Anda di halaman 1dari 20

Syukur Alhamdulillah

senantiasa penulis
panjatkan kehadirat Allah
SWT. yang memiliki
keistimewaan dan
pemberian segala
kenikmatan besar,
baik nikmat iman, kesehatan
dan kekuatan didalam
penyusunan makalah yang
ini. Sholawat dan salam
senantiasa tercurahkan
kepada Nabi Muhammad
SAW. Makalah yang berjudul
Hakikat Manusia Menurut
Islam dibuat sebagai
tugas mata kuliah
Pendidikan Agama Islam I
dengan dosen pengampu
Dr.
Zulfi Mubarok, MA. Makalah
ini disusun oleh Siska
Ninasari sekalu ketua
kelompok sebagai
pengonsep makalah, Hanna
Aisyah Maulidia selaku
sekteraris sebagai penulis
makalah, dan kedua anggota
yaitu Amanda Meidina
Sari dan Revina Ridha
Adinda sebagai pencari
materi yang merupakan
mahasiswa jurusan
Akuntansi fakultas Ekonomi
Universitas Widyagama
Malang.
tugas dan program manusia
itu sendiri. Dengan
dibahasnya ini
diharapkan bias membuat
kita sebagai manusia bias
memahami tujuan
penciptaan man
tugas dan program manusia
itu sendiri. Dengan
dibahasnya ini
diharapkan bias membuat
kita sebagai manusia bias
memahami tujuan
penciptaan man
-sumber hukum menurut
agama Islam
secara Ijtihad dan mengkaji
dan memahami lebih dalam
apa itu ijtihad dalam
IJTIHAD SEBAGAI SUMBER AJARAN
AGAMA ISLAM
Di Susun Oleh :

ZHARNY SAID
SRI INTAN

SEKOLAH TINGGI ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


STISIPOL BUOL
TAHUN AKADEMIK 2023-2024

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Alhamdulillahirabbilalamin, banyak nikmat yang Allah berikan, tetapi sedikit

sekali yang kita ingat. Segala puji hanya layak untuk Allah Tuhan seru sekalian alam atas

segala berkat, rahmat, taufik, serta hidayah-Nya yang tiada terkira besarnya, sehingga

penulis dapat menyelesaikan makalah Ijtihad Sebagai Sumber Hukum Islam.

Dalam penyusunannya, penulis memperoleh banyak bantuan dari berbagai

pihak, karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada

seluruh yang telah membantu dalam penulisan makalah ini.

Meskipun penulis berharap isi dari makalah ini bebas dari kekurangan dan

kesalahan, namun selalu ada yang kurang. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik

dan saran yang membangun agar dapat lebih baik lagi. Akhir kata penulis berharap agar

makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.

Buol, 2023
Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................i

DAFTAR ISI...............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang...............................................................................................1

B. Rumusan Masalah ........................................................................................1

C. Tujuan Masalah..............................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian, Ruang Lingkup Dan Dasar Hukum Ijtihad..................................3

B. Macam-Macam dan Syarat Ijtihad.................................................................5

C. Tingkat Kekuatan Ijtihad dan Tingkatan-Tingkatan Ijtihad.............................7

D. Perkembangan Ijtihad ...................................................................................9

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan....................................................................................................12
B. Saran..................................................................................................................... 12

Daftar Pustaka..........................................................................................................14

BAB I
ii
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ijtihad merupakan upaya untuk menggali suatu hokum yang sudah ada pada

zaman Rasulullah SAW. Hingga dalam perkembangan, ijtihad dilakukan oleh para

sahabat tabi’in serta masa-masa selanjutnya hingga sekarang ini. Meskipun pada periode

tertentu apa yang kita kenal dengan masa taqlid, ijtihad tidak diperbolahkan, tetapi pada

masa periode tertentu pula (kebangkitan atau pembaharuan), ijtihad mulai di buka

kembali. Karena tidak bisa di pungkiri, adalah suatu keharusan untuk menanggapi

tantangan kehidupan yang semakin kompleks problematikanya.

Sekarang banyak ditemui perbedaa-perbedaan madzhab dalam hokum Islam

disebabkan dari ijtihad. Misalnya bisa dipetakan Islam kontemporer seperti Islam liberal,

fundamental, ekstrimis, moderat dll. Semuanya itu tidak lepas dari hasil ijtihad dan sudah

tentu masing-masing mujtahid berupaya utuk menemukan hokum yang terbaik. Justru

dengan ijtihad Islam, Islam menjadi luwes, dinamis, fleksibel, cocok dalam segala lapis
waktu, tempat dan kondisi. Dengan ijtihad pula, syariat Islam menjadi “tidak bisu” dalam

menghadapi problematika kehidupan yang semakin kompleks.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pendahuluan di atas, dapat mengambil permasalahan sebagai

berikut yaitu:

1. Bagaimana definisi, ruang lingkup dan dasar hukum Ijtihad ?

2. Berapa macam-macam Ijtihad dan syarat Ijtihad ?

3. Bagaimana tingkat kekuatan Ijtihad dan tingkatan-tingkatan dalam Ijtihad?

4. Bagaimana perkembangan Ijtihad

C. Tujuan Masalah 1

1. Menjelaskan definisi ruang lingkup Sumber ajaran islam ( Ijtihad)

2. Menjabarkan macam-macam dan syarat ijtihad)

3. Pemahamana tentang kekuatan Ijtihad dan Tingkatan-tingkatan dalam ijtihad

4. Penjelasan perkembangan Ijtihad


2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian, Ruang Lingkup Dan Dasar Hukum Ijtihad


1. Pengertian Ijtihad
Ijtihad menurut lughot mempunyai arti:

‫َبدْ ل ُ ا ْل ُو ْس ِع فِ ْي َما فِ ْي ِه ُك ْل َف ٌة‬


“ Mengerahkan kemampuan untuk sesuatu yang sulit”
Sedangkan Ijtihad menurut istilah mempunyai pengertian:

ُ ‫ض ا ْل َم ْق‬
‫ص ْو ِد مِنَ ا ْل ِع ْل ِم‬ ِ ‫َب ْذل ُ ا ْل َفقِ ْي ِه ا ْل ُم ْج َت ِه ِد َم ْج ُه ْودَ هُ فِى َن ْي ِل ا ْل َغ َر‬
“Mengerahkan segenap kemampuan yang dimiliki oleh seseorang yang ahli fiqh,
untuk memperoleh ilmu yang ingin dihasilkannya”.[1]
Ijtihad artinya mencurahkan segala kemampuan intelektual untuk memperoleh
hukum syara’ dari dalilnya. Ahli tahqiq mengemukakan bahwa ijtihad adalah qiyas untuk
mengeluarkan (istinbat) hukum dari kaidah-kaidah syara’ yang umum.
Adapun ijtihad dalam bidang putusan hakim (pengadilan) adalah jalan yang diikuti
hakim dalam menetapkan hukum, baik yang berhubungan dengan teks undang-undang
maupun dengan mengistinbatkan hukum yang wajib ditetapkan ketika ada nash.[2]
Pelestarian “pohon” fiqih dengan akar syari’at tidaklah mungkin dapat dilakukan
selama disana tidak ada ijtihad yang sistematis dan terus menerus, yakni sebuah ijtihad
yang mampu mengendalikan berbagai tantangan zaman. Sebagaimana yang dikatakan
oleh Dr. Wahbah al-Zuhayli (syria), ijtihad itu menghidupkan syariat. Syariat tidak akan
bisa bertahan selama fiqih ijtihad tidak hidup dan elastis, memiliki daya kerja dan daya
gerak.[3]
2. Ruang Lingkup Ijtihad
Dalam memberi batasan-batasan bagi ruang lingkup ijtihad, Al-Amidi mengatakan:
“…bidang yang dapat diijtihadi adalah hokum-hukum syara’ yang dalilnya zhanni…

‫وأمّا ما فيه االءجتهاد فما كان من األحكام ال ّشرعيّة دليله ظ ّنى‬


Ungkapan “hokum-hukum syara’ “kami maksudkan untuk membedakannya dari
hokum-hukm yang dalilnya bersifat qath’I (pasti), seperti ibadat yang lima seumpamanya.
Ibadat yang lima ini bukanlah merupakan bidang berijtihad, karena orang yang keliru
dalam bidang ini dipandang berdosa, sedangkan masalah-masalah ijtihadiyah itu adalah
masalah di mana orang yang keliru dalam ijtihadnya tidak berdosa.
Masalah ke-dua: peristiwa yang dihadapi haruslah peristiwa yang hukumnya tidak
3
terdapat dalam nash. berdasarkan ini, maka ruang lingkup ijtihad dapat menampung
kegiatan panggilan hokum-hukum bagi peristiwa-peristiwa hokum baru pada saat tidak
terdapatnya nash. hal itu dilakukan dengan jalan berpegang pada tanda-tanda yang telah
dipancangkan sebagai petunjuk bagi hokum, seperti qiyas atau istihlah.[4]
Dalam buku “Ilmu Ushul Fiqih karangan Prof.Abdul Wahhab Khallaf” ada dua
lapangan ijtihad yaitu:
1) Sesuatu yang tidak ada nashnya sama sekali.
2) Sesuatu yang ada nashnya namun tidak qath’i.
Tidak ada peluang untuk berijtihad mengenai sesuatu yang ada nashnya yang
bersifat qath’i.[5]
Ada tiga hal yang harus diperhatikan:
1) Bahwa ijtihad itu tidak ada pembagian. Artinya, dia tidak menggambarkan adanya orang
alim sebagai mujtahid, dalam hokum talak, dan mujtahid yang lain dalam hokum jual beli.
Atau mujtahid dalam hokum menjatuhkan sanksi hukuman. Mujtahid adalah seorang yang
ahli dan teguh pendirian.
2) Mujtahid itu mendapat pahala. Orang-orang yang melakukan ijtihad itu mendapat dua
pahala. Satu, pahala untuk ijtihadnya, dan satu lagi kalau ijtihadnya itu benar. Kalau
ijtihadnya itu salah, masih mendapat satu pahala.
3) Ijtihad itu tidak boleh dibatalkan. Kalau mujtahid itu berijtihad untuk suatu masalah dan di
dalamnya itu dia menjatuhkan hukuman dengan hokum yang dijalankan kea arah itu oleh
ijtihadnya. Sudah itu dikemukakan pula kepadanya gambaran dari peristiwa ini lantas dia
melakukan ijtihad kepada hokum lain, di sini dia tidak diperbolehkan membatalkan
hukumnya yang lalu.[6]
3. Dasar Hukum Ijtihad
Para fuqaha boleh melakukan ijtihad apabila dalam suatu masalah tidak ada dasar
hukum yang terdapat dalam nash Al-Quran.[7]
Ulama membagi hukum Ijtihad menjadi tiga macam:
1) Wajib Ain, bagi seseorang yang ditanya tentang suatu peristiwa yang hilang sebelum
diketahui hukumnya. Begitu pula apabila peristiwa tersebut dialami sendiri oleh
seseorang dan ia ingin mengetahui hukumnya.
2) Wajib Kifayah, bagi seseorang yang ditanya tentang suatu peristiwa yang hilang
sementara masih ada mujtahid lain selain dirinya.
3) Sunnah, ijtihad terhadap suatu peristiwa yang belum terjadi, baik ditanya maupun tidak.
4
4) Haram, ijtihad haram pada perkara yang telah ditunjukkan oleh nash atau yang telah
ditetapkan oleh ijma’ sahabat. Oleh karena itu, tidak boleh berijtihad didalam masalah-
masalah itu seperti di dalam masalah akidah dan ibadah yang telah dinashkan dan
disepakati oleh umat.[8]

B. Macam-Macam dan Syarat Ijtihad


Secara garis besar ijtihad dibagi dalam dua bagian, yaitu ijtihad fardi dan
ijtihad jam’i.
1) Ijtihad fardi:

‫ ِه َع َلى َرْأيٍ فِى‬U‫ ِد ْينَ فِ ْي‬U‫اق ا ْل ُم ْج َت ِه‬U


ُ ‫ا ٍد َو َل ْم َي ْث ُب ْت ِا ّت َف‬U‫اج ِت َه‬ ُّ ‫اَاْل ْج ِت َها ُد ا ْل َف ْرد‬
ْ ُّ ‫ ل‬U‫ِي ه َُو ُك‬
‫ا ْل َم ْسَئ َل ِة‬.
Artinya:
“Setiap ijtihad yang dilakukan oleh perseorangan atau beberapa orang namun tak
ada keterangan bahwa semua Mujtahid lain menyetujuinya dalam suatu perkara”.
2. Ijtihad Jami’i:
“Setiap ijtihad dalam suatu perkara yang disepakati oleh semua mujtahidin”.[9]
Menurut jenisnya, mujtahid dapat dibedakan menjadi 4 macam:
a) Mujtahid Mutlak: Seorang mujtahid harus memeras fikiran dan mencurahkan
seluruh waktunya untuk meneliti secara mendalam terhadap dalil-dalil fiqh,
sehingga bisa menghasilkan dhonn atau dugaan hukum.
b) Orang-orang yang melakukan ijtihad langsung secara keseluruhan dari Al-Quran
dan Hadits, dan sering kali mendirikan madzhab sendiri seperti halnya para
sahabat dan imam yang empat, yaitu Syafi’i, Hambali, Hanafi, dan Maliki.
c) Mujtahid Madzhab: orang yang mempunyai kemampuan mengetahui kaidah-
kaidahnya imam madzhab, kemudian ia bisa menggali pendapat yang melebihi
pendapat imamnya dari sebuah dalil. Seperti Imam Buwaithi.[10]
Para mujtahid yang mengikuti suatu madzhab dan tidak membentuk madzhab
tersendiri, tetapi dalam beberapa hal, dalam berijtihad mereka berbeda pendapat
dengan imamnya, misalnya, Imam Syafi’i tidak mengikuti pendapat gurunya Imam
Malik dalam beberapa masalah.
d) Mujtahid Fatwa: orang yang sangat mendalam pengetahuannya tentang madzhab
Imam-nya, sehingga bisa mentarjih salah satu diantara dua qoul, ketika dua qoul
tersebut dimutlak-kan oleh Sang Imam.
Para ulama yang sudah mencapai derajat sebagai mujtahid fatwa ihi, seperti;
5
Imam Ar-Rofi’i dan Imam An-Nawawi.mereka ini mempunyai otoritas (sewenang)
untuk menyeleksi mana yang lebih kuat diantara qoul-qoulnya Asy-Syafi’i, sebab
Imam As-Syafi’i sendiri sering kali mengeluarkan beberapa qoul yang saling
bertentangan antara satu dengan yang lainya.
Para mujtahid diatas, baik mujtahid mutlak, Mujtahid madzhab maupun mujtahid
fatwa, apabila hasil ijtihadnya benar maka akan mendapatkan dua pahala dan
apabila salah akan mendapatkan satu pahala.
Dalam sebuah hadits Rasulullah saw bersabda:

‫واخطَأ فل ُه اج ٌر واح ٌد‬


ْ َ‫اجران ومن اجتهد‬
ِ ‫واصاب فل ُه‬
َ َ‫من اجتهد‬
ِ .
“Barang siapa melakukan ijtihad dan hasil ijtihadnya benar maka akan
memperoleh dua pahala. Dan barang siapa melakukan ijtihad dan hasil ijtihadnya
keliru maka akan mendapatkan satu pahala”. (H.R. Bukhori Muslim).
Para mujtahid yang mendapatkan pahala adalah mereka yang benar-benar
punya keahlian dan memenuhi syarat untuk melakukan ijtihad. Untuk mereka yang
tidak punya keahlian untuk melakukan ijtihad, maka harus taqlid atau mengikuti
pendapat yang telah ditetapkan oleh para Imam Madzhab. Dan apabila mereka
memaksakan diri untuk melakukan ijtihad, maka sama sekali tidak mendapatkan
pahala, bahkan akan mendapat dosa, disebabkan kecerobohannya.
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid untuk
melakukan ijtihad adalah sebagai berikut:
1) Benar-benar Muslim, beriman kepada Allah dan sifat-sifat-Nya; beriman
kepada Rasul-Nya dan manaatinya.
2) Menguasai bahasa Arab, cara-cara dalalah, susunan kalimatnya dan
satuan-satuan katanya
3) Mempunyai pengetahuan mengenai Al-Qur’an. Haruslah mengetahui
hokum-hukum syar’iyyah yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan ayat-ayat
yang menyebutkan hokum-hukum tersebut, serta cara-cara mengambil,
memetik hokum itu dari ayat-ayatnya
4) Mengetahui tentang sunnah. Yaitu, ia harus mengetahui hokum-hukum
syara’ yang disebut sunnah Nabi., sekiranya ia mampu menghadiran sunnah
yang menyebutkan hokum pada tiap-tiap bab dari perbuatan mukallaf,
mengetahui peringkat sanad sunnah tersebut, dari segi kesahihannya, atau
kedhaifannya dalam periwayatan.
5) Mengetahui segi-segi qiyas. Misalnya ia megetahui tentang illat, dan
hikmahpembentukan hokum yang karenanya hokum disyari’atkan, menegnai
6
jalur-jalur yang dipersiapkan oleh syari’ untuk mengetahui illat hukumnya. Ia
juga harus mengetahui berbagai hal ihwal manusia dan muamalah mereka,
sehingga ia dapat mengetahui sesuatu kasus yang tidak ada nashnya yang
terbukti illat hukumnya.
6) Mengetahui kesepakatan-kesepakatan para ulama, baik di dalam masalah
pokok-pokok syariat seperti ijma’ tentang wajibnya shalat, dll.
7) Memahami istinbath hukum dari dalil-dalil yang ada melalui metode yang
tercakup dalam ilmu ushul fiqih.
8) Memahami tujuan-tujuan syariat. Ini merupakan salah satu syarat yang
terpenting bagi seorang mujtahid. Sebab syariat datang sebagai rahmat bagi
hamba-hamba Allah.

C. Tingkat Kekuatan Ijtihad dan Tingkatan-Tingkatan Ijtihad.

a. Tingkat Kekuatan Ijtihad


Seorang ahli fiqih yang menghabiskan tenaga dan pikirannya untuk memperoleh
persangkaan kuat terhadap suatu hukum agama dengan jalan istinbat dari Al-
Qur’an dan As-Sunnah, atau dari suatu dalil yang dibenarkan syara’. Ijtihad ada
dua tingkatan:
1) Ijtihad Darakil Ahkam (menghasilkan hukum yang belum ada)
2) Ijtihad Tatbiqil Ahkam (menerapkan hukum atau kaidah atas segala tempat
menerimanya) .

b. Tingkatan-Tingkatan Ijtihad
Ijtihad itu terdiri dari beberapa tingkatan:
1) Ijtihad mutlaq
2) Ijtihad dalam satu madzhab
3) Ijtihad dalam satu macam ilmu saja
4) Ijtihad dalam beberapa masalah atau satu masalah dari satu macam ilmu.
Para mujtahid demikian pula, berbeda-beda tingkatannya sesuai tingkat ijtihadnya.
a. Ijtihad yang berdiri sendiri.
b. Ijtihad yang tidak berdiri sendiri.
Mujtahid yang berdiri sendiri ialah orang yang mandiri dalam mengetahui
ketentuan-ketentuan hokum syari’at yang bersifat furu’, dari dalildalil tanpa bertaqlid
7
atau terikat dengan madzhab tertentu. Diantar mujtahid-mujtahid mutlaq tersebut
adalah ahli-ahli fiqih dari sahabta dan tabi’in serta imam-imam yang empat.
Adapun mujtahid yang tidak mandiri, atau disebut Al-Muntashib, ialah mujtahid
yang membangun pendapat-pendapatnya di atas madzhab seorang imam tertentu
dalam berhujjah dengan sebagian dalil saja, seperti istihsan dan maslahah mursalah,
di saat mujtahid lain tidak mau menerimanya, karena dia sendiri mengikuti imam
tertentu seperti sahabat-sahabat imam empat atau yang sejalan dengan mereka dalam
hal mengkuti madzhab tertentu, padahal ia sendiri mampu mandiri dalam menetapkan
hokum-hukum yang bersifat furu’.
Adapun ijtihad yang terikat pada madzhab, tercakup di dalamnya mujtahid yang
menggali berbagai hokum dari dalil-dalilnya, berdasarkan pada kaidah-kaidah imam
madzhabnya dan dapat menampilkan berbagai kemungkinan pendapat dari beberapa
riwayat yang diterima dalam bentuk nash dan imamnya.
Mujtahid terikat mempunyai 4 kelas:
Pertama: ia tidak bertaqlid kepada imamnya dalam menentukan hokum dan
dalil, tetapi ia menempuh cara imamnya dalam berijtihad. Fatwa mujtahid seperti ini
sama dengan fatwa mujtahid mutlaq dalam sisi pengalamannya.
Kedua: mujtahid yang terikat dengan madzhab imamnya, tetapi dia mandiri
dalam menetapkan madzhabnya dengan dalil, namun dia tidak pernah melampaui
dasar-dasar dan kaidah-kaidah imamnya. Ijtihad seperti ini hanya dapat dipakai
sebagai alat untuk menunaikan fardhu kifayah tetapi tidak untuk mengembangkan
ilmu-ilmu yang dijadikan sebagai bahan suplai fatwa, karena ia telah mendudukkan
fatwanya pada kedudukan fatwa imam mutlaq dan memilah-milahnya terhadap
bolehnya taqlid kepada yang sudah tiada (wafat) dibolehkan.
Ketiga: ia memelihara madzhab serta mengetahui dalil-dalinya, tetapi dia tidak
sampai pada tingkat para mujtahid dalam madzhab. Fatwa mujtahid kelas ini dapat
diterima.
Keempat: ia bekerja memlihara madzhab, mengajarkan dan memahaminya,
tetapi ia tidak mahir dalam menetapkan dalil-dalilnya. Mujtahid seperti ini dapat
dipegang periwayatannya dan fatwanya tentang nash-nash imamnya atau rincian dari
pendapat sahabat-sahabatnya yang mujtahid dalam madzhabnya serta komentar-
komentar tambahan dari mereka. Sebab, orang yang seperti ini keadaannya, jelaslah
seorang yang alim dalam bidang fiqih.[14]

8
D. Perkembangan Ijtihad
1. Ijtihad dan Fiqih di Masa Nabi SAW
Umat Islam di masa Rasul tidak melakukan ijtihad bila menghadapi suatu
masalah yang baru, mereka mendatangi Nabi untuk bertanya. Mereka bertanya, lalu
Nabi menjawab dengan petunjuk wahyu yang diturunkan kepadanya, atau dengan
petunjuk ijtihadnya yang mendapat kebenaran dari wahyu. Mereka hnay
mempergunakan ijtihad bila mereka tak dapat bertanya. Ijtihad itu mereka sampaikan
kepada Nabi, lalu Nabi memberi putusannya.

2. Periode-Periode Ijtihad Sesudah Nabi SAW


Ijtihad sesudah wafat Nabi melalui tiga periode:
a. Periode sahabat besar, periode Khulafar Rosyidin.
b. Periode sahabat kecil, pemuka tabi’in di masa Bani Umayyah.
c. Periode tabi’in dan Imam Mujtahiddin di permulaan masa Bani Abbas.
3. Ijtihad dan Fiqih di Masa Khulafaur Rosyidin
Para sahabat besar, sepeninggal Rasul menghadapi berbagai permasalahan
baru. Maka mereka melakukan istinbat terhadap permasalahan tersebut, namun
tidak menetapkan masalah-masalah yang belum terjadi dan tidak member jawaban
(fatwa) terhadap yang elum timbul.
Bila terjadi masalah, barulah mereka melakukan ijtihad. Mereka berpegang
dalam urusan tersebut kepada:
a. Al-Qur’an.
b. Sunatur Rasul.

4. Ijtihad dan Fiqih di Masa Bani Umayyah


Ketika pemerintahan (khalifah) dipegang Bani Umayyah, para sahabat pergi
meninggalkan kota Madinah menuju ke kota-kota yang baru dibangun, seperti kuffah,
makkah, basrah, syam, mesir dll. Di ibukota-ibukota itu, mereka mengerjakan fiqih,
mengembangkan agama, dan meriwayatkan Hadits. Umat Islam di daerah-daerah
itupun berdatangan ke kota-kota pusat daerah untuk menerima fiqih dan ilmu para
sahabat tersebut. Murid-murid para sahabat itu dinamai tabi’in, sedangakan murid
tabi’in dinamai tabi’it tabi’in. berkat pelajran-pelajaran itu, banyak para tabi’in yang
tersohor, yang pandai dalam urusan fiqih dan hokum Islam.
Ulama’ulama pada periode ini terbagi kepada dua golongan besar:
a. Golongan Ahli Hadits 9

b. Golongan Ahli Ra’yu (ahli qiyas)

5. Ijtihad dan Fiqih di Masa Bani Abbas


Pada permulaan bani abbaslahirlah imam-imam mujtahid kenamaan dari
golongan ahli hadits dan golongan ahli qiyas yang mempunyai pengikut dan telah
membukukan fatwa-fatwanya. Para imam mujtahidin yang timbul pada periode ini
adalah imam yang empat, yang terus menerus hingga masa kini mendpaat sambutan
yang ramai dan banyak dianut orang.
Dalam periode-periode ini barulah dibuat aturan-aturan ijtihad disusun ushul
fiqih dan barilah ijtihad (hasil-hasil ijtihad) itu tampak jelas karena pada periode inilah
fiqih itu dibukukan. Pada periode ini pula para mujtahidin mulai memperluas
(membuat) hukum dan membuat macam-macam masalah yang di taqdir-taqdirkan.
Pada periode sebelumnya, hokum-hukum itu diberikan dan dicari, jika ada suatu
kejadian. Pada periode ini muncul pula berbagai madzhab dan berjangkitnya
perselisihan dengan hebat dan luas.
Pada periode ini timbullah pertentangan pendapat tentang:
a. Memakai hadits untuk menjadi dasar syara’ (hukum) karena telah bertebaran
hadits palsu dibuat oleh para pendusta, para perusak agama. Pada masa ini
timbul perselisiahan dalam hal itu dan yang menjadi titik berat perselisiahan
ialah: apakah hadits itu meripakan suatu pokok dari dasar-dasar tasyri’ dan
kalau benar merpakan suatu dasar, maka apakah harus berpegang
kepadanya?
b. Memakai ijma’ sebagai dasar tasri’ Sebagaimana mereka berselisish tentang
hal istihsan, para ahli qiyas dengan ahli hadits pun berselisih dalam perkara
mempergunakan qiyas.

6. Ijtihad Dewasa Ini


Banyak orang berkata bahwa pintu ijtihad telah ditutup, namun pendapat ini
tidak benar melihat permasalahan-permasalahan timbul silih berganti. Di dalam
penghidupan masyarakat dari hari ke hari bahkan dari saat ke saat, terdapat maslah-
maslah yang memerlukan pemecahan hukum yang pasti, yang tidak terdapat nash-
nash Al-Qur’an atau Al-Hadits. Oleh karena itu, ijtihad sangat perlu dan sangat erat
kaitannya dengan permasalahan-permasalahn itu, sebab ijtihad pada dasarnya
10
adalah daya upaya karya otak para mujtahid untuk menemukan dalil dalam Al-Qur’an
maupun di dalam As-Sunnah.
BAB III
PENUTUP 11

A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa Pengertian Ijtihad adalah
mencurahkan segala kemampuan intelektual untuk memperoleh hukum syara’ dari
dalilnya.Ruang lingkup ijtihad ada dua lapangan ijtihad yaitu:
a. Sesuatu yang tidak ada nashnya sama sekali.
b. Sesuatu yang ada nashnya namun tidak qath’i.

Dasar hukum ijtihad:


a. Wajib ‘ain
b. Wajib Kifayah
c. Sunnah
d. Haram
Macam-macam dan syarat ijtihad:
a. Ijtihad Fardhi
b. Ijtihad Jami’i.

Syarat-syarat ijtihad:
a. Benar-benar Muslim
b. Menguasai bahasa Arab
c. Mempunyai pengetahuan mengenai Al-Quran
d. Mengetahui Sunnah
e. Mengetahui segi-segi qiyas
f. Mengetahui kesepakatan-kesepakatan para ulama
g. Memahami istinbath hukum dari dalil-dalil
h. Memahami tujuan-tujuan syariat.

B. Saran
Dari penulisan makalah ini, penulis menyarankan agar sebagai seorang manusia kita
harus menjadi individu yang dapat bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Sebagai
makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup sendiri oleh karena itu kita harus saling tolong
menolong dalam kebaikan antar sesama.
Untuk kedepannya tugas dalam membuat makalah ini sangat dianjurkan untuk
dilanjutkan, karena bisa menambah wawasan manusia tentang pengetahuan Agama.12
Selain itu, makalah ini diharapkan dapat membantu pembaca untuk menggali lebih dalam
tentang Sumber Ajaran Islam (Ijtihad).
DAFTAR PUSTAKA 13

Abdul Halim ‘Uways, 1998, Fiqih Statis dan Fiqih Dinamis, Pustaka Hidayah: Bandung.
Chaerul Umam, Ahyar Aminudin, 2001, Ushu Fiqih II, CV. Pustaka Setia: Bandung.
Dr. Ibrahim Abbas Al Dzarwy, 1993,“Teori Ijtihad Dalam Hukum Islam cet. 1”, CV. Dina Utama
Semarang: Semarang .
Muhammad Sya’roni Ahmadi, Terjemah Tashilut Thuruqot, 1984
Prof. Abdul Wahhab Khallaf , 1999,“Ilmu Ushul Fiqih cet. 4“, PT. Rineka Cipta: Jakarta .
Prof. Abdul Wahhab Khallaf 1994, “Ilmu Ushul Fiqih cet. 1”, Dina Utama Semrang: Semarang .

Anda mungkin juga menyukai