Anda di halaman 1dari 15

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA
sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai . Tidak lupa kami juga
mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi
dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk
maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin
masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Banyuwangi, Juni 2021


Penulis

i
DAFTAR ISI

Table of Contents
KATA PENGANTAR...............................................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................3
1.1 Latar Belakang....................................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................5
2.1 Pengertian Muzara’ah........................................................................................5
2.2 Dasar Hukum Muzara’ah....................................................................................6
2.3 Rukun dan Syarat Muzara’ah.............................................................................6
2.4 Perbedaan Pendapat tentang Muzara’ah...........................................................8
2.5 Implikasi atau Dampak dari Sistem Muzara’ah.................................................12
2.6 Berakhirnya Muzara’ah....................................................................................12
BAB III PENUTUP..............................................................................................................14
3.1 Kesimpulan.......................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bekerja merupakan suatu kewajiban bagi setiap manusia, banyak
sektor-sektor pekerjaan yang bisa kita lakukan salah satunya adalah pada
sektor pertanian. Masyarakat pedesaan yang pada umumnya hanya
menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian, dimana taraf kesejahteraan
mereka berbeda-beda. Sebagian dari mereka ada yang memiliki lahan
sendiri untuk digarap, yang luasnya bervariasi. Tapi ada juga yang tidak
memiliki lahan sendiri untuk digarap sehingga untuk mencukupi
kebutuhannya, mereka bekerjasama dengan yang memiliki lahan untuk
menggarap lahan pertaniannya dengan imbalan bagi hasil. Namun ada juga
mereka yang telah memiliki lahan sendiri, dikarenakan lahannya sedikit
maka hasilnya belum mencukupi kebutuhan hidupnya, untuk menambah
penghasilan mereka juga bekerja di lahan milik orang lain dengan imbalan
bagi hasil pertanian. Terdapat juga pemilik yang mempunyai beberapa
bidang tanah tetapi tidak dapat menggarapnya karena suatu sebab sehingga
penggarapannya diwakili orang lain dengan mendapat sebagian hasilnya.
Kondisi seperti ini pada umumnya terlihat pada masyarakat pedesaan kita
saat ini. Dari beberapa permasalahan ini ada baiknya kita rangkaikan
menjadi suatu kesatuan yang saling memenuhi atau membutuhkan antara
permasalahan yang satu dengan yang lainnya yaitu dalam bentuk
kerjasama bagi hasil.
1.2 Rumusan Masalah
Dari permasalahan di atas Islam mempunyai solusi salah satunya
memanfaatkan lahan pertanian dengan sistem muzara’ah. Jadi
pembahasan makalah kami kali ini adalah Muzara’ah Dalam Ekonomi
Pertanian Islam, yang kami buat rincian sebagai berikut:
1. Pengertian muzara’ah
2. Dasar hukum atau dalil muzara’ah
3. Rukun dan syarat muzara’ah
4. Perbedaan pendapat tentang muzara’ah

3
5. Implikasi atau dampak dari sistem muzara’ah
6. Berakhirnya akad muzara’ah

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Muzara’ah


Menurut bahasa, al-muzara’ah memiliki dua arti, pertama adalah
tharh al-zur’ah (melemparkan tanaman), maksudnya adalah al-hadzar
(modal). Makna yang pertama adalah makna majas dan makna yang kedua
ialah makna hakiki.  “Al-Muzara’ah menurut bahasa adalah muamalah
terhadap tanah dengan (imbalan) sebagian apa yang dihasilkan darinya”.
Sedangkan yang dimaksud di sini adalah memberikan tanah kepada orang
yang akan menggarapnya dengan imbalan ia memperoleh setengah dari
hasilnya atau yang sejenisnya.
Menurut istilah muzara’ah didefiniskan oleh para ulama seperti
yang dikemukakan oleh Abd al-Rahman al-Jaziri, yang dikutif oleh Hendi
Suhendi adalah sebagai berikut:
“Menurut Hanafiah muzara’ah ialah akad untuk bercocok tanam dengan
sebagian yang keluar dari bumi. Menurut Hambaliah muzara’ah adalah
pemilik tanah yang sebenarnya menyerahkan tanahnya untuk ditanami dan
yang bekerja diberi bibit. Menurut al-Syafi’i berpendapat bahwa
muzara’ah adalah seorang pekerja menyewa tanah dengan apa yang
dihasilkan dari tanah tersebut. Dan menurut Syaikh Ibrahim al-Bajuri
bahwa muzara’ah adalah pekerja mengelola tanah dengan sebagian apa
yang dihasilkan darinya dan modal dari pemilik tanah”.
Menurut Sulaiman Rasyid, muzara’ah ialah mengerjakan tanah
(orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya
(seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan
benihnya ditanggung pemilik tanah. Sementara mukhabarah adalah
mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan
sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga, atau seperempat). Sedangkan biaya
pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang mengerjakannya.
Jadi muzara’ah menurut bahasa berarti muamalah atas tanah
dengan sebagian yang keluar sebagian darinya. Dan secara istilah

5
muzara’ah berarti kerjasama antara pemilik lahan dengan petani
penggarap dimana pemilik lahan memberikan tanah kepada petani untuk
digarap agar dia mendapatkan bagian dari hasil tanamannya. Misalnya
seperdua, sepertiga, lebih banyak atau lebih sedikit dari pada itu.1

2.2 Dasar Hukum Muzara’ah


          Rasulullah s.a.w. bersabda sebagai berikut:
‫ قال رسول هللا صلى هللا عليه و سلم (من كانت‬:‫ هللا عنه قال‬R‫عن أبي هريرة رضي‬
‫ أو ليمنحها أخاه فإن أبى فليمسك أرضه‬R‫) له أرض فليزرعها‬
Artinya: “Dari Abu Hurairah ra. Berkata: Bersabda Rasulullah Saw

(barangsiapa yang memiliki tanah maka hendaklah ditanami atau


diberikan faedahnya kepada saudaranya jika ia tidak mau maka boleh
ditahan saja tanah itu.” (Hadits Riwayat Muslim).

ُ‫َت لَهُ أَرْ ضٌ فَ ْليَ ْز َر ُعهَا فَإِ ْن لَ ْم يَ ْز َر ْعهَا فَ ْليَ ْز َر ْعهَا أَخَ اه‬
ْ ‫َم ْن َكان‬
Artinya:“Barang siapa yang mempunyai tanah, hendaklah ia
menanaminya atau hendaklah ia menyuruh saudaranya untuk
menanaminya.” (Hadits Riwayat Bukhari).
Dari beberapa hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim di atas,
bahwa bagi hasil dengan sistem muzara’ah itu dibolehkan.2

2.3 Rukun dan Syarat Muzara’ah


Menurut Hanafiah rukun muzara’ah  ialah “akad, yaitu ijab dan
kabul antara pemilik dan pekerja, secara rinci rukun-rukunya yaitu tanah,
perbuatan pekerja, modal dan alat-alat untuk menanam”.
          Menurut jamhur ulama ada empat rukun dalam muzara’ah:
1. Pemilik tanah
2. Petani penggarap
3. Objek al-muzaraah
4. Ijab dan qabul secara lisan maupun tulisan
       

1
2.

6
          Sementara syarat-syaratnya sebagai berikut:
1.      Syarat bertalian dengan ‘aqidain, yaitu harus berakal.
2.      Syarat yang berkaitan dengan tanaman, yaitu disyaratkan adanya
penentuan macam apa saja yang ditanam.
3.      Hal yang berkaitan dengan perolehan hasil tanaman, yaitu bagian
masing-masing harus disebutkan jumlahnya (persentasenya), hasil
adalah milik bersama.
4.      Hal yang berhubungan dengan tanah yang akan ditanami seperti lokasi
tanah dan batas tanah.
5.      Hal yang berkaitan dengan waktu dan syarat-syaratnya.
6.      Hal yang berkaitan dengan alat-alat yang digunakan dalam bercocok
tanam muzara’ah.
Menurut jumhur ulama (yang membolehkan akad muzara’ah)
apabila akad telah memenuhi rukun dan syarat, maka akibat hukumnya
adalah:
1.      Petani bertanggung jawab mengeluarkan biaya benih dan pemeliharaan
pertanian tersebut
2.      Biaya pertanian seperti pupuk, biaya perairan, serta biaya pembersihan
tanaman, ditanggung oleh petani dan pemilik lahan sesuai dengan
persentase bagian masing-masing.
3.      Hasil panen dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama
4.      Pengairan dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan bersama dan
apabila tidak ada kesepakatan, berlaku kebiasaan ditempat masing-
masing.
5.      Apabila salah seorang meninggal dunia sebelum panen, maka akad
tetap berlaku sampai panen dan yang meninggal diwakili oleh ahli
warisnya. Lebih lanjut, akad itu dapat dipertimbangkan oleh ahli waris,
apakah akan diteruskan atau tidak.

7
2.4 Perbedaan Pendapat tentang Muzara’ah
          Munculnya Hadis tentang muzara`ah dari Rafi` bin Khudaij yang
mengatakan bahwa Rasulullah SAW. telah melarang dilakukannya
muzara`ah setelah sebelumnya ia memperbolehkannya, dengan dalil
Hadis yang menceritakan bahwa telah datang kepada Rasulullah dua
orang yang berselisih tentang muzara`ah yang mereka lakukan hingga
menjadikan mereka berusaha untuk saling membunuh, maka untuk
permasalahan mereka ini Rasulullah berkata bahwa kalau demikaian
halnya yang terjadi maka sebaiknya mereka tidak melakukannya
(muzara`ah). Bunyi Haditsnya sebagai berikut:

َ ْ‫ار َح ْقالً فَ ُكنَّا نُ ْك ِرىاْالَر‬


‫ض َعلَى‬ ِ ‫ص‬َ ‫ال ُكنَّااَ ْكثَ َر ْاالَ ْن‬
َ َ‫ْج ق‬
ِ ‫ع َْن َرافِ ِع ب ِْن خَ ِدي‬
ْ ‫اَ َّن لَنَا هَ ِذ ِه فَ ُربَ َما أَ ْخ َر َج‬
َ ِ‫ت هَ ِذ ِه َولَ ْم تُ ْخ ِرجْ هَ ِذ ِه فَنَهَانَاع َْن َذل‬
‫ك‬
Artinya: Dari jalan Rafi’ bin Khadij, ia berkata: “Kami kebanyakan
pemilik tanah di Madinah melakukan muzara’ah, kami menyewakan
tanah, satu bagian daripadanya ditentukan untuk pemilik tanah maka
kadang-kadang si pemilik tanah itu ditimpa suatu musibah sedang tanah
yang lain selamat, dan kadang-kadang tanah yang lain itu ditimpa suatu
musibah, sedang dia selamat, oleh karenanya kami dilarang”.
             (H.R. Bukhari).

ْ‫ي أَنَّهُ ْم َكانُو‬


َ ‫ َح َدثَنِّ ْي َع َّما‬:‫ال‬ َ َ‫ْج ق‬
ٍ ‫س عن َرافِ ِع ب ِْن خَ ِدي‬ ٍ ‫ع َْن َح ْنظَلَةَ ْب ِن قَ ْي‬
‫ُت َعلَى‬ ُ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم بِ َما يَ ْنب‬
َ ‫ض َعلَى َع ْه ِد النَّبِي‬ َ ْ‫ا يَ ْكرُوْ نَ األَر‬
‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه‬
َ ‫ فَنَهَى النَّبِ ُّي‬,‫ض‬ ِ ْ‫احبُ األَر‬ ِ ‫ص‬َ ‫األَرْ بِ َعا ِء أَوْ َش ْي ٍء يَ ْست َْثنِ ْي ِه‬
‫ال َرافِ ٌع‬ َ َ‫ فَ َك ْيفَ ِه َي بِال ِّد ْين َِر َو الدِّرْ ه َِم؟ فَق‬:‫ت لِ َرافِ ٍع‬ ُ ‫ فَقُ ْل‬. َ‫و َسلَّ َم ع َْن َذلِك‬:
َ
َ ْ‫ْس بِهَا بَأ‬
‫س بِال ِّد ْين َِر َو الدِّرْ ه َِم‬ َ ‫لَي‬.
Artinya:“Dari Hanzhalah bin Qais dari Rafi’ bin Khadij, dia berkata,
pamanku telah menceritakan kepadaku bahwasanya mereka menyewakan
tanah pada zaman Nabi  dengan apa yang tumbuh dari saluran-saluran
air atau sesuatu yang telah dikecualikan pemilik tanah, kemudian Nabi
shollallohu ,’alaihi wa sallam melarang hal itu. Aku bertanya kepada

8
Rafi’, bagaimana bila dengan dinar dan dirham?, maka Rafi’ menjawab,
tidak mengapa menyewa tanah dengan dinar dan dirham.(HR Bukhari)

‫عن كثير بن فرقد عن نافع أن عبد هللا بن عمر كان يكري‬


‫المزارع فحدث أن رافع بن خديج يأثر عن رسول هللا صلى هللا‬
‫ أنه نهى عن ذلك قال نافع فخرج إليه على البالط‬: ‫عليه و سلم‬
‫وأنا معه فسأله فقال نعم نهى رسول هللا صلى هللا عليه و سلم‬
‫عن كراء المزارع فترك عبد هللا كراءها‬
Artinya: “Dari Katsir Ibnu Farqad dari Nafi’ berkisah, bahwasanya
Abdullah Ibnu Umar dulu biasa menyewakan tanah, kemudian ia
mendengar Rafi’ ibnu Khadij meriwayatkan, bahwa Rasulullah saw telah
melarang hal itu. Maka ia datang kepada Rafi’ bersamaku dan bertanya
mengenai hal tersebut. Jawab Rafi’: “Benar, Rasulullah saw telah
melarang seseorang menyewakan sawah”. Sejak itu Abdullah tidak lagi
mau menyewakannya.”(Hadits Riwayat: An-Nasa’i)
Dari beberapa Hadits di atas menjelaskan bahwa Rasulullah saw
melarang menyewakan tanah pertanian, berarti pemberian upah atau bagi
hasil dari hasil pertanian itu tidak dibolehkan sebagaimana hadits yang
disampaikan oleh Rafi’ ibnu Khadij. Namun hadits ini dibantah oleh Yazid
ibnu Tsabit, yang mengatakan bahwa hadits yang diriwayatkan oleh Nafi’
ibnu Khadij tidak sempurna sebagaimana yang telah disampaikan oleh
Rasulullah. Nafi’ ibnu Khadij hanya mendengarkan sepotong dari sabda
Rasulullah yaitu “Janganlah kamu menyewakan tanah” Sementara dia
tidak tahu apa masalah yang sebenarnya atau melatarbelakangi masalah
tersebut sehingga Rasulullah saw melarangnya. Yazid ibnu Tsabit lebih
mengetahui hadits tersebut dari pada Nafi’ ibnu Khadij, dimana Rasulullah
melarang menyewakan tanah dikarenakan pada suatu hari ada dua orang
saling bunuh membunuh disebabkan masalah penyewaan tanah yang tidak
adil tersebut, maka keluarlah hadits tersebut. Sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Urwah ibnu Zubair sebagai berikut:

9
‫ يغفر هللا لرافع بن خديج‬: ‫عن عروة بن الزبير قال قال زيد بن ثابت‬
‫أنا وهللا أعلم بالحديث منه إنما كانا رجلين اقتتال فقال رسول هللا‬
‫صلى هللا عليه و سلم إن كان هذا شأنكم فال تكروا المزارع فسمع‬
‫قوله ال تكروا المزارع‬
Artinya: Dari Urwah ibnu Zubair berkata: “Semoga Allah
mengampuni Rafi’ ibnu Khadij. Demi Allah, Aku lebih mengetahui hadits
daripada ia. Rasulullah saw melarang menyewakan tanah, dikarenakan
pada suatu hari ada dua orang yang bunuh membunuh sebab masalah
penyewaan tanah, maka dari itu beliau bersabda: “Jika kamu bertengkar
seperti ini, janganlah kamu menyewakan tanah” Rupanya ia hanya
mendengar sabda beliau: “Janganlah kamu menyewakan tanah”.” (H.R.
An Nasa’i)
Jadi munculnya hadis tentang muzara’ah dari Rafi’ bin Khudaij
yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW telah melarang dilakukannya
muzara’ah setelah sebelumnya ia memperbolehkannya, itu memang benar.
Namun hal itu tidak bisa dijadikan hujah larangan menyewakan tanah
(muzara’ah) karena hadits tersebut yang diriwayatkan Rafi’ ibnu Khadij
tidak semata-mata dilihat dari apa yang disampaikan rasulullah saw saja,
namun kita lihat dari latar belakang sehingga dikeluarkan hadits tersebut,
dengan kata lain harus dilihat secara kontektual atau dilihat dari asbabul
wurudnya dulu.
Dengan adanya bantahan dari Yazid ibnu Tsabit ini, maka telah
jelas bahwa tidak terjadi nasakh dalam hukum diperbolehkannya
muzara’ah. Ibnu Abbas ra. meriwayatkan bahwa larangan Rasulullah
SAW tentang muzara’ah dalam hal ini bersifat kasuistik, di mana beliau
memandang bahwa orang tersebut kurang tepat dalam melakukan akad
muzara’ah, sehingga larangan itu bukan berarti melarang hukum
muzara’ah secara hukum, melainkan arahan beliau kepada orang
seseorang tertentu untuk menggunakan sistem lain yang lebih tepat.

10
‫ما كنا نرى في المزارعة بأسا حتى سمعت رافع بن خديج يقول‬:
‫ قال لي أعلمهم (يقصد ابن‬:‫ فذكرت لطاوس فقال‬،‫إن رسول هللا نهى عنها‬
‫ ألن يمنح أحدكم أرضه‬:‫عباس) إن رسول هللا لم ينه عنها ولكن قال‬
‫خير من أن يأخذ عايها خراجا معلوما – رواه الخمسة‬
“Kami tidak memandang bahwa di dalam muzara’ah itu ada larangan,
hingga aku mendengar Rafi’ bin Khudaij berkata bahwa Rasulullah SAW
melarangnya. Maka aku bertanya kepada Thawus dan beliau
berkata,”Orang yang paling mengerti dalam masalah ini telah
memberitahukan ku (maksudnya Ibnu Abbas ra),”Sesunguhnya Rasulullah
SAW tidak melarang muzara’ah, beliau hanya berkata,”Memberikan
tanah kepada seseorang lebih baik dari pada meminta pajak tertentu.”
(HR. Bukhari, Ahmad, Abu Daud, Nasai dan Ibnu Majah)
Adapun bentuk muzara’ah yang diharamkan adalah bila bentuk
kesepakatannya tidak adil. Misalnya, dari luas 1.000 m persegi yang
disepakati, pemilik lahan menetapkan bahwa dia berhak atas tanaman yang
tumbuh di area 400 m tertentu. Sedangkan tenaga buruh tani berhak atas
hasil yang akan didapat pada 600 m tertentu. Perbedaannya dengan bentuk
muzara’ah yang halal di atas adalah pada cara pembagian hasil, yaitu:
1.      Dimana bentuk yang boleh adalah semua hasil panen dikumpulkan
terlebih dahulu, baru dibagi hasil sesuai prosentase.
2.      Dimana bentuk yang terlarang itu adalah sejak awal lahan sudah dibagi
dua bagian menjadi 400 m dan 600 m. Buruh tani berkewajiban untuk
menanami kedua lahan, tetapi haknya terbatas pada hasil di 600 m itu
saja. Sedangkan apapun yang akan dihasilkan di lahan satunya lagi
yang 400 m, menjadi hak pemilik lahan.
          Cara seperti ini adalah cara muzara’ah yang diharamkan. Inti
larangannya ada pada masalah gharar. Sebab boleh jadi salah satu
pihak akan dirugikan. Misalnya, bila panen dari lahan yang 400 m itu
gagal, maka pemilik lahan akan dirugikan. Sebaliknya, bila panen di
lahan yang 600 m itu gagal, maka buruh tani akan dirugikan. Maka
yang benar adalah bahwa hasil panen keduanya harus disatukan

11
terlebih dahulu, setelah itu baru dibagi hasil sesuai dengan perjanjian
prosentase.
          Oleh karena itu seharusnya masing-masing pihak mengambil
bagiannya itu dari hasil tanah dengan suatu perbandingan yang
disetujui bersama. Jika hasilnya itu banyak, maka kedua belah pihak
akan ikut merasakannya, dan jika hasilnya sedikit, kedua-duanya pun
akan mendapat sedikit pula. Dan kalau sama sekali tidak
menghasilkan apa-apa, maka kedua-duanya akan menderita kerugian.
Cara ini lebih menyenangkan jiwa kedua belah pihak.3
2.5 Implikasi atau Dampak dari Sistem Muzara’ah
Diterapkannya bagi hasil sistem muzara’ah berdampak pada sektor
pertumbuhan sosial ekonomi, seperti:
1. Adanya rasa saling tolong-menolong atau saling membutuhkan antara
pihak-pihak yang bekerjasama.
2. Dapat menambah atau meningkatkan penghasilan atau ekonomi petani
penggarap maupun pemilik tanah.
3. Dapat mengurangi pengangguran.
4. Meningkatkan produksi pertanian dalam negeri.
5. Dapat mendorong pengembangan sektor riil yang menopong
pertumbuhan ekonomi secara makro.

2.6 Berakhirnya Muzara’ah


Muzara’ah berakhir karena beberapa hal sebagai berikiut:
1. Jika pekerja melarikan diri, dalam kasus ini pemilik tanah boleh
membatalkan transaksi berdasarkan pendapat yang
mengkategorikannya sebagai transaksi boleh (tidak mengikat). Jika
berdasarkan pendapat yang mengkategorikannya transaksi yang
mengikat, seorang hakim memperkerjakan orang lain yang
menggantikannya.

3 Haroen Nasreon, Fiqih Muamalah, (Jjakarta: Gaya Media Pratama, 2000), hal 278

12
2. Pekerja tidak mampu bekerja. Dalam hal ini, pemilik lahan boleh
memperkerjakan orang lain yang menggantikannya dan upah menjadi
haknya karena ia mengerjakan pekerjaan.
3. Jika salah satu dari pihak meninggal dunia atau gila, berdasarkan
pendapat yang mengkategorikannya sebagai transaksi yang mengikat,
maka ahli waris atau walinya yang menggantikan posisinya.
4. Adanya kesepakatan kedua belah pihak untuk mengakhiri dengan
kerelaan.

13
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Muzara’ah adalah salah satu bentuk ta’awun (kerja sama) antar
petani (buruh tani) dan pemilik sawah. Serigkali kali ada orang yang ahli
dalam masalah pertanian tetapi dia tidak punya lahan, dan sebaliknya
banyak orang yang punya lahan tetapi tidak mampu menanaminya. Maka
Islam mensyari’atkan muzara’ah sebagai jalan tengah bagi keduanya.
Pada prakteknya, muzara’ah mengacu pada prinsip Profit and Loss
Sharing System. Dasar yang menjadi acuan praktek muzara’ah sendiri
adalah hadits Nabi Saw. Diantaranya, Hadits Riwayat Imam Bukhari,
Muslim dan Nasa’i yang menyatakan bahwa kaum Arab senantiasa
mengolah tanahnya secara muzara’ah dengan rasio bagi hasil 1/2, 1/3, ¼
dan lain sebagainya tergantung kesepakatan dengan mengutamakan prinsip
keadilan.
Itulah yang telah dicontohkan oleh Rasulullah dan mentradisi di
tengah para sahabat dan kaum muslimin setelahnya. Ibnu ‘Abbas
menceritakan bahwa Rasululah saw bekerja sama (muzara’ah) dengan
penduduk Khaibar untuk berbagi hasil atas panenan, makanan dan buah-
buahan. “Bahkan Muhammad Albakir bin Ali bin Al-Husain mengatakan
bahwa tidak ada seorang muhajirin yang berpindah ke Madinah kecuali
mereka bersepakat untuk membagi hasil pertanian sepertiga atau
seperempat.”
Diterapkanya sistem muzara’ah sangat berdampak pada
pertumbuhan sosial ekonomi dalam masyarakat serperti saling tolong-
menolong. dapat meningkatkan penghasilan kedua belah pihak yang
berkerjasama, dan dapat meningkatkan produksi dalam negeri, sehingga
dapat mendorong pengembangan sektor riil yang menopong pertumbuhan
ekonomi secara keseluruhan.

14
DAFTAR PUSTAKA

Haroen Nasreon, Fiqih Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000


Suhendi, Hendi, Fiqih Muamalah, cet. Ke-6, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2010.

Anda mungkin juga menyukai