Anda di halaman 1dari 20

SADD AL-DZARI’AH

DISUSUN OLEH

KELOMPOK 10 :

1. Chindy Miftah Huljanah (1930202245)


2. Dian Rahmawati (1930202263)
3. Oktavia Herwati (1930202247)

DOSEN PENGAMPU : Rohmadi, M.Pd.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
2020
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha
penyayang. Puji syukur senantiasa kita persembahkan kehadirat Allah SWT
karena Berkat rahmat dan hidayah-Nya, kami kelompok 10 dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “SADD AL-DZARI’AH” dengan tepat waktu.
Tidak lupa juga kami selaku penyusun makalah mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang berkontribusi dalam pembuatan makalah ini, karena
makalah tidak akan selesai jika tidak ada bantuan serta dukungan dari berbagai
pihak. Maka dari itu kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya
kepada :
1. Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah, serta nikmat
kesehatan dan kesempatan kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah dengan tepat waktu
2. Bapak H. Alimron, M.Ag. Selaku Ketua Prodi Pendidikan Agama Islam.
3. Bapak Rohmadi, M.Pd. Selaku dosen pengajar, yang telah membimbing
kami dalam proses pembuatan makalah dan kegiatan belajar mengajar.
Penyusun menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam makalah ini.
Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang bersifat
membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Palembang, 10 Februari 2020


Penulis

Kelompok 10

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................. ii

BAB I

PENDAHULUAN......................................................................................... 1

A. Latar Belakang ................................................................................ 1


B. Rumusan Masalah............................................................................ 1

BAB II

PEMBAHASAN ........................................................................................... 2

A. Pengertian Sadd Al-Dzari’ah .......................................................... 2


B. Macam-macam Sadd Al-Dzari’ah .................................................. 3
C. Pengelompokkan Sadd Al-Dzari’ah ............................................... 4
D. Dasar Hukum/dalil Sadd Al-Dzari’ah............................................ 7
E. Contoh Sadd Al- dzari’ah.............................................................. 10
F. Kedudukan Sadd Al-Dzari’ah ...................................................... 11

BAB III

PENUTUP ................................................................................................... 14

A. Kesimpulan ..................................................................................... 14
GLOSARIUM
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam perjalanan sejarah islam, para ulama mengembangkan berbagai
teori, metode, dan prinsip hukum yang sebelumnya tidak dirumuskan secara
sistematis, baik dalam Al-Quran maupun As-Sunnah. Upaya para ulama
tersebut berkaitan erat dengan tuntutan realita sosial yang semakin hari
semakin kompleks. Berbagai persoalan baru bermunculan yang sebelumnya
tidak dibahas secara spesifik dalam Al-Quran dan Hadist Nabi.
Diantara metode penetapan hukum yang dikembangkan para ulama adalah
Sadd Al- Dzari’ah. Metode Sadd Al- Dzari’ah merupakan upaya preventif agar
tidak terjadi sesuatu yang menimbulkan dampak negatif. Metode hukum ini
merupakan salah satu bentuk kekayaan khazanah intelektual islam yang
sepanjang pengetahuan penulis tidak dimiliki oleh agama lain. Selain islam,
tidak ada agama yang memiliki sistem hukum yang didokumentasikan dengan
baik dalam berbagai karya yang sedemikian banyak.
Salah satu tujuan hukum islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan
dan menghindari kerusakan (mafsadah). Jika suatu perbuatan yang belum
dilakukan diduga keras akan menimbulkan kerusakan (mafsadah), maka
dilaranglah hal-hal yang mengarahkan kepada perbuatan tersebut. Metode
hukum inilah yang kemudian dikenal dengan Sadd Al- Dzari’ah.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Saad Al-Dzari’ah?
2. Apa saja macam-macam Sadd Al-Dzari’ah?
3. Bagaimana pengelompokan Sadd Al- Dzari’ah?
4. Apa saja dasar hukum/dalil Sadd Al-Dzari’ah?
5. Apa saja contoh dari Sadd Al-Dzari’ah

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Sadd Al-Dzari’ah


Secara etimologi, kata dzari’ah berarti “jalan yang menuju kepada
sesuatu”. Sedangkan menurut istilah ulama ushul fiqh, dzari’ah adalah “segala
hal yang bisa mengantarkan dan menjadi jalan kepada sesuatu yang dilarang
oleh syara’”. Oleh karenanya “jalan yang dapat mengantarkan kepada sesuatu
yang dilarang oleh syara’” tersebut ditutup (sadd) atau dicegah atau dihindari.
Dalam perkembangannya istilah dzari’ah ini terkadang dikemukakan
dalam arti yang lebih umum. Sehingga dzari’ah dapat didefinisikan sebagai
“segala hal yang bisa mengantarkan dan menjadi jalan kepada sesuatu baik
berakibat mafsadat maupun maslahah”. Oleh karenanya apabila mengandung
akibat mafsadat maka ada ketentuan sadd al dzari’ah (jalan tersebut ditutup),
sedangkan apabila berakibat maslahah maka ada ketentuan fath al dzari’at
(jalan tersebut dibuka). Akan tetapi dalam perkembangan berikutnya istilah
yang kedua ini kurang populer.
Sebagai gambaran, seorang hakim dilarang menerima hadiah dari para
pihak yang sedang berperkara sebelum perkara tersebut diputuskan, karena
dikhawatirkan akan membawa kepada ketidakadilan dalam menetapkan hukum
mengenai kasus yang sedang ditangani. Pada dasarnya menerima pemberian
(hadiah) itu hukumnya boleh, tetapi dalam kasus ini menjadi dilarang.
Pelarangan terhadap hakim untuk menerima hadiah ini adalah sesuai dengan
prinsip dasar syara’, yaitu upaya untuk menarik maslahah dan menghindari
mafsadat.
Terdapat perbedaan pendapat ulama terhadap keberadaan sadd al dzari’ah
sebagai alat atau dalil dalam menetapkan hukum (istinbath) syara’.1

1
Ali Imron HS ,“Menerapkan Hukum Islam Yang Inovatif Dengan Metode Sadd Al
Dzari’ah”.Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum QISTI, Hal 68

2
B. Macam-macam Sadd Al-Dzari’ah
Perbuatan perbuatan yang menjadi perantara pada suatu mafsadat ada dua
macam yaitu yang pertama perbuatan yang hukum asalnya haram dan yang
kedua perbuatan yang hukum asalnya boleh. Perbuatan yang hukumnya haram
maka para ulama tidak lagi mempertentangkan hukumnya yaitu haram seperti
perbuatan minum khamar yang bisa menyebabkan mabuk dan kerusakan akal
manusia maka perbuatan semacam ini hukumnya haram. Persoalan ini bukan
termasuk di dalam kajian Sadd Al-dzari’ah. Masalah yang dijadikan objek
kajian kita tentang Sadd Al-dzari’ah yaitu sesuatu yang hukum asalnya
diperbolehkan namun akan mengakibatkan kepada sesuatu yang mengandung
mafsadat, seperti yang telah di terangkan dalam pengertian Sadd Al-dzari’ah
secara istilah khusus. Dr. Abdul Karim membagi Sadd Al-dzari’ah menjadi tiga
macam yaitu:
1. Dzari’ah yang berakibat pada kemaslahatan yang mungkin lebih
dominan daripada dengan mafsadat-nya itu sendiri. Seperti memandang
seorang wanita yang menjadi calon istri dan juga perbuatan menanam
anggur. Persoalan semacam ini tidaklah dilarang oleh syari’at,
dikarenakan kemaslahatannya lebih besar dan dominan dibandingkan
dengan kemafsadatan atau kerusakan yang bisa terjadi.
2. Dzari’ah yang berakibat pada suatu kemafsadatan yang lebih dominan
jika dibandingkan dengan kemaslahatannya. Seperti berjualan alat-alat
perang ketika dalam keadaan perang, menyewakan sebuah rumah untuk
orang yang akan menggunakannya sebagai tempat berbuat maksiat.
3. Dzari’ah yang bisa membawa pada suatu kemafsadatan dengan cara
memanfaatkan suatu obyek hukum yang bukan tujuan sebenarnya.
Seperti kasus pernikahan sebagai perantara dihalalkannya seorang istri
yang sudah tertalak bain dan masalah dalam jual beli ajal.
Poin 1 dan poin 3 inilah yang menjadi objek perbedaan pendapat para
ulama fiqh. Ulama madzhab Malikiyah dan Ulama madzhab Hambali
(Hanabilah) berpendapat haramnya kedua permasalahan tersebut dengan
berlandaskan sadd adz-dzarai’. Sementara Ulama madzhab lain seperti

3
Madzhab Syafi’i dan Madzhab Dzahiri berpendapat tidak haram dengan
berpegang pada hukum bolehnya asal perbuatan tersebut, sehingga hukum
perbuatan itu tidak serta merta dapat berpindah menjadi haram disebabkan
adanya kemungkinan menyebabkan kemafsadatan dimasa yang akan datang.
Abu Ishaq asy-Syathibi membuat tambahan satu kasus dari tiga pembagian
tersebut di atas, poin tambahannya yaitu dzari’ah yang bisa membawa pada
suatu kemafsadatan yang pasti. Seperti contohnya membuat sumur dibagian
belakang salah satu pintu rumah yang dalam keadaan gelap. Sebab sudah bisa
dipastikan adanya orang yang tergelincir kedalamnya. Oleh karena itu para
ulama satu pendapat bahwa perbuatan itu haram dilakukan, sama halnya
membunuh manusia secara sengaja.
Dengan demikian berdasarkan kesepakatan para ulama tentang sadd al-
dzari’ah ada tiga pembagian yaitu dzari’ah yang disepakati oleh fuqaha tentang
keharamannya, dzari’ah yang para fuqaha sepakat kebolehannya dan dzari’ah
yang masih terjadi khilaf hukumnya.2

C. Pengelompokan Sadd Al-Dzari’ah


Dzari’ah dikelompokkan dengan melihat kepada beberapa sisi, yaitu:
1. Dengan melihat kepada akibat (dampak) yang ditimbulkannya, Ibnu
Qayyim membagi Dzari’ah kepada empat macam, yaitu:
a) Suatu perbuatan yang memang pada dasarnya pasti membawa
dan menimbulkan kerusakan (mafsadah).
b) Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan
(mustahab), namun secara sengaja dijadikan sebagai perantara
untuk terjadi sesuatu perbuatan buruk yang merusak
(mafsadah).
c) Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun
tidak disengaja untuk menimbulkan suatu keburukan
(mafsadah), dan pada umumnya keburukan itu tetap terjadi

2
Muhlil Musolin ,“Sadd Adz-Dzarai’: Konsep dan Aplikasi Manajemen Pendidikan Islam”. Jurnal
Manajemen Pendidikan Islam Volume 4, No.1,2019,Hal 74-75

4
meskipun tidak disengaja, yang mana keburukan tersebut lebih
besar akibatnya daripada kebaikan (maslahah) yang diraih.
d) Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun
terkadang bisa menimbulkan keburukan (mafsadah). Kebaikan
yang ditimbulkan lebih besar akibatnya daripada keburukannya.
2. Dari sisi tingkat kerusakan yang ditimbulkan, Syatibi membagi dzari’ah
kepada empat macam, yaitu:
a) Perbuatan yang dilakukan tersebut membawa kemafsadatan
yang pasti.Misalnya menggali lobang didepan rumah orang lain
pada waktu malam,yang menyebabkan setiap orang yang keluar
dari rumah tersebut pasti akan terjatuh kedalam lobang
tersebut.sebenarnya penggalian lobang diperbolehkan, akan
tetapi penggalian yang dilakukan pada kondisi tersebut akan
mendatangkan mafsadah.
b) Perbuatan yang jarang sekali membawa kepada kerusakan atau
perbuatan terlarang. Dalam hal ini, seandainya perbuatan itu
dilakukan, belum tentu akan menimbulkan kerusakan. Seperti
menggali lobang dikebun sendiri yang jarang dilalui orang, jual
beli makanan yang dibolehkan (tidak mengandung mafsadah).
Perbuatan seperti ini dipebolehkan karena tidak mebawa
mafsadah atau kerusakan.
c) Perbuatan yang dilakukan kemungkinan besar akan membawa
kemafsadatan.Seperti menjual senjata pada musuh,yang
dimungkinkan akan digunakan untuk membunuh, menjual
anggur kepada pabrik pengolahan minuman keras, menjual
pisau kepada penjahat yang akan digunakan untuk membunuh
orang.
d) Perbuatan yang pada dasarnya boleh dilakukan karena
mengandung kemaslahatan,tetapi memungkinkan terjadinya
kemafsadatan,seperti jual beli kredit. Memang tidak selalu jual
beli kredit itu membawa kepada riba, namun pada perakteknya

5
sering dijadikan sarana untuk riba. Jual beli seperti ini menjadi
perdebata diantara ulama madzhab, menurut Imam Syafii
(204 H) dan Abu Hanifah (150 H), jual beli tersebut
dibolehkan karena syarat dan rukun dalam jual beli sudah
terpenuhi.Selain itu,dugaan tidak bisa dijadikan dasar
keharaman jual beli tersebut.Oleh karena itu,bentuk dzari’ah
tersebut dibolehkan. Sementara Imam Malik (179 H) dan
Ahmad Ibnu Hambal (241 H) lebih memperhatikan akibat
yang ditimbulkan oleh praktek jual beli tersebut,yakni
menimbulkan riba,dengan demikian dzari’ah seperti itu tidak
dibolehkan.
3. Dilihat dari hukumnya, Al Qarafi membaginya kepada tiga bagian,
yaitu:
a) Sesuatu yang disepakati untuk dilarang, seperti mencaci maki
berhala bagi orang yang mengetahui atau menduga keras bahwa
penyembah berhala tersebut akan membalas mencaci maki Allah
seketika itu pula. Contoh lain adalah larangan menggali sumur
di tengah jalan bagi orang yang mengetahui bahwa jalan tersebut
biasa dilewati dan akan mencelakakan orang.
b) Sesuatu yang telah disepakati untuk tidak dilarang meskipun
bisa menjadi jalan atau sarana terjadinya suatu perbuatan yang
diharamkan. Contohnya menanam anggur, meskipun ada
kemungkinan untuk dijadikan khamar; atau hidup bertetangga
meskipun ada kemungkinan terjadi perbuatan zina dengan
tetangga.
c) Sesuatu yang masih diperselisihkan untuk dilarang atau
diperbolehkan, seperti memandang perempuan karena bisa
menjadi jalan terjadinya zina; dan jual beli berjangka karena
khawatir ada unsur riba.3

3
Hifdhotul Munawaroh ,“Sadd Al- Dzari’at Dan Aplikasinya Pada Permasalahan Fiqih
Kontemporer”, jurnal Ijtihad Vol. 12 No. 1, 2018, hal 70-72

6
D. Dasar hukum Sadd Al- Dzari’ah

Tujuan utama dari konsep dasar sadd adz-dzarai’ yaitu menciptakan suatu
kemaslahatan dan menghindkan dari kemafsadatan. Maka sadd adzdzara’i
ibarat suatu penguat agi konsep maslahah mursalah yang telah diterapkan
secara khusus sebagai bagian dari mashadir tasyri’ oleh Imam Malik bin Anas
dan Imam Ahmad bin Hanbal. Sehingga tidaklah mengherankan jika madzhab
yang menggunakan konsep sadd adz-dzari’ah sebagai salah satu mashadir
tasyri’ adalah penganut madzhab Maliki dan madzhab Hanbali. Namun
ternyata Imam Malik cenderung lebih banyak mengamalkannya dibandingkan
dengan Imam Ahmad bin Hambal. Disisi lain seorang ulama yang bernama
Ibnu al-Qayyim mengungkapkan bahwa konsep sadd adz dzari’ah merupakan
rub’u ad-din. Imam Syafi’i, Imam Abu Hanifah, dan ulama golongan Syi’ah
menyepakati sadd adz dzari’ah untuk suatu masalah saja. Sementara Ibnu
Hazm adz Dzhahiri mutlak mengingkari konsep sadd adz dzari’ah Diantara
indikasi bahwa Imam Syafi’i menggunakan sadd adzdzara’i sebagai bagian
dari dalil penetapan hukum Islam bisa kita temukan dalam kitab karangan
beliau yaitu al-Umm. Diantaranya diterangkan bahwa beliau terkadang tidak
melaksanakan ibadah kurban (udlhiyyah) sebagai upaya menghindari persepsi
bahwa ibadah kurban (udlhiyyah) wajib hukumnya. Dalil yang dijadikan
landasan (Alasan) yang menerima konsep sadd adz dzari’ah sebagai penetapan
dalil yaitu:

a. Dalil Naqli

1. Al-Quran

 QS. Al-An’âm: 108 “Dan janganlah kamu memaki sembahan-


sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti
akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.
Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik
pekerjaan mereka, kemudian kepada tuhan merekalah kembali

7
mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu
mereka kerjakan”.
 QS. Al-Baqarah: 104 “Wahai orang-orang yang beriman janganlah
kalian mengatakan (kepada Muhammad) “ra’ina”, tetapi
katakanlah “unzhurna”, dan dengarlah. Dan bagi orang-orang kafir
siksaan yang pedih”

2. Hadist Nabi

 Rasulullah Saw. telah melarang membunuh orang munafik,


walaupun jika dilakukan tentu ada mashlahatnya, namun unsur
mafsadat yang akan timbul tersebut mengalahkan unsur
mashlahat. Diantaranya akan mengakibatkan larinya kaum dari
agama Islam dengan anggapan bahwa Rasulullah Saw. telah
membunuh para sahabatnya. Lebih dari itu ia akan berimplikasi
kepada phobianya orang-orang yang belum mengikuti Islam.
 Larangan Rasulullah Saw. pada orang yang dihutangi untuk
sekedar menerima hadiah dari orang yang berhutang. Khawatir
masalah tersebut mendekati unsur riba.
 Rasulullah Saw. bersabda: Da'ma Yuribuka Ila Mala Yuribuka
Tinggalkanlah hal yang membuatmu ragu dan lakukanlah hal
yang tidak kamu ragukan.
 Rasulullah bersabda: Sesungguhnya di antara dosa besar itu
adalah seseorang melaknat orang tuanya. Para sahabat bertanya,
wahai Rasulullah bagaimana seseorang melaknat orang tuanya
sendiri? Rasulullah menjawab: seseorang yang mencela orang tua
saudaranya, maka orang tersebut akan membalasnya dengan
mencela kembali orang tua pencela tersebut.
3. Fatwa Sahabat
 Para sahabat bersepakat tentang wanita yang tertalak suaminya
yang sedang sakit penyebab kematiannya, Wanita tersebut tetap
mendapatkan bagian warisan. Sebab penthalakan tersebut

8
dikhawatirkan bertujuan agar wanita yang tadinya istri tersebut
tidak mendapatkan bagian warisan (hirmân al-irtsi). Meski pada
kenyataannya si suami tidak berniat demikian.
 Kesepakatan para sahabat untuk mengqishash pelaku
pembunuhan secara keroyokan, walaupun yang di bunuh satu
orang (qatlu aljama’ah bi al wahid). Pada dasarnya hal ini tidak
sesuai dengan aturan qishash, namun ditetapkannya hal tersebut
sebagai sadd adz dzari’ah (agar tidak menimbulkan pertumpahan
darah).
4. Kaidah Fikih
 Dar`ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbi al-mashalih (Mencegah
kemudaratan lebih prioritas dibanding menarik kemanfaatan).
5. Dalil Aqli
Berdasarkan logika manusia ketika seseorang membolehkan
sesuatu, maka otomatis ia akan membolehkan juga segala perantara
yang akan mengantarkan kepada hal tersebut. Begitupun sebaliknya.
Hal ini senada dengan ungkapan Ibnu Qayyim dalam kitab i’lam al
Muqi’in: Ketika Allah mengharamkan sesuatu, maka Allah akan
mengharamkan segala perantaranya. Jika membolehkanya, tentu hal ini
bertolak belakang dengan tetapnya keharaman tersebut”. Beberapa
contoh yang bisa dimunculkan terkait dengan metode ijtihad ini adalah
sebagai berikut:
 Ketidakbolehan menggali sumur di jalanan umum, dikarenakan
adanya Mafsadah yaitu tergelincir dan jatuhnya orang lain.
 Ketidakbolehan menjual buah anggur kepada pembuat khamer
dikarenakan adanya Mafsadah yaitu dikhawatirkan akan dibuat
minuman yang memabukkan.
 Ketidakbolehan bagi kaum perempuan untuk menghentakkan
kakinya ke atas, dikarenakan adanya Mafsadah yaitu terlihatnya
aurat yang harus ditutupi.

9
 Ketidakbolehan untuk mencela dan atau mencaci Tuhan kaum
musyrik, dikarenakan adanya mafsadah yaitu munculnya aksi
pembalasan pencelaan terhadap Tuhan kaum muslim/mu’min itu
sendiri.
 Ketidakbolehan melakukan praktek nikah tahalli, dikarenakan
adanya mafsadah yaitu pernikahan tersebut hanya untuk
formalitas penghalalan bagi perempuan agar bisa menikah
kembali dengan mantan suami yang sudah menceraikannya
sebanyak 3 kali.
 Ketidakbolehan untuk memperjualbelikan senjata di suatu daerah
yang kondisinya adalah daerah konflik, dikarenakan adanya
mafsadah yaitu memperluas dan memunculkan suasana yang
tidak bisa kondusif, yaitu pertumpahan darah dan permusuhan.4

E. Contoh Sadd Al- Dzari’ah


1. Zina menurut syara' hukumnya haram dan melihat aurat laki-laki atau
aurat perempuan adalah menjadi sebab terjadinya perzmaan, maka
melihat aurat hukumnya haram pula.
2. Shalat Jum'at itu hukumnya fardhu bagi orang Islam, maka
meninggalkan jualbeli pada waktu adzan Jum'at juga hukumnya fardhu
karena untuk memenuhi shalat Jum'at.
3. Berbagai jenis industri dan usaha ekonomi adalah jalan untuk menuju
kesejahteraan rakyat, sedangkan mewujudkan kesejahteraan rakyat itu
hukumnya wajib, maka mendirikan berbagai industri atau pabrik juga
hukumnya wajib pula.

4
Muhlil Musolin, “Sadd Adz-Dzari’ah Konsep dan Aplikasi Manajemen Pendidikan Islam”,
Jurnal Manajemen Pendidikan Islam Volume 4, Nomor 1, 2019, hal 75-78

10
F. Kedudukan Sadd Al-Dzari’ah

Ulama berbeda pendapat dalam menjadikan sadd al-zariah sebagai hujan


atau dalil menetapkan hukum. Malikiyyah dan Hanabila menerima sadd al-
zariah sebagai dalil menetapkan hukum. Pendapat ini diperkuat di firman Allah
surah Al-An’am ayat 108, didalam firman Allah tersebut dijelaskan bahwa
orang islam dilarang memaki dan menghina sembahan orang musrik, karena
dikhawatirkan mereka membalas memaki dan menghina Allah.

Sementara kalangan hanafiyah, syafiiyyah, dan syiah hanya menerima


saad al-zariqh dalam hal tertentu dan mereka tidak menajdikannya dalil dalam
masalah-masalah lain. Misalkan imam Syafii memboleh kan seseorang karena
uzur seperti sakit dan musyafir maka tidak wajib sholat jumat. Begitu pulsa
dengan orang yang tidak puasa ramadhan karena uzur agar tidak makan dan
minum di tempat umum untuk menghilangkan fitnah terhadap orang tersebut.
Pendapat imam syafii ini dirumuskan atas dasar prinsip saad al-zariah.

Kalangan Hanafiyyah pun menolak pengakuan orang yang dalam keadaan


mardh al-maut (sakit yang membawa seseorang kepada kematian), karena
diduga pengakuannya akan mengakibatkan pembatalan terhadap hak orang lain
dalam menerima warisan. Umpamanya, pengakuan orang yang dalam keadaan
mardh al-maut tentang hutangnya pada orang lain yang meliputi seluruh atau
sebagian hartanya. Menurut kalangan Hanafiyyah pengakuan ini hanya akan
membatalkan hak ahli waris terhadap harta tersebut.
Menurut Abdul Karim Zaidan perbuatan yang menjadi wasilah terhadap
timbulnya perbuatan yang diharamkan terbagi menjadi dua macam. Pertama,
suatu perbuatan yang haram bukan karena kedudukannya sebagai wasilah bagi
sesuatu yang haram, tetapi esensi perbuatan tersebut yang memang haram.
Karenanya, keharaman perbuatan itu bukan terkait dengan sadd al-zari’ah.
Kedua, suatu perbuatan yang mulanya secara esensial hukumnya mubah, tetapi
perbuatan itu bepeluang untuk dijadikan sebagai wasilah melahirkan perbuatan

11
haram. Dalam pandangan Wahbah al-Zuhaili, perbuatan bentuk ini dapat
dibagi menjadi 4 yaitu :
1. Perbuatan itu dipastikan mendatangkan kebinasaan. Misalnya,
meminum sesuatu yang memabukkan yang dipastikan dapat
menyebabkan mabuk. Contoh lain perbuatan menggali lubang ditempat
gelap yang menjadi tempat lalu lintas masyarakat umum. Perbuatan ini
dapat dipastikan dapat menjebak orang yang lewat ditempat tersebut
sehingga jatuh kedalamnya. Dengan menggunakan prinsip sadd al-
zari’ah, perbuatan seperti ini menjadi terlarang. Apabila ada orang yang
terjatuh ditempat itu dan cedera, ia berhak menuntut pertanggung
jawaban orang yang menggali lubang tersebut.
2. Perbuatan yang mempunyai kemungkinan, walaupun kecil, akan
membawa sesuatu pada yang terlarang. Misalnya, menggali sumur
ditempat yang jarang dilalui orang. Perbuatan seperti ini menurut
Wahbah al-Zuhaili dibolehkan karena kemungkinan menimbulkan
kebinasaan sangat kecil dibanding dengan manfaat yang akan diraih.
Hal ini didasarkan prinsip Islam yang menetapkan hukum dengan
mengutamakan kemaslahatan yang lebih besar dan dalam kasus ini
kemudharatan yang ringan tidak lagi diperhitungkan.
3. Perbuatan yang pada dasarnya mubah, tetapi kemungkinan akan
membawa kepada kebinasaan lebih besar dibandingkan dengan
kemaslahatan yang akan dicapai. Umpamanya, menjual perlengkapan
perang kepada musuh pada waktu perang. Ini sama dengan
menyewakan rumah kepada penjudi atau germo dan menjual anggur
kepada produsen minuman keras. Perbuatan ini jelas terlarang dalam
islam karena dapat menimbulkan perbuatan yang diharamkan Islam.
4. Perbuatan yang hukum asalnya mubah karena mengandung
kemaslahatan, tetapi dilihat dalam pelaksanaannya ada kemungkinan
membawa kepada sesuatu yang dilarang. Misalnya, transaksi jual beli
yang dilakukan guna menghindarkan riba dengan cara si A menjual
sepeda motor setengah pakai seharga lima juta rupiah kepada si B

12
dengan kredit. Pada saat itu juga sepeda motor itu dibeli kembali oleh A
seharga empat juta rupiah dengan cara tunai. Hasilnya, dengan
perantaraan jual beli sepeda motor itu, pihak B memperoleh uang
sebanyak empat juta rupiah dan nanti pada waktu yang telah ditentukan
harus membayar kepada A sebesar lima juta rupiah. Dalam fiqh, jual
beli seperti ini disebut dengan ba’i al-‘ainah. Menurut Wahbahal-
Zuhaili, para ulama sepakat menetapkan perbuatan seperti ini terlarang
apabila terlihat indikasi bahwa mereka yang melakukannya berniat
melakukan riba. Namun, ulama berbeda pendapat dalam hal tidak
ditemukan indikasi yang jelas mereka berniat melakukan riba, tetapi
hanya sekedar helah menghindar dari riba.

Dalam kasus terakhir ini, Kalangan Malikiyyah dan Hanabilah


menetapkan bahwa jual beli tersebut termasuk jual beli yang dilarang. Mereka
memandang penetapan dilarang atau tidaknya suatu perbuatan tidak cukup
hanya diukur dengan bentuk formal suatu perbuatan, tetapi perlu juga
mempertimbangkan akibat dari perbuatan itu. Pada jual beli itu dicurigai
maksudnya, meskipun mereka tidak nyatakan sebagai upaya menghindar dari
riba secara formal, meskipun secara esensial mereka tetap terjerumus ke
dalamnya.

Menurut kalangan Hanafiyyah, jual beli yang demikian menjadi fasid


(rusak), tetapi bukan karena sad al-zari’ah, melainkan karena pihak penjual
dalam kasus di atas tidak sah membeli kembali barang yang telah dijualnya
sebelum pihak pembeli melunasi harga.

Berbeda dengan pendapat di atas, kalangan Syafi’iyyah memandang jual


beli seperti itu dapat dibenarkan dan hukumnya sah. Menurut mereka yang
menjadi pertimbangan sahnya suatu transaksi jual beli terpenuhi rukun dan
syarat. Selama rukun dan syarat telah terpenuhi, maka jual beli dianggap sah.
Adanya kemungkinan tujuan tersembunyi di balik yang lahiriyah dari kedua

13
belah pihak yang bertransaksi karena tidak dapat dipastikan tidak mempunyai
pengaruh terhadap sah atau tidaknya transaksi jual beli.5

5
Prof. Dr.Amir Syariffudin, Ushul Fiqh Metode mengkaji dan memahami hukum islam secara
Kompherensif (semarang: Firdaus, 2003),Hal.129

14
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Secara bahasa, Dzarai’ merupakan jama’ dari Dzari’ah yang artinya “jalan
menuju sesuatu”. Sedangkan menurut istilah dzari’ah dikhususkan dengan
“sesuatu yang membawa pada perbuatan yang dilarang dan mengandung
kemudharatan”. Akan pendapat ini ditentang oleh Ibnu Qayyim yang
menyatakan bahwa dzari’ah itu tidak hanya menyangkut sesuatu yang
dilarang, tetapi ada juga yang dianjurkan. Dengan demikian lebih tepat kalu
dzari’ah itu dibagi menjadi dua, yakni saad dzari’ah (yang dilarang), dan
fathdzari’ah (yang dianjurkan). Sadd Adz Dzari’ah adalah mencegah segala
sesuatu yang menjadi jalan menuju kerusakan. Oleh karena itu, apabila ada
perbuatan baik yang akan mengakibatkan terjadinya kerusakan, maka
hendaklah perbuatan yang baik itu dicegah agar tidak terjadi kerusakan. Pada
umumnya semua ulama menerima metode sadd adz dzari’ah, Hanya saja
penerapannya yang berbeda. Perbedaan tentang ukuran kualifikasi dzari’ah
yang akan menimbulkan kerusakan dan yang dilarang.

15
GLOSARIUM

B
Ba’I Al- Ainah membeli barang dengan cara tidak tunai

D
Dzariah jalan yang menuju kepada sesuatu

F
Fath dibuka
Fuqaha Ahli Fiqih

M
Mafsadat kerusakan atau akibat yang menimpa seseorang atau
kelompok karena perbuatan atau tindakan yang
melanggar hukum

S
Syara’ seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah
tentang tingkah laku manusia yang diakui dan
diyakini berlaku dan mengikat untuk semua umat
islam
Sadd ditutup atau dicegah
DAFTAR PUSTAKA

HS, Imron, Ali. Menerapkan hukum islam yang inovatif dengan metode

sad al-dzari’ah. Jurnal ilmiah ilmu hukum QISTI.

Musolin, Muhlil. 2019 Sadd Al-Dzari’ah(konsep dan aplikasi

manajemen pendidikan islam). Jurnal nanajemen pendidikan islam. 4(1).

Munawarah , Hifdhatul. 2018. Sadd al-dzari’ah dan aplikasinya

pada permasalahan Fiqih kontemporer. Jurnal Ijtihad. 12(1).

Syarifudin, Amir. 2003. Ushul fiqh metode mengkaji dan memahami

hukum islam secara kompherensif. Semarang : Firdaus.

Anda mungkin juga menyukai