DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 3
AMANDA SETYAWATI 231010600691
ANANDA RANGGA S 231010600597
AULIA NISA 231010600558
JIKRI APRIYANDI 231010600452
MAISA GHANIA AZWA 231010600358
RIRIN DWI RAHAYU 231010600562
JURUSAN SASTRA
INGGRIS FAKULTAS
UNIVERSITAS PAMULAN
Kata Pengantar
Segala puji kita panjatkan kepada Allah Yang Maha Esa, atas izin-Nya penulis dapat
menyelesaikan tugas makalah ini, shalawat serta salam semoga tercurah limpahkan kepada
pemimpin besar revolusi Islam sedunia, yakni Nabi Muhammad SAW. Selanjutnya judul
yang dibahas oleh penulis dalam makalah ini adalah “sumber hukum islam yang ketiga”.
Adapun tujuan penulis didalam menyusun makalah ini adalah untuk memenuhi salah
satu tugas kelompok mata kuliah Pendidikan Agama Islam, didalam proses penyelesaian
makalah ini, penulis banyak mengalami beberapa tantangan, rintangan, dan hambatan yang
dihadapi, tetapi dengan adanya dukungan dari semua pihak , alhamdulillah penulis dapat
menyelesaikan makalah ini, meskipun banyak kekurangan, oleh karena itu penulis
mengucapkan terimakasih kepada :
1. Bapak, Ibu, serta Keluarga yang telah mendorong dan mendoakan penulis
dalam mencari ilmu;
2. Robby Kharisma S.Pd.I M.Pd, selaku dosen mata kuliah Pendidikan Agama
Islam, yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing penulis dalam
menyelesaikan makalah ini;
3. Rekan-rekan dan semua pihak yang telah berpartisipasi dan membantu
penulis dalam penyusunan makalah ini.
Kemudian penulis menyadari, bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dari semua pihak untuk menyusun makalah yang lain yang lebih baik.
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR….............................................................................i
DAFTAR ISI...............................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
2.2 Kesimpulan.................................................................18
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................19
2
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar belakang
yfdyffuigugugu
ugugug
1
1.1 Rumusan Masalah
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. IJTIHAD
1. Pengertian Ijtihad
Kata ijtihad berasal dari kata “al-jahd” atau “al-juhd” yang berarti “al-
masyoqot” (kesulitan atau kesusahan) dan “athoqot” (kesanggupan dan
kemampuan) atas dasar pada firman Allah Swt dalam QS. Yunus: 9:
ِاَّن اَّلِذ ْيَن ٰا َم ُنْو ا َو َع ِم ُلوا الّٰص ِلٰح ِت َيْهِد ْيِهْم َر ُّبُهْم ِبِاْيَم اِنِهْۚم َتْج ِرْي ِم ْن َتْح ِتِهُم اَاْلْنٰه ُر ِفْي َج ّٰن ِت
الَّنِع ْيِم
Demikian juga dilihat dari kata masdar dari fiil madhi yaitu “ijtihada”,
penambahan hamzah dan ta’ pada kata “jahada” menjadi “ijtihada” pada wazan
ifta’ala, berarti usaha untuk lebih sungguh-sungguh. Seperti halnya “kasaba”
menjadi “iktasaba” berati usaha lebih kuat dan sungguh-sungguh. Dengan
demikian “ijtihada” berarti usaha keras atau pengerahan daya upaya. Ijtihad
dalam pengertian lain yaitu berusaha memaksimalkan daya dan upaya yang
dimilikinya.1 Dengan demikian, ijtihad bisa digunakan sebagai upaya untuk
menyelesaikan masalah-masalah yang menyangkut tentang hukum Islam.
Tetapi pengertian ijtihad dapat dilihat dari dua segi baik etimologi maupun
terminologi. Dalam hal ini memiliki konteks yang berbeda. Ijtihad secara etimologi
memiliki pengertian: “pengerahan segala kemampuan untuk mengerjakan sesuatu
yang sulit”. Sedangkan secara terminologi adalah “penelitian dan pemikiran
untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat pada kitabullah (syara) dan sunnah rasul
atau yang lainnya untuk memperoleh nash yang ma’qu; agar maksud dan tujuan umum
dari hikmah syariah yang terkenal dengan maslahat.
Ahli ushul fiqh menambahkan kata-kata “al-faqih” dalam definisi tersebut
sehingga definisi ijtihad adalah pencurahan seorang faqih atas semua
kemampuannya. Sehingga Imam Syaukani memberi komentar bahwa penambahan
faqih tersebut merupakan suatu keharusan. Sebab pencurahan yang dilakukan oleh
1
Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh (Jakarta: Pustaka Setia, 1999), h. 98.
3
orang yang bukan faqih tidak disebut ijtihad menurut istilah.
Pengertian lain bahwa ijtihad merupakan upaya untuk menggali suatu hukum
yang sudah ada pada zaman Rasulullah Saw. Hingga dalam perkembangannya,
ijtihad dilakukan oleh para sahabat, tabi’in serta masa- masa selanjutnya sampai
sekarang ini. Meskipun pada periode tertentu apa yang kita kenal dengan masa taklid,
ijtihad tidak diperbolehkan, tetapi pada masa periode tertentu (kebangkitan atau
pembaruan), ijtihad mulai dibuka kembali. Karena tidak dipungkiri, ijtihad adalah
suatu keharusan, untuk menanggapi tantangan kehidupan yang semakin kompleks.
Sementara Imam al-Amidi mengatakan bahwa ijtihad adalah mencurahkan
semua kemampuan untuk mencari hukum syara yang bersifat dhanni, sampai
merasa dirinya tidak mampu untuk mencari tambahan kemampuannya itu.
Sedangkan Imam al-Ghazali menjadikan batasan tersebut sebagai bagian dari
definisi al-ijtihad attaam (ijtihad sempurna).
Sedangkan Imam Syafi’i menegaskan bahwa seseorang tidak boleh
mengatakan tidak tahu terhadap permasalahan apabila ia belum melakukan dengan
sungguh-sungguh dalam mencari sumber hukum dalam permasalahan tersebut.
Demikian juga, ia tidak boleh mengatakan tahu sebelum menggali sumber hukum
dengan sungguh-sungguh. Artinya, mujtahid juga harus memiliki kemampuan
dari berbagai aspek kriteria seorang mujtahid agar hasil ijtihad-nya bisa menjadi
pedoman bagi orang banyak.
Ahli ushul fiqh menambahkan kata-kata al-faqih dalam definisi tersebut
sehingga definisi ijtihad adalah pencurahan seorang faqih akan semua
kemampuannya. Sehingga Imam Syaukani memberi komentar bahwa penambahan
faqih tersebut merupakan suatu keharusan. Sebab pencurahan yang dilakukan
oleh orang yang bukan faqih tidak disebut ijtihad menurut istilah.
Sedangkan menurut Ibrahim Husein mengidentifikasikan makna ijtihad
dengan istinbath. “Istinbath” barasal dari kata “nabath” (air yang mula-mula
memancar dari sumber yang digali). Oleh karena itu, menurut bahasa arti
“istinbath” sebagai muradif dari ijtihad, yaitu “mengeluarkan sesuatu dari
persembunyian”. Sedangkan menurut mayoritas ulama ushul fiqh, ijtihad adalah
2
B. Fungsi Ijtihad
Fungsi ijtihad sebagai sumber hukum islam dipandang sebagai sumber
2
Ibrahim Husein, Ijtihad Dalam Sorotan (Bandung: Mizan, 1991), h. 25.
4
hukum ketiga setelah al quran dan hadits. Fungsi ijtihad sebagai sumber hukum
islam adalah untuk mendapatkan sebuah solusi hukum jika ada suatu masalah
yang harus di tetapkan hukumnya, akan tetapi tidak di temukan baik di al-quran
atau hadits.
Oleh karena itu, dari segi fungsi ijtihad sebagai sumber hukum islam,
ijtihad memiliki kedudukan dan legalitas dalam islam. Walaupun dengan
demikian, ijtihad tidak dapat di lakukan oleh sembarang orang artinya hanya
orang-orang tertentu saja, yang memenuhi syarat khusus yang boleh berijtihad.
C. Syarat-Syarat Mujtahid
Para ulama berbeda pendapat dalam menetukan syarat yang harus dimiliki oleh
seorang mujtahid. Mujtahid adalah orang yang mampu melakukan ijtihad melalui
cara istinbath (mengeluarkan hukum dari sumber hukum syariat) dan tatbiq
(penerapan hukum). Di samping akan menyebutkan syarat bagi seorang mujtahid
terlebih dahulu kita harus mengetahui tentang rukun ijtihad tersebut, adapun rukun
ijtihad sebagai berikut:
a. Al-Waqi’ yaitu adanya kasus yang terjadi atau diduga akan terjadi tidak
diterangkan oleh nash,
b. Mujtahid ialah orang yang melakukan ijtihad dan mempunyai kemampuan
untuk ber-ijtihad dengan syarat-syarat tertentu,
c. Mujtahid fill ialah hukum-hukum syariah yang bersifat amali (taklifi), dalil
syara untuk menentukan suatu hukum bagi mujtahid fill.
Menurut Fakhr al-Din Muhammad bin Umar bin al-Husain al-Rozi, syarat-
syaratnya sebagai berikut:
a. Mukallaf,
b. Mengetahui makna-makna lafaz dan rahasia,
c. Mengetahui keadaan mukhattab yang merupakan sebab pertama terjadinya
perintah atau larangan,
d. Mengetahui keadaan lafaz, apakah memiliki qarinah atau tidak.
5
Sedangkan menurut Abu Ishak Bin Musa al-Syatibi, syarat-syarat mujtahid
ada tiga: pertama, memahami tujuan-tujuan syara, yaitu hifd al- din (dloruriyat), hifd al-
nafs, hifd al-`aql, hifd al-nasl, hifd al-mal hajiayt, dan tahsiniyat; kedua mampu
melakukan penetapan hukum; ketiga memahami bahasa Arab dan ilmu-ilmu yang
berhubungan dengannya.
Seseorang yang menggeluti bidang fikih tidak bisa sampai ke tingkat mujtahid
kecuali dengan memenuhi beberapa syarat, sebagian persyaratan itu ada yang telah
disepakati dan sebagian yang lain masih diperdebatkan. Adapun syarat-syarat yang
telah disepakati adalah:
a. Mengetahui al-Qur’an
Al-Qur’an adalah sumber hukum Islam primer sebagai fondasi
dasar hukum Islam. Oleh karena itu, seorang mujtahid harus mengetahui al-
Qur’an secara mendalam. Barangsiapa yang tidak mengerti al-Qur’an sudah
tentu ia tidak mengerti syariat Islam secara utuh. Mengerti al-Qur’an tidak
cukup dengan piawai membaca, tetapi juga bisa melihat bagaimana al-
Qur’an memberi cakupan terhadap ayat-ayat hukum. Misalnya al- Ghazali
memberi syarat seorang mujtahid harus tahu ayat-ayat ahkam berjumlah
sekitar 500 ayat.
b. Mengetahui Asbab al-Nuzul
Mengetahui sebab turunnya ayat termasuk dalam salah satu syarat
mengetahui al-Qur’an secara komprehensif, bukan hanya pada tataran teks
tetapi juga akan mengetahui secara sosial-psikologis. Sebab dengan
mengetahui sebab-sebab turunnya ayat akan memberi analisis yang
komprehensif untuk memahami maksud diturunkannya teks Qur’an
tersebut kepada manusia.
Imam as-Syatibi dalam bukunya al-Muwafaqat, mengatakan bahwa
mengetahui sebab turunnya ayat adalah suatu keharusan bagi orang yang
hendak memahami al-Qur’an. Pertama, suatu pembicaraan akan berbeda
pengertiannya menurut perbedaan keadaan. Kedua, tidak mengetahui sebab
turunnya ayat bisa menyeret dalam keraguan dan kesulitan dan juga bisa
membawa pada pemahaman global terhadap nash yang bersifat lahir
sehingga sering menimbulkan perselisihan.
d. Mengetahui As-Sunnah
6
Syarat mujtahid selanjutnya adalah ia harus mengetahui as-Sunnah.
Yang dimaksudkan as-Sunnah adalah ucapan, perbuatan atau ketentuan
yang diriwayatkan dari Nabi Saw.
e. Mengetahui Ilmu Diroyah Hadis
Ilmu diroyah menurut al-Ghazali adalah mengetahui riwayat dan
memisahkan hadis yang sahih dari yang rusak dan hadis yang bisa diterima dari
hadis yang ditolak. Seorang mujtahid harus mengetahui pokok-pokok hadis
dan ilmunya, mengenai ilmu tentang para perawi hadis, syarat-syarat diterima
atau sebab-sebab ditolaknya suatu hadis, tingkatan kata dalam menetapkan
adil dan cacatnya seorang perawi hadis dan hal-hal yang tercakup dalam
ilmu hadis. Kemudian mengaplikasikan pengetahuan tadi dalam
menggunakan hadis sebagai dasar hukum.
D. METODE IJTIHAD
Al-qur’an adalah sumber hukum paling utama bagi umat Islam, al-qur’an
memberikan penjelasan kepada kita terhadap fenomena dan sebagai jawaban bagi
manusia akan sesuatu yang tidak bisa ukur oleh akal dan nalar manusia. Setelah
turunnya al-quran sebagai sumber hukum Islam kemudian disusul dengan hadits
atau sunnah sebagai penjelasan dari al-qur’an.
Ijtihad berasal dari bahasa Arab yang berarti „‟mengerahkan kemampuan.„‟
Kata tersebut kemudian berkembang menjadi bahasa hukum Islam yang menunjuk
pada upaya maksimal dalam rangka memperoleh ketetapan hukum berdasarkan
sumber-sumber ajaran Islam, Alquran dan sunnah/hadis. Dengan demikian, ijtihad
merupakan sebuah metode pengambilan ketetapan hukum mengenai masalah-
masalah tertentu yang berkemabang di masyarakat, yang dilakukan dengan
mengacu pada Alquran dan sunnah atau hadis. Seperti halnya sunnah atau hadis,
ijtihad sebagai satu metode pengambilan hukum juga mengenai perkembangan
sejalan dengan persoalan-persoalan baru yang terus berkembang dikalangan
Muslim.
Pada periode Islam awal istilah ijtihad memiliki pengertian yang lebih sempit
dan khusus, yakni berarti pertimbangan yang bijaksana atau pendapat seorang ahli
atau ulama. Selama ini, cerita mengenai keputusan khalifah Umar tentang waktu
buka puasa dipahami sebagai awal mula istilah ijtihad digunakan. Umar
mengumumkan bahwa waktu berbuka telah tiba, karena matahari telah terbenam.
Namun setelah beberapa saat, ia diberi tahu bahwa matahari terlihat kembali di
ufuk barat. Berdasarkan hal ini diceritakan bahwa ia berkata : „‟ kami sudah
berijtihad (qad ijtihadna) „‟. Dengan ungkapan lain, Umar berkata bahwa ia telah
mengeluarkan satu kebijaksanaan yang didasarkan pada pertimbangan yang
rasional. Oleh karena itu dalam periode awal sejarah hukum Islam pertimbangan
pendapat pribadi ra‟y, diakui merupakan sarana utama pelaksanaan ijtihad.3
Selain itu, waktu yang terus berkembang dan zaman yang juga ikut
berkembang membuat musyawarah kegiatan ijma juga ikut berkembang.
Saat ini, untuk membuat ijma atau sumber hukum Islam yang ketiga
9
harus diikuti oleh beberapa pihak, seperti ahli ushul fiqih, para ulama,
dan orang-orang ahli ijtihad.
َو َمْن ُّيَشاِقِق الَّرُسْو َل ِم ْۢن َبْع ِد َما َتَبَّيَن َلُه اْل ُهٰد ى َو َيَّتِبْع َغ ْيَر َس ِبْي ِل اْل ُم ْؤ ِمِنْيَن ُنَو ِّل ٖه
َما َتَو ّٰل ى َو ُنْص ِلٖه َج َهَّنَۗم َو َسۤا َء ْت َمِص ْيًر ا
Artinya:
c. Kedudukan Ijma
d. JENIS IJMA
Menurut para ulama ushul fiqh, ijma terdiri dari dua jenis, yaitu ijma Al
Sukuti dan ijma Al Sarih :
a. Ijma Al Suukuti
Ijma Al Suukti adalah jenis ijma pada saat para ulama atau para ahli ijtihad
mengambil keputusan untuk diam, tetapi diamnya para ulama atau para ahli
ijtihad karena sudah setuju dengan semua pendapat yang telah disampaikan
oleh para ahli ijtihad dan ulama lainnya.
b. Ijma Al Sarih.
Ijma Al Sarih adalah jenis ijma yang di mana para ulama dan ahli ijtihad
masing-masingnya menyampaikan pendapatnya terkait dengan permasalahan
yang secara terjadi, baik itu disampaikan dengan lisan atau secara tertulis.
Pendapat yang disampaikan ini berupa setuju atau tidak terhadap pendapat
yang telah disampaikan oleh para ulama dan ijtihad lainnya.
11
Ijma Al Sarih ini memiliki sebutan yang cukup beragam, seperti ijma qauli,
ijma hakiki, ijma bayani, dan lain-lain. Oleh karena itu, ada yang menyebut
ijma Al Sarih dengan sebutan ijma hakiki atau yang lainnya. Meskipun
memiliki sebutan yang berbeda, tetapi tetap tidak mengurangi arti dari ijma
Al Sarih itu sendiri.
Itulah jenis-jenis ijma menurut ulama ushul fiqh. Selain itu, beberapa sumber
juga mengatakan bahwa selaian ijma Al Sarih dan ijma Al Suukti, masih ada
beberapa jenis ijma lainnya, seperti ijma ulama Madinah, ijma ahlul bait, ijma
ulama kufah, ijma salaby, dan ijma Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar dan
Umar). Setelah membahas jenis ijma, maka hal yang akan kita bahas
selanjutnya adlah rukun ijma.
e. Rukun Ijma
Mengutip dari laman bincangsyariah bahwa dalam kitan ‘Ilm Ushul Fiqh,
Abul Wahaf Khalaf berpendapat bahwa rukun ijma adalah suatu unsur dan
hakikat utama yang harus ada ketika melakukan ijma. Beliau juga
berpendapat bahwa rukun ijma ada 4, yaitu:
12
fatwa dalam bentuk Tindakan dengan memberikan keputusan terhadap
hukum dalam suatu pengadilan serta kedudukannya sebagai hakim.
Penyampaian pendapat bisa dalam bentuk perseorangan saja, tetapi hasilnya
secara
Contoh Ijma
Supaya lebih memahami apa itu ijma, maka kita perlu mengetahui contoh
ijma apa saja. Berikut ini contoh ijma, diantaranya:
Pengertian Qiyas
Qiyas adalah salah satu dari empat sumber hukum Islam yang
sudah disepakati oleh para ulama dan mujahid. Adapun ketiga sumber hukum
Islam lainnya, yaitu Al-Quran, Hadits, dan Ijma. Secara bahasa kata qiyas
berasal dari akar kata, qaasa-yaqishu-qiyaasan yang berarti pengukuran.
Selain itu, secara bahasa qiyas berarti sesuatu tindakan untuk mengukur suatu
hal atau peristiwa yang kemudian disamakan. Para ulama ushul fiqh
mengatakan bahwa walaupun qiyas sangat beragam, tetapi masih mempunyai
makna yang sama.
Rukun Qiyas
1. Ashl
Ashl adalah asal mula dari suatu permasalahan yang sudah ada sebelumnya
atau hukumnya sudah ada dalam bentuk ijma atau nash. Ashl juga memiliki
14
nama lain yang lebih sering dikenal dengan sebutan musyabbah bi atau
tempat mengqiyasakan.
Hukum ashl adalah hukum syara yang sudah ditetapkan oleh nash serta sudah
dikehendaki untuk melakukan penetapan terhada hukum far’u. Dengan kata
lain, hukum ashl kedudukannya harus sejal, apakah termasuk sunnah, wajib,
mubah, dan makruh.
2. Far’u
Far’u adalah cabang yang berasal dari masalah ashl (asal). Rukun far’u ini
biasanya berasal dari suatu akibat dari sebab yang sudah ada sebelumnya.
3.Illat
Jika dilihat secara bahasa, illat bisa diartikan sebagai suatu alasan dan
menjadi hukum ashl (asal) atau dapat dikatakan bahwa illat menjadi suatu
alasan bagi persyariatan hukum.
Jenis Qiyas
Qiyas dibagi menjadi 3 jenis, yaitu qiyas illat, qiyas dalalah, dan qiyas shabah
1. Qiyas Illat
Qiyas illat adalah jenis qiyas yang sudah memiliki suatu kejelasan dari kedua
persoalan yang sudah dibandingkan dan diukur. Qiyas illat terdiri dari dua
jenis, yaitu qiyas jail, qiyas khafi, dan qiyas.
2. Qiyas Dalalah
Qiyas dalalah adalah jenis qiyas yang sudah memperlihatkan kepada hukum
yang sesuai dengan dalil illat. Qiyas dalalah bisa juga diartikan sebagai jenis
qiyas yang dapat diterapkan dengan cara menghubungkan pokok dan cabang
hukum berdasarkan illat.
15
3. Qiyas Shabah
Qiyas shabah adalah qiyas yang mempertemukan antara cabang qiyas dengan
suatu pokok permasalahan yang berfungsi hanya untuk penyerupaan.
ٰٓيَاُّيَها اَّلِذ ْيَن ٰا َم ُنْٓو ا َاِط ْيُعوا َهّٰللا َو َاِط ْيُعوا الَّر ُسْو َل َو ُاوِلى اَاْلْم ِر ِم ْنُك ْۚم َفِاْن َتَناَزْع ُتْم ِفْي
َش ْي ٍء َف ُر ُّد ْو ُه ِاَلى ِهّٰللا َو الَّرُس ْو ِل ْنُتْم ُت ْؤ ِاْن ُك ِم ُن ْو َن ِباِهّٰلل َو اْلَي ْو ِم اٰاْل ِخ ِۗر ٰذ ِل َك َخ ْي ٌر
٥ ࣖ َّو َاْح َس ُن َتْأِو ْياًل
Artinya:
Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nabi
Muhammad) serta ululamri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Jika kamu
berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an)
dan Rasul (sunahnya) jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhir. Yang
demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih bagus akibatnya (di dunia dan di
akhirat).
Dalil tersebut juga dijadikan sebagai rujukan dalam melakukan atau membuat
qiyas.
Contoh Qiyas
16
E. Tujuan dan manfaat ijtihad
Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan kehidupan
modern. Sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan
diperlukan aturan-aturan turunan dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam
kehidupan beragama sehari-hari.
Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau
di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang
dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadist.
Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada
sebagaimana disebutkan dalam Al Quran atau Al Hadits itu. Namun jika
persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada
ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka umat Islam
memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka
yang mengerti dan paham Al Quran dan Al Hadist
17
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
18
Daftar Pustaka
19