Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

KOMODITI EKSPOR INDONESIA

DISUSUN OLEH:

NUR AULIA.H
1902405041

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS COKROAMINOTO PALOPO
2019

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat tuhan yang maha esa karena berkat
limpahan rahmat dan karunia-nya sehingga penulis dapat menyusun makalah ini
tepat pada waktunya. makalah ini membahas tentang ”Komuditi Ekspor
indonesia”

Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapat tantangan dan


hambatan akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan itu bisa
teratasi. Olehnya itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini,
semoga bantuannya mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik
dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca
sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.

Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita
sekalian.

Palopo, September 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Sampul ..................................................................................................................... i

Kata pengantar ........................................................................................................ ii

Daftar isi ................................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang .............................................................................................1


1.2 Rumusan Masalah .........................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Komoditi Kakao ...........................................................................................2
2.2 Komoditi Kopi ..............................................................................................5
2.3 Komoditi Kelapa Sawit ................................................................................ 7
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ..................................................................................................12

3.2 Saran ............................................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................13

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Komoditas perkebunan merupakan salah satu pilar penting penopang
perokonomian Indonesia. Pada acara pembukaan Expo Nasional Perkebunan RI
2013 yang bertema “Perkebunan Sebagai Pilar Strategis Green Economy
Indonesia”, Menteri Pertanian RI melaporkan bahwa nilai surplus perdagangan
untuk sektor perkebunan pada tahun 2012 mencapai US $ 24 milyar. Serangka
dengan ini, Pemerintah RI telah menyusun program pembangunan pertanian yang
diarahkan kepada kegiatan revitalisasi perkebunan, swasembada gula nasional,
penyediaan bahan tanaman sumber bahan bakar nabati, pengembangan komoditas
ekspor, pengembangan komoditas pemenuhan konsumsi dalam negeri, serta
dukungan pengembangan tanaman perkebunan berkelanjutan. Kementerian
Pertanian juga memprediksi bahwa bisnis dalam sektor perkebunan akan semakin
menarik pada tahun-tahun mendatang. Masuknya berbagai perusahaan nasional
sebagai investor dan pelaku bisnis menjadi salah satu pendorong munculnya
gairah usaha perkebunan. Di sisi lain, beberapa produk perkebunan Indonesia
seperti kakao, kopi, karet, kelapa sawit, lada, vanili, kopra, minyak atsiri dan
jambu mete, dinilai memiliki keunggulan komparatif di pasar internasional
sehingga peluang produk Indonesia terbuka lebar (Simanjuntak, 2013).

1.2 Rumusan Masalah


 Bagaimanakah Potensi. Peningkatan dan tantangan Komoditi kakao ?
 Bagaimanakah Potensi. Peningkatan dan tantangan Komoditi kopi ?
 Bagaimanakah Potensi. Peningkatan dan tantangan Komoditi Kelapa
sawit ?

1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Komoditi kakao
1. Potensi ekspor
Penentuan komoditas unggulan merupakan langkah awal menuju
pembangunan pertanian yang berpijak pada konsep efisiensi untuk meraih
keunggulan komparatif dan kompetitif dalam menghadapi globalisasi
perdagangan. Langkah menuju efisiensi dapat ditempuh dengan mengembangkan
komoditas yang mempunyai keunggulan komparatif baik ditinjau dari sisi
penawaran maupun permintaan. Dari sisi penawaran komoditas unggulan
dicirikan oleh superioritas dalam pertumbuhannya pada kondisi biofisik, teknologi
dan kondisi sosial ekonomi petani di suatu wilayah.
Sedangkan dari sisi permintaan, komoditas unggulan dicirikan oleh
kuatnya permintaan dipasar baik pasar domestik maupun internasional. Kondisi
sosial ekonomi yang dimaksud mencakup penguasaan teknologi, kemampuan
sumberdaya manusia, infrastruktur misalnya pasar dan kebiasaan petani setempat.
Komoditas kakao merupakan salah satu komoditas unggulan Indonesia,
komoditas ekspor non migas yang berfungsi ganda yaitu sebagai sumber devisa
negara dan menunjang pendapatan asli daerah (PAD). Hal ini cukup mendasar
karena harga kakao internasional saat ini cukup tinggi dan momentum yang baik
untuk dimanfaatkan petani atau pelaku usaha (masyarakat agribisnis). Trend luas
panen, produksi, dan produktivitas kakao cenderung meningkat dalam 10 tahun
terakhir. Peningkatan tersebut, diikuti dengan peningkatan volume dan nilai
ekspor. Volume dan nilai ekspor komoditi kakao merupakan yang terbesar untuk
komoditi perkebunan. Volume ekspor meningkat 20,08%, sedangkan nilai ekspor
meningkat sangat besar 87,74%.
Peningkatan nilai ekspor salah satunya dikarenakan peningkatan harga jual
biji kakao ditingkat petani sekitar 19,82% (BPS Sulteng, 2003).
Produktivitas kakao yang tinggi seringkali tidak diikuti dengan
peningkatan pendapatan yang signifikan, hal ini dikarenakan petani masih
dihadapkan pada masalah berfluktuasinya harga biji kakao sehingga posisi tawar

2
(bargaining position) petani lemah yang menyebabkan petani mendapatkan nilai
jual biji kakao yang rendah.
2. Kendala Dalam Pemasaran/Pengembangan
Masalah pasar merupakan masalah yang penting dalam rangka
merangsang petani untuk meningkatkan produksinya. Pasar merupakan salah satu
syarat penting dalam pembangunan pertanian, karena pasar akan menentukan
besarnya permintaan suatu komoditi (Mosher, 1981).
Pemasaran yang efektif sangat dibutuhkan dalam memasarkan biji kakao,
salah satu faktor yang menentukan adalah tingkat harga dan stabilitas
harga. Semakin tinggi harga jual biji kakao, petani akan termotivasi untuk
meningkatkan produksinya. Hal ini berarti, tidak cukup hanya dengan
meningkatkan produktivitas kakao, harus diikuti usaha penyempurnaan/perbaikan
dalam bidang pemasaran. Memperbesar nilai yang diterima petani/produsen,
memperkecil biaya pemasaran dan terciptanya harga jual dalam batas kemampuan
daya beli konsumen merupakam perbaikan bidang pemasaran yang bertujuan
memperbesar tingkat efisiensi pemasaran.
Pedagang pengumpul tingkat desa ditentukan secara sengaja masing-
masing sebanyak 2 pedagang tiap desa, pedagang pengumpul tingkat kecamatan
masing-masing ditentukan sebanyak 2 pedagang tiap kecamatan, sedangkan
pedagang besar di luar kecamatan masing-masing ditentukan 3 pedagang di
kabupaten Donggala dan kota Palu, dan 1 eksportir. Sehingga jumlah responden
secara keseluruhan sebanyak 118 responden.
Sebagian besar produksi kakao Indonesia digunakan untuk keperluan
ekspor dan hanya sebagian kecil yang digunakan untuk konsumsi dalam negeri.
Produk yang diekspor sebagian besar (78,5%) berupa produk primer, yakni dalam
bentuk biji kering dan sebagian kecil (21,5%) berupa hasil olahan. Agribisnis
kakao Indonesia masih menghadapi berbagai masalah kompleks, antara lain
rendahnya produktivitas kebun akibat serangan hama penggerek buah kakao
(PBK), mutu produk, serta masih belum optimalnya pengembangan produk hilir
kakao.
Hal ini merupakan suatu tantangan sekaligus peluang bagi para investor
dalam mengembangkan usaha kakao. Salah satu peluang yang dimaksud adalah

3
pasar Amerika Serikat menghendaki pembelian kakao dalam bentuk cocoa butter.
Peluang ini harus dapat dilirik oleh industri dalam negeri sebagai upaya
meningkatkan nilai tambah produk kakao Indonesia.
Areal pertanaman kakao saat ini sekitar 1.4 juta ha, tersebar di 31 provinsi.
Sekitar 64% dari total areal tersebut terdapat di Provinsi Sulawesi Tenggara,
Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Saat ini hanya sekitar
66% pertanaman pada kondisi tanaman menghasilkan. Dan dari segi bentuk
pengusahaannya, sekitar 92,7% pertanaman kakao merupakan perkebunan rakyat,
3,9% perkebunan besar negara dan 3,4% merupakan perkebunan besar swasta.
3. Meningkatka Kualitas
Bagi produsen atau eksportir biji kakao mutu seharusnya menjadi
perhatian agar posisi bersaing (bargaining position) menjadi lebih baik dan
keuntungan dari harga jual menjadi optimal. Bagi pengusaha mutu berarti
pemenuhan kepuasan kepada pelanggan tanpa banyak memerlukan tambahan
biaya yang lebih tinggi.
Dalam bisnis kakao, mutu mempunyai beberapa pengertian antara lain mutu,
dalam pengertian sempit, sesuatu yang berkaitan dengan citarasa (flavor), sedang
dalam pengertian yang luas, mutu meliputi beberapa aspek yang menentukan
harga jual dan akseptabilitas dari suatu partai biji kakao oleh pembeli (konsumen).
Persyaratan mutu ini diatur dalam standar perdagangan.
Persyaratan mutu yang diatur dalam syarat perdagangan meliputi karakteristik
fisik dan pencemaran atau tingkat kebersihan. Selain itu, beberapa pembeli juga
menghendaki uji organoleptik yang terkait dengan aroma dan citarasa sebagai
persyaratan tambahan. Karakter fisik merupakan persyaratan paling utama karena
menyangkut randemen lemak (yield) yang akan dinikmati oleh pembeli. Karakter
fisik ini mudah diukur dengan tata-cara dan peralatan baku yang disepakati oleh
institusi international.
Dengan demikian pengawasan mutu berdasarkan sifat-sifat fisik ini dapat
dengan mudah dikontrol oleh konsumen. Sebaliknya, persyaratan tambahan
merupakan kesepakatan khusus antara eksportir dan konsumen (pembeli). Jika
persyaratan ini dapat dipenuhi, maka eksportir akan mendapat harga jual biji
kakao lebih tinggi (premium).

4
2.2 Komoditi Kopi
1. Potensi ekspor
Potensi yang sangat besar tersebut bukannya tanpa tantangan, karena
banyak permasalahan yang harus diatasi. Untuk meningkatkan produktifitas, perlu
adanya sinergisitas seluruh potensi sumber daya tanaman kopi dalam rangka
meningkatkan daya saing usaha. Pengembangan komoditi kopi Arabika masih
bisa dengan perluasan lahan, untuk kopi Robusta perlu intensifkasi, peningkatan
kemampuan sumber daya. Sebagai salah satu penghasil kopi terbesar ketiga di
dunia setelah Brazil dan Vietnam, Indonesia memiliki potensi dalam perdagangan
kopi dunia.
Indonesia juga memiliki kopi specialty dari berbagai wilayah seperti Aceh
dengan kopi Gayonya, Sumatera Utara dengan Mandailingnya dan Lintongnya,
Sulawesi dengan kopi Torajanya, Jawa dengan Java Arabicanya, Nusa Tenggara
Timur dengan kopi Bajawanya, Papua dengan Baliemnya, Jawa Barat dengan
kopi Preangernya, termasuk kopi Luwak serta kopi lainnya yang semuanya
memiliki harga premium dan pasar tersendiri untuk dijadikan komoditi unggulan.
2. Permasalahan, Peluang dan Tantangan
a. Permasalahan
(1) Masih rendahnya produktivitas tanaman, (2) Meningkatnya serangan
organisme pengganggu tanaman (OPT), (3) Masih lemahnya kelembagaan petani,
(4) Masih rendahnya penguasaan teknologi pasca panen, (5) Sebagian besar
produk yang dihasilkan dan diekspor berupa biji kopi (green beans), (6) Masih
rendahnya tingkat konsumsi kopi per kapita di dalam negeri (0,86 kg/kapita/th),
(7) Belum optimalnya pengelolaan kopi spesialti (Specialty coffee), (8) Masih
terbatasnya akses permodalan bagi petani, dan (9) Belum efisiennya tata niaga /
rantai pemasaran kopi (masih panjang).
b. Peluang.
Adanya upaya perluasan areal tanaman kopi arabika, khususnya di wilayah
yang memiliki kesesuaian agroklimat, (2) Penerapan sistem budidaya perkebunan
kopi yang baik (GAP) dan berkelanjutan (sustainable coffee production), (3)
Tersedianya teknologi pengendalian OPT yang ramah lingkungan, (4) Semakin
meningkatnya penanganan mutu khususnya kopi Arabika yang dapat diarahkan

5
menjadi kopi Spesialty, (5) Semakin meningkatnya perkembangan teknologi
dalam industri pengolahan kopi, seperti Instant coffee dan Liquid coffee, dan (6)
Adanya upaya peningkatan konsumsi kopi per kapita di dalam negeri dari 860
gr/kapita/th menjadi 1.000 gr/kapita/th.
c. Tantangan.
1. Penerapan kopi berkelanjutan (sustainable coffee production),
2. Penerapan Standar ISO 9000, 14000,
3. Tingkat pendidikan yang lebih baik, mengubah pola hidup dan kesadaran pada
aspek kesehatan, yang menyebabkan semakin ketatnya toleransi terhadap
komponen bahan kimia yang berbahaya bagi tubuh seperti Ochratoxin dan
residu pestisida, dan
4. Kesepakatan dari anggota ICO untuk tidak mengekspor kopi dengan kualitas
rendah.

3. Cara Meningkatkan Kualitas/Mutu Agar Layak Ekspor


Pemerintah melalui Kementerian Pertanian saat ini terus melakukan
berbagai upaya pengembangan kopi di Tanah Air agar mampu menjadi komoditas
nomor satu dunia.
Berbagai langkah yang dilakukan Kementan antara lain pengembangan
perbibitan kopi, peningkatan produktivitas, manajemen usaha tani, pengolahan
dan pemasaran produk kopi hingga ke luar negeri.
Adapun kopi Indonesia saat ini berada di peringkat empat dunia setelah
Brasil, Vietnam dan Kolombia.
Berdasarkan data FAO, luas areal kopi Brasil hampir 2 juta ha dengan
produktivtas 1,4 ton/ha. Luas areal kopi di Vietnam 589 ribu ha dengan
produktivitas 2,3 ton/ha dan Kolombia luas 795 ribu ha dengan produktivitas 0,9
ton/ha.
Sedangkan kopi Indonesia seluas 1,23 juta ha di antaranya 1,19 juta ha milik
perkebunan rakyat dengan produktivitas 0,6 ton/ha. Namun, mutu kopi Indonesia
belum stabil, sehingga ekspor didominasi (99 persen) bentuk kopi biji/berasan
(coffee excluding roasted and decaffeinated) sedangkan negara lainya sudah
mengekspor kopi olahan.“Indonesia sangat berpotensi menjadi produsen kopi
terbesar dunia. Optimistis harus diraih, mengingat Indonesia negara tropis dengan

6
wilayah pegunungan yang membentang dari ujung Pulau Sumatera hingga ke
Papua, potensial untuk kopi,” kata Amran di Yogyakarta, melalui keterangan
tertulisnya, Sabtu (23/9), seperti dikutip Antara.
Amran mengungkapkan kopi khusus (specialty coffee) Indonesia sudah
dikenal di Eropa dan Amerika dan menjadi tren dunia saat ini antara lain kopi
Gayo, kopi Mandailing, kopi Lampung, kopi Bajawa, kopi Toraja, dan kopi
Lembah Baliem.
Menteri Pertanian mengarahkan agar tahun depan kopi Indonesia menjadi
nomor dua di dunia, dengan cara meningkatkan mutu dan produktivitas menjadi
1,0 ton/ha. Tahun berikutnya ditingkatkan lagi sehingga menjadi nomor satu
dunia.
“Langkah awal yang telah dilakukan, para ahli kopi ditugaskan ke
Vietnam untuk mempelajari teknik meningkatkan produktivitas kopi,” katanya.
“Selanjutnya pada APBN-P 2017 dan APBN 2018 digenjot dengan
peningkatan produkvitias, pengembangan 8.700 ha kawasan kopi, perbenihan 3
sampai 4 juta batang per tahun, pasca-panen dan pemasarannya,” sebut Amran.
Kepala Pusat Data dan Sistem Informasi, Kementan, Suwandi, menjelaskan
cara mendongkrak daya saing kopi Indonesia, pertama meningkatkan sistem
pembibitan, pupuk dan tata kelola air. Kedua, program replanting untuk
mengganti tanaman kopi yang kurang produktif.
“Ketiga, memperluas luas areal tanam kopi jenis arabika yang bernilai
ekonomi tinggi sehingga populasi kopi robusta dan arabika menjadi seimbang,”
kata dia.
Keempat, pengembangan kopi dengan jenis kopi khusus dari berbagai
daerah di Indonesia yang bernilai tinggi. Kelima, bersama instansi terkait
mempromosikan kopi Indonesia di dalam maupun ekspor luar negeri terutama ke
Amerika Serikat, Jerman dan Jepang serta berupaya mengendalikan impor.

2.3 komoditi Kelapa Sawit


1. Produksi Ekspor
Hanya beberapa industri di Indonesia yang menunjukkan perkembangan
secepat industri minyak kelapa sawit selama 20 tahun terakhir. Pertumbuhan ini
tampak dalam jumlah produksi dan ekspor dari Indonesia dan juga dari pertumbuhan

7
luas area perkebunan sawit. Didorong oleh permintaan global yang terus meningkat
dan keuntungan yang juga naik, budidaya kelapa sawit telah ditingkatkan secara
signifikan baik oleh petani kecil maupun para pengusaha besar di Indonesia (dengan
imbas negatif pada lingkungan hidup dan penurunan jumlah produksi hasil-hasil
pertanian lain karena banyak petani beralih ke budidaya kelapa sawit).
Mayoritas hasil produksi minyak kelapa sawit Indonesia diekspor. Negara-negara
tujuan ekspor yang paling penting adalah RRT, India, Pakistan, Malaysia, dan
Belanda. Walaupun angkanya sangat tidak signifikan, Indonesia juga mengimpor
minyak sawit, terutama dari India.
Memang mayoritas dari minyak sawit yang diproduksi di Indonesia diekspor
(lihat tabel di bawah). Namun, karena populasi Indonesia terus bertumbuh (disertai
kelas menengah yang berkembang pesat) dan dukungan pemerintah untuk program
biodiesel, permintaan minyak sawit domestik di Indonesia juga terus berkembang.
Meningkatnya permintaan minyak sawit dalam negeri sebenarnya bisa berarti bahwa
pengiriman minyak sawit mentah dari Indonesia akan mandek di tahun-tahun
mendatang jika pemerintah Indonesia tetap berkomitmen terhadap moratorium
konversi lahan gambut (baca lebih lanjut di bawah).
Produksi dan Ekspor Minyak Kelapa Sawit Indonesia:
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Produksi
19.2 19.4 21.8 23.5 26.5 30.0 31.5 32.5 32.0
(juta ton)
Export
15.1 17.1 17.1 17.6 18.2 22.4 21.7 26.4 27.0
(juta ton)
Export
15.6 10.0 16.4 20.2 21.6 20.6 21.1 18.6 18.6
(dollar AS)
Luas Areal
n.a. n.a. n.a. n.a. 9.6 10.5 10.7 11.4 11.8
(juta ha)
Sumber: Indonesian Palm Oil Producers Association (Gapki) & Indonesian Ministry of Agriculture

Tabel di atas menunjukkan bahwa produksi kelapa sawit naik drastis selama satu
dekade terakhir. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki)
menyatakan Indonesia bisa memproduksi paling tidak 40 juta ton kelapa sawit per
tahun mulai dari tahun 2020.

8
Industri perkebunan dan pengolahan sawit adalah industri kunci bagi
perekonomian Indonesia: ekspor minyak kelapa sawit adalah penghasil devisa
yang penting dan industri ini memberikan kesempatan kerja bagi jutaan orang
Indonesia. Dalam hal pertanian, minyak sawit merupakan industri terpenting di
Indonesia yang menyumbang di antara 1,5 - 2,5 persen terhadap total produk
domestik bruto (PDB).
Hampir 70% perkebunan kelapa sawit terletak di Sumatra, tempat industri
ini dimulai sejak masa kolonial Belanda. Sebagian besar dari sisanya - sekitar
30% - berada di pulau Kalimantan.
1. Sumatra
2. Kalimantan

Dalam hal geografi, Riau adalah produsen minyak sawit terbesar di Indonesia,
disusul oleh Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, dan
Kalimantan Barat.
Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah total luas area
perkebunan sawit di Indonesia pada saat ini mencapai sekitar 11.9 juta hektar;
hampir tiga kali lipat dari luas area di tahun 2000 waktu sekitar 4 juta hektar lahan
di Indonesia dipergunakan untuk perkebunan kelapa sawit. Jumlah ini diduga akan
bertambah menjadi 13 juta hektar pada tahun 2020.
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memainkan peran yang sangat
sederhana di sektor kelapa sawit Indonesia karena mereka memiliki perkebunan
yang relatif sedikit, sementara perusahaan-perusahaan swasta besar (misalnya,
Wilmar Group dan Sinar Mas Group) dominan karena menghasilkan sedikit lebih
dari setengah dari total produksi minyak sawit di Indonesia. Para petani skala
kecil memproduksi sekitar 40 persen dari total produksi Indonesia. Namun
kebanyakan petani kecil ini sangat rentan keadaannya apabila terjadi penurunan

9
harga minyak kelapa sawit dunia karena mereka tidak dapat menikmati cadangan
uang tunai (atau pinjaman bank) seperti yang dinikmati perusahaan besar.
2. Peningkatan mutu
Pembangunan kelapa sawit merupakan salah satu bagian dari
pembangunan perkebunan dan industry pengolahan pertanian nasional. Sasaran
pembangunan kelapa sawit merupakan bagian dari sasaran makro pembangunan
perkebunan dan industry pengolahan pertanian. Pada level industri pengolahan
minyak sawit, visi yang ditetapkan adalah pengembangan industri CPO dan
pengembangan industry turunannya untuk peningkatan nilai tambah melalui
pendekatan klaster. Saat ini, strategi dan kebijakan pembangunan kelapa sawit
tertuang dalam Road Map Kelapa Sawit (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2010)
dan Road Map Kelapa Sawit (Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia, 2009).
Strategi dan kebijakan tersebut pada dasarnya telah memenuhi syarat
keharusan, yaitu mengutamakan penerapan teknologi budidaya dan pengolahan
minyak sawit dan produk turunannya. Namun terkait dengan masalah/isu
pembangunan kelapa sawit yang berkembang saat ini, strategi pembangunan
perkebunan kelapa sawit nampaknya bukan merupakan hasil sintesa masalah dan
antisipasi isu pembangunan kelapa sawit berkelanjutan (aspek sosial, lingkungan
dan tata kelola). Strategi dan kebijakan pembangunan perkebunan yang disusun
juga masih menitikberatkan pada aspek teknologi dan ekonomi mikro, sedangkan
aspek lain masih belum memadai atau belum jelas. Oleh karena itu, strategi dan
kebijakan yang tertuang dalam kedua Road Map Kelapa Sawit masih perlu
disempurnakan.
3. Tantangan /kendala
Dengan peluang investasi yang masih terbuka, Indonesia sebenarnya
mempunyai potensi untuk memanfaatkan peluang tersebut. Seberapa besar
peluang tersebut dapat dimanfatkan akan sangat bergantung pada iklim
investasi/bisnis di Indonesia. Menurut sirvei yang dilakukan oleh ADB (2003),
secara umum ada 22 hambatan bisnis di Indonesia (Gambar …). Dua hambatan
utama adalah instabilitas kondisi ekonomi makro dan ketidak-pastian kebijakan
ekonomi. Faktor berikutnya yang juga dinilai sebagai hambatan utama adalah
korupsi, baik pada tingkat local maupun nasional. Selanjutnya, masalah

10
perpajakan dan biaya modal juga menjadi factor penghambat investasi di
Indonesia
Keterbatasan Sumber Pendanaan
Sejak tidak adanya BLBI sebagai kredit murah, berbagai kegiatan investasi
perluasan kelapa sawit di Indonesia, seperti di Riau, Kalimantan Barat, dan
Sumatera Selatan mengalami kemacetan atau perluasannya sangat terbatas. Dalam
mengatasi hal tersebut, sumber pendanaan perlu digali seperti dengan
menggunakan anggaran pemerintah daerah.
Ekses Otonomi Daerah
Pemberlakuan otonomi daerah yang dimulai tahun 2001 tentunya akan
mempunyai pengaruh terhadap kinerja subsektor perkebunan pada masa
mendatang.
Ada dua undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah yaitu UU
No. 22/1999 tentang pemerintahan daerah dan UU No. 25/1999 tentang
perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dengan daerah. Kedua undang-
undang tersebut pada dasarnya memberi wewenang yang lebih luas pada
pemerintah daerah untuk mengelola sumberdaya yang dimiliki. Dengan belum
jelasnya operasionalisasi dari otonomi daerah tersebut, khususnya yang berkaitan
dengan subsektor perkebunan, maka pengaruh otonomi daerah terhadap subsektor
perkebunan masih memerlukan kajian lebih mendalam. Dampak positif yang
diharapkan dari otonomi daerah adalah bahwa inisiatif daerah lebih terpacu
sehingga potensi ekonomi daerah, termasuk subsector\ perkebunan, dapat digali
secara optimal. Hal ini cenderung mendorong daerah untuk melakukan
spesialisasi guna meningkatkan efisiensi pada semua bidang, termasuk subsektor
perkebunan

11
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Kesimpulan
Dalam sistem perekonomian yang makin mengglobal seperti yang
terjadisaat ini# pasar komoditas pertanian menjadi terintegrasi dengan pasar dunia
yangdiiringi dengan terjadinya perubahan mendasar pada pre!eensi konsumen
terhadap produk-produk hasil pertanian. Pre!erensi konsumen berubah
dariyangsebelumnya hanya sekedar membeli EkomoditiG ke arah membeli
EprodukF.Dengan demikian dipasar domestik# persaingan produk primer semakin
tak terhindarkan karena biaya transportasi antar negara menjaddi semakin
murah#serta terbukanya in9estasi asing

3.2 Saran
Dalam perumusan program pembangunan industri pertanian di 6ndonesia
tentutidak semata-mata mengandalkan logika dan teori semata#namun harus
pulamelihat !akta dilapangan dan juga berpijak pada pengalaman di masa lalu. /al
ini perlu diperhatikan karena dalam penerapan berbagai teori yang telah
diterapkan dimasa lalu# ternyata kini menemui jalan buntu# misalnya strategi
meraihswasembada pangan dengan mengarahkan seluruh sumberdaya yang ada
ternyatadalam jangka panjang justru menimbulkan ketergantungan yang tinggi
padakomoditas beras dan menghambat di9ersi!ikasi pangan.

12
DAFTAR PUSTAKA

aragih, bungaran, siswono Yudo Husodo, dkk. 2005. Pertanian Mandiri. Penebar
swadaya, Jakarta.

Saragih, bungaran. Refleksi Agribisnis. Bogor: IPB


Press.http://www.mb.ipb.ac.id/artikel/view/id/fdabc8a88141a4c1c81d24bbf
7927db0.html

http://agribisnis.umm.ac.id/id/umm-news-2489-bidang-ilmu-agribisnis-apa-itu-
agribisnis-.html

Dewi Anggraini, 2006, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Permintaan Ekspor


Kopi Indonesia Dari Amerika Serikat , Semarang
Aji Wahyu Rosandi, 2007, Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Penawaran

13

Anda mungkin juga menyukai