Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

“ Muzara’ah, Mukhabarah dan Musyaqoh”


Dosen Pembimbing:

Nashihul Ibad Elhas, S.H.I., M.S.I

Disusun Oleh:

Arini Hidayah 083143268

Fitriyatuz zahro 083143298

Mita Widyaastutik 083143271

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

PRODI PERBANKAN SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) JEMBER


Tahun Akademik 2015/2016

1|Page
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT yang mana telah memberikan rahmat
serta karunia-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan
sebaik-baiknya dan alhamdulilah tepat pada waktunya dengan judul “Muzaro’ah, Mukhabrah
dan Musyaqah.” Makalah ini kami buat dalam rangka memenuhi salah satu syarat penilaian
mata kuliah Fiqih Muamalah II yang meliputi tugas kelompok.

Tiada gading yang tak retak. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu
kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan
serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa
meridhai segala usaha kita. Amin.

Jember, September 2015

Penulis

2|Page
Daftar Isi
Halaman Judul.................................................................................................. i

Kata Pengantar.................................................................................................. ii

Daftar Isi........................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang................................................................................................. 1
Rumusan Masalah............................................................................................. 1

Tujuan Penulisan.............................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN

A. Al-Muzara’ah / al-Mukhabrah............................................................. 2
1. Hukum Akad Al-Muzara’ah................................................................ 3
2. Rukun al-Muzara’ah............................................................................. 4
3. Syarat-syarat al-Muzara’ah.................................................................. 4
4. Akibat Akad al-muzara’ah................................................................... 6
5. Berakhirnya Akad al-Muzara’ah.......................................................... 7
B. Musyaqah............................................................................................. 8
1. Arti, Landasan, Rukun dan Perbedaan dengan Mujaro’ah.................. 8
2. Syarat-Syarat Musyaqoh...................................................................... 9
3. Rukun Musyaqoh................................................................................. 9
4. Hukum Musyaqah Shahih dan fasid (Rusak)....................................... 10
5. Habis Waktu Musyaqah........................................................................ 11

Daftar Pustaka……………………………………………………………...... 12

3|Page
Latar Belakang

Manusia dijadikan Allah SWT sebagi makhluksosial yang saling membutuhkan antara
satu dengan yang lain. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia harus berusaha
mencari karunia Allah yang ada dimuka bumi ini sebagai sumber ekonomi. Dalam
kehidupam sosial Nabi Muhmmad mengajarkan kepda kita semua tentang bermuamalah agar
terjadi kerukunan antar umat serta memberikan keuntungan bersama.

Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Muzaro’ah/Mukhabarah?


2. Apa yang dimaksud dengan Musyaqoh?
3. Bagaimana rukun dan syarat Muzaro’ah dan Musyaqoh?

Tujuan Penulisan

1. Mengetahui yang dimaksud dengan Muzaro’ah/Mukhabrah


2. Mengetahui yang dimaksud dengan Musyaqoh
3. Agar mengerti tentang rukun dan syarat Muzaro’ah dan Musyaqoh

4|Page
B. AL-MUZARA’AH / AL-MUKHABARAH
a. Pengertian

Secara etimologi, al-muzara’ah berarti kerjasama di bidang pertanian antara pemilik


tanah dengan petani penggarap. Sedangkan dalam terminologi fiqh terdapat beberapa definisi
yang di kemukakan ulama’ fiqh. Ulama’ Malikiyah mendefinisikan dengan “perserikatan
dalam pertanian”. Menurut ulama Hanabilah “Penyerahan tanah pertanian kepada seorang
petani untuk di garap dan hasilnya di bagi dua.1

Dalam al-muzara’ah bibit yang akan di tanam boleh dari pemilik.

‫الشركة فى الزرع‬

Perserikatan dalam pertanian.

Menurut ulama Hanabilah al-muzara’ah adalah.

‫دفع االرض الى من يزرعها اؤ يعمل عليها والزرع بينهما‬

Penyerahan tanah pertanian kepada seorang petani untuk digarap dan hasilnya dibagi berdua.

Kedua definisi ini dalm kebiyasaan Indonesia disebut sebagai “paroan sawah” penduduk
Irak menyebutnya “al-mukhabarah’ tetapi dalam al-mukhabrah, bibit yang akan ditanam
berasal dari pemilik tanah.

Imam as-Syafi’i mendefinisikan mukahbarah dengan:

‫عمل االرض ببعض ما يخرج منها والبذر من العامل‬

Pengelolaan tanah oleh petani dengan imbalan hasil pertanian, sedangkan bibit pertanian
disediakan penggarap tanah.

Dalam al-mudhrabah bibit yang akan ditanam disediakan oleh penggarap tanah,
sedangkan dalam al-muzara’ah bibit yang akan di tanam boleh dari pemilik.

1
Haroen Nasrun. Fiqih muamalah. Jakrta: Gaya Media Pratama. 2007. Hal 275-281.

5|Page
6. Hukum Akad Al-Muzara’ah

Terjadi perbedaan pendapat para ulama’ dalam membahas hukum al-muzara’ah. Imam
Abu Hanifah (80-150 H 699-767 M) dan Zulfar Ibnu Huzail (728-774 M), pakar fiqh Hanafi,
berpendapat bahwa akad al-muzara’ah tidak boleh. Menurut mereka, akad al-muzara’ah
dengan bagi hasil, seperempat dan seperdua, hukumnya batal.

Rasulullah saw, melarang al-muzara’ah (HR Muslim)

Menurut mereka, obyek akad dalam al;muzara’ah belum ada dan tidak jelas
kadarnya, karena yang di jadikan imbalan untuk petani adalah hasil pertanian yang belum ada
(al-ma’dum) dan tidak jelas (al-jahalah) ukurannya, sehingga keu ntungan yang akan di bagi,
sejak semula tidak jelas. Boleh saja pertanian itu tidak menghasilkan, sehingga petani tidak
mendapatkan apa-apa dari hasil kerjanya. Obyek akad yang bersifat al-ma’dum dan al-
jahalah inilah yang membuat akad ini tidak sah. Adapun perbuatan Rasulullah saw. Dengan
penduduk Khaibar dalam hadits yang di riwayatkan al-jama’ah (mayoritas pakar hadits),
menurut mereka, bukan merupakan akad al-muzara’ah, adalah berbentuk al-kharaj al-
muqasamah, yaitu ketentuan pajak yang harus di bayarkan petani kepada Rasulullah setiap
kali panen dalam prosentase tertentu.

Ulama Syafi’iyah juga berpendapat bahwa akad al;muzara’ah tidak sah, kecuali
apabila al-muzara’ah mengikut pada akad al-musaqah (kerjasama pemilik kebun dengan
petani dalam mengelola pepohonan yang ada di kebun itu, yang hasilnya nanti di bagi
menurut kesepakatan bersama). Misalnya, apabila terjadi kerjasama dalam pengolahan
perkebunan, kemudian ada tanah kosong yang boleh di manfaatkan untuk al-
muzara’ah(pertanian), maka menurut ulama Syafi’iyah, akad al-muzara’ah boleh di lakukan.
Akad ini tidak berdiri sendiri, tetapi mengikut pada akad al-musaqah.

Ulama Malikiyah, Hanabilah, Abu Yusuf (113-182 H 731-798 M), Muhammad ibn
al-Hasan asy-Syaibani(748-804 M), keduanya sahabat Abu Hanifah, dan ulama azh-
Zhahiriyah berpendapat bahwa akad al-muzara’ah hukumnya boleh, karena akadnya cukup
jelas, yaitu menjadikan petani sebagai serikat dalam penggarapan sawah.

Menurut Mereka, dalam sebuah riwayat di katakana bahwa:

6|Page
Rasulullah saw. Melakukan akad muzara’ah dengan penduduk Khaibar, yang hasilnya
di bagi antara Rasul dengan para pekerja. (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, an-Nasa’i,
Ibnu Majah, at-Tirmizi, dan Imam Ahmad ibn Hanbal dari Abdullah ibn Umar).

Menurut mereka akad ini bertujuan untuk saling membantu antara petani dengan
pemilik tanah pertanian. Pemilik tanah tidak mampu untuk mengerjakan tanahnya, sedangkan
petani tidak mempunyai tanah pertanian. Oleh sebab itu, wajar apabila antara pemilik tanah
persawahan bekerjasama dengan petani penggarap, dengan ketentuan bahwa hasilnya mereka
bagi sesuai dengan kesepakatan bersama. Menurut ulama Malikiyah danHanabilah, akad
seperti ini termasuk dalam firman Allah dalam surah al-Ma’idah, 5:2 ynag berbunyi:
Bertolong-tolonganlah kamu atas kebajikan dan ketaqwaan dan jangan bertolong-tolongan
atas dosa dan permusuhan.

7. Rukun al-Muzara’ah

Jumhur ulama, yang membolehkan akad al-muzara’ah, mengemukakan rukun dan


syarat yang harus di penuhi, sehingga akad di anggap sah. Rukun al-muzara’ah menurut
mereka adalah:

a) Pemilik tanah
b) Petani penggarap
c) Obyek al-muzara’ah, yaitu antara manfaat tanah dengan hasil kerja petani.
d) Ijab (ungkapan penyerahan tanah dari pemilik tanah) dan qabul (pernyataan
menerima tanah untuk digarap dari petani). Contoh ijab qabul itu adalah “ Saya
serahkan tanah pertanian saya ini kepada kamu untuk di garap, dan hasilnya nanti kita
bagi berdua”. Kemudian petani penggarap menawab: “Saya terima tanah pertanian ini
untuk di garap dengan imbalan hasilnya di bagi dua”. Jika hal ini telah terlaksana,
maka akad itu telah sah dan mengikat. Namun, ulama Hanabilah mangatakan bahwa
penerimaan (qabul) al-muzara’ah tidak perlu dengan ungkapan, tetapi boleh juga
dengan tindakan, yaitu petani langsung menggarap tanah itu.

8. Syarat-syarat al-Muzara’ah

Adapun syarat-syarat al-muzara’ah, menurut jumhur ulama, ada yang menyangkut


orang yang berakad, benih yang akan di tanam, tanah yang di kerjakan, hsil yang akan di
panen, dan yang menyangkut jangka waktu berlakunya akad.

7|Page
Untuk orang yang melakukan akad disyaratkan bahwa keduanya harus orang yang
telah balig dan berakal. Karena kedua syarat inilah yang membuat seseorang di anggap telah
cukup bertindak hukum. Pendapat lain kalangan ulama Hanafiyah menambahkan bahwa
salah seorang atau keduanya bukan orang yang murtad (keluar dari agma islam), karena
tindakan hukum orang yang murtad di anggap mauquf (tidak punya efek hukum, sampai ia
masuk islam kembali).

Akan tetapi, Abu Yusuf dan Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani tidak menyetujui
syarat tambahan ini, karena, menurut mereka, akad al-muzara’ah boleh dilakukan antara
muslim dengan non islam, termasuk orang murtad.

Syarat yang menyangkut benih yang akan di tanam harus jelas, sehingga sesuai
dengan kebiasaan tanah itu benih yang di tanam itu jelas dan akan menghasilkan. Sedangkan
syarat yang menyangkut tanah pertanian adalah:

a. Menurut adat di kalangan para petani, tanah itu boleh di garap dan menghasilkan. Jika
tanah itu adalah tanah yang tandus dan kering, sehingga tidak memungkinkan di
jadikan tanah pertanian, maka akad al-muzara’ah tidak sah.
b. Batas-batas tanah itu jelas.
c. Tanah itu di serahkan sepenuhnya kepada petani untuk digarap. Apabila disyaratkan
bahwa pemilik tanah ikut mengolah pertanian itu, maka akad al-muzara’ah tidak sah.

Syarat-syarat yang menyangkut dengan hasil panen adalah sebagai berikut:

1) Pembagian hasil panen bagi masing-masing pihak harus jelas.


2) Hasil itu benar-benar milik bersama orang yang ber-akad, tanpa boleh ada
pengkhususan.
3) Pembagian hasil panen itu di tentukan setengah, sepertiga, atau seperempat sejak dari
awal akad, sehingga tidak timbul perselisihan di kemudian hari, dan penentuannya
tidak boleh berdasarkan jumlah tertentu secara mutlak, seperti satu kuintal untuk
pekerja, atau satu karung; karena kemungkinan seluruh hasil panen jauh di bawah
jumlah itu atau dapat juga jauh melampaui jumlah itu.

Syarat yang menyangkut jangka waktu uga harus di jelaskan dalam akad sejak
semula, karena akad al muzara’ah mengandung makna akad al-ijarah (sewa-menyewa atau
upah mengupah) dengan imbalan sebagian hasil panen. Oleh sebab itu, jangka waktunya

8|Page
harus jelas. Untuk penentuan jangka waktu ini, biasanya di sesuaikan dengan adat kebiasaan
setempat.

Untuk obyek akad, jumhur ulama yang membolehkan al-muzara’ah mensyaratkan


juga harus jelas, baik berupa jasa petani, sehingga benih yang akan di tanam datangnya dari
pemilik tanah, maupun pemanfaatan tanah, maupun pemanfaatan tanah, sehingga benihnya
dari petani.

Abu yusuf dan Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani menyatakan bahwa dilihat dari
segi sah atau tidaknya akad al-muzara’ah, ada 4 bentuk yaitu:

1) Apabila tanah dan bibit dari pemilik tanah, kerja dan alat dari petani, sehingga yang
menjadi obyek al-muzara’ah adalah jasa petani, maka hukumnya sah.
2) Apabila pemilik tanah hanya menyediakan tanah, sedangkan petani menyediakan
bibit, alat, dan kerja, sehingga yang menjadi obyek al-muzara’ah adalah manfaat
tanah, maka akad al-muzara’ah juga sah.
3) Apabila tanah,, alat, dan bibit dari pemilik tanah dan kerja dari petani, sehingga yang
menjadi obyek dari al-muzara’ah adalah asa petani, maka akad al-muzara’ah juga
sah.
4) Apabila tanah pertanian dan alat di sediakan pemilik tanah dan bibit serta kerja dari
petani, maka akad ini tidak sah. Menurut Abu Yusuf dan Muhammad ibn al-Hasan
asy-Syaibani, menentkan alat pertanian dari pemilik tanah membuat akad ini jadi
rusak, karena alat pertanian tidak boleh mengikut pada tanah. Menurut mereka,
manfaat alat pertanian itu tidak sejenis dengan manfaat tanah, karena tanah adalah
untuk menghasilkan tumbuh-tumbuhan dan buah, sedangkan manfaat alat hanya
untuk menggarap tanah. Alat pertanian, menurut mereka, harus mengikut kepada
petani penggarap, bukan kepada pemilik tanah.

9. Akibat Akad al-muzara’ah


Menurut jumhur ulama yang membolehkan akad al-muzara’ah, apabila akad
ini telah memenuhi rukun dan syaratnya, maka akibat hukumnya adalah sebagai
berikut:
a) Petani bertanggung jawab mengeluarkan biaya benih dan biaya pemeliharaan
pertanian itu.

9|Page
b) Biaya pertanian, seperti pupuk, biaya penuaian, serta biaya pembersihan tanaman,
ditanggung oleh petani dan pemilik tanah sesuai dengan prosentase bagian masing-
masing.
c) Hasil panen dibagi sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.
d) Pengairan di laksanakan sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. Apabila tidak
ada kesepakatan, berlaku kebiasaan di tempat masing-masing. Apabila kebiasaan
tanah itu diairi dengan air hujan, maka masing-masing pihak tidak boleh dipaksa
untuk mengairi tanah itu dengan melalui irigasi. Apabila tanah pertanian itu biasanya
diairi melalui irigasi, sedangkan dalam akad disepakati menjadi tanggung jawab
petani, maka petani bertanggung jawab mengairi pertanian itu dengan irigasi.
e) Apabila salah seorang meninggal dunia sebelum panen, akad tetap berlaku sampai
panen, dan yang meninggal di wakili oleh ahli warisnya, karena jumhur ulama
berpendapat bahwa akad upah-mengupah(al-ijarah) bersifat mengikat kedua belah
pihak dan boleh di wariskan. Oleh sebab itu, menurut mereka, kematian salah satu
pihak yang berakad tidak membatalkan akad ini.

10. Berakhirnya Akad al-Muzara’ah

Para ulama fiqh yang membolehkan akad al-muzara’ah mengatakan bahwa akad ini
akan berakhir apabila:

1) Jangka waktu yang di sepakati berakhir. Akan tetapi, apabila jangka waktunya sudah
habis, sedangkan hasil pertanian itu belum layak panen, maka akad itu tidak di
batalkan sampai panen dan hasilnya dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama
diwaktu akad. Oleh sebab itu, dalam menunggu panen itu, menurut jumhur ulama,
petani berhak mendapatkan upah sesuai dengan upah minimal yang berlaku bagi
petani setempat. Selanjutnya, dalam menunggu masa panen itu biaya tanaman, seperti
pupuk, biaya pemeliharaan, dan pengairan merupakan tanggung jawab bersama
pemilik tanah dan petani, sesuai dengan prosentase pembagian masing-masing.
2) Menurut ulama Hanafiyah dan Hanabilah, apabila salah seorang yang berakad wafat,
maka akad ini berakhir, karena mereka berpendapat bahwa akad al-ijarah tidak boleh
di wariskan. Akan tetapi ulama Malikiyah dan ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa
akad al-muzara’ah itu dapat di wariskan. Oleh sebab itu tidak berakhir dengan
wafatnya salah satu pihak yang berakad.

10 | P a g e
3) Adanya uzur dari salah satu pihak, baik dari pihak pemilik tanah maupun dari pihak
petani yang menyebabkan mereka tidak boleh melanjutkan akad al-muzara’ah itu.
Uzur dimaksud antara lain adalah:
a. Pemilik tanah terbelit utang, sehingga tanah pertanian itu harus ia jual, karena tidak
ada harta lain yang dapat melunasi utang itu. Pembatalan ini harus dilaksanakan
melalui campur tangan haki. Akan tetapi, apabila tumbuh-tumbuhan itu telah berbuah,
tetapi belum layak panen, maka tanah itu tidak boleh di jual sampai panen.
b. Adanya uzur petani, seperti sakit atau harus melakukan suatu perjalanan ke luar kota,
sehingga ia tidak mampu melaksanakan pekerjaanya.

C. MUSYAQAH
6. Arti, Landasan, Rukun dan Perbedaan dengan Mujaro’ah
a) Arti Musyaqoh

Menurut etimologi, musyaqoh adalah salah satu bentuk penyiraman. Orang Madinah
menyebutnya dengan istilah muamalah. Akan tetapi, istilah yang lebih dikenal adalah
musyaqoh.

Adapun menurut terminologi Islam adalah:2

‫معاقدة دفعاالشجار الى من يعمل فيها على ان الثمرة بينهما‬

Artinya: Sesuatu akad dengan memberikan pohon kepada penggaran agar di kelola dan
hasilnya di bagi diantara keduanya.
b) Asas Legalitas

Musyaqah menurut ulama Hanafiyah seperti mujara’ah, baik dalam hukum dan
persyaratan yang memungkinkan terjadi musyaqah. Abu hanifah dan Abu jarah tidak
membolehkan nya,dengan mendasarkan pendapatnya pada hadits:

)‫من كانت له ارض فاليزرعها واليكريها بثلث البربع والبطعام (متفاق عليه‬

Artinya:

Barang siapa yang memiliki tanah, hendaklah mengelolanya, tidak boleh menyewakan nya
dengan sepertiga atau seperempat, dan tidak pula dengan makanan yang telah di tentuka.
(Muttafaq alaih).

Abu yusuf dan muhammad (dua sahabat abu hanifah), dan jumhur ulama (imam
Malik,imam Syafi’I,dan imam Ahmad) memperbolehkan musyaqah yang didasarkan pada
muamalah rasulullah SAW bersama orang Khaibar.
c) Perbedaan antara musyaqah dan mujara’ah

2
Syafe’I, Rachmad, Fiqih Muamalah, Pustaka setia: Bandung. 2001 hlm. 212

11 | P a g e
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa musyaqah, sama dengan mujara’ah, kecuali dalam
empat perkara:
1) Jika salah seorang yang menyepakati akad tidak memenuhi akad, dalam musyaqah, ia
harus di paksa,tetapi dalam mujara’ah, ia tidak boleh di paksa.
2) Jika waktu musyaqah habis,akad di teruskan sampai berbuah tanpa pemberian upah,
sedangkan dalam mujara’ah. Jika waktu habis, pekerjaan di teruskan dengan
pemberian upah.
3) Waktu dalam musyaqah di tetapkan berdasarkan ihtisan, sebab dapat diketahui
dengan tepat, sedangkan waktu dalam mujara’ah terkadang tertentu.
4) Jika pohon di minta oleh selain pemilik tanah pengara di beri upah. Sedangkan dalam
mujara’ah jika di minta sebelum menghasilkan sesuatu penggarap tidak mendapatka
apa-apa.

7. Syarat-Syarat Musyaqoh

Syarat-Syarat Musyaqoh sebenarnya tidak berbeda dengan persyaratan yang ada dalam
mujaro’ah. Hanya saja pada musyaqoh tidak disyaratkan untuk menjelaskan jenis benih,
pemilik benih, kelayakan kebun, serta ketetapan waktu. Beberapa Syarat Musyaqoh adalah:
a. Ahli dalam akad
b. Menjelaskan bagian penggarap
c. Membebaskan pemilik dari pohon
d. Hasil dari pohon dibagi antara dua orang yang melangsungkan akad
e. Sampai batas akhir, yakni menyeluruh sampai akhir

8. Rukun Musyaqoh

Jumhur Ulama’ menetapkan bahwa rukun Musyaqoh ada 5, yaitu berikut ini:
1) Dua orang yang akad (al-aqidani). Al-Aqidani disyaratkan harus baligh dan berakal.
2) Objek Musyaqoh. Objek Musyaqoh menurut ulama Hanafiyah 3 adalah pohon-pohon
yang berbuah, seperti kurma. Akan tetapi, menurut sebagian ulama Hanafiyah lainnya
dibolehkan musyaqoh atas pohon yang tidak berbuah sebab sama-sama membutuhkan
pengurusan dan siraman.
3) Buah. Disyaratkan menentukan buah ketika akad untuk kedua pihak.
4) Pekerjaan. Disyaratkan penggarap harus bekerja sendiri. Jika disyaratkan bahwa
pemilik harus bekerja atau dikerjakan secara bersama-sama, akad menjadi tidak sah.
5) Shigat. Menurut ulama Syafi’iyah, tidak dibolehkan menggunakan kata ijarah
(sewaan) dalam akad musyaqoh sebab berlainan akad.

9. Hukum Musyaqah Shahih dan fasid (Rusak)


3
Syafe’I, Rachmad, Fiqih Muamalah, Pustaka setia: Bandung. 2001 hlm 212-221.

12 | P a g e
a) Hukum Musyaqah Shahih

Musyaqah Shahih menurut para ulama memiliki beberapa hukum dan ketetapan.
1) Menurut ulama Hanafiyah, hukum musyaqah shahih adalah berikut ini.
a. Segala perkerjaan yang berkenaan dengan pemeliharaan pohon yang di serahkan
kepada penggarap. Sedangkan biaya yang di perlukan dalam pemeliharaan di bagu
dua.
b. Hasil dari musyaqah dibagi berdasarkan kesepakatan.
c. Jika pohon tidak menghasilkan sesuatu, keduanya tidak mendapatkan apa-apa.
d. Akad adalah lazim dari kedua belah pihak. Dengan demikian, pihak yang berakad
tidak dapat membatalkan akad tanpa izin salah satunya.
e. Pemilik boleh memeriksa penggarap untuk bekerja, kecuali ada udzur.
f. Boleh menambah hasil dari ketetapan yang telah di sepakati.
g. Penggarap tidak mendapatkan musyaqah kepada penggarap lain, kecuali di izinkan
oleh pemilik,namun demikian,penggarap awal tidak mendapat apa-apa dari hasil,
sedangkan penggarap kedua berhak mendapatkan upah sesuai dengan pekerjaannya.
2) Menurut Ulama malikiyah pada umumnya menyepakati hukum-hukum yang di
tetapkan ulama hanafiyah di atas. Namun demikian, mereka berpendapat dalam
pengarapan.
a. Sesuatu yang tidak berhubungan dengan buah tidak wajib di kerjakan tidak boleh di
syaratkan.
b. Sesuatu yang berkaitan dengan buah yang membekas di tanah, tidak wajib di bebeni
oleh penggarap.
c. Sesuatu yang berkaitan dengan buah, tetapi tidak tetap adalah kewajiban
penggarap,seperti menyiram atau menyediakan alat garapan.dan lain-lain.
3) Ulama syafi’iyah dan hanabilah sepakat dengan ulama malikiyah dalam membatasi
pekerjaan penggarap di atas.dan menambahkan bahwa segala pekerjaan yang rutin
setiap tahun adalah kewajiban penggarap, sedangkan pekerjaan yang tidak rutin
adalah kewajiban pemilik tanah.
b) Hukum dan dampak musyaqah fasid.

Musyaqah fasid adalah akad yang tidak memenuhi persayaratan yang telah di tetapkan
syara’. Beberapa keadaan yang telah di tetapkan syara’.beberapa keadaan yang dapat di
katgorikan musyaqah fasidah menurut ulama Hanafiyah antara lain.
1. Mensyaratkan hasil musyaqah bagi salah seorang dari yang akad.
2. Mensyaratkan salah satu bagian tertentu bagi yang akad.
3. Mensyaratkan pemilik untuk ikut dalam penggarap.
4. Mensyaratka pemetik dan kelebihan kepada penggarap, sebab penggarap hanya
berkewajiban memelihara tanaman sebelum dipetik hasilnya. Dengan demikian,
pemeriksa dan hal tambahan merupakan kewajiban dua orang yang akad.
5. Mensayaratkan penjagaan kepada penggarap setelah pembagian.
6. Mensyaratkan kepada penggarap untuk terus bekerja setelah habis waktu akad.
7. Bersepakat sampai batas waktu menurut kebiasaan.

13 | P a g e
8. Musyaqoh digarap oleh banyak orang sehingga penggarap membagi lagi kepada
penggarap lainnya.

Dampak Musyaqoh fasid menurut para ulama:


1) Menurut ulama Hanafiyah:
a. Pemilik tidak boleh memaksa penggarap untuk bekerja.
b. Semua hasil adalah hak pemilik kebun.
c. Jika Musyaqoh rusak, penggarap berhak mendapatkan upah.
2) Menurut ulama Malikiyah, jika musyaqoh rusak sebelum penggarapan, upah tidak
berikan. Sebaliknya, apabila musyaqoh rusak setelah penggarap bekerja atau pada
pertengahan musyaqoh, penggarap berhak mendapatkan upah atas pekerjaannya, baik
sedikit maupun banyak.
3) Ulama Hanifiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa jika buah yang keluar setelah
penggarapan ternyata bukan milik orang yang melangsungkan akad dengannya, si
penggarap berhak mendapatkan upah atas pekerjaannya sebab dia telah kehilangan
manfaat dari jeri payahnya dalam musyaqoh.

10. Habis Waktu Musyaqah


a. Menurut Ulama Hanafiyah
1. Habis waktu yang telah disepakati
2. Meninggalnya salah seorang yang akad
3. Membatalkannya, baik dengan ucapan secara jelas atau adanya uzur
b. Menurut Ulama Malikiyah

Ulama malikiyah berpendapat bahwa musyaqah adalah akad yang dapat diwariskan.
Dengan demikian, ahli waris penggarap berhak untuk meneruskan garapan. Akan tetapi, jika
ahli warisnya menolak, pemilik harus menggarapnya.

Musyaqah dianggap tidak batal jika penggarap diketahui seorang pencuri, tukang berbuat
zalim atau tidak dapat bekerja. Penggarap boleh memburuhkan orang lain untuk bekerja. Jika
tidak memilik modal, ia boleh mengambil bagiannya dari upah yang diperolehnya bila
tanaman telah berbuah. Ulama Malikiyah beralasan bahwa musyaqah adalah akad yang lazim
yang tidak dapat dibatalkan karena adanya uzur, juga tidak dapat dibatalkan dengan
pembatalan sepihak sebab harus ada kerelaan diantara keduanya.

c. Menurut Ulama Syafi’iyah

Ulam syafi’iayah berpendapat bahwa musyaqah tidak batal dengan adanya uzur,
walaupun diketahui bahwa penggarap berkhianat. Akan tetapi, pekerjaan penggarap harus
diawasi oleh seorang pengawas sampai penggarap menyelesaikan pekerjaannya. Jika
pengawas tidak mampu mengawasinya, tanggung jawab dicabut kemudian diberikan kepada
penggarap yang upahnya diambil dari harta penggarap.

14 | P a g e
Menurut ulama Syafi’iyah, musayaqah slesai jika habis waktunya.jika buah kluar setelah
habis waktu, penggarap tudak berhak atas hasilnya. Akan tetapi, jika akhir waktu musyaqah
buah belum matang, penggarap berhak atas bagiannya dan meneruskan pekerjaanya.

Musyaqah dipandang btala jika penggarap meninggal, tetapitidak dianggap batal jika
pemiliknya meninggal. Penggarap meneruskan pekerjaannya sampai mendapatkan hasilnya.
Akan tetapi, jika seorang ahli warisnya pun meninggal, akad menjadi batal.
d. Menurut Ulama Hanabilah

Ulama hanabilah berpendapat bahwa musyaqah sama dengan mujara’ah, yakni termasuk
akad yang dibolehkan, tetapi tidak lazim. Dengan demikian, setiap sisi dari musyaqah dapat
membatalkannya. Jika musyaqah rusak setelah tampak buah , buah tersebut dibagikan kepada
pemilik dan penggarap sesuai dengan perjanjian awal waktu dan dengan catatan penggarap
berkewajiban menyempurnakan pekerjaannya meskipun musyaqah rusak.

Jika penggarap meninggal, musyaqah di pandang tidak rusak, tetapi dapt diteruskan oleh
ahli warisnya. Jika ahli waris menolak, mereka tidak boleh dipaksa, tetappi hakim dapat
menyuruh orang lainuntuk mengelolanya dan upah diambil dari tirkah (peninggalannya).
Akan tetapi jika tidak memilki tirkah, upah tersebut diambil dari bagian penggarap sebatas
yang dibutuhkan ssehingga musyaqah sempurna.

15 | P a g e
Daftar Pustaka

Nasrun, Haroen. 2007. Fiqih muamalah. Jakrta: Gaya Media Pratama.

Rachmad, Syafe’I. 2001. Fiqih Muamalah, Pustaka setia: Bandung.

https://www.syekhnurjati.ac.id/jurnal/index.php/al-mustashfa/article/view/9630

16 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai