MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Fiqih Munakahat &
Jinayat
yang diampu oleh :
Saepuddin, M.Ag
Disusun Oleh :
Pemakalah
I
DAFTAR ISI
II
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pada dasarnya harapan setiap insan yang telah melakukan pernikahan
adalah terciptanya cita-cita suci rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan
warohmah. Dipenuhi dengan kegembiraan karena telah hidup berdampingan
bersama seseorang yang di idam-idamkan sebelumnya, mempunyai hubungan
harmonis di antara keduanya dan mampu saling menyayangi dan mengasihi
selamanya. ddah
Akan tetapi, harapan itu terkadang tidak berjalan dengan yang seharusnya,
permasalahan dalam rumah tangga adalah sebuah keniscayaan dan tidak dapat
dielakkan. Dan ketika permasalah tersebut tidak lagi menemukan titik terang
untuk diselesaikan, dan karena jika terus diupayakan hidup berdampingan satu
atap akan membuat salah satu pasangan terluka baik karena penyelewengan pihak
suami atau istri, dan atau adanya saling emosi sehingga terjadi pertengkaaran dan
saling pukul di antara keduanya. Maka perceraian adalah satusatunya jalan yang
dirasa baik untuk pasangan tersebut.
Akibat perceraian dalam pernikahan adalah Iddah. Maka dari itu, Penulis
menganggap penting akan „iddah. Dan akan di bahas mengenai „iddah dalam
pembahasan kali ini.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan „Iddah?
2. Apa Dasar Hukum „Iddah?
3. Apa saja Larangan „Iddah?
4. Apa saja Macam-macam „Iddah?
5. Apa saja Hikmah „Iddah?
1
C. TUJUAN PENELITIAN
1. Untuk mengetahui pengertian „Iddah
2. Untuk mengetahui Dasar Hukum „Iddah
3. Untuk mengetahui Larangan „Iddah
4. Untuk mengetahui Macam-macam „Iddah
5. Untuk mengetahui Hikmah „Iddah
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Iddah
Iddah adalah berasal dari kata al-add dan al-ihsha’ yang berarti bilangan.
Artinya jumlah bulan yang harus dilewati seorang perempuan yang telah
diceraikan (talak) atau ditinggal mati oleh suaminya. Adapun makna iddah secara
istilah adalah masa penantian seorang perempuan setelah diceraikan atau ditinggal
mati oleh suaminya. Akhir masa iddah itu ada kalanya ditentukan dengan proses
melahirkan, masa haid atau masa suci atau dengan bilangan bulan1
Menurut Ulama Hanafiyah iddah adalah ketentuan masa penantian bagi
seorang perempuan untuk mengukuhkan status memorial pernikahan (atsar al-
nikah) yang bersifat material, seperti memastikan kehamilan. Atau untuk
merealisasikan hal-hal yang bersifat etika–moral, seperti menjaga kehormatan
suami. Kalangan Malikiyah memberikan definisi lain. Menurutnya iddah
merupakan masa kosong yang harus dijalani seorang perempuan. Pada masa itu ia
dilarang kawin disebabkan sudah ditalak (cerai) atau ditinggal mati sang suami.
Menurut mazhab Syafi‟iyyah iddah adalah masa menunggu bagi seorang
wanita guna mengetahui apakah di dalam rahimnya ada benih janin dari sang
suami atau tidak. Iddah juga disimbolkan sebagai kesedihan seorang wanita atas
kematian suami. Atau iddah merupakan konstruksi agama yang lebih
menggambarkan nuansa ibadah (ta’abbudi). Alasan ta’abbudi ini berlaku pada
seorang istri yang masih kanak-kanak lalu ditalak atau ditinggal mati suaminya.
Karena anak kecil belum waktunya untuk diajak bersenggama, maka mustahil
rahimnya terisi benih. Kewajiban iddah bagi perempuan yang masih kanak-kanak
ini tiada lain hanya untuk menghormati sebuah ikatan perkawinan. Sebab, tidak
menutup kemungkinan setelah terjadi perceraian ada rasa sesal dari kedua belah
pihak. Sehingga terbuka kesempatan untuk kembali merajut tali kasih sesuai
dengan waktu yang tersedia.
1
Abdul Qadir Mansyur, Fiqh al-Mar‟ah al-Muslimah min al-Kitab wa al-Sunnah; Buku
Pintar Fiqih Wanita : Segala Hal yang Ingin Anda Ketahui tentang Perempuan dalam Hukum
Islam, Terj. Muhammad Zaenal Arifin, Jakarta: Zaman, cet.1, 2012, h. 124
3
Sedangkan menurut kalangan mazhab Hanabilah, iddah adalah masa
menunggu bagi wanita yang ditentukan oleh agama. kelompok ini sama sekali
tidak pernah menyinggung mengapa harus ada waktu menunggu bagi seorang
wanita setelah ditalak atau ditinggal mati suaminya2
B. Dasar Hukum Iddah
Iddah wajib bagi seorang istri yang dicerai oleh suaminya, baik cerai karena
kematian maupun cerai karena faktor lain3 Dalil yang menjadi landasannya
adalah firman Allah Swt dalam Surat al-Baqarah ayat 234 :
2
Abu Yasid, et.al., Fiqh Today: Fatwa Tradisionalis untuk Orang Modern, Jakarta:
Erlangga, h.26
3
Syaikh Kamil Muhammad Muhammad „Uwaidah, Al-Jami fi Fiqhi al-Nisa’; Fiqih
Wanita, Terj. M. Abdul Ghofar, EM., Jakarta: Pustaka al-Kautsar, cet.1, 1998, h. 449.
4
Berhias, atau bepergian, atau menerima pinangan.
5
Ahmad Hatta, op.cit, h. 38
4
Syari‟at Islam telah menentukan tiga larangan yang tidak bolehdilanggar oleh
perempuan saat menjalani masa iddah. Ketiga larangan tersebut sekaligus tidak
berlaku lagi ketika masa iddah telah selesai. Ketiga larangan tersebut adalah
sebagai berikut:8
1. Haram menikah dengan laki-laki lain
Seorang perempuan yang sedang menjalani iddah baik karena dicerai,
fasakh maupun ditinggal mati oleh suami tidak boleh menikah dengan selain
dengan laki-laki yang meninggalkan atau menceraikannya itu. Jika ia menikah
maka pernikahannya dianggap tidak sah, dan jika ia melakukan hubungan
badan maka dia terkena hukuman al-hadd.
Meminang dengan sindiran kepada perempuan yang sedang menjalani
masa iddah juga dilarang (haram) baik sindiran itu berasal dari sang
perempuan maupun laki-laki lain. Tapi perlu diingat, ketentuan ini hanya
berlaku bagi perempuan yang menjalani masa iddah karena perceraian atau
fasakh, bukan karena kematian suami. Adapun meminang secara terang-
terangan terhadap perempuan yang sedang menjalani masa iddah, apapun
sebabnya hukumnya haram.
6
Yang dimaksud dengan mut'ah di sini pemberian untuk menyenangkan hati isteri yang
diceraikan sebelum dicampuri.
7
Ahmad Hatta, op.cit, h. 424
8
Abdul Qadir Mansyur, op.cit, h. 126
5
Allah berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 235:
dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu9 dengan
sindiran10 atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam
hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam
pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara
rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang
ma'ruf11. Dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah,
sebelum habis 'iddahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa
yang ada dalam hatimu maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.12
9
Yang suaminya telah meninggal dan masih dalam 'iddah
10
Wanita yang boleh dipinang secara sindiran ialah wanita yang dalam 'iddah karena
meninggal suaminya, atau karena talak bain, sedang wanita yang dalam 'iddah talak raji'i tidak
boleh dipinang walaupun dengan sindiran
11
Perkataan sindiran yang baik
12
Ahmad Hatta, op.cit, h. 38
6
ditinggal mati, dan masa iddahnya telah selesai13
اَُٚل يَ ِح ًُّ ٌَ ُى ُْ أَ ْْ حَأْ ُخذَٚ ْاٍ س َ حَس ِْزي ٌح بِإِ ْحْٚ َفٍ أٚسانٌ بِ َّ ْع ُز
َ ِْ ِاْ فَإ
ِ َالق َِ َّزح
ُ اٌط َّ
ا فَال ُجَٕا َحَٙ َطٍَّمَ ْْ ِ اجا َغي َْزُٖ فَإْٚ َا فَال حَ ِح ًُّ ٌَُٗ ِِ ْٓ بَ ْعدُ َحخَّى حَ ْٕ ِى َح سَٙ َطٍَّم
َ ْْ ِفَإ
ٍَ ْٛ َا ٌِمَٙ ُِّٕيُبَي ِ َّ ُوُٚحِ ٍْهَ ُحدَٚ ّٰللا
ّٰللا ِ َّ َوُٚظَّٕا أَ ْْ يُ ِمي َّا ُحدَ ْْ ِ َّا أَ ْْ يَخَ َزا َجعَاِٙ َعٍَ ْي
َُّْٛ ٍَيَ ْع
Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka
perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang
lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada
dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali
jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.
13
Ibid, h. 127
14
Ayat Inilah yang menjadi dasar hukum khulu' dan penerimaan 'iwadh. Kulu' Yaitu
permintaan cerai kepada suami dengan pembayaran yang disebut 'iwadh.
15
Ahmad Hatta, op cit, h.36
7
Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau)
mengetahui.16
ُبَ ٰٕجَٚ خ َ ْ ُبَ ٰٕجَٚ ُْ ٰخ ٍٰخ ُ ُىَٚ ُْ َع هّخ ُ ُىَٚ ُْ ح ُ ُىَٰٛ اَخَٚ ُْ بَ ٰٕخ ُ ُىَٚ ُْ ٰ خ ُ ُىَِّٙ ُ ج َعٍَ ْي ُى ُْ ا
ِ اَل ْ َِ ُح ِ ّز
ُْ س ۤا ِٕى ُى
َ ِٔ ُٰ جَِّٙ ُ اَٚ ضا َع ِت
َ اٌز َّ َِِّٓ ُْ ح ُ ُىَٰٛ اَخَٚ ُْ ض ْعَٕ ُى َ ٰ خ ُ ُى ُُ اٌهخِ ْْٓي اَ ْرَِّٙ ُ اَٚ ج ِ ْاَلُ ْخ
ُْ ُ ا وَخ ٍَْخْٛ ُْٔٛ َّٓ فَا ِْْ ٌَّ ُْ حَ ُىِٙ ِس ۤا ِٕى ُى ُُ اٌهخِ ْي وَخ ٍَْخ ُ ُْ ب
َ ِّٔ ْٓ ِِّ ُْ ِر ُوْٛ ُ َربَ ۤا ِٕىبُ ُى ُُ اٌهخِ ْي فِ ْي ُحَٚ
ْ َ َح َ ۤال ِٕى ًُ اَ ْبٕ َۤا ِٕى ُى ُُ اٌَّ ِذيَْٓ ِِ ْٓ اَٚ ُْ َّٓ فَ َال ُجَٕا َح َعٍَ ْي ُىِٙ ِب
َْٓا بَيْٛ ُاَ ْْ حَ ْ َّعَٚ ُْ ْۙ ص َالبِ ُى
ارا َّر ِح ْي اّاْٛ ُّٰللا َواَْ َغف
َ ف ۗ ا َِّْ ه َ ْاَلُ ْخحَي ِْٓ ا ََِّل َِا لَ ْد
َ ٍَس
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang
perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara
bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-
anak perempuan dari saudara- saudaramu yang laki-laki; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang
menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua);
anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu
16
Ahmad Hatta, op cit
8
campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah
kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan
bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan
(dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah
terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
MahaPenyayang17
17
Ahmad Hatta, op.cit, h. 81
18
Syaikh Kamil Muhammad Muhammad „Uwaidah, op.cit., h. 451
9
Allah Swt berfirman dalam surat Al-Thalaq ayat 1:
ُْ ۚ ّٰللاَ َربَّ ُى ا هُٛاحَّمَٚ َا ْاٌ ِعدَّ ۚةٛ ُ اَ ْحَٚ َّٓ ِٙ ِ٘ َُّٓ ٌِ ِعدَّحْٛ ُط ٍِّم َ َس ۤا َء ف
َ ِّٕ ٌطٍَّ ْمخ ُ ُُ ا ُّ ِا إٌَّبَٙ ُّٰيْٓاَي
َ ي اِ َا
ُوُْٚ حِ ٍْهَ ُحدَٚ ش ٍت ُِّبَيَِّٕ ۗ ٍت
َ اح ْٓ َّ ََل يَ ْ ُز ْجَٓ اَٚ َّٓ ِٙ ِحْٛ ُ٘ َُّٓ ِِ ْۢ ْٓ بُيْٛ ََل ح ُ ْ ِز ُج
ِ ََِل اَ ْْ يَّأْ ِحيَْٓ بِف
ِد َب ْعدَ ٰ ٌِهَ اَ َْ ارا َ سٗٗ ۗ ََل حَد ِْر ْ ٌَ َع ًَّ ه
ُ ّٰللا يُ ْحد َ ظٍَ َُ َٔ ْف
َ ّٰللا فَمَ ْد
ِ وَ هُْٚ َِ ْٓ َّيخَ َعدَّ ُحدَٚۗ ّٰللا
ِه
Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah
kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat(menghadapi)
iddahnya (yang wajar)19 dan hitunglah waktu iddah itu serta
bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan mereka
dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali
mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang20. Itulah hukum-hukum
Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya
sendiri. kamu tidak mengetahui barangkali Allah Mengadakan sesudah
itu sesuatu hal yang baru2122
D. Macam-macam Iddah
Ada dua macam iddah, yaitu iddah karena perceraian dan iddah karena
kematian suami. 23
1. Iddah karena perceraian
Iddah karena perceraian memiliki dua kategori yang masing- masing
memiliki hukum sendiri. Yang pertama adalah perempuan yang diceraikan
dan belum disetubuhi. Dalam hal ini ia tidak wajib menjalani masa iddah,
19
Maksudnya: isteri-isteri itu hendaklah ditalak diwaktu suci sebelum dicampuri
20
Yang dimaksud dengan perbuatan keji di sini ialah mengerjakan perbuatan-perbuatan
pidana, berkelakuan tidak sopan terhadap mertua, ipar, besan dan sebagainya.
21
Suatu hal yang baru Maksudnya ialah keinginan dari suami untuk rujuk kembali
apabilatalaqnya baru dijatuhkan sekali atau dua kali.
22
Ahmad Hatta, op.cit, h. 558
23
Abdul Qadir Mansyur, op.cit., h. 10
10
sebagaimana firman Allah Swt dalam surat al-Ahzab 49:
a. Perempuan itu dalam keadaan hamil. Masa iddah baginya adalah sampai
melahirkan kandungannya. Allah Swt berfirman dalam surat al-Thalaq
65:4
ۤ ۤ
ُْ ٌَ اٌهـِ ْيَّٚ ٍْۙزُٙ ْ َ َّٓ َ ٍٰثَتُ اُٙ ُ ارحَ ْبخ ُ ُْ فَ ِعدَّح
ْ ِِْ س ۤا ِٕى ُى ُْ ا ِ اٌهـِ ْي َي ِٕىسَْٓ َِِٓ ْاٌ َّ ِحيَٚ
َ ِّٔ ْٓ ِِ ْض
ٌَّٗٗ ًْ ّٰللا َي ْ َع ۗ َ َّ َّٓ اَ ْْ يُٙ ٍُاَل ْح َّا ِي اَ َج
َ ْ َُلثٚ َ ُ اَٚ َْٓۗ َي ِحض
َك ه ِ َّ َِ ْٓ يَّخَٚ َّٓ ُٙ ٍَّْ ض ْعَٓ َح
ِِ ْٓ اَ ِْ ِز ٖٖ يُس اْزا
24
Ahmad Hatta, op.cit, h. 558
25
Abdul Qadir Mansyur, op.cit., h. 11
11
b. Perempuan itu tidak dalam keadaan hamil. Dalam keadaan seperti ini,
dia tidak luput dari dua kemungkinan. Pertama, dia masih menstruasi.
Dalam keadaan ini iddahnya adalah tiga kali menstruasi. Allah
berfirman dalam surat al-Baqarah 228:
َّٓ اَ ْْ يَّ ْىخ ُ َّْٓ َِا َخٍَكَ هُٙ ٌَ ًُّ ََل يَ ِحَٚ ٍۗءْٚ ۤ َّٓ َ ٍٰثَتَ لُ ُزِٙ طٍَّ ٰمجُ يَخَ َزبَّ ْ َٓ ِبا َ ْٔفُ ِس
ُّٰللا َ ُّ ٌ ْاَٚ
ٰ ْ َِ ْٛ َ ْاٌيَٚ اّٰلل
َّٓ اَ َح ُّك ِب َز ِوّ٘ َِّٓ فِ ْيُٙ ُ ٌَخْٛ ُبُعَٚ اَل ِخ ِۗز ِ َّٓ ا ِْْ ُو َّٓ يُ ْ ِِ َّٓ ِب هِٙ ِا
ِ فِ ْْٓي اَ ْر َح
َّٓ ِٙ ٍز َجا ِي َعٍَ ْي ِ ْٚ َّٓ ِب ْاٌ َّ ْع ُزِٙ َّٓ ِِثْ ًُ اٌَّ ِذ ْ َعٍَ ْيُٙ ٌََٚۗ ص َال احا
ّ ِ ٌِ َٚ ف ْ ِا اُْْٚٓ ٰ ٌِهَ ا ِْْ اَ َراو
هَٚ ۗ ٌوَ َر َجت
ٌُ ّٰللاُ َع ِشي ٌْش َح ِى ْي
wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga
kali quru'26. tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan
Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari
akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti
itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan para wanita
mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan dari
pada isterinya dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. 27
26
Quru' dapat diartikan suci atau haidh
27
Ahmad Hatta, op.cit, h. 36
12
2. Iddah karena kematian
Dalam kasus ini ada dua kemungkinan yang dapat terjadi, yaitu:
a. Perempuan yang ditinggal mati suaminya itu tidak dalam keadaan hamil.
Masa iddah baginya adalah empat bulan sepuluh hari, baik dia telah
melakukan hubungan badan dengan suaminya yang telah meninggal itu
maupun belum. Allah Swt berfirman dalam surat al- Baqarah 234:
ٍزُٙ ْ َ َّٓ اَ ْربَعَتَ اِٙ ا اجا يَّخَ َزبَّ ْ َٓ بِا َ ْٔفُ ِسَٚ َْ اَ ْسْٚ يَذَ ُرَٚ ُْ َْ ِِ ْٕ ُىْٛ َّفَٛ َاٌَّ ِذيَْٓ يُخَٚ
ِ ۗ ْٚ َّٓ ِب ْاٌ َّ ْع ُزِٙ َّٓ َف َال َُٔا َح َعٍَ ْي ُى ُْ ِف ْي َّا فَ َع ٍَْٓ ِف ْْٓي اَ ْٔفُ ِسُٙ ٍَ َع ْش ازا ۚ ف ِا َا َبٍَ َْٓ اَ َجَّٚ
ف
َْ َخ ِبي ٌْزْٛ ٍَُّ ّٰللاُ ِب َّا حَ ْع
هَٚ
orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan
isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah)
empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka
tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri
mereka28 menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat29
b. Perempuan yang ditinggal mati suaminya itu dalam keadaan hamil.
ۤ ۤ
ُْ ٌَ اٌهـِ ْيَّٚ ٍْۙزُٙ ْ َ َّٓ َ ٍٰثَتُ اُٙ ُ ارحَ ْبخ ُ ُْ فَ ِعدَّح
ْ ِِْ س ۤا ِٕى ُى ُْ ا ِ اٌهـِ ْي يَ ِٕىسَْٓ َِِٓ ْاٌ َّ ِحيَٚ
َ ِّٔ ْٓ ِِ ْض
ٌَّٗٗ ًْ َّٰللا يَ ْ ع ۗ َ ُ اَٚ َْٓۗ يَ ِحض
َ َّ َّٓ اَ ْْ يُٙ ٍَُلثُ ْاَلَ ْح َّا ِي اَ َجٚ
َك ه ِ َّ َِ ْٓ يَّخَٚ َّٓ ُٙ ٍَّْ ض ْعَٓ َح
ِِ ْٓ اَ ِْ ِز ٖٖ يُس اْزا
13
kandungannya. Dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya
Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya. 30
E. Hikmah Iddah
30
Ahmad Hatta, op. cit, h. 558
31
Abu Yasid, et.al., op. cit, h. 27
32
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Al-Usrah wa
Akhkamuha fi al-Tasyri’ al-Islami, Terj; Abdul Majid Khon, Fiqh Munakahah: Khitbah, Nikah,
Talak, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, Cet. 1, h. 320.
14
Hikmah utama Iddah sebenarnya bukan sekedar ingin mengetahui benih
kehamilan seorang wanita ketika dicerai suami, seperti yang selama ini diyakini.
Sebab, kemajuan teknologi dalam bidang kedokteran sudah memberi jalan
penerang untuk mengetahui ada tidaknya janin di dalam rahim. Maka menjadi
tidak masuk akal, jika iddah hanya untuk mengetahui hamil tidaknya wanita.
Akan tetapi disyariatkannya iddah lebih menekankan pada adanya sikap
introspeksi, berpikir ulang, berbelasungkawa dan lain-lain.
33
Ibid, h. 28
15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Dari uraian diatas dapatlah kita simpulkan bahwa iddah adalah masa penantian
seorang perempuansetelah diceraikan atau ditinggal mati oleh suaminya. Akhir masa
iddah ituada kalanya ditentukan dengan proses melahirkan, masa haid atau masa suci
atau dengan bilangan bulan
2. Dasar Hukum „Iddah, Dalil yang menjadi landasannya adalah firman Allah Swt
dalam Surat al-Baqarah ayat 234 dan Surat Al-Ahzab 49
3. Larangan dalam Masa Iddah
a. Haram menikah dengan laki-laki lain
b. Haram keluar rumah kecuali karena alasan darurat
c. Wajib melakukan ihdad
4. Macam-macam Iddah
a. Iddah karena perceraian
b. Iddah karena kematian
5. Hikmah Iddah
a. Memberi kesempatan yang cukup bagi kedua belah pihak untuk kembali
merajut ikatan perkawinan yang sebelumnya terberai
b. Terdapat nilai-nilai transendental berupa ajaran agama yang bernuansa
ibadah (ta’abbudi).
c. Mengetahui dan menjaga keberadaan rahim agar tidak terjadi campuran
sperma antara dua pria yang kelak dapat mengakibatkan kerancuannasab
sang anak.
d. Mengagungkan urusan nikah, karena ia tidak sempurna kecuali dengan
terkumpulnya kaum laki-laki dan tidak melepas kecuali denganpenantian
yang lama.
e. Agar istri dapat merasakan kesedihan yang dialami oleh keluarga
suaminya dan juga anak-anak mereka serta menepati permintaan suami.
16
B. Saran
Semoga makalah ini dapaat memberikan manfaat terutama bagi diri penulis
sendiri, dan memberikan manfaat pula bagi para pembaca . kepada semua pihak,
atas perhatian dan kerja samanya penulis ucapkan banyak terima kasih.
17
DAFTAR SUMBER
Abu Yasid, et.al., Fiqh Today: Fatwa Tradisionalis untuk Orang Modern,
Jakarta. Erlangga.
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas.
2009. Al-Usrah wa Akhkamuha fi al-Tasyri’ al-Islami, Terj; Abdul Majid Khon,
Fiqh Munakahah: Khitbah, Nikah, Talak, Jakarta: Sinar Grafika, .
Abdul Qadir Mansyur. 2012. Fiqh al-Mar’ah al-Muslimah min al-Kitab
wa al-Sunnah; Buku Pintar Fiqih Wanita : Segala Hal yang Ingin Anda Ketahui
tentang Perempuan dalam Hukum Islam, Terj. Muhammad Zaenal Arifin. Jakarta:
Zaman.
Ahmad Hatta, op.cit
Syaikh Kamil Muhammad Muhammad „1998. Uwaidah, Al-Jami fi
Fiqhi al-Nisa’; Fiqih Wanita, Terj. M. Abdul Ghofar, EM., Jakarta: Pustaka al-
Kautsar
18
1