. Apabila masa perjanjian musaqah sudah habis maka akad diteruskan
tanpa upah sampai pohon berbuah. Sedangkan dalam muzara’ah,
apabila masa sudah habis dan hasilnya belum keluar maka penggarap
terus bekerja dengan mendapat upah yang sepadan dengan bagian
dari hasil garapannya.
c. Dalam musaqah, apabila pohon kurma yang berbuah diminta oleh
selain pemilik tanah maka penggarap harus diberi upah yang
sepadan. Sedangkan dalam muzara’ah, jika pohon diminta sesudah
ditanami maka penggarap berhak atas nilai bagiannya dari tanaman
yang tumbuh. Akan tetapi, apabila tanah diminta setelah dimulai
pekerjaan dan sebelum ditanami maka penggarap tidak memperoleh
apa-apa.
d. Penjelasan tentang masa dalam musaqah bukan merupakan syarat
berdasarkan istihsan, melainkan cukup dengan mengetahui waktunya
berdasarkan adat kebiasaan. Sedangkan dalam muzara’ah, menurut
usul madzhab Hanafi waktu harus ditentukan meskipun dalam
fatwanya waktu musaqah tidak perlu dinyatakan dengan tegas.15
6. Contoh penerapan muzaraah
Kala itu fatimah baru menjadi janda kaya setelah mendapatkan
warisan dari mendiang suaminya, salahsatu bagianya adalah beberapa
bidang tanah kosong yang terletak diantara perkebunan kelapa, namun
karena ia tak piawai dalam mengelola lahan tersebut, akhirnya fatimah
menyuruh ihsan (salah satu pemuda desa yang status pekerjaanya masih
serabutan namun giat dalam bekerja dan dapat di percaya) untuk
mengelola lahan kosong tersebut. Dalam perjanjianya fatimah menyuruh

15
Suhendi, Fiqih Muamalah, 63.

[15]
ihsan untuk menjadikan lahan tersebut perkebunan kelapa seperti kebun
di sekelilingnya dan ia akan menyerahkan 85% hasil panen nanti sebagai
imbalannya ihsan. Namun segala bentuk kebutuhan pengelolaan lahan
dari awal hingga akhir di tanggung oleh ihsan, fatimah mempercayai
ihsan untuk mengelola lahanya hingga kelak anaknya fatimah tumbuh
dewasa. Ihsan pun tidak keberatan, dan langsung menyetujuinya.
Saat ini sudah berjalan 5 tahun dari waktu perjanjian itu, lahan milik
fatimah yang dulu kosong, kini menjadi perkebunan kelapa yang rindang
dan telah di panen 2x dengan hasil memuaskan.16
7. Hikmah Muzaraah
Bumi diciptakan untuk kepentingan manusia, maka manusialah
yang harus mengolahnya, menanaminya dengan berbagai jenis tanaman
untuk kepentingannya juga sebagai bentuk syukur kepada Allah swt. atas
segala karunianya. Maka sangat penring bagi manusia umtuk menuntut
ilmu tentang pertanian agar lebih maksimal mandapatkan manfaat dari
bumi yang diolahnya dengan cara bertani.
Muzara’ah menjadikan pemilik tanah dan penggarap tanah
bersinegi untuk bersama-sama mendapatkan bagian atas apa yang sudah
disumbangkan kedua belah pihak dengan penuh keikhlasan dan rida atas
dasar saling tolong-menolong dan percaya sehingga saling
menguntungkan tidak saling merugikan.17
C. Mukhabarah
1. Pengertian Mukhabarah
Mukhabarah adalah akad yang sama dengan muzara’ah baik dalam
dasar hukum, sarat, dan rukunnya. Keduanya masih sama-sama dalam
perdebatan para ulama. Ada sebagian yang membolehkan dan ada
sebagian yang tidak membolehkan. Namun, dilihat dari manfaat yang
diambil dari kedua akad tersebut maka secara syarak boleh dilakukan
sepanjang tidak ada maksud mencari keuntungan untuk diri sendiri dan

16
Pemakalah
17
Suhendi, Fiqih Muamalah, 65.

[16]
mempekerjakan orang lain tanpa diberi upah sedikitpun dari hasil
kerjanya.
Perbedaan antara mukhabarah dan muzara’ah terletak dalam hal
benih yang akan ditanam apakah benih menjadi tanggungan pemilik
tanah atau menjadi tanggungan penggarap. Dan akad muzara’ah, pihak
penggarap adalah yang menyediakan benih, sedangkan pada akad
mukhabarah, pemilik tanah adalah pihak yang menyediakan benih.
Dalam bahasa Indonesia arti dari muzara’ah dan mukhabarah
adalah pertanian. Menurut Taqiyyudin yang mengungkap pendapat Al-
Qadhi Abu Thayib, muzara’ah dan mukhabarah mempunyai satu
pengertian. Walaupun mempunyai satu pengertian tetapi kedua istilah
tersebut mempunyai dua arti yang pertama tharh al-zur’ah (melemparkan
tanaman), maksudnya adalah modal (al-hadzar ).18
Muzara’ah dan mukhabarah memiliki makna yang berbeda,
pendapat tersebut dikemukakan oleh al-Rafi dan al-Nawawi. Sedangkan
menurut istilah definisi para ulama yang dikemukakan oleh Abd al-
Rahman al-Zaziri pun berbeda Secara terminologi, terdapat beberapa
definisi para ulama, menurut ulama Malikiyah berarti perserikatan dalam
pertanian, ulama Hanabilah mengartikannya sebagai penyerahan tanah
pertanian kepada seorang petani untuk digarap dan hasilnya dibagi
berdua (paroan).
Sedangkan Imam Syafi’i mendifinisikannya sebagai pengolahan
tanah oleh petani dengan imbalan hasil pertanian, sedangkan bibit
pertanian disediakan pemilik tanah atau lebih dikenal dengan istilah al-
Mukhabarah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa arti dari Muzara’ah
ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan
imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat).
Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang
mengerjakan. Mukhabarah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti
sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga

18
Masjupri. Fiqh Muamalah , 85-86

[17]
atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung
pemilik tanah .
Menurut Syaikh Ibrahim al-Bajuri berpendapat bahwa mukhabarah
ialah pemilik hanya menyerahkan tanah kepada pekerja dan modal dari
pengelola. Seperti yang telah disebutkan bahwa munculnya pengertian
muzara’ah dan mukhabarah dengan ta’rif yang berbeda tersebut karena
adanya ulama yang membedakan antara arti muzara’ah dan mukhabarah,
yaitu Imam Rafi’i berdasar dhahir nash Imam Syafi’i. Sedangkan ulama
yang menyamakan ta’rif muzara’ah dan mukhabarah diantaranya
Nawawi, Qadhi Abu Thayyib, Imam Jauhari, Al Bandaniji. Mengartikan
sama dengan memberi ketentuan: usaha mengerjakan tanah (orang lain)
yang hasilnya dibagi.19
Mukhabarah ialah kerjasama antara pemilik sawah/ladang dengan
penggarap (petani), dan benih tanamannya dari pihak penggarap.
Pembagian hasilnya menurut kesepakatan kedua belah pihak secara adil.
Perbedaan antara muzara’ah dengan mukhabarah hanya terletak pada
benih tanaman. Jika mukhabarah benih tanaman berasal dari pemilik
tanah, maka dalam muzara’ah benih tanaman berasal dari penggarap
(petani). Pada umumnya kerja sama mukhabarah ini dilakukan pada
perkebunan yang benihnya relatif murah, separti padi, gandum, kacang,
dll.
Namun tidak tertutup kemungkinan pada tanaman yang benihnya
relatif murah pun dilakukan kerjasama muzara’ah. Setelah di ketahui
definisi-definisi di atas, dapat dipahami bahwa mukhabarah dan
muzara’ah ada kesamaan dan ada pula perbedaan. Persamaannya ialah
antara mukhabarah dan muzara’ah terjadi pada peristiwa yang sama,
yaitu pemilik tanah menyerahkan tanahnya kepada orang lain untuk di
kelola. Perbedaannya ialah pada modal, bila modal berasal dari
pengelola, disebut muzara’ah , dan bila modal dikeluarkan dari pemilik
tanah, disebut mukhabarah.20

19
Suliman Rasjid, Fiqih Islam, 132-133
20
Masjupri. Fiqh Muamalah ,

[18]
2. Rukun dan Syarat Mukhabarah
a. Rukun mukhabarah menurut jumhur ulama diantaranya adalah:
1) Pemilik tanah
2) Petani/Penggarap
3) Obyek mukhabarah
4) Ijab dan qabul, keduanya secara lisan.
b. beberapa syarat dalam mukhabarah, diantaranya adalah sebagai
berikut:
1) Pemilik kebun dan penggarap harus orang yang baligh dan
berakal.
2) Benih yang akan ditanam harus jelas dan menghasilkan.
3) Lahan merupakan lahan yang menghasilkan, jelas batas
batasnya,dan diserahkan sepenuhnya kepada penggarap.
4) Pembagian untuk masing-masing harus jelas penentuannya.
5) Jangka waktu harus jelas menurut kebiasaan.21
3. Dasar Hukum Mukhabarah

‫عن رافع بن خديج قال كان اكثر االنصار حقال فكن نكر باالرض على ان لنا هذه فربما اخرجت‬
‫هذه ولم تخرج هذه فنهانا عن ذلك‬

“Berkata Rafi’ bin Khadij: “Diantara Anshar yang paling banyak


mempunyai tanah adalah kami, maka kami persewakan, sebagian tanah
untuk kami dan sebagian tanah untuk mereka yang mengerjakannya,
kadang sebagian tanah itu berhasil baik dan yang lain tidak berhasil,
maka oleh karenanya Raulullah SAW. Melarang paroan dengan cara
demikian” (H.R. Bukhari).

‫عن ابن عمر ان النبي صلى هللا عليه و سلم عامل اهلخيبر بشرط ما يخرج منها من ثمر او‬
)‫زرع (رواه مسلم‬

“Dari Ibnu Umar: “Sesungguhna Nabi SAW. Telah memberikan kebun


kepada penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan

21
Masjupri. Fiqh Muamalah 1, 32.

[19]
perjanjian mereka akan diberi sebagian dari penghasilan, baik dari buah
– buahan maupun dari hasil pertahun (palawija)” (H.R Muslim).22

4. Pandangan Ulama terhadap Mukhabarah


Hadits di atas yang dijadikan pijakan ulama untuk menuaikan
kebolehan dan katidak bolehan melakukan muzara’ah dan mukhabarah.
Setengah ulama melarang paroan tanah ataupun ladang beralasan pada
Hadits yang diriwayatkan oleh bukhari tersebut di atas. Ulama yang lain
berpendapat tidak ada larangan untuk melakukan muzara’ah ataupun
mukhabarah. Pendapat ini dikuatkan oleh Nawawi, Ibnu Mundzir, dan
Khatabbi, mereka mengambil alsan Hadits Ibnu Umar yang diriwayatkan
oleh Imam Muslim di atas. Adapun Hadits yang melarang tadi
maksudnya hanya apabila ditentukan penghasilan dari sebagian tanah,
mesti kepunyaan salah seorang diantara mereka.
Karena memang kejadian di masa dahulu, mereka memarohkan
tanah dengan syarat dia akan mengambil penghasilan dari sebagian tanah
yang lebih subur keadaan inilah yang dilarang oleh Nabi Muhammad
SAW. Dalam Hadits yang melarang itu, karena pekerjaan demikian
bukanlah dengan cara adil dan insaf. Juga pendapat ini dikuatkan orang
banyak.23
5. Contoh Penerapan Mukhabarah
Kala itu fatimah baru menjadi janda kaya setelah mendapatkan
warisan dari mendiang suaminya, salahsatu bagianya adalah beberapa
bidang tanah kosong yang terletak diantara perkebunan kelapa, namun
karena ia tak piawai dalam mengelola lahan tersebut, akhirnya fatimah
menyuruh ihsan (salah satu pemuda desa yang status pekerjaanya masih
serabutan namun giat dalam bekerja dan dapat di percaya) untuk
mengelola lahan kosong tersebut. Dalam perjanjianya fatimah akan
menyediakan benih kelapa dan ihsan di amanahi untuk menanam
sekaligus mengelola lahan dan benih kelapa tersebut, ia akan
menyerahkan 85% hasil panen nanti sebagai imbalannya ihsan, fatimah

22
Ibid., 37
23
Haroen, Muamalah, 142.

[20]
mempercayai ihsan untuk mengelola lahanya hingga kelak anaknya
fatimah tumbuh dewasa. Ihsan pun tidak keberatan, dan langsung
menyetujuinya.
Saat ini sudah berjalan 5 tahun dari waktu perjanjian itu, lahan
milik fatimah yang dulu kosong, kini menjadi perkebunan kelapa yang
rindang dan telah di panen 2x dengan hasil memuaskan.24
6. Hikmah Mukhabarah
a. Membuat peluang kerja.
b. Mendidik manusia agar lebih memahami tentang ilmu pertanian dan
kerja profesional.
c. Saling menghargai antara pemilik tanah dan penggarap tanah sangat
mulia dan diridai Allah swt.
d. Memberi pelajaran agar manusia rajin bekerja25

24
Pemakalah
25
Rahman, Muamalah.198..

[21]
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Musaqah merupakan kerja sama antara pemilik kebun atau tanaman dan
pengelola atau penggarap untuk memelihara dan merawat kebun atau
tanaman dengan perjanjian bagi hasil yang jumlahnya menurut kesepakatan
bersama dan perjanjian itu disebutkan dalam aqad.
Sedangkan muzara’ah dan mukhabarah mempunyai pengertian yang
sama, yaitu kerja sama antara pemilik sawah atau tanah dengan
penggarapnya, namun yang dipersoalkan di sini hanya mengenai bibit
pertanian itu. Mukhabarah bibitnya berasal dari pemilik lahan, sedangkan
muzara’ah bibitnya dari petani.
Aqad musaqah, muzara’ah, dan mukhabarah telah disebutkan di dalam
hadits yang menyatakan bahwa aqad tersebut diperbolehkan asalkan dengan
kesepakatan bersama antara kedua belah pihak dengan perjanjian bagi hasil
sebanyak separo dari hasil tanaman atau buahnya.
Dalam kaitannya hukum tersebut, Jumhurul Ulama’ membolehkan aqad
musaqah, muzara’ah, dan mukhabarah, karena selain berdasarkan praktek
nabi dan juga praktek sahabat nabi yang biasa melakukan aqad bagi hasil
tanaman, juga karena aqad ini menguntungkan kedua belah pihak.
Menguntungkan karena bagi pemilik tanah/tanaman terkadang tidak
mempunyai waktu dalam mengolah tanah atau menanam tanaman. Sedangkan
orang yang mempunyai keahlian dalam hal mengolah tanah terkadang tidak
punya modal berupa uang atau tanah, maka dengan aqad bagi hasil tersebut
menguntungkan kedua belah pihak, dan tidak ada yang dirugikan.
Adapun persamaan dan perbedaan antara musaqah, muzara’ah, dan
mukhabarah yaitu, persamaannya adalah ketiga-tiganya merupakan aqad
(perjanjian), sedangkan perbedaannya adalah di dalam musaqah, tanaman
sudah ada, tetapi memerlukan tenaga kerja yang memeliharanya. Di dalam
muzara’ah, tanaman di tanah belum ada, tanahnya masih harus digarap dulu
oleh pengggarapnya, namun benihnya dari petani (orang yang menggarap).

[22]
Sedangakan di dalam mukhabarah, tanaman di tanah belum ada, tanahnya
masih harus digarap dulu oleh pengggarapnya, namun benihnya dari pemilik
tanah.
B. Kritik dan Saran
1. Kritik
Makalah ini tentunya memiliki banyak kekurangan, baik dalam hal
isi, maupun dalam sistematika dan teknik penulisannya.
2. Saran
a. Bagi para pembaca dihrapkan mencari sumber-sumber yang lebih
lengkap mengenai topik ini supaya pengetahuan pembaca sekalian
dapat lebih luas.
b. Pembaca juga tentunya diharapkan mampu termotivasi dan
mempraktekan apa yang dibahas dalam makalah ini.
c. Bagi para pembaca yang akan melakukan kerjasama khususnya
dibidang Pertanian/Perkebunan gunakanlah sistem kerjasama yang
sesuai dengan ajaran Islam.
d. Bagi para penulis berikutnya yang akan mengangkat tema yang sama
dianjurkan untuk mencari sumber yang lebih banyak supaya karya
tulis yang dihasilkan dapat lebih berkualitas

[23]
DAFTAR PUSTAKA

Rahman, Abdul. Fiqh Muamalah, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012.
Haroen, Nasrun. Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007.
Masjupri. Fiqh Muamalah 1, Surakarta: FSEI Publlishing, 2013
Suhendi, Hendi. Fiqih Muamalah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.
Syafe'i, Rahmat. Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2001.
Rasjid, Suliman. Fiqih Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2011.

[24]

Anda mungkin juga menyukai