Anda di halaman 1dari 12

Hukum Suami Yang Menghilang

Makalah ini disusun untuk memenuhi Mata Kuliah “Muqaranah Madzahib fil Munakahat”.
Dosen Pengampu :
Prof. Dr. KH. Ahmad Mukri Aji M.A, M.H

Disusun oleh :
Kelompok 11
Sulaiman Malik Dinnar 11220430000115
Farhan Aprianto 11220430000124
Abi Albani 11220430000067
Aryadi Putra Alamsyah 11220430000011
Fatih Zein Muhammad 11220430000082

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2023 M/1445 H
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb
Segala puji syukur tak pernah henti-hentinya terus kita curahkan kepada sang pencipta Allah
SWT yang telah memberikan kita beribu nikmat kepada kami sehingga kami diberikan
kesempatan untuk menulis sebuah makalah yang jauh dari kata sempurna. Shalawat serta
salam semoga tetap tercurahkah pada Baginda agung Nabi Muhammad SAW, yang telah
membawa kita dari zaman jahiliah menuju jalan Islamiyah.
Makalah ini kami buat untuk memenuhi tugas dari dosen mata kuliah Muqaranatul Mazhahib
Fil Munakahat. Adapun tujuan penulisan makalah kami ini adalah untuk menambah wawasan
dan pengetahuan pada materi “Hukum pernikahan jika suami menghilang”, agar kami semua
menjadi mahasiswa yang berguna bagi agama, bangsa, dan negara.
Kami selaku penulis makalah ini, mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. KH. Ahmad
Mukri Aji M.A, M.H. selaku dosen pengampu mata kuliah Muqaranah Madzahib Fil
Munakahat yang telah memberikan bimbingan, arahan dan materi pada kami dan teman-
teman sekelas.
Dengan seterusnya makalah ini kami menyadari, bahwa masih banyak kekurangan dan
kelemahan pada makalah yang kami buat ini. Demi kesempurnaan makalah ini, kami
berharap ada perbaikan, kritik dan saran yang sifatnya membangun apabila terdapat
kesalahan pada pembuatan makalah kami ini.
Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi kami
sendiri dan umumnya bagi para pembaca makalah.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Ciputat, 28 November 2023

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................................2
DAFTAR ISI........................................................................................................................................3
BAB I..................................................................................................................................................3
PENDAHULUAN.................................................................................................................................3
A. Latar Belakang...............................................................................................................................3
B. Rumusan Masalah.........................................................................................................................4
BAB II.....................................................................................................................................................4
PEMBAHASAN.......................................................................................................................................4
Definisi Mafqud.................................................................................................................................4
Jangka Waktu Untuk Menentukan Keputusan Meninggalnya Suami yang Hilang.............................5
Pengaruh kembalinya Suami yang Hilang Terhadap Istri...................................................................6
Pengaruh Kembalinya Suami yang Hilang Terhadap Hak Mendapatkan Kembali Hartanya..............8
BAB III..................................................................................................................................................10
PENUTUP.............................................................................................................................................10
Kesimpulan......................................................................................................................................10
Saran................................................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................11
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Nikah adalah perjanjian antara laki-laki dan perempuan sesuai dengan ketentuan
hukum dan ajaran agama. Secara istilah, pernikahan adalah akad yang menghalalkan
pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya. Dari akad itu juga,
muncul hak dan kewajiban yang mesti dipenuhi masing-masing pasangan. Ketentuan
mengenai pernikahan ini tergambar dalam firman Allah SWT dalam Al-Quran surah Ar-Rum
ayat 21: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri
dari jenismu sendiri, supaya kamu hidup tentram bersamanya. Dan Dia juga telah menjadikan
di antaramu (suami, istri) rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”. Hukum menikah adalah sunah.
Artinya, siapa yang mengerjakannya mendapatkan pahala, namun tidak berdosa jika
meninggalkannya. Hal ini berdasarkan imbauan dari Nabi Muhammad SAW: “Wahai para
pemuda! Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena
nikah itu lebih menundukkan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan
barang siapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa, karena puasa itu dapat
membentengi dirinya” (HR.Bukhari dan muslim).
Jika dalam pernikahan terdapat permasalahan salah satunya adalah hilangnya suami
maka akan timbul berbagai kesulitan di lingkungan keluarga yang dapat membawa kepada
beberapa permasalahan. Para imam Madzhab berbeda pendapat dalam menanggapi
permasalahan tersebut.

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi mafqud ?
2. Jangka Waktu Untuk Menentukan Keputusan Meninggalnya Suami yang Hilang.
3. Pengaruh kembalinya Suami yang Hilang Terhadap Istri.
4. Pengaruh Kembalinya Suami yang Hilang Terhadap Hak Mendapatkan Kembali
Hartanya.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Mafqud

kata al-mafqud secara etimologi berasal dari bahasa Arab dari kata dasar fa qa da yang
bermaksud tiada, hilang, dan lenyap,1 sedangkan menurut istilah fikih, ada beberapa macam
pengertian dari berbagai imam mazhab. Menurut abu hanifah mafqud adalah orang yang
menghilang dari keluarganya dan negrinya atau ditangkap oleh musuh dan tidak diketahui
apakah dia masih hidup atau meninggal, tidak diketahui tempatnya dan dan kehilangannya
sudah lewat beberapa waktu.2 Menurut imam malik adalah orang yang terputus kabarnya
yang tidak dimungkinkan untuk diketahui kabarnya. 3 Sedangkan menurut imam syafi’i dan
imam ahmad ahmad bin hanbal adalah sama seperti pendapat imam malik, yaitu orang yang
terputus kabarnya dan tidak diketahui kabarnya baik dalam keadaan safar atau hadir baik
dalam peperangan atau yang semisalnya.4 Jumhur ulama fikih sepakat bahawa batasan sifat
mafqud yang terdapat kesamaan dari definisi diatas adalah orang yang tidak diketahui hidup
atau matinya dan terputus kabarnya, kecuali tahanan perang dan orang yang dipenjara.

B. Jangka Waktu Untuk Menentukan Keputusan Meninggalnya Suami yang


Hilang

Mengenai masalah pertama, pemakalah akan merangkumnya tanpa memerincinya,


karena para ahli hukum berbeda pendapat dalam menentukan jangka waktu yang harus dilalui
untuk menilai kematian orang yang hilang, dan dengan mengekstrapolasi dari Nash., kami
dapat berpegang pada pendapat fuqaha berikut ini :
1. Menurut pendapat mutaakhirin dari kalangan hanafiyah dan salah satu pendapat
malikiyah adalah enam puluh tahun dimulai dari hari kelahiran mafqud.
2. Menurut Ibnu Al-Hamam dari kalangan hanafiyah, pendapat mu’tamad kalangan
malikiyah, salah satu pendapat syafi’iyyah dan salah satu riwayat dari hanabilah
adalah tujuh puluh tahun dihitung dari hari kelahiran mafqud.
1
Ibn Manzur, Lisan al-'Arab,Daar Shadir Beirut, juz 3, H. 337
2
Abdullah bin Mahmud Al-Mushili, Al-Ikhtiyar li Ta’lil Al-Mukhtar, Daar Al-Kutub Al-
Ilmiyah Beirut,2005, juz 3, h. 41
3
Abu Abdillah Muhammad bin Yusuf Al-‘Abdary Al-Mawwaq, Al-taj wa Al-Iklil Li
Mukhtashar Khalil, juz 6, h. 228.
4
Muhy Ad-Din An-Nawawi, Roudhatu AT-thalibin Wa ‘Umdatu Al-Muttaqin, Daar Al-Fikr,
Beirut, 2002, juz 7, h. 605.
3. Menurut salah satu pendapat malikiyah adalah tujuh puluh lima tahun.
4. Salah satu pendapat hanafiyah, malikiyah, syafi’yyah adalah delapan puluh tahun.
5. Salah satu pendapat hanafiyah, malikiyah syafi’iyyah dan hanabilah khususnya
dalam kasus ketiadaan suami yang diketahui kabar keselamatannya adalah sembilan
puluh tahun.
6. Menurut pendapat Abu Yusuf Al-Hanafi, salah satu pendapat malikiyah dan
syafi’iyyah adalah seratus tahun.
7. Menurut salah satu pendapat hanafiyyah, syafi’iyyah dan hanabilah adalah seratus
dua puluh tahun.
8. Menurut salah satu pendapat hanabilah adalah dihukumi mati setelah selesai waktu
empat tahun setelah kehilangannya ketika tidak diketahui kabarnya, karena dalam
waktu (empat tahun) tersebut biasanya seseorang yang menghilang sudah
meninggal.
9. Menurut salah satu pendapat hanafiyyah dan malikiyah, kematian mafqud
digantungkan dengan kematian seluruh orang yang segenerasi dengannya.

Para ulama berbeda pendapat mengenai keputusuan meninggalnya suami yang hilang tersebut
apakah putusan ini bergantung pada putusan hakim, ataukah seiring berjalannya waktu.
Dalam hal terdapat dua pendapat :

1. Suami yang hilang bisa dianggap meninggal dengan seiring berjalannya waktu yang
telah sampai batasan waktu yang telah disebutkan dan tidak butuh kepada keputusan
hakim. Maka istrinya memulai iddah-nya dan hartanya boleh dibagikan kepada ahli
warisnya. Ini menurut pendapat salah satu pendapat ulama hanafiyyah, malikiyyah,
syafi’iyyah dan hanabilah. Mereka berhujjah bahwa Jangka waktu dapat diketahui,
sehingga jika (jangka waktu) diketahui maka orang yang hilang tersebut dinyatakan
meninggal.5
2. Wajib menunggu keputusan hakim untuk menyatakan kematian suami yang
menghilang tidak cukup dengan seiring berjalannya waktu. Ini adalah pendapat salah
satu ulama hanafiyyah, malikiyyah, syafi’iyyah dan hanabilah. Mereka berhujjah
dengan melihat hukum asal nya, karena pada dasarnya suami yang menghilang itu
masih hidup, sedangkan berjalannya waktu tidak memperoleh kepastian tertentu kecuali
berdasarkan keputusan hakim.6

C. Pengaruh kembalinya Suami yang Hilang Terhadap Istri

Pembahasan ini terbagi dua bagian :

5
Muhy Ad-Din An-Nawawi, Roudhatu AT-thalibin Wa ‘Umdatu Al-Muttaqin, Daar Al-Fikr,
Beirut, 2002, juz 7, h. 605.
6
Muhammad bin Ahmad As-Syirbini, Mughni Al-Muhtaj, juz 4, h. 48.
1) Pengaruh kembalinya suami yang hilang terhadap hak mendapatkan kembali isterinya
sebelum orang lain mengawininya :
a. Para Ulama Fikih yang mengatakan Orang yang hilang itu tidak dianggap mati
kecuali berdasarkan keputusan hakim; bahwa isteri dari suami yang hilang itu tetap
berada dalam tanggung jawabnya selama dia belum menikah dengan orang lain, atau
masih dalam masa penantian, atau sebelum berakhir masa iddah-nya Karena
perceraian di antara keduanya tidak terjadi, Karena sesungghnya Istri tidak disibukkan
dengan akad nikah dengan orang lain sehingga hak-hak suami terhadapnya masih
tetap berlanjut.7
b. Para Ulama Fikih juga sepakat bahwa orang yang hilang mempunyai hak untuk
melanjutkan kehidupan perkawinannya dengan istrinya, tanpa mengadakan akad
nikah baru jika ia kembali dan sudah jelas dinyatakan hidup, karena tidak ada sesuatu
yang menyebabkan hilangnya Pernikahan ini, karena kemunculan suami yang hilang
menandakan bahwa keputusan hakim seolah-olah efektif secara zhahir tidak secara
hakiki. Oleh karena itu, keputusannya tidak sah.8
c. Tidak ada khilaf di kalangan Ulama Fikih jika orang yang hilang itu ternyata masih
hidup, setelah masa penantian berakhir, dan sebelum istirinya menikah bahwa
pernikahan mereka tetap utuh; Sebab kembalinya suami yang hilang membatalkan
putusan hakim. Karena keputusannya bersifat efektif Secara lahiriah bukan secara
batiniah, dmaka perempuan tersebut tetap menjadi istrinya dari pernikahan
pertamanya.9

2) Pengaruh kembalinya suami yang hilang terhadap hak mendapatkan kembali isterinya
setelah orang lain mengawininya. Pembahasan ini terbagi dua bagian :
a. Istri yang belum digauli
1) Menurut ualam hanafiyyah, imam malik malik, Qaul Qadim imam syafi’i dan
sebagian ulama hanabilah bahwa Suami yang menghilang jika sudah nyata berita
kejidupannya dan dia kembali lagi maka dia lebih berhak untuk mendapatkan
istirnya dari pada suami yang kedua selama istri belum digauli oleh suami yang
kedua dan batal lah pernikahan dari suami yang kedua. 10 Ulama yang berpendapat
demikian beristidlal bahwa keputusan hakim untuk menceraikan antara suami yang
hilangg dengan istrinya hanya efektif secara lahiriah bukan secara hakiki. Oleh
karena itu, ketika suami yang hilang datang kembali maka batal lah keputusan hakim
karena keputusan tersebut bersifat ijtihad yang tidak disebutkan dalam nash.11
2) Menurut salah satu riwayat dari Imam Malik suami yang hilang tidak dapat
membuat istrinya kembali kepadanya jika suami yang kedua telah melakukan akad
yang sah Setelah habis masa iddah-nya, maka tidak mungkin bagi suami Yang
pertama untuk membuatnya kembali Karena perkawinannya dengan suami kedua

7
Ibnu Qudamah, Al-Mughni, juz 8, h. 133.
8
Abu Al-Walid Sulaiman Al-Baji, Syarah Al-Muwatha’, Daar Al-Kitab Al-Araby, Juz 4, h.
94.
9
Abu Bakar Ala’ Ad-Din Al-Kasani, Bada’i As-Sana’i, juz 8, h. 3800.
10
Ibrahim bin Muhammad bin Muflih, Al-Mubdi’ Fi Syarh Al-Muqni’, Beirut, Daar Al-
Maktab Al-Islami, juz 8, h. 130.
11
Abu Zakaria Muhyi Ad-Din An-Nawai, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhazzab, Juz 16, H. 160.
telah sempurna dengan akad yang sah, maka akad (kedua) ini mengakhirkan akad
pertama.12
Imam Malik beristidlal dengan Hadis yang diriwayatkan dari umar bin khattab bahwa umar
berpendapat pada kasus seorang wanita yang ditalak oleh suaminya dan suaminya
menghilang kemudian suaminya kembali lagi dan wanita tersebut sudah menikah lagi setelah
jatuh talaknya dan belum sampai kabar untuk di rujuk kembali oleh suami pertamanya:
bahwa suaminya yang pertama tidak ada hak dengan wanita tersebut setelah dia kembali dari
hilangnya, baik wanita tersebut sudah digauli oleh suami yang kedua atau belum. Sebab,
kasus orang hilang serupa dengan kasus yang dimaksud Hadits ini, maka kasus pertama
diqiyaskan dengan kasus kedua dan diberikan hukum yang sama, dan Imam Malik berkata
(Setelah beliau menyebutkan riwayat ini): Inilah yang paling saya sukai dari apa yang pernah
saya dengar tentang kasus yang terdapat pada hadis ini dan kasus suami yang hilang.13
3) Pendapat yang rajih adalah pendapat yang pertama yang mengatakan bahwa suami
yang pertama lebih berhak kepada istrinya daripada suami yang kedua ketika suami
yang kedua belum menggaulinya dan batal akad yang kedua karena kembalinya
suami yang pertama.

b. Istri yang sudah digauli


1) Menurut sebagian Ulama Hanafiyah,14 Qaul Jadid Imam Syafi’I dan sebagian
riwayat dari Imam Ahmad15 Bahwa suami yang hilang lebih berhak kepada
istrinya daripada suami yang kedua baik sudah menggaulinya ataupun belum,
karena melihat kepada
2) Menurut sebagian ulama malikiyah dan hanabilah ketika suami yang kedua sudah
menggauli istrinya maka tidak ada hak bagi suami yang pertama.16
3) Menurut salah satu pendapat Imam Malik,17 Qaul Qadim Imam Syafi’i18 dan
sebagian riwayat dari Imam Ahmad 19 jika suami yang hilang datang kembali
maka dia disuruh memilih antara melanjutkan hubungan pernikahan dengan
istrinya atau mengambil Kembali mahar yang telah ia berikan kepada istrinya.
4) Menurut sebagian Ulama Hanabilah dalam suatu riwayat bahwa hak memilih
diberikan kepada istri. Antara memilih suami yang pertama atau yang kedua.20
5) Pendapat yang rajih adalah pendapat kedua yang dikemukakan oleh Sebagian
Ulama Malikiyah dan Hanabilah dengan alasan menggaulinya suami yang kedua
kepada istri membatalkan hubungan istri dengan suami pertama dengan syarat
ketidaktahuannya suami yang kedua bahwa suami yang pertama masih hidup.
12
Malik bin Anas, Al-Mudawwanah Al-Kubra, Beirut, Daar Al-Kutub Al-Ilmiyah, Juz 2, H.
29-30.
13
Malik bin Anas, Al-Mudawwanah Al-Kubra, Beirut, Daar Al-Kutub Al-Ilmiyah, Juz 2, H.
29-30.
14
Al-Sarakhsi, Al-Mabsuth, Juz 11, H. 37.
15
Ibnu Al-Mundzir, Al-Isyraf, Juz 4, H. 104.
16
Ibnu Qudamah, Al-Mughni, Juz 9, H. 99.
17
Malik bin Anas, Al-Mudawwanah, Juz 2, H. 449.
18
An-Nawawi, Raudhat Al-Thalibin, Juz 8, H. 106.
19
Ibnu Muflih, Al-Mubdi’, Juz 8, H. 130.
20
Al-Mawardi, Al-Inshaf, Juz 9, H. 292.
D. Pengaruh Kembalinya Suami yang Hilang Terhadap Hak Mendapatkan
Kembali Hartanya

Harta yang dimaksud disini adalah apa saja yang menjadi haknya pada waktu-waktu
sebelum ketiadaannya dan apa saja yang menjadi haknya pada saat di tengah-tengah masa
ketiadaannya dari kerabat-kerabatnya yang mempunyai hak untuk mengambiil bagiannya dari
harta peninggalanya.

1. Pengaruh Kembali yang hilang terhadap hak mendapatkan Kembali hartanya sebelum
kehilangannya. Dalam hal ini terdapat pendapat yang disepakati dan yang diperselisihkan
oleh ulama fikih:
a. Pendapat yang disepakati oleh ulama fikih Ketika sudah jelasnya kabar bahwa suami
yang hilang masih hidup dan hartanya belum dibagikan kepada ahali waris maka dia
(suami yang hilang) adalah orang yang paling atas hartanya dan tidak perlu menunggu
keputusan hakim untuk menyelesaikan masalah ini. begitupun Ketika harta tersebut
sudah dibagikan dan harta belum dikonsumsi atau dirusak maka harta tersebut adalah
haknya (suami yang hilang). 21
b. yang diperselisihkan ulama fikih Ketika harta telah dibagikan dan telah dikonsumsi:
1) Ulama Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa suami yang hilang jika
Kembali dalam keadaan hidup maka dia tidak bisa mengambil Kembali harta yang
telah dibagikan kepada ahli waris dengan catatan harta tersebut telah digunakan. 22
2) Ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Sebagian Ulama Hanabilah berpendapat
bahwa suami yang hilang berhak mengambil Kembali seluruh harta yang telah
diwariskan meskipun harta tersebut sudah dibagikan dan telah dikonsumsi.23

2. Pengaruh Kembali yang hilang terhadap hak mendapatkan Kembali hartanya ditengah
masa kehilangannya.
Pembahasan ini bertujuan untuk menjelaskan hak suami yang hilang yang dinyatakan
meninggal untuk mendapatkan kembali apa yang berhak baginya dari orang lain dalam
bentuk harta waris Selama masa ketiadaannya, pada pembahasan pertama menjelaskan
haknya untuk mendapatkan kembali hartanya sebagai orang yang mewariskan. Dan pada
pembahasan ini menjelaskan haknya untuk memperoleh kembali hartanya. Dalam hal ini dia
berkedudukan sebagai ahli waris dari orang lain. Jika suami yang hilang kedudukannya
sebagai ahli waris maka bagiannya dibatasi dari harta pewaris sesuai dengan bagiannya jika
dia meninggal pada saat meninggalnya pewaris.24 Jika telah jelas bahwa suami yang hilang
masih hidup setelah dinyatakan meninggal oleh hakim maka Ulama berbeda pendapat sejauh
21
Ad-Dardir, As-Syarh Al-Kabir, Juz 2, H. 482.
22
As-Sarakhsi, Al-Mabsuth, Juz 11, H. 42.
23
Al-Buhaiti, Kasyaf Al-Qina’ ‘An Matn Al-Iqna’, Juz 4, H. 516.
24
Rahhal ala’ ad-din, Abu Al-Bashal, Abd An-Nashr, Al-Wadhih fi Al-Mirats, Maktabah Daar
Al-Ulum Al-Hindisiah, H. 163-165.
mana haknya untuk mengambil kembali hartanya yang terbukti haknya pada saat
ketiadaannya.25 Dalam hal ini ada beberapa permasalahan yang disepakati oleh para ulama
dana ada yang diperselisihkan:
a. Para ulama sepakat apabila suda jelas bahwa suami yang hilang masih hidup baik harta
waris belum dibagikan ataupun sudah selama harta tersebut belum dikonsumsi dan
belum rusak maka harta tersebut adalah haknya.26
b. Para ulama berbeda pendapat ketika ahli waris yang lain telah menggunakan harta
bagiannya. Apakah mereka harus menggantikannya atau tidak. Dalam hala ini ada dua
pendapat :
1) Ulama hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa jika suami yang hilang kembali
dalam keadaan hidup dan ahli waris yang lain telah menggunakan hartanya maka
mereka tidak perlu mengembalikannya setelah dia dinyatakan meninggal oleh
hakim, karena kehendak mereka didasari oleh izin dari hakim.27
2) Ulama malikiyah, syafi’iyyah dan sebagian ulama hanabilah berpendapat bahwa ahli
waris yang telah menggunakan hartanya (suami yang menghilang) harus
menggantikannya sesuai dengan bagian yang seharus dia dapatkan walaupu setelah
dibakgikannya harta warisan kepada mereka, baik harta tersebut telah habis
digunakan ataupun masih tersisa.28

25
Abdullah As-Syarqawi, Hasyiyah As-Syarqawi, juz 2, H. 328.
26
As-Sarakhsi, al-mabsuth, juz 11, h. 42.
27
Ibn Abidin, Hasyiyah Ibnu Abidin, juz 4, H. 597.
28
Ad-Dasuqi, Hasyiyah Ad-Dasuqi, juz 2, H. 482.
BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

a. Al-mafqud mencakup siapa saj yang keluar dari rumahnya dantidak kembali dan
terputus kabar tentangnya yang menyebabkan tidak diketahui hidup atau matinya.
Berbeda halnya dengan orang yang menjadi tawanan dan dipenjara.
b. Al-mafqud tetap dinyatakan hidup sampai ada keputusan dari hakim yang
menyatakan bahwa dia dihukumi sudah meninggal.
c. Al-mafqud lebih berhak atas istrinya selama dia (istri) belum menikah lagi atau
dalam masa menunggu dan masa iddah-nya dan jika dia telah menikah maka
selama dia belum digauli oleh suami yang kedua maka dia tetap milik al-mafqud
jika dia kembali. Tetapi jika sudah digauli oleh suami yang keuda maka istri bukan
lagi milik al-mafqud
d. Ketika al-mafqud dihukumi wafat oleh hakim dan ternyata dia masih hidup maka
ahli waris yang telah menggunakan hartanya harus menggantikan apa yang telah ia
ambil dan masih tersisa adapun jika tidak tersisa maka ahli waris yang mengambil
bagiannya tidak perlu menggantikannya.

2. Saran

Demikianlah tugas penyusunan makalah ini kami persembahkan. Tulisan ini dibuat
sebagai wadah untuk menambah wawasan Hukum suami yang menghilang dalam
mata kuliah Muqoranah Madhahib Fil Munakahat. Tulisan ini diharapkan menjadi
salah satu yang dapat membantu untuk menanamkan pemahaman dalam mata
kuliah Muqoranah Madhahib Fil Munakahat yang baik dan benar. Kritik dan saran
sangat kami harapkan dari para pembaca, khususnya dari dosen mata kuliah yang
telah membimbing kami dan para mahasiswa demi kesempurnaan makalah ini.
Apabila ada kekurangan dalam penyusunan makalah ini, kami mohon maaf yang
sebesar-besarnya.
DAFTAR PUSTAKA

Abidin, I. (t.thn.). Hasyiyah Ibnu Abidin.


Ad-Dasuqi. (t.thn.). Hasyiyah Ad-Dasuqi.
Al-Baji, A. A.-W. (t.thn.). Syarh Al-Muwatha'. Daar Al-Kitab Al-Arabi.
Al-Buhaiti. (t.thn.). Kasyaf Al-Qina’ ‘An Matn Al-Iqna’.
Al-Kasani, A. B.-D. (t.thn.). Bada'i As-Shana'i.
al-Mawardi, A. a.-H. (t.thn.). Al-Inshaf.
Al-Mawwaq, A. A.-'. (t.thn.). At-Taj wa Al-Iklil Li Mukhtashar Khalil.
Al-Mushili, A. b. (2005). Al-Ikhtiyar Li Ta'lil Al-Mukhtar. Beirut: Daar Al-Kutub Al-
Ilmiyah.
Anas, M. b. (t.thn.). Al-Mudawanah Al-Kubra. Beirut: Daar Al-Kutub Al-Ilmiyah.
Anas, M. b. (t.thn.). Al-Muwattha'.
An-Nawawi, A. Z.-D. (2002). Raudhat At-Thalibin Wa Umdat Al-Muttaqin. Beirut: Daar Al-
Fikr.
An-Nawawi, A. Z.-D. (t.thn.). Al-Majmu' Syarh Al-Muhazzab.
As-Sarakhsi. (t.thn.). Al-Mabsuth.
As-Syarqawi, A. (t.thn.). Hasyiyah As-Syarqawi.
As-Syirbini, M. b. (t.thn.). Mughni Al-Muhtaj.
Manzhur, I. (t.thn.). Lisan Al-Arab. Beirut: Daar Shadir.
Muflih, I. M. (t.thn.). Al-Mubdi' Fi Syarh Al-Muqni'. Beirut: Daar Al-Maktab Al-Islami.
Mundzir, I. (t.thn.). Al-Isyraf.
Qudamah, I. (t.thn.). Al-Mughni.
Rahhal ala’ ad-din, A. A.-B.-N. (t.thn.). Al-Wadhih fi Al-Mawaris. Maktabah Daar Al-Ulum
Al-Hindisiah.

Anda mungkin juga menyukai