Anda di halaman 1dari 20

“IJTIHAD”

Diajukan Sebagai
TugasPada Mata Kuliah Ushul Fiqh
Jurusan: Syariah
Prodi : Akhwalul Syakhsiyah Semester II (dua)
Dosen Pengampu: Sudirman, MH.

Oleh Kelompok : 6

1. Aas Tri Ariska (SYA. 520717001)


2. Salma Putri A. (SYA. 520717014
3. Nur Afini (SYA. 520717019)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI STAIN (SORONG)

TAHUN AKADEMIK 2017/2018

1
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan
hidayah Nyalah kami selaku penyusun dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat
waktu. Shalawat serta salam tak lupa kami junjungkan kepada nabi besar Muhammad
Saw, yang telah mengantarkan kita menuju zaman yang penuh ilmu pengetahuan.

Makalah yang berjudul “HukumIslam” inikamibuat demi memenuhi tugas


matakuliah Studi Hukum Islam. Dalam menyelesaikan makalah ini sedikit banyak
kami telah belajar mengenai definisi ijtihad dan jenis-jenis ijtihad. Dengan adanya
makalah ini kami berharap dapat membantu dalam proses belajar mengajar serta
menambah wawasan kita mengenai hukum Islam.

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan dan jauh dari kesempurnaan.Oleh karnaitu, kami mengharapkan kritik
serta saran yang membangun guna menyempurnakan makalah ini dan dapat menjadi
acuan dalam menyusun makalah-makalah atau tugas-tugas selanjutnya.

Kami juga memohon maaf apabila dalam penulisan makalah ini terdapat
kesalahan pengetikan dan kekeliruan sehingga membingungkan pembaca dalam
memahami maksud penulis.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Penyusun,

Sorong, 8 Mei 2018

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .................................................................................................... i

Daftar Isi ............................................................................................................. ii

Bab I Pendahuluan

A. Latar Belakang ........................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ...................................................................................... 1
C. Urgensi ....................................................................................................... 1

Bab II Pembahasan

A. Pengertian Ijtihad ....................................................................................... 2


B. Hukum Berijtihad ....................................................................................... 2
C. Dasar Hukum Ijtihad .................................................................................. 4
D. Syarat-Syarat Seorang Mujtahid ................................................................ 6
E. Tingkatan-Tingkatan Mujtahid .................................................................. 7
F. Metode-Metode Mujtahid .......................................................................... 8
G. Macam-Macam Ijtihad ............................................................................... 11

Bab III Penutup

A. Kesimpulan ............................................................................................. 14
B. Saran ....................................................................................................... 16

Daftar Pustaka ..................................................................................................... 17

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. LatarBelakang

Pada umumnya sumber hukum islam ada dua, yaitu al-Qur’an dan Hadis, sebagai
landasan utama untuk menjawab segala permaslahan, namun siring berjalannya
waktu banyak permasalah-permasalan yang baru yang tidak ada pembahasannya yang
tedapa tdalam al-Qur’an, maka disinilah peran para alhi Fiqh untuk memecahkan
segala permasalahan yang ada, secara berungguh-sungguh degan menggkaji suatu
permasalahan tersebut dengan berlandaskan al-Qur’an, hadis dan Sunnah.

Hal inilah yang disebut ijtihad sebagai sumber hukum yang ketiga berfungsi untuk
menetapkan suatu hukum yang tidak secara jelas ditetapkan dalam al-Qur’an maupun
Hadis. Namun demikian, tidak boleh bertentangan dengan isi kandungan al-Qur’an
dan Hadis.

B. RumusanMasalah
1. Apapengertianijtihad?
2. Apadaasarhukumberijtihad?
3. Apasajasyarat-syaratseoangmujtahid?
4. Apasajatingkata- tingkatanmujtahid?
5. Apasajametodemetodeijtihad?

C. Urgensi
Dalam kajian ushhul fiqh terdapat pembahasan yang memperlajari tentang ijtihad,
pembahsan tersebut sangatlah penting untuk dipelajari, karenadengan mempelajari
usul fiqh ini kita bisa mengetahui sumber-sumber hukum Islam bukan hanya
sebatas al-Qur’an dan Hadissaja, tetapi hasil pemikiran dari mujtahid pun bisa
dijadikan sebagai sumber hukum dalam Islam.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijtihad

Dari segi bahasa “ijtihad” berasal dari kata jahada (‫ )جهد‬yang berarti mencurahkan
segala kesempurnaan atau menanggung beban kesulitan.1 Di kalangan ulama Ushul
Fiqh terdapat beberapa redaksi dalam mendefinisikan ijtihad, sebagai contoh, Ibnu
Abd al-Syakur, dari kalangan Hanafiah mendefinisikan ijtihad sebagai “pengarahan
kemampuan untuk menemukan kesimpulan hukum-hukum syara’ sampai ketingkat
zhanni (dugaan keras) sehingga mujtahid itu merasakan tidak bisa lagi berupaya lebih
dari itu”. Sedangkan defini ijtihad menurut al-Baidawi (w. 685 H) ahli Ushul Fiqh
dari kalangan Syafi’iyah adalah “pengarahan seluruh kemampuan dalam upaya
menemukan hukum-hukum syara’”. Lebih jelas lagi definisi ijtihad menurut Abu
Zahrah, ahli Ushul Fiqh yang hidup pada awal abad ke 20 yang mendefinisikan
ijtihad sebagai “pengarahan seorang fikih akan kemampuannya dalam upaya
menemukan hukum yang berhubungan dengan amal perbuatan dari satu persatu
dalilnya”.2

Pada ketiga definisi tersebut, ditegaskan bahwa pihak yang mengarahkan


kemampuan atau (orang yang berijtihad) dalam ahli fikih, yaitu mujtahid, dan tempat
menemukan hukum-hukum itu adalah dalil-dalilnya.

B. Hukum Berijtihad

Yang dimaksud dengan hukum berijtihad ialah hukum dari orang yang melakukan
ijtihad, baik dari tujuan taklifi, maupun hukum wadh’i. Karena yang berwenang
melakukan ijtihad itu adalah orang yang telah mencapai tingkat faqih (orang yang
paham terhadap fikih atau yang biasa disebut dengan fuqaha.

1
Aladdin koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014). Hlm, 121
2
Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2015). Hlm, 245

5
Dalam hukum berijtihad seorang faqih dapat dilihat dari 2 segi. Pertama, dari segi
ijtihadnya itu adalah untuk kepentingan yang diamalkannya sendiri, seperti
menentukan arah kiblat pada waktu akan melaksanakan sholat. Kedua, dari segi
bahwa mujtahid itu adalah seorang mufti yang fatwanya akan diamalkan oleh umat
dan pengikutnya.3

Hukum berijtihad adalah fardu ‘ain (wajib dilakukan oleh setiap orang yang
mencukupi syarat-syarat berijtihad) bila mana terjadi pada dirinya sesuatu yang
membutuhkan jawaban hukumnya, hasil ijtihadnya itu wajib dilakukan, ia tidak boleh
bertaklid kepada mujtahid lain. Melakukan ijtihad juga fardu ‘ain bila mana
seseorang ditanya tentang suatu masalah yang sudah terjadi yang menghendaki segera
mendapat jawaban tentang hukumnya, padahal tidak ada mujtahid lain yang
menjelaskan hukumnya.

Melakukan ijtihad bisa menjadi wajib kifayah jika di sampingnya ada mujtahid
lain yang akan menjelaskan hukumnya. Bila mana satu diantara mereka melakukan
ijtihad, berarti sudah memadai dan tuntutan sudah terbayar dari mujtahid yang lain.

Berijtihad hukumnya sunnah bila mana terjadi dalam dua hal :

1. Melakukan ijtihad dalam hal-hal yang belum terjadi tanpa ditanya seperti yang
pernah dilakukan oleh Imam Abu Hanafiyah yang dikenal dengan fiqh iftiradhi
atau fikih pengandaian.
2. Melakukan ijtihad pada masalah-masalah yang belum terjadi berdasarkan
pertanyaan seseorang.

Sedangkan berijtihad bisa haram hukumnya apabila terjadi dalam 2 hal :

1. Berijtihad dalam hal-hal yang ada nash yang tegas baik berupa ayat atau hadis
Rasullah, atau hasil ijtihad itu menyalahi ijma’.

3
Amir Sarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2014). Hlm, 260

6
2. Berijtihad bagi seseorang yang tidak melengkapi syarat-syarat ijtihad, orang yang
tiddak memenuhi syarat ijtihadnya tidak akan menemukan kebenaran, tetapi bisa
menyesatkan dan berarti berbicara dalam agama Allah tanpa ilmu yang hukumnya
haram.4
C. Dasar Hukum Ijtihad

Banyak alasan yang menunjukkan kebolehan melakukan ijtihad antara lain:

1. Surat al-Hasyr (59):2:

‫ظنُّوا أَنَّ ُه ْم َما ِن َعت ُ ُه ْم‬ َ ‫ار ِه ْم ِِل َ َّو ِل ْال َح ْش ِر ۚ َما‬
َ ‫ظنَ ْنت ُ ْم أ َ ْن َي ْخ ُر ُجوا ۖ َو‬ ِ ‫ه َُو الَّذِي أ َ ْخ َر َج الَّذِينَ َكفَ ُروا ِم ْن أ َ ْه ِل ْال ِكت َا‬
ِ ‫ب ِم ْن ِد َي‬
‫ْب ۚ ي ُْخ ِربُونَ بُيُوتَ ُه ْم ِبأ َ ْيدِي ِه ْم َوأَ ْيدِي‬ ُّ ‫ف ِفي قُلُو ِب ِه ُم‬
َ ‫الرع‬ َ َ‫ْث َل ْم َيحْ تَسِ بُوا ۖ َوقَذ‬ َّ ‫َّللاِ فَأَت َا ُه ُم‬
ُ ‫َّللاُ ِم ْن َحي‬ َّ َ‫صونُ ُه ْم ِمن‬
ُ ‫ُح‬
َ ‫ْال ُمؤْ ِمنِينَ فَا ْعتَبِ ُروا يَا أُو ِلي ْاِل َ ْب‬
‫صار‬

Artinya;

“Dialah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli kitab dari kampung-
kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. Kamu tidak menyangka, bahwa
mereka akan keluar dan mereka punya kin, bahwa benteng-benteng mereka dapat
mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; maka Allah mendatangkan kepada
mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. Dan Allah
melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah
mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin.Maka
ambillah (kejadianitu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai
wawasan.”

Dalam ayat ini Allah menyuruh orang-orang yang mempunyai pandangan fakih
untuk mengambil iktibat atau pertimbangan dalam berfikir.5

4
Satia Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana, 2015). Hlm, 256
5
Amir Sarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2014). Hlm 261

7
2. Surat an-Nisaa’ (4):59

‫سو ِل‬
ُ ‫الر‬
َّ ‫َّللاِ َو‬ َ ‫سو َل َوأُو ِلي ْاِل َ ْم ِر ِم ْن ُك ْم ۖ فَإ ِ ْن تَنَازَ ْعت ُ ْم فِي‬
َّ ‫ش ْيءٍ فَ ُردُّوهُ ِإلَى‬ ُ ‫الر‬ َّ ‫َّللاَ َوأ َ ِطيعُوا‬َّ ‫َيا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا أ َ ِطيعُوا‬
‫يل‬ َ ْ‫اَّللِ َو ْال َي ْو ِم ْاْل ِخ ِر ۚ َٰذَلِكَ َخي ٌْر َوأَح‬
ً ‫سنُ ت َأ ْ ِو‬ َّ ‫ِإ ْن ُك ْنت ُ ْم تُؤْ ِمنُونَ ِب‬

Artinya :

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dantaatilahRasul-Nya, dan ulil amri
di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
makakembalikanlahiakepada Allah (Al Quran) danRasul (Sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Pada ayat diatas dijelaskan, perintah mengembalikan sesuatu yang diperbedakan


kepada al-Qur’an dan sunnah, menurut Ali Hasaballah, adalah peringatan agar orang
tidak mengikuti hawa nafsunya, dan mewajibkan untuk kembali kepada Allah da
Rasul-Nya dengan jalan ijtihad dalam membahas kandungan ayat atau hadis yang
barangkali tidak mudah untuk dijangkau begitu saja, atau berijtihad dengan
menerapkan dengan kaidah-kaidah umum yang disimpulkan dari al-Qur’an dan
sunnah Rasulullah.6

3. Hadis yang menjelaskantentanghukumijtihad:

‫كيْف ت ْقضي ِ إِذا ع ُِرض لك قضاء ؟ قال‬: ِ‫ب هللا‬ ِ ‫ضي ب ِكتا‬ ِ ‫أ ْق‬. ‫قال‬: ‫ب هللاِ ؟ قال‬ ِ ‫تجدْ في ِ كتِا‬ ُ ‫سنّ ِة ر‬
ِ ‫فإ ِ ْن ل ْم‬: ‫سو ِل‬ ُ ِ‫فب‬
‫هللاِ قال‬: ‫ب هللا ؟ قال‬ ُ ‫سنّ ِة ر‬
ِ ‫سو ِل هللا وال في ِ كتِا‬ ُ ِ ‫تجدْ في‬ ِ ‫فإ ِ ْن ل ْم‬: ‫أجْت ِهد ُ رأْي ِ وال آلو‬. ِ‫سو ُل هللا‬ ُ ‫فضرب ر‬
‫صدْرهُ وقال‬: ِ‫س ْو ُل هللا‬
ُ ‫يرضي ر‬ ُ ‫الح ْمد ُ ِ َّّلل الّذِي وفق ر‬
ُ ‫سو ُل ر‬
ْ ‫سو ِل هللاِ ِلما‬

“Dari Muaz bin Jabal radhiyallahuanhu berkata bahwa Nabi bertanya kepadanya,"
Bagaimana engkau memutuskan perkara jika diajukan orang kepada engkau? Muaz
menjawab, saya akan putuskan dengan kitab Allah. Nabi bertanya kembali,
bagaimana jika tidak engkau temukan dalam kitab Allah? Saya akan putuskan dengan

6
Satia Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana, 2015). Hlm. 249

8
sunnah Rasulullah, jawabMuaz. Rasulullah bertanya kembali, jika tidak engkau
dapatkan dalam sunnah Rasulullah dan tidak pula dalam Kitab Allah? Muaz
menjawab, saya akan berijtihad dengan pemikiran saya dan saya tidak akan berlebih-
lebihan. Maka Rasulullah SAW menepuk dadanya seraya bersabda,"Segala puji bagi
Allah yang telah menyamakan utusan dari utusan Allah sesuai dengan yang diridhai
Rasulullah.” (HR Abu Daud)

Apa yang menjadi tekad Muadz untuk berijtihad mendapatkan legitimasi langsung
dari Rasulullah SAW, terbukti bahwa beliau SAW menepuk dada Muadz sambil
memujinya.

D. Syarat-Syarat Seorang Mujtahid

Wahbah az-Zuhaili menyimpulkan ada delapan persyaratan yang harus dipenuhi


olrh seorang mujtahid.

1. Harus mengerti dengan makna-makna yang dikandung oleh ayat-ayat dalam al-
Qur’an baik secara bahasa maupun secara istilahsyariat
2. Mengetahui tentang hadis-hadis hukum baik secara bahasa maupun dalam
pemakaian syara’.
3. Mengetahui tentang mana ayat atau hadis yang telah di mansukh (telah dinyatakan
tidak berlaku lagi oleh Allah atau Rasul-Nya), dan mana ayat atau hadis yang me-
nasakh atau sebagi penggantinya. Pengetahuan seperti ini diperlukan, agar seorang
mujtahid tidak mengambil kembali kesimpulan dari ayat atau hadis yang sudah
dinyatakan tidak lagi berlaku.
4. Mempunyai pengetahuan tentang masalah-masalah yang sudah terjadi ijma’
tentang hukumnya dan mengetahui tempat-tempatnya. Pengetahuan ini diperlukan
agar seorang mujtahid dalam ijtihadnya tidak menyalahi hukum yang telah
disepakati oleh ulama.
5. Mengetahui tentang seluk beluk qiyas, seperti syarat-syaratnya, rukun-rukunnya,
tentang ‘illat hukum dan cara menemukan ‘illat itu dari ayat atau hadis, dan

9
mengetahui kemaslahatan yang dikandung oleh suatu ayat hukum dan prinsip-
prinsip umum syariat Islam.
6. Menguasai bahasa Arab serta ilmu-ilmu bantu yang berhubungan dengannya.
Pengetahuan ini dibutuhkan, mengingat al-Qur’an dan Sunnah adalah berbahasa
Arab. Seseorang tidak akan bisa mengistimbatkan hukum dari dua sumber tersebut
tanpa mengetahui seluk beluk bahasa Arab.
7. Menguasai ilmu Ushul Fiqh, seperti tentang hukum dan macam-macamnya,
tentang sumber-sumber hukum atau dalil-dalilnya, tentang kaidah-kaidah dan cara
mengistimbatkan hukum dari sumber-sumber tersebut, dan tentang ijtihad.
Pengetahuan tentang hal ini diperlukan karena Ushul Fiqh merupakan pedoman
yang harus dipegang dalam ijtihad.
8. Mampu menangkap tujuan syariat dalam merumuskan suatu hukum. Pengetahuan
ini dibutuhkan karena untuk memahami suatu redaksi dan dalam penerapannya
pada berbagai peristiwa, ketepatannya sangat tergantung kepada pengetahuan
tentang bidang ini, hal itu disebabkan, penunjukkan suatu lafal kepada maknanya
mengandung berbagai kemungkinan.7

E. Tingkatan-Tingkatan Mujtahid

Abu Zahra membagi mujtahid kepada beberapa tingkat:

1. Mujtahid Mustaqil adalah tingkatan tertinggi, untuk sampai ketingkat ini seseorang
harus memenuhi syarat mereka harus sudah terbebas dari bertaklid kepada
mujtahid, baik dalam metode istimbat (Ushul Fiqh) maupun dalam furu’ (fikih
hasil ijtihad). Mereka mempunyai metode istimbat sendiri, dan mereka sendirilah
yang menerapkan metode istimbat itu dalam berijtihad membentuk hukum fikih.

7
Satia Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana, 2015). Hlm. 251

10
2. Mujtahid muntasib, yaitu mujtahid dalam masalah Ushul Fiqh, meskipun dari segi
kemampuannya ia mampu merumuskan namun tetap berpegang kepada Ushul
Fiqh salah seorang imam dari mujitahid mustaqil.
3. Mujtahid fi al-mashab yaitu tingkat mujtahid yang dalam Ushul Fiqh dan furu’
bertaklid kepada imam tertentu. Mereka disebut mujtahid karena mereka berijtihad
dalam mengistimbatkan hukum pada permasalahan-permasalahan yang tidak
ditemukan dalam buku-buku mashab imam mujtahid yang menjadi panutannya.
4. Mujtahid fi ad-Tarjih, yaitu mujtahid yang kegiatannya bukan mengistimbatkan
hukum tetapi terbatas memperbandingkan berbagai mashab atau pendapat, dan
mempunyai kemampuan untuk memilih salah satu pendapat terkuat dari pendapat-
pendapat yang ada.8

F. Metode-Metode Ijtihad

Dalam kajian Ushul Fiqh, ijtihad merupakan salah satu metode yang digunakan
untuk menggali kandungan makna, maksud, dan hukum-hukum yang terdapat dalam
al-Quran dan as-Sunnah, ada beberapa metode dalam barijtihad, diantaranya adalah:

1. Ijmak adalah persetujuan atau kesesuaian pendapat para ahli mengenai suatu
masalah pada suatu tempat disuatu masa. Persetujuan tersebut diperoleh dengan
suatu cara ditempat yang sama. Namun, kini sukar dicari suatu cara dan sarana
yang dapat digunakan untuk memperoleh persetujuan seluruh ahli mengenai suatu
masalah pada suatu ketika ditempat yang berbeda. Hal ini disebabkan karena
luasnya bagian dunia yang didiami oleh umat Islam, beragamnya sejarah, budaya
dan lingkungannya. Ijmak yang hakiki hanya mungkin terjadi pada masa kedua
khulafaur rasyidin (Abu Bakar dan Umar) dan sebagian masa pemerintah khalifah
yang ketiga (Usman). Sekarang Ijmak hanya berarti persetujuan atau kesesuaian
pendapat disuatu tempat mengenai tafsiran ayat-ayat hukum tertentu didalam

8
Satia Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana, 2015). Hlm.256

11
Alquran. Di Indonesia misalnya, ijmak mengenai kebolehan beristri lebih dari
seorang berdasarkan ayat Alquran surat An-Nisa ayat 3, dengan syarat-syarat
tertentu, selain dari kewajiban berlaku adil yang disebut dalam ayat tersebut
dituangkan pula pada UU Perkawinan.9
2. Qiyas adalah menyamakan hukum suatu hal yang tidak terdapat ketentuannya
didalam al-Quran dan As-Sunnah atau Al-Hadist dengan hal lain yang hukumnya
disebut didalam Alquran dan Sunnah Rasul (yang terdapat dalam kitab-kitab
hadist) karena persamaan illat (penyebab atau alasan) nya. Qiyas adalah ukuran,
yang dipergunakan oleh akal budi untuk membanding suatu hal dengan hal lain.
Sebagai contoh dapat dikemukakan larangan meminum khamar (sejenis minuman
yang memabukan) yang terdapat didalam Alquran surat Al-Maidah ayat 90. Yang
menyebabkan minuman itu dilarang adalah illat-nya yakni memabukkan. Sebab
minuman yang memabukkan, dari apapun ia dibuat, hukumnya sama dengan
khamar yaitu dilarang diminum. Dan untuk menghindari akibat buruk meminum
minuman yang memabukkan itu, maka dengan qiyas pula ditetapkan semua
minuman yang memabukkan (mibuk), apapun namanya dilarang diminum dan
diperjual belikan untuk umum.10
3. Istihsan, dapat diartikan sebagai berpaling dari ketetapan dalil khusus kepada
ketetapan dalil umum. Dengan kata lain, meninggalkan suatu dalil dan beralih
kepada dalil yang lebih kuat, atau membandingkan satu dalil dengan dalil lain
untuk menetapkan hukum. Hal ini dilakukan untuk memilih yang lebih baik demi
memenuhi tuntutan kemaslahatan dan tujuan syariat.
4. Istidal adalah menarik kesimpulan dari dua hal yang berlainan. Misalnya menarik
kesimpulan dari dua hal yang berlainan. Misalnya menarik kesimpulan dari adat-
istiadat dan hukum agama yang diwahyukan sebelum Islam. Adat yang telah lazim
dimasyarakat tidak bertentangan dengan hukum Islam (gono-gini atau harta

9
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, (Jakarata: Rajawali Pers, 2017).Hlm:120
10
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, (Jakarata: Rajawali Pers, 2017).Hlm:120

12
bersama) dan hukum agama yang diwahyukan sebelum Islam tetapi tidak
dihapuskan oleh syariat Islam, dapat ditarik garis-garis hukumnya untuk dijadikan
hukum Islam.11
5. Maslahah mursalah. Kata maslahah berarti kepentingan hidup manusia. Kata
mursalah berarti sesuatu yang tidak ada ketentuan nash syariat yang menguatkan
atau membatalkannya. Metode ini adalah salah satu cara dalam menetapkan
hukum yang berkaitan dengan masalah-masalah yang ketetapannya sama sekali
tidak disebutkan dalam nash dengan pertimbangan untuk mengatur kemaslahatan
hidup manusia.
Maslahah mursalah dapat dijadikan dasar dalam menetapkan hukum bila :
a. Masalah itu bersifat esensial atas dasar penelitian, observasi, dan melalui analisis
dan pembahasan yang mendalam sehingga menetapan hukum terhadap masalah
benar-benar memberi manfaat dan menghindarkan mudarat.
b. Masalah itu bersifat umum, bukan kepentingan perseorangan, tetapi bermanfaat
untuk orang banyak.
c. Masalah itu tidak bertentangan dengan nash dan terpenuhinya kepentingan
manusia serta terhindar dari kesulitan.
6. Istishab adalah menjadikan ketetapan hukum yang ada tetap berlaku hingga ada
ketentuan dalil yang mengubahnya. Artinya mengembalikan segala sesuatu pada
ketentuan semula selama tidak ada dalil nash yang mengharamkannya atau
melarangnya.12
7. Adat-istiadat atau ’urf yang tidak bertentangan dengan hukum Islam dapat
dikukuhkan tetap terus berlaku bagi masyarakat yang bersangkutan. Adat-istiadat
ini tentu saja yang berkenaan dengan soal muamalah. Sebagai contoh nkebiasaan
yang berlaku di dunia perdagangan pada masyarakat tertentu melalui inden
misalnya, jual beli buah-buahan dipohon yang dipetik sendiri oleh pembelinya,
melamar wanita dengan memberikan sebuah tanda (pengikat), pembayaran mahar

11
MohammaGd Daud Ali, Hukum Islam, (Jakarata: Rajawali Pers, 2017).Hlm:121
12
Boedi Abdullah, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung:Pustaka Setia, 2008). Hlm 187

13
secara tunai atau utang atas persetujuan kedua belah pihak dan lain-lain, harta
bersama suami istri dalam masyarakat muslim Indonesia (tersebut diatas).
Sepanjang adat-istiadat itu tidak bertentangan dengan ketentuan Alquran dan As-
Sunnah atau Al-hadist, dan transaksi dibidang muamalah itu didasarkan atas
persetujuan kedua belah pihak serta tidak melanggar asas-asas hukum perdata
Islam dibidang muamalah, menurut kaidah hukum Islam yang menyatakan ”adat
dapat dikukuhkan menjadi hukum” (al-’adatu muhakkamah), hukum yang
demikian dapat berlaku bagi umat Islam.13

G. Macam-Macam Ijtihad

Dalam menetapkan para ahli membagi ijtihad kepada beberapa titik pandang yang
berbeda:

1. Karya ijtihad dilihat dari segi dalil yang dijadikan pedoman ada 3 macam:
a. Ijtihad bayani yaitu ijtihad untuk menemukan hukum yang terkandung dalam
nash, namun sifatnya zhanni, baik dari segi ketetapannya maupun dari segi
penunjuknya. Ijtihad bayani ini hanya dalam batas pemahaman terhadap nash
dan menguatkan salah satu diantara beberapa pemahaman yang berbeda. Dalam
hal ini, hukumnya tersurat dalam nash, namun tidak memberikan penjelasan
yang pasti. Ijtihad di sini hanya memberikan penjelasan hukum yang pasti dari
dalil nash itu.14
b. Ijtihad qiyasi, yaitu ijtihad untuk menggali dan menetapkan hukum terhadap
suatu kejadian yang tidak ditemukan dalilnya secara tersurat dalam nash baik
secara qath’i atau zhanni, juga tidak ada ijma’ yang telah menetapkan hukum
suatu kejadian (peristiwa) dengan merujuk pada kejadian yang telah ada
hukumnya, karena antara dua peristiwa itu ada kesamaan dalam ‘illat
hukumnya. Dalam hal ini, mujtahid menetapkan hukum suatu kejadian

13
MohammaDaud Ali, Hukum Islam, (Jakarata: Rajawali Pers, 2017).Hlm:123
14
Amir Sarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2014). Hlm, 305

14
berdasarkan pada kejadian yang telah ada nashnya. Ijtihad seperti ini adalah
melalui metode qiyas dan istihsan.15
c. Ijtihad istishlahi, yaitu karya ijtihad untuk menggali, menemukan, dan
merumuskan hukum syar’i dengan cara menerapkan kaidah kulli untuk kejadian
yang ketentuan hukumnya tidak terdapat nash baik qath’i maupun zhanni, dan
tidak memungkinkan mencari kaitannya dengan nash yang ada, juga belum
diputuskan dalam ‘ijma. Dasar pegangan dalam ijtihad bentuk ketiga ini
hanyalah jiwa hukum syara’ yang bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan
umat, baik dalam bentuk mendatangkan manfaat maupun menghindarkan
mudarat.16
2. Al-Syatibi dalam kitabnya al-muwafaqat melihat bentuk ijtihad dari segi mungkin
atau tidak mungkin terhenti kegiatannya. Dalam hal ini, ia membagi ijtihad kepada
dua macam:
a. Ijtihad yang tidak mungkin terhenti kegiatannya. Ijtihad dalam bentuk ini ialah
yang disebut tahqiq al-manath atau ijtihad dalam menjelaskan hukum. Bentuk
ijtihad ini adalah apa yang disebut dengan ijtihad bayani yang dikemukakan
oleh Salam Madzkur diatas, yang keberadaannya diakui oleh semua pihak.17
b. Ijtihad yang mungkin terhenti kegiatannya. Ijtihad dalam hal ini ada dua
macam, yaitu: tanqih al-manath dan takhrij al-manath.
3. Dari segi keterkaitannya ijtihad itu dengan hasil ijtihad mazhab yang sudah ada
sebelumnya ijtihad itu dibagi menjadi 2:
a) Ijtihad intiqa’iy ijtihad yang kerjanya adalah memilih dan mengambil satu
pendapat dari beberapa pendapat yang telah ada dalam mazhab yang
diperkirakan lebih mendatangkan mashlahat atau kemudahan dalam beramal.
b) Ijtihad insya’iy, yaitu ijtihad yang menghasilkan pendapat yang belum pernah
dikemukakan oleh ulama mazhab sebelumnya. Namun ijtihad ini pun tidak

15
Amir Sarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2014). Hlm, 306
16
Amir Sarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2014). Hlm, 307
17
Amir Sarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2014). Hlm, 307

15
langsung mengambil dari sumber rujukannya, tetapi mengambil kesimpulan
dari jalan pendapat ulama sebelumnya dalam menetapkan hukum.18
4. Dari segi hasil yang dicapai melalui ijtihad, al-Syatibi membagi ijtihad menjadi
dua bentuk:
a. Ijtihad Mu’tabar, yaitu ijtihad yang secara hukum dapat dipandang sebagai
penemuan hukum, yaitu ijtihad yang dihasilkan oleh pakar yang mempunyai
kemampuan untuk berijtihad berdasarkan syarat-syarat yang ditetapkan.
b. Ijtihad ghairu mu’tabar, yaitu ijtihad yang secara hukum tidak dapat dipandang
sebagai acara dlam menemukan hukum. Ijtihad dalam bentuk ini adalah ijtihad
yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak mempunyai kemampuan untuk
berijtihad berdasarkan syarat-syarat yang telah ditentukan.19
5. Macam ijtihad dilihat dari segi pelaksanaanya, atau dari segisiapa yang terlibat
langsung dalam melakukan penggalian dan penemuan hukum untuk kasus tertentu.
a. Ijtihad Fardiatu ijtihad perseorangan, yaitu ijtihad yang perlakunya hanya satu
orang. Jenis ijtihad ini memungkinkan untuk dilakukan jika masalah atau kasus
yang menjadi objek ijtihad bersifaat sederhana dan terjadi di tengah masyarakat
yang senderhana, sehingga tidak memerlukan penelitian atau kajian dari
berbagai disiplin ilmu.
b. Ijtihadjama’I yaitu ijtihad yang dilakukan oleh beberapa orang scara kolektif
(bersama). Ijtihad dalam bentuk ini terjadi dikarena masalah yang diselesaikan
sangat kompleks (rumit) .20

18
Amir Sarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2014). Hlm, 308
19
Amir Sarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2014). Hlm, 309
20
Amir Sarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2014). Hlm, 310

16
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari segi bahasa “ijtihad” berasal dari kata jahada (‫ )جهد‬yang berarti mencurahkan
segala kesempurnaan atau menanggung beban kesulitan. ijtihad sebagai “pengarahan
kemampuan untuk menemukan kesimpulan hukum-hukum syara’ sampai ketingkat
zhanni (dugaan keras) sehingga mujtahid itu merasakan tidak bisa lagi berupaya lebih
dari itu”. Dalam hukum berijtihad seorang faqih dapat dilihat dari 2 segi. Pertama,
dari segi ijtihadnya itu adalah untuk kepentingan yang diamalkannya sendiri, Kedua,
dari segi bahwa mujtahid itu adalah seorang mufti yang fatwanya akan diamalkan
oleh umat dan pengikutnya.
Hukum berijtihad adalah fardu ‘ain (wajib dilakukan oleh setiap orang yang
mencukupi syarat-syarat berijtihad) bila mana terjadi pada dirinya sesuatu yang
membutuhkan jawaban hukumnya, hasil ijtihadnya itu wajib dilakukan, ia tidak boleh
bertaklid kepada mujtahid lain. Berijtihad hukumnya sunnah bila mana terjadi dalam
dua hal :
1. Melakukan ijtihad dalam hal-hal yang belum terjadi tanpa ditanya
2. Melakukan ijtihad pada masalah-masalah yang belum terjadi berdasarkan
pertanyaan seseorang.

Sedangkan berijtihad bisa haram hukumnya apabila terjadi dalam 2 hal :

1. Berijtihad dalam hal-hal yang ada nash yang tegas baik berupa ayat atau hadis
Rasullah, atau hasil ijtihad itu menyalahi ijma’.
2. Berijtihad bagi seseorang yang tidak melengkapi syarat-syarat ijtihad.
Dasarhukum yang menunjukkan kebolehan melakukan ijtihad salahsatunyaadalah,
Surat al-Hasyr (59):2:

17
Dalam ayat ini Allah menyuruh orang-orang yang mempunyai pandangan fakih
untuk mengambil iktibat atau pertimbangan dalam berfikir.

Syarat-syarat seorang mujtahid


1. Harus mengerti dengan makna-makna yang dikandung oleh ayat-ayat dalam al-
Qur’an baik secara bahasa maupun secara istilahsyariat
2. Mengetahui tentang hadis-hadis hukum baik secara bahasa maupun dalam
pemakaian syara’.
3. Mengetahui tentang mana ayat atau hadis yang telah di mansukh (telah dinyatakan
tidak berlaku lagi oleh Allah atau Rasul-Nya), dan mana ayat atau hadis yang me-
nasakh atau sebagi penggantinya.
4. Mempunyai pengetahuan tentang masalah-masalah yang sudah terjadi ijma’
tentang hukumnya dan mengetahui tempat-tempatnya.
5. Mengetahui tentang seluk beluk qiyas.
6. Menguasai bahasa Arab serta ilmu-ilmu bantu yang berhubungan dengannya.
7. Menguasai ilmu Ushul Fiqh.
8. Mampu menangkap tujuan syariat dalam merumuskan suatu hukum.

Tingkatan-tingkatan Mujtahid

Abu Zahra membagi mujtahid kepada beberapa tingkat:


1. Mujtahid Mustaqil
2. Mujtahid muntasib
3. Mujtahid fi al-mashab
4. Mujtahid fi ad-Tarjih

Metode-metode Ijtihad yaitu ijmak, qiyas, istihsan, maslahah mursalah, istihab,


adat-istiadat atau ‘urf. Macam-macam Ijtihad dalam menetapkan para ahli membagi
ijtihad kepada beberapa titik pandang yang berbeda:

18
1. Karya ijtihad dilihat dari segi dalil yang dijadikan pedoman ada 3 macam, Ijtihad
bayan, Ijtihad qiyasi, danIjtihad istishlahi
2. Al-Syatibi dalam kitabnya al-muwafaqat melihat bentuk ijtihad dari segi mungkin
atau tidak mungkin terhenti kegiatannya. Dalam hal ini, ia membagi ijtihad kepada
dua macamyaitu, Ijtihad yang tidak mungkin terhenti kegiatannya.Ijtihad yang
mungkin terhenti kegiatannya, dan dari segi keterkaitannya ijtihad itu dengan hasil
ijtihad
3. mazhab yang sudah ada sebelumnya ijtihad itu dibagi menjadi 2 yaitu, Ijtihad
intiqa’iy danIjtihad insya’iy.
4. Dari segi hasil yang dicapai melalui ijtihad, al-Syatibi membagi ijtihad menjadi
dua bentuk yaitu, Ijtihad Mu’tabar, dan Ijtihad ghairu mu’tabar.
5. Macam ijtihad dilihat dari segi pelaksanaanya atau dan segi siapa yang terlibat
langsung dalam melakukan penggalian dan penemuan hukum untuk kasus tertentu.
Dilihat dari segi ini, ijtihad itu ada 2 macam, yaitu ijtihad fardi dan ijtihad jama’i.
B. Saran

Demikian makalah ini kami tulis, semoga isi dari makalah ini dapat bermanfaat
bagi pembaca. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh dari
kesempurnaan. Karenanya, saran dan kritikan yang sifatnya membangun, sangat
penulis harapkan dari semua pihak.

19
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Boedi, IlmuUshulFiqh,,Bandung:Pustaka Setia, 2008.

Effendi, Satria, UshulFiqh, Jakarta: Kencana, 2015.

Koto, Alaiddin, IlmuUshulFiqh, Jakarta: RajawaliPers, 2014.

Sarifuddin, Amir,Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta: Kencana, 2014.

Daud AliMohamma, Hukum Islam, Jakarata: Rajawali Pers, 2017.

20

Anda mungkin juga menyukai