senantiasa penulis
panjatkan kehadirat Allah
SWT. yang memiliki
keistimewaan dan
pemberian segala
kenikmatan besar,
baik nikmat iman, kesehatan
dan kekuatan didalam
penyusunan makalah yang
ini. Sholawat dan salam
senantiasa tercurahkan
kepada Nabi Muhammad
SAW. Makalah yang berjudul
Hakikat Manusia Menurut
Islam dibuat sebagai
tugas mata kuliah
Pendidikan Agama Islam I
dengan dosen pengampu
Dr.
Zulfi Mubarok, MA. Makalah
ini disusun oleh Siska
Ninasari sekalu ketua
kelompok sebagai
pengonsep makalah, Hanna
Aisyah Maulidia selaku
sekteraris sebagai penulis
makalah, dan kedua anggota
yaitu Amanda Meidina
Sari dan Revina Ridha
Adinda sebagai pencari
materi yang merupakan
mahasiswa jurusan
Akuntansi fakultas Ekonomi
Universitas Widyagama
Malang.
tugas dan program manusia
itu sendiri. Dengan
dibahasnya ini
diharapkan bias membuat
kita sebagai manusia bias
memahami tujuan
penciptaan man
tugas dan program manusia
itu sendiri. Dengan
dibahasnya ini
diharapkan bias membuat
kita sebagai manusia bias
memahami tujuan
penciptaan man
-sumber hukum menurut
agama Islam
secara Ijtihad dan mengkaji
dan memahami lebih dalam
apa itu ijtihad dalam
IJTIHAD SEBAGAI SUMBER AJARAN
AGAMA ISLAM
Di Susun Oleh :
ZHARNY SAID
SRI INTAN
KATA PENGANTAR
sekali yang kita ingat. Segala puji hanya layak untuk Allah Tuhan seru sekalian alam atas
segala berkat, rahmat, taufik, serta hidayah-Nya yang tiada terkira besarnya, sehingga
pihak, karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
Meskipun penulis berharap isi dari makalah ini bebas dari kekurangan dan
kesalahan, namun selalu ada yang kurang. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik
dan saran yang membangun agar dapat lebih baik lagi. Akhir kata penulis berharap agar
Buol, 2023
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................i
DAFTAR ISI...............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...............................................................................................1
C. Tujuan Masalah..............................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan....................................................................................................12
B. Saran..................................................................................................................... 12
Daftar Pustaka..........................................................................................................14
BAB I
ii
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ijtihad merupakan upaya untuk menggali suatu hokum yang sudah ada pada
zaman Rasulullah SAW. Hingga dalam perkembangan, ijtihad dilakukan oleh para
sahabat tabi’in serta masa-masa selanjutnya hingga sekarang ini. Meskipun pada periode
tertentu apa yang kita kenal dengan masa taqlid, ijtihad tidak diperbolahkan, tetapi pada
masa periode tertentu pula (kebangkitan atau pembaharuan), ijtihad mulai di buka
kembali. Karena tidak bisa di pungkiri, adalah suatu keharusan untuk menanggapi
disebabkan dari ijtihad. Misalnya bisa dipetakan Islam kontemporer seperti Islam liberal,
fundamental, ekstrimis, moderat dll. Semuanya itu tidak lepas dari hasil ijtihad dan sudah
tentu masing-masing mujtahid berupaya utuk menemukan hokum yang terbaik. Justru
dengan ijtihad Islam, Islam menjadi luwes, dinamis, fleksibel, cocok dalam segala lapis
waktu, tempat dan kondisi. Dengan ijtihad pula, syariat Islam menjadi “tidak bisu” dalam
B. Rumusan Masalah
berikut yaitu:
C. Tujuan Masalah 1
ُ ض ا ْل َم ْق
ص ْو ِد مِنَ ا ْل ِع ْل ِم ِ َب ْذل ُ ا ْل َفقِ ْي ِه ا ْل ُم ْج َت ِه ِد َم ْج ُه ْودَ هُ فِى َن ْي ِل ا ْل َغ َر
“Mengerahkan segenap kemampuan yang dimiliki oleh seseorang yang ahli fiqh,
untuk memperoleh ilmu yang ingin dihasilkannya”.[1]
Ijtihad artinya mencurahkan segala kemampuan intelektual untuk memperoleh
hukum syara’ dari dalilnya. Ahli tahqiq mengemukakan bahwa ijtihad adalah qiyas untuk
mengeluarkan (istinbat) hukum dari kaidah-kaidah syara’ yang umum.
Adapun ijtihad dalam bidang putusan hakim (pengadilan) adalah jalan yang diikuti
hakim dalam menetapkan hukum, baik yang berhubungan dengan teks undang-undang
maupun dengan mengistinbatkan hukum yang wajib ditetapkan ketika ada nash.[2]
Pelestarian “pohon” fiqih dengan akar syari’at tidaklah mungkin dapat dilakukan
selama disana tidak ada ijtihad yang sistematis dan terus menerus, yakni sebuah ijtihad
yang mampu mengendalikan berbagai tantangan zaman. Sebagaimana yang dikatakan
oleh Dr. Wahbah al-Zuhayli (syria), ijtihad itu menghidupkan syariat. Syariat tidak akan
bisa bertahan selama fiqih ijtihad tidak hidup dan elastis, memiliki daya kerja dan daya
gerak.[3]
2. Ruang Lingkup Ijtihad
Dalam memberi batasan-batasan bagi ruang lingkup ijtihad, Al-Amidi mengatakan:
“…bidang yang dapat diijtihadi adalah hokum-hukum syara’ yang dalilnya zhanni…
b. Tingkatan-Tingkatan Ijtihad
Ijtihad itu terdiri dari beberapa tingkatan:
1) Ijtihad mutlaq
2) Ijtihad dalam satu madzhab
3) Ijtihad dalam satu macam ilmu saja
4) Ijtihad dalam beberapa masalah atau satu masalah dari satu macam ilmu.
Para mujtahid demikian pula, berbeda-beda tingkatannya sesuai tingkat ijtihadnya.
a. Ijtihad yang berdiri sendiri.
b. Ijtihad yang tidak berdiri sendiri.
Mujtahid yang berdiri sendiri ialah orang yang mandiri dalam mengetahui
ketentuan-ketentuan hokum syari’at yang bersifat furu’, dari dalildalil tanpa bertaqlid
7
atau terikat dengan madzhab tertentu. Diantar mujtahid-mujtahid mutlaq tersebut
adalah ahli-ahli fiqih dari sahabta dan tabi’in serta imam-imam yang empat.
Adapun mujtahid yang tidak mandiri, atau disebut Al-Muntashib, ialah mujtahid
yang membangun pendapat-pendapatnya di atas madzhab seorang imam tertentu
dalam berhujjah dengan sebagian dalil saja, seperti istihsan dan maslahah mursalah,
di saat mujtahid lain tidak mau menerimanya, karena dia sendiri mengikuti imam
tertentu seperti sahabat-sahabat imam empat atau yang sejalan dengan mereka dalam
hal mengkuti madzhab tertentu, padahal ia sendiri mampu mandiri dalam menetapkan
hokum-hukum yang bersifat furu’.
Adapun ijtihad yang terikat pada madzhab, tercakup di dalamnya mujtahid yang
menggali berbagai hokum dari dalil-dalilnya, berdasarkan pada kaidah-kaidah imam
madzhabnya dan dapat menampilkan berbagai kemungkinan pendapat dari beberapa
riwayat yang diterima dalam bentuk nash dan imamnya.
Mujtahid terikat mempunyai 4 kelas:
Pertama: ia tidak bertaqlid kepada imamnya dalam menentukan hokum dan
dalil, tetapi ia menempuh cara imamnya dalam berijtihad. Fatwa mujtahid seperti ini
sama dengan fatwa mujtahid mutlaq dalam sisi pengalamannya.
Kedua: mujtahid yang terikat dengan madzhab imamnya, tetapi dia mandiri
dalam menetapkan madzhabnya dengan dalil, namun dia tidak pernah melampaui
dasar-dasar dan kaidah-kaidah imamnya. Ijtihad seperti ini hanya dapat dipakai
sebagai alat untuk menunaikan fardhu kifayah tetapi tidak untuk mengembangkan
ilmu-ilmu yang dijadikan sebagai bahan suplai fatwa, karena ia telah mendudukkan
fatwanya pada kedudukan fatwa imam mutlaq dan memilah-milahnya terhadap
bolehnya taqlid kepada yang sudah tiada (wafat) dibolehkan.
Ketiga: ia memelihara madzhab serta mengetahui dalil-dalinya, tetapi dia tidak
sampai pada tingkat para mujtahid dalam madzhab. Fatwa mujtahid kelas ini dapat
diterima.
Keempat: ia bekerja memlihara madzhab, mengajarkan dan memahaminya,
tetapi ia tidak mahir dalam menetapkan dalil-dalilnya. Mujtahid seperti ini dapat
dipegang periwayatannya dan fatwanya tentang nash-nash imamnya atau rincian dari
pendapat sahabat-sahabatnya yang mujtahid dalam madzhabnya serta komentar-
komentar tambahan dari mereka. Sebab, orang yang seperti ini keadaannya, jelaslah
seorang yang alim dalam bidang fiqih.[14]
8
D. Perkembangan Ijtihad
1. Ijtihad dan Fiqih di Masa Nabi SAW
Umat Islam di masa Rasul tidak melakukan ijtihad bila menghadapi suatu
masalah yang baru, mereka mendatangi Nabi untuk bertanya. Mereka bertanya, lalu
Nabi menjawab dengan petunjuk wahyu yang diturunkan kepadanya, atau dengan
petunjuk ijtihadnya yang mendapat kebenaran dari wahyu. Mereka hnay
mempergunakan ijtihad bila mereka tak dapat bertanya. Ijtihad itu mereka sampaikan
kepada Nabi, lalu Nabi memberi putusannya.
A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa Pengertian Ijtihad adalah
mencurahkan segala kemampuan intelektual untuk memperoleh hukum syara’ dari
dalilnya.Ruang lingkup ijtihad ada dua lapangan ijtihad yaitu:
a. Sesuatu yang tidak ada nashnya sama sekali.
b. Sesuatu yang ada nashnya namun tidak qath’i.
Syarat-syarat ijtihad:
a. Benar-benar Muslim
b. Menguasai bahasa Arab
c. Mempunyai pengetahuan mengenai Al-Quran
d. Mengetahui Sunnah
e. Mengetahui segi-segi qiyas
f. Mengetahui kesepakatan-kesepakatan para ulama
g. Memahami istinbath hukum dari dalil-dalil
h. Memahami tujuan-tujuan syariat.
B. Saran
Dari penulisan makalah ini, penulis menyarankan agar sebagai seorang manusia kita
harus menjadi individu yang dapat bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Sebagai
makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup sendiri oleh karena itu kita harus saling tolong
menolong dalam kebaikan antar sesama.
Untuk kedepannya tugas dalam membuat makalah ini sangat dianjurkan untuk
dilanjutkan, karena bisa menambah wawasan manusia tentang pengetahuan Agama.12
Selain itu, makalah ini diharapkan dapat membantu pembaca untuk menggali lebih dalam
tentang Sumber Ajaran Islam (Ijtihad).
DAFTAR PUSTAKA 13
Abdul Halim ‘Uways, 1998, Fiqih Statis dan Fiqih Dinamis, Pustaka Hidayah: Bandung.
Chaerul Umam, Ahyar Aminudin, 2001, Ushu Fiqih II, CV. Pustaka Setia: Bandung.
Dr. Ibrahim Abbas Al Dzarwy, 1993,“Teori Ijtihad Dalam Hukum Islam cet. 1”, CV. Dina Utama
Semarang: Semarang .
Muhammad Sya’roni Ahmadi, Terjemah Tashilut Thuruqot, 1984
Prof. Abdul Wahhab Khallaf , 1999,“Ilmu Ushul Fiqih cet. 4“, PT. Rineka Cipta: Jakarta .
Prof. Abdul Wahhab Khallaf 1994, “Ilmu Ushul Fiqih cet. 1”, Dina Utama Semrang: Semarang .