Anda di halaman 1dari 28

SYARI’AH, FIKIH, DAN USHUL FIKIH

Makalah
Dianjurkan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Kelompok Pada Mata Kuliah

Pengantar Studi Islam Program Studi Ekonomi 1 Semester 1

Oleh
Kelompok 4:
EKA ALLAFTA FIRMAN
NIM 602022023005

RINA ANUGRA
NIM 602022023017

Dosen Pengampu:

Baharuddin, S.Pd,.M.Pd.

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BONE
2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah Swt. Karena atas berkah,
rahmat, dan hidayah darinya, sehingga kita dapat menyelesaikan makalah dengan
judul “syari’ah,fiqih,dan ushul fiqih” ini dengan tepat pada waktunya. Shalawat
beserta salam juga disanjungkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa
umat dari alam kebodohan kepada alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan.

Tidak lupa juga kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah turut memberikan kontribusi dalam penyusunan makalah ini. Tentunya, tidak
akan bisa maksimal jika tidak mendapat dukungan dari berbagai pihak.

Sebagai penyusun, kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan, baik


dari penyusunan maupun tata bahasa penyampaian dalam makalah ini. Oleh karena
itu, kami dengan rendah hati menerima saran dan kritik dari pendengar dan pembaca
agar kami dapat memperbaiki makalah ini.

Kami berharap semoga makalah yang kami susun ini memberikan manfaat
dan juga inspirasi bagi pendengar dan pembaca

Watampone, 15 Oktober 2023

Penyusun

Kelompok 4

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................ii
DAFTAR ISI...............................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN............................................................................................1
A. Latar belakang....................................................................................................1
B. Rumusan masalah...............................................................................................2
C. Tujuan.................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................3
A. Ijtihad................................................................................................................3
B. Am, Khass, Amr, dan Nahi..............................................................................7
1. Amm...............................................................................................................7
2. Khass.............................................................................................................11
3. Amr...............................................................................................................14
4. Nahi...............................................................................................................17
BAB III PENUTUP...................................................................................................21
A. Kesimpulan.......................................................................................................21
B. Saran.................................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................23

iii
BAB 1

PENDAHULUAN
A. Latar belakang

Ilmu Fikih adalah cabang ilmu dalam hukum Islam yang

mendalami hukum-hukum syariah dan proses pemahaman serta

aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari umat Islam. Dalam kajian ilmu

Fikih, terdapat beberapa konsep inti yang menjadi dasar dari pemahaman

dan penentuan hukum dalam Islam. Dalam makalah ini, kita akan

mengulas beberapa konsep kunci dalam ilmu Fikih, yaitu "Ijtihad,"

"Amm" (umum), "Khass" (khusus), "Amr" (perintah), dan "An Nahyi"

(larangan).

Ilmu ushul fiqh merupkan ilmu yang penting dalam bidang ilmu

agama Islam. Ilmu ini akan membantu ulama dalam bidang ulumul qur’an,

ulumul hadits, dan juga ulama fiqh untuk mendalami bidang ilmu-ilmu

tersebut. Dalam kajian ulumul qur’an dan ulumul hadits, ushul fiqh
diperlukan untuk memahami nash-nash yang ada dalam alqur’an dan

hadis. Urgensi ushul fiqh lebih diperlukan dalam bidang kajian fiqh dan

hukum Islam, terutama untuk menetapkan hukum dalam kajian fiqh

kontemporer yang memerlukan ijtihad dan tidak ditemukan dalil secara

sharih dari alqur’an dan hadis. Dalam khazanah hukum islam, diyakini

bahwa orang yang tidak memahami ushul fiqh dengan baik, tidak akan

mampu memahami hukum islam secara tepat.1

1
Agus Miswanto, ushul fiqh: metode ijtihad hukum islam (cetakan I, Maret 2019) h. iii

1
B. Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang

akan kami bahas yakni:

1. Ijtihad

2. Amm, Khass, Amr, dan Nahi

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui Ijtihad

2. Untuk mengetahui Amm, Khass, Amr, dan Nahi

BAB II

2
PEMBAHASAN

A. Ijtihad

1. Pengertian ijtihad
Kata ijtihad berakar dari kata al-juhd, yang berarti al-
thaqah (daya, kemampuan, kekuatan) atau dari kata al-jahd yang
berarti al-masyaqqah (kesulitan, kesukaran). Dari itu, ijtihad
menurut pengetian kebahasaannya bermakna “badzl al-wus‘ wa
al-majhud” (pengerahan daya dan kemampuan), atau
“pengerahan segala daya dan kemampuan dalam suatu aktivitas
dari aktivitas-aktivitas yang berat dan sukar”.
Ijtihad dalam terminologi usul fikih secara khusus dan
spesifik mengacu kepada upaya maksimal dalam mendapatkan
ketentuan syarak. Dalam hal ini, al-Syaukani memberikan
defenisi ijtihad dengan rumusan : “mengerahkan segenap
kemampuan dalam mendapatkan hukum syarak yang praktis
dengan menggunakan metode istinbath”. Atau dengan rumusan
yang lebih sempit : “upaya seseorang ahli fikih (al-faqih)
mengerahkan kemampuannya secara optimal dalam
mendapatkan suatu hukum syariat yang bersifat zhanni”.
Sedangkan pengertian ijtihad menurut istilah hukum
islam ialah mencurahkan tenaga (memeras fikiran) untuk
menemukan hukum agama (Syara‘) melalui salah satu dalil
Syara‘, dan dengan cara-cara tertentu, sebab tanpa dalil
Syara‘ dan tanpa cara-cara tertentu tersebut, maka usaha
tersebut merupakan pemikiran dengan kemauan sendiri
menemukan hukum agama (Syara‘) melalui salah satu dalil
semata-mata dan sudah barang tentu cara ini tidak disebut
ijtihad.

2. Kedudukan dan hukum ijtihad

3
Ijtihad menurut ulama ushul merupakan pokok syari’at yang

ditetapkan oleh Allah AWT dan rasul-Nya, dan dapat diketahui

melalui kitabnya, Alquran dan al-Sunnah. (Q.S. An-Nisa: 105) Ayat

ini menunjukan ketetapan ijtihad dengan jalan menetapkan hukum

melalui Alquran dan al-Sunnah. Cara seperti ini, menurut para ulama

adalah ijtihad dengan jalan qiyas, yaitu menyamakan ketentuan

hukum yang sudah ada ketetapannya di dalam nash dengan kasus

yang terjadi yang belum ada ketentuanya hukumnya dengan melihat

persamaan illat di antara keduanya.

Sementara ketentuan ijtihad dari al-Sunnah sebagaimana

yang dikutip oleh Imam Asy- Syafi’iy di dalam kitabnya Al-Risalah.

Beliau meriwayatkan dengan sanad yang berasal dari Amr bin Ash

yang mendengar dari Rasulullah saw bersabda:2

‫اذا حكم الحاكم فاجتهد فأصاب فله أجران واذا حكم فاجتهد ثم اخطأ فله اجر‬
‫واحد‬

“Apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan ijtihad di dalam

hal itu, kemudian ia benar maka ia mendapatkan dua pahala, akan

tetapi apabila ia menetapkan hukum, berijtihad dan ia salah as

mendapatkan satu pahala saja”3

Dari ayat dan hadis di atas, dapat difahami bahwa ijtihad

merupakan suatu hal yang harus dilakukan oleh seorang mujtahid

dalam setiap zaman dalam rangka untuk menjawab persoalan yang

terus berkembang. Ulama Hanabilah berpendapat bahwa tidak boleh

adanya kekosongan mujtahid dalam setiap zaman yang mana mereka


2
Agus Miswanto, ushul fiqh: metode ijtihad hukum islam (cetakan I, Maret 2019) h. 14
3
Abu Abdullah Muhammad Bin Idris Bin Al-Abbas Al-Syafii, Al-Risalah, ditahqiq oleh
Ahmad Syakir, (Mesir: Maktabah al-halabiy, 1940)

4
itu menjelaskan hukum-hukum Allah SWT. Pendapat ini juga

dikuatkan oleh Imam al-Syatibi.4

Menurut Syeikh Muhammad Khudlari Bik dalam kitabnya

Ushul Al-Fiqh, bahwa hukum ijtihad itu dapat dikelompokkan

menjadi tiga macam, yaitu:

1) Wajib ‘Ain, yaitu bagi seseorang yang ditanya tentang sesuatu

masalah dan masalah itu akan hilang sebelum hukumnya

diketahui. Atau ia sendiri mengalami suatu peristiwa yang ia

sendiri juga ingin mengetahui hukumnya.

2) Wajib kifayah, yaitu apabila seseorang ditanya tentang sesuatu

dan sesuatu itu tidak hilang sebelum diketahui hukumnya,

sedangkan selain dia masih ada mujtahid lain. Apabila seorang

mujtahid telah menyelesaikan dan menetapkan hukum sesuatu

tersebut, maka kewajiban mujtahid yang lain telah gugur. Namun

bila tak seorang pun mujtahid melakukan ijtihadnya, maka

dosalah semua mujtahid tersebut.

3) Sunnah, yaitu ijtihad terhadap suatu masalah atau peristiwa yang

belum terjadi.5

3. Ruang lingkup dan macam-macam ijtihad

1) Ruang lingkup ijtihad

Dilihat dari sisi ruang lingkupnya, ijtihad dapat dibedakan

dalam dua kategori yaitu:

A. Al-Masail Al-Furu'iyyah Al-Dhoniah yaitu masalah-masalah

yang tidak ditentukan secara pasti oleh nash Alquran dan

4
Hakim, Abdul Hamid, al-Bayan, (Jakarta: Penerbit Sa’adiyah Putra, tt), h.171.
5
Muhammad Khudlari, Ushul al-Fiqh, (Bairut-Libanon: dar al-fikr, 1988), h. 368

5
Hadist. Hukum islam tentang sesuatu yang ditunjukkan oleh

dalil dhoni atau ayat-ayat Alquran dan hadis yang statusnya

dhoni mengandung banyak penafsiran sehingga memerlukan

upaya ijtihad untuk sampainya pada ketentuan yang

meyakinkan.

B. Al-Masail Al-Fiqhiyah Al-Waqa’iyah Al-Mu’ashirah, yaitu

hukum Islam tentang sesuatu yang baru, yang sama sekali

belum ditegaskan atau disinggung oleh Alquran, hadist,

maupan Ijmak para ulama.

2) Pembagian ijtihad

Dilihat dari macamnya, menurut al-Dualibi, sebagaimana

dikatakan oleh Wahbah Al-Zuhaili, ijtihad dibedakan dalam tiga

macam:

A. Al-Ijtihad al-Bayani, yaitu menjelaskan (bayan)

hukumhukum syari`ah dari nash-nash syar`i.

B. Al-Ijtihad al-Qiyasi, yaitu meletakkan (wadl`an) hukum

hukum syari`ah untuk kejadian/peristiwa yang tidak

terdapat dalam al Qur`an dan Sunnah, dengan jalan

menggunakan qiyas atas apa yang terdapat dalam nash-nash

hukum syar`i.

C. Al-Ijtihad al-Isthishlahi, yaitu meletakkan hukumhukum

syari`ah untuk kejadian/peristiwa yang terjadi yang tidak

terdapat dalam al Qur`an dan Sunnah menggunakan ar

ra`yu yang disandarkan atas isthishlah. Maksud istislah

adalah dengan memelihara kepentingan hidup manusia

yaitu menarik manfaat dan menolak madlarat dalam

6
kehidupan manusia. Menurut Dr. Yusuf Qordhowi

mencakup tiga tingkatan:

a. Dharuriyat yaitu hal-hal yang penting yang harus

dipenuhi untuk kelangsung hidup manusia.

b. Hajjiyat yaitu hal-hal yang dibutuhkan oleh manusia

dalam hidupnya.

c. Tahsinat yaitu hal-hal pelengkap yang terdiri atas

kebisaan dan akal yang baik.

4. Syarat-syarat ijtihad

dalam kajian usul Fikih, para ulama telah menetapkan syarat-

syarat tertentu bagi seseorang yang akan melakukan ijtihad.

Menurut al-Syaukani, untuk dapat melakukan ijtihad hukum

diperlukan lima syarat. Masing-masing dalam lima persyafatan

itu akan dilihat di bawah ini:

- Pertama, mengetahui al-Kitab (al-Qur‘an) dan sunnah.

Persyaratan pertama ini disepakati oleh segenap ulama

usul Fikih. Ibn al-Hummam, salah seorang ulamah Fikih

Hanafiah, menyebutkan bahwa mengetahui al-Qur‘an

dana sunnah merupakan syarat mutlak yang harus dimiliki

oleh mujtahid. Akan tetapi, menurut al-Syaukani, cukup

bagi eorang mujtahid hanya mengetahui ayat-ayat hukum

saja. Bagi al-Syaukani, ayat-ayat hukum itu tidak perlu

dihafal oleh mujtahid, tetapi cukup jika ia mengetahui letak

ayat itu, sehingga dengan mudah ditemukannya ketika

diperlukan.

7
- Kedua, mengetahui ijmak, sehingga ia tidak

mengeluarkan fatwa yang bertentangan ijmak. Akan

tetapi, seandainya dia tidak memandang ijmak sebagai

dasar hukum, maka mengetahui ijmak ini tidak menjadi

syarat baginya untuk dapat melakukan ijtihad. Di sini, al-

Syaukini terlihat tidak secara ketat menempatkan

pengetahuan tentang ijmak sebagai syarat mutlak untuk

dapat melakukan ijtihad. Menurutnya, bagi orang yang

berkeyakinan bahwa ijmak sebagai dalil hukum, maka ia

wajib mengetahui ijmak tersebut, karena melanggar

suatu konsensus para mujtahid merupakan suatu

kekeliruan dan dosa. Kendati demikian, tidak mungkin

dipaksakan persyaratan ini pada mujtihad yang

berpendapat bahwa ijmak bukan dalil hukum.

- Ketiga, mengetahui bahasa Arab, yang

memungkinkannya menggali hukum dari al-Qur‘an dan

sunnah secara baik dan benar.Dalam hal ini menurut al-

Syaukani- seorang mujtahid harus mengetahui seluk-

beluk bahasa Arab secara sempurna, sehingga ia mampu

mengetahui makna-makna yang terkandung dalam ayat-

ayat al-Qur‘an dan sunnah Nabi saw. Secara rinci dan

mendalam: mengetahui makna lafal-lafal gharib (yang

jarang dipakai); mengetahui susunan-susunan kata yang

khas (khusus), yang memilki keistimewaan-keistimewaan

unik. Untuk mengetahui seluk-beluk kebahasan itu

diperlukan beberapa cabang ilmu, yaitu: nahwu,saraf,

8
ma‘ani dan bayan. Akan tetapi, menurutnya, pengetahuan

(kaidah-kaidah) kebahasaan itu tidak harus dihafal luar

kepala, cukup bagi seorang mujtahid mengetahui ilmu-ilmu

tersebut melalui buku-buku yang ditulis oleh para pakar di

bidang itu, sehinggah ketika ilmu-ilmu tersebut diperlukan,

maka dengan mudah diketahui tempat pengambilannya.

- Keempat, mengetahui ilmu usul fikih. Menurut al-

Syaukani, ilmu usul fikih penting diketahui oleh

seseorang mujtahid karena melalui ilmu inilah diketahui

tentang dasar-dasar dan cara-cara berijtihad. Seseorang

akan dapat memperoleh jawaban suatu masalah secara

benar apabila ia mampu menggalinya dari al-Qur‘an dan

sunnahndengan menggunakan metode dan cara yang benar

pula . Dasar dan cara itu dijelaskan secara luas di dalam ilmu

usul fikih. Bila dilihat secara cermat, terdapat tiga versi

menyangkut penempatan pengetahuan tenteng usul fikih

sebagai syarat ijtihad :

 Pertama, yang menempatkan pengetahuan tentang

usul fikih sebagai salah satu bagian dari pengetahuan

tentang al-Qur‘an dan sunnah.

 Kedua, yang tidak menempatkan usul fikih secara

umum sebagai syarat ijtihad, tetapi menempatkan

pengetahuan tentang qiyas sebagai gantinya.

 Ketiga, yang menempatkan usul fikih sebagai

syarat tersendiri dalam ijtihad. Kendati terdapat

perbedaan versi dalam menempatkan pengetahuan

9
tenteng usul fikih sebagai syarat ijtihad, segenap

ulama memandang bahwa pengetahuan tentang

usul fikhi merupakan suatu hal penting dalam

menggali hukum dari sumber-sumbernya. Karena

hanya di dalam usul fikih diajarkan tenteng cara-

cara meng-istinbath-kan hukum dari sumber-

sumbernya.Tanpa mengetahui cara meng-istinbath-

kan hukum, tidak mungkin hukum akan

ditemukan.

-Kelima, mengetahui nasikh (yang menghapuskan)

dan mansukh (yang dihapuskan). Menurut al-

Syaukani, pengetahuab tenteng nasikh dan mansukh

penting agar mujtahid tidak menerapkan suatu hukum

yang telah mansukh, baik yang terdapat dalam ayat-ayat

atau hadits-hadits.

B. Am, Khass, Amr, dan Nahi

1. Amm

1) Pengertian Am

Menurut bahasa ‘am artinya umum, merata, dan menyeluruh.

Sedangkan menurut istilah dapat kita perhatikan uraian dari para

ulama berikut ini: Abu Husain Al-Bisyri, sebagimana kutipan yang

diambil dari Muhammad Musthafa Al-Amidi, ‘Am adalah lafadz

yang menunjukkan pengertian umum yang mencakup satuansatuan

(afrad) yang terdapat dalam lafadz tanpa pembatasan jumlah

tertentu.’ Menurut Al-Syaukani pengertian ‘am yaitu, ‘Am adalah

10
suatu lafadz yang dipergunakan untuk menunjukkan suatu arti yang

dapat terwujud pada satuan-satuan banyak, tanpa batas.6

2) Bentuk lafadz ‘am

Dalam bahasa Arab bahwa ditemukan lafad-lafad yang arti

bahasanya menunjukkan makna yang bersifat umum (‘am) di

antaranya adalah sebagai berikut:

a) Lafadz ‫ كل‬dan ‫جميًعا‬, seperti firman allah swt:

‫ُك ُّل َنْفٍس َذ اِئَقُة اْلَم ْو ِت‬


“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.” (QS. Ali Imran

[3]: 185)

Penjelasan: Siapa saja yang bernyawa pasti akan mati dan apa

saja semua yang ada di muka bumi dijadikan Allah Swt. untuk

manusia.

b) Lafadz mufrad yang dima’rifatkan oleh ‫ ال‬yang menunjukkan

jenis ‫َز اِنَية‬, seperti firman allah swt berikut ini:

‫الَّز اِنَيُة َو الَّز اِني َفاْج ِلُدوا ُك َّل َو اِحٍد ِّم ْنُهَم ا ِم اَئَة َج ْلَدٍة‬
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka

deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera.”

( QS. An-Nur [24]: 2)

Penjelasan: Semua yang berzina muhshan baik perempuan

maupun laki-laki wajib di dera 100 kali.

c) Lafadz jama’ yang dima’rifatkan dengan ‫ ال‬yang menunjukkan

jenis ‫ اْلُم َتَطَّلَفة‬,seperti pada firman Allah Swt. sebagai berikut:

‫َو اْلُم َطَّلَقاُت َيَتَر َّبْص َن ِبَأنُفِس ِهَّن َثاَل َثَة ُقُروٍء‬

6
Dwi Masyitoh, Nur Kholis, fikih (XII MA, Cetakan-1, 2019) h. 150

11
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri

(menunggu) tiga kali quru'.”(QS. Al-Baqarah [2]: 228)

Penjelasan: Siapa saja yang namanya wanita apabila ditalak

suaminya wajib menunggu tiga quru’ (suci).

d) Lafadz mufrad dan jama’ yang dima’rifatkan dengan idhafah

‫ ِنْع َم َة ِهَّللا‬seperti firman Allah swt:


‫َو اْذ ُك ُروا ِنْع َم َت ِهَّللا َع َلْيُك ْم‬
“Dan ingatlah nikmat Allah padamu.” (QS. Al-Baqarah [2]:

231)

Penjelasan: Nikmat Allah Swt. di sini meliputi segala macam

nikmat.

e) Isim mausul (kata sambung) ‫ الى‬,‫ التي‬,‫ الذي‬,‫الذين‬, seperti pada

firman Allah Swt.:

‫َو اَّلِذ يَن َيْر ُم وَن اْلُم ْح َص َنِت‬


”Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-

baik.” (QS. An-Nur [24]: 4)

Penjelasan: Siapa saja yang menuduh wanita sholihah (tidak

bersalah) berbuat zina, wajib didera delapan puluh dera.

f) Isim istifham (kalimat tanya) meliputi : ‫ متى أين‬,‫ من‬,‫ ما‬seperti

pada firman Allah Swt.:

‫متى َنْص ُر ِهَّللا َأاَل ِإَّن َنْص َر ِهَّللا َقِر يٌب‬


"Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah,

Sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat. (QS. Al-

Baqarah [2]: 214) Penjelasan: Pertolongan Allah Swt. itu

bersifat umum, kapan saja dapat diberikan.

12
g) Isim nakiroh sesudah ‫ أل‬nafi, seperti pada sabda Nabi

Muhammad Saw.:

‫ِهْج َر َة َبْع َد الَفْتح‬


Tidak ada hijrah setelah penaklukan (Mekkah)

Penjelasan: Maksudnya semua orang muslim yang berpindah

dari negara orang non muslim ke negara orang muslim tidak

dinamakan hijrah.

h) Lafadz-lafadz yang meliputi: ‫ عاّم ة سائر كافة‬,‫ معاشر‬,‫ معشر‬yang

artinya semua, seperti pada sabda nabi muhammad saw:

‫َيا َم ْعَش َر الَّش َباِب َمِن اْسَتَطاَع ِم ْنُك ُم اْلَباَء َة َفْلَيَتَز َّو ْج )رواه البخاری و مسلم‬
“Hai para pemuda, barangsiapa diantara kamu mampu untuk

menikah, maka hendaklah menikah.” (HR. Bukhari dan

Muslim)

Penjelasan: Semua pemuda yang sudah mampu menikah, maka

diwajibkan segera menikah.7

3) Kaidah ‘Am

Dalam ushul fikih banyak kaidah yang berhubungan dengan

lafadz ‘am diantaranya adalah:

a) Kaidah pertama

‫الُع ُم ْو ُم ال َيَتَص َّوُر ِفي اَأْلْح َك ِم‬


Keumuman itu tidak menggambarkan suatu hukum.

Maksudnya kaidah ini lafadz ‘am itu masih global, masih

bersifat umum dan belum menunjukkan ketentuan hukum yang

jelas dan pasti.

b) Kaidah kedua

‫الَم ْفُهْو ُم َلُه ُع ُم وٌم‬


7
Dwi Masyitoh, Nur Kholis, fikih (XII MA, Cetakan-1, 2019) h. 150-152

13
Makna tersirat (mafhum) itu mempunyai bentuk umum.

Maksud kaidah ini adalah makna tersirat (mafhum) dari sebuah

kalimat menyimpan arti umum (belum jelas dan pasti).

c) Kaidah ketiga

‫الُم َخ اِط ُب َيْد ُخ ُل ِفي ُع ُم ْو ِم ِخ َطاٍب‬


Orang yang memerintahkan sesuatu maka ia termasuk di dalam

perintah tersebut.

Kaidah ini dapat dipahami bahwa hukum yang berlaku orang

yang memerintah dan juga berlaku bagi orang yang diperintah,

kecuali dalam hal ini tidak berlaku bagi Allah Swt.

d) Kaidah keempat

‫الِع ْبَر ُة ِبُع ُم وِم الَّلْفِظ اَل ِبُخ ُصوِص الَّس َبِب‬
Pelajaran diambil berdasarkan keumuman lafad bukan karena

kekhususan sebab.8

2. Khass

1) Pengertian Khass

Menurut bahasa khaash artinya tertentu. Adapun menurt

istilah ushul fikih khaash adalah Khaas adalah lafad yang dipakai

untuk satu arti yang sudah diketahui kemandiriannya. Definisi khaas

menurut Abdul Wahab Khalaf adalah Khaas adalah tiap-tiap lafad

yang dipakai untuk arti satu yang tersendiri dan terhindar dari arti

lain yang musytarak. Dari dua definisi khaash tersebut, dapat

dipahami bahwa khaash adalah lafadz atau perkataan yang

menunjukkan arti sesuatu tertentu , tidak menunjukkan arti umum.

2) Menganalisa Bentuk Lafadz Khass


8
Dwi Masyitoh, Nur Kholis, fikih (XII MA, Cetakan-1, 2019) h. 153-154

14
Dalam Al-Qur’an banyak ditemukan lafad-lafad yang

menunjukkan makna umum atau ‘am, dan juga khaash yang

bentuknya dapat diklasifikasikan menjadi empat macam, yaitu:

a) Lafadz khaash berbentuk muthlaq, yaitu lafad khash yang tidak

ditentukan dengan sesuatu.

Maksudnya adalah apabila dalam nash itu terdapat lafad yang

menunjukkan makna khaash, selama tidak terdapat dalil yang

mengalihkan dari makna hakiki ke makna lain, maka harus

diartikan sesuai dengan arti hakiki.

b) Lafadz khaash berbentuk khaash (muqayyad) yang ditentukan

dengan sesuatu.

Apabila lafadh khaash yang muthlaq itu ditemukan berada

dalam nash lain dan diterangkan secara muqayyad, sedangkan

topik dan sebab pembicaraannya sama, maka semua hukumnya

harus ikut sama.

c) Lafadz khaash berbentuk amar (perintah), Maksudnya apabila

lafadz khaash berbentuk amar atau yang mengandung arti amar,

hukumnya wajib.

d) Lafadz khaash berbentuk nahi (larangan), maksudnya adalah

jika lafadz khaash itu mengandung arti nahi, hukum yang

terkandung di dalamnya adalah haram.9

3) Hukum Lafadz Khass

Lafadz yang terdapat pada nash menunjukkan satu makna

tertentu dengan pasti selama tidak ada dalil yang mengubah

maknanya. Dengan demikian, apabila ada suatu kemungkinan arti

9
Dwi Masyitoh, Nur Kholis, fikih (XII MA, Cetakan-1, 2019) h. 155-156

15
lain yang tidak berdasar pada dalil, maka ke qathian dilalahnya tidak

terpengaruhi.

Oleh karena itu, apabila lafadz khas dikemukakan dalam

bentuk mutlaq, tanpa batasan apapun, maka lafadz itu memberi

faedah hukum secara mutlak selama tidak ada dalil yang

membatasinya. Dan bila lafadz itu dikemukakan dalam bentuk

perintah, maka ia menunjukkan berupa tuntutan kewajiban bagi

orang yang diperintahkan (ma’mur bih) selama tidak ada dalil yang

memalingkannya dari makna yang lain yang dikandungnya.

Demikian juga, jika lafadz itu dalam bentuk larangan (nahy), maka

ia menunjukkan keharaman untuk dilakukan dari perbuatan itu

selama tidak ada indikasi (qarinah) yang merubah makna itu.10

3. Amr

1) Pengertian Amr

Menurut bahasa amar artinya perintah. Sedangkan menurut

istilah amar adalah Tuntutan melakukan pekerjaan dari yang lebih

tinggi kepada yang lebih rendah (kedudukannya) Yang lebih tinggi

kedudukannya dalam hal ini adalah Allah Swt. dan yang lebih rendah

kedudukannya adalah manusia (mukallaf). Jadi amar itu adalah

perintah Allah Swt. yang harus dilakukan oleh mukallaf untuk

10
Misbahuddin, Ushul Fiqh II(UIN Alauddin, Makassar, 2015) h. 11-12

16
mengerjakannya. Perintah-perintah Allah Swt. itu terdapat dalam al-

Qur’an dan al-Hadits.11

2) Bentuk Lafadz Amr

Ada beberapa bentuk sighat amar yang dirumuskan oleh

pakar bahasa Arab sebagai lafadz yang menunjukkan perintah, di

antaranya adalah sebagai berikut:

a. Fi’il amar, atau kata kerja bentuk perintah, contoh lafadz ‫أقيموا‬

b. Fi’il mudhari’ yang didahului oleh “‫ ”ل‬amar, contoh lafad ‫َو ْلَتُك ن‬

c. Isim fi’il amar, contoh lafadz ‫عليكم أنفسكم‬

d. Masdar pengganti fi’il, contoh lafadz ‫إحساًن‬

e. Kalam khabar bermakna berita.

f. Lafadz-lafadz yang bermakna perintah 12 ‫ َو َهَب‬,‫ كتب‬,‫ َأَم ر‬,‫فرض‬

3) Kaidah Amar

Kaidah-kaidah amar yaitu ketentuan-ketentuan yang dipakai

para mujtahid dalam mengistimbatkan hukum. Ulama ushul

merumuskan kaidah-kaidah amar dalam lima bentuk, yaitu :

a) Kaidah pertama

‫َأَأْلْص ُل ِفي اَأْلْم ِر ِلْلُوُجْو ِب‬


“Pada dasarnya amar (perintah) itu menunjukkan kepada

wajib”

Maksudnya adalah jika ada dalil al-Qur’an ataupun al-Hadis

yang menunjukkan perintah wajib apabila tidak dikerjakan

perintah tersebut maka berdosa, kecuali dengan sebab ada

qarinah. Di antaranya adalah berikut:

a. Nadb artinya anjuran ( sunnah).

11
Dwi Masyitoh, Nur Kholis, fikih (XII MA, Cetakan-1, 2019) h. 131
12
Dwi Masyitoh, Nur Kholis, fikih (XII MA, Cetakan-1, 2019) h. 131-133

17
b. Irsyad artinya membimbing atau memberi petunjuk.

c. Ibahah artinya boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan.

d. Tahdid artinya mengancam, atau menghardik.

e. Taskhir artinya menghina atau merendahkan derajat.

f. Ta’jiz artinya menunjukkan kelemahan lawan bicara.

g. Taswiyah artinya penyamaan, sama antara dikerjakan dan

tidak.

h. Takdzib artinya pendustaan.

i. Talhif artinya membuat sedih atau merana.

j. Takwin artinya penciptaan.

k. Tafwidh artinya penyerahan.

l. Imtinan artinya menyebut nikmat.

m. Ikram artinya memuliakan

n. Do’a artinya berdo’a atau memohon.

b) Kaidah kedua

‫اَألْص ُل ِفي اَأْلْم ِر ال َيْقَتِض ي الِّتْك َر اَر‬


“Perintah itu pada dasarnya tidak menghendaki pengulangan

(berkali-kali mengerjakan perintah).”

Maksud kaidah ini adalah bahwa suatu perintah itu apabila

sudah dilakukan, tidak perlu diulang kembali. Contohnya dalam

mengerjakan ibadah haji wajib dikerjakan sekali seumur hidup.

Kaidah ini tidak dapat dipergunakan dalam semua kewajiban.

Dalam kaidah ini tidak dapat berdiri sendiri, namun perlu

memperhatikan adanya illat, sifat dan syarat. Maka amar

(perintah) tersebut dikerjakan harus berdasarkan illat, sifat dan

syarat.

18
c) Kaidah ketiga

‫اَألْص ُل ِفي اَأْلْم ِر اَل َيْقَتِض ي الَفْو ًرا‬


“Perintah itu pada dasarnya tidak menunjukkan kepada

kesegeraan.”

Maksud dari kaidah ini adalah, sesungguhnya perintah akan

sesuatu tidak harus segera dilakukan. Sebab melaksanakan

perintah tidak terletak pada kesegeraannya, namun berdasarkan

pada kesempurnaan dan kesiapan untuk melakukannya, tidak

dilihat dari penghususan waktu melaksanakannya.

d) Kaidah keempat

‫اَأْلْم ُر ِبالَّش ْي ٍء َأْم ٌر ِبَو َس اِئِلِه‬


“Perintah terhadap suatu perbuatan, perintah juga terhadap

perantaranya (wasilahnya)."

Maksud kaidah ini adalah bahwa hukum perantara (wasilah)

suatu yang diperintahkan berarti juga sama hukumnya. Contoh:

seseorang diperintahkan melaksanakan sholat, maka hukum

mengerjakan wasilahnya yaitu wudhu bagi seseorang tersebut

sama kedudukannya sebagai perintah.

e) Kaidah kelima

‫اَألْم ُر َبْع َد الَّني ُيِفُد اِإْل ْبَح ِة‬


“Perintah sesudah larangan berarti diperbolehkan

mengerjakan kebalikannya.”

Maksudnya adalah sesudah dilarang mengerjakan kemudian

diperintahkan mengerjakan berarti pekerjaan tersebut boleh

dikerjakan.13

13
Dwi Masyitoh, Nur Kholis, fikih (XII MA, Cetakan-1, 2019) h. 133-137

19
4. Nahi

1) Pengertian Nahi

Menurut bahasa nahi artinya larangan. Sedangkan menurut

istilah nahi adalah Tuntutan meninggalkan perbuatan dari yang lebih

tinggi kepada yang lebih rendah (kedudukannya). Yang lebih tinggi

kedudukannya dalam hal ini adalah Allah Swt. dan yang lebih rendah

adalah manusia (mukallaf). Jadi nahi itu adalah larangan Allah Swt.

yang harus ditinggalkan oleh mukallaf. Larangan-larangan Allah

Swt. itu terdapat dalam Al-Qur’an dan al-Hadis. Yang lebih tinggi

kedudukannya dalam hal ini adalah Allah Swt. dan yang lebih rendah

adalah manusia (mukallaf). Jadi nahi itu adalah larangan Allah Swt.

yang harus ditinggalkan oleh mukallaf. Larangan-larangan Allah

Swt. itu terdapat dalam Al-Qur’an dan al-Hadis.14

2) Bentuk Lafadz Nahi

Dalam bahasa Arab bentuk sighat nahi banyak macamnya, di

antaranya sebagai berikut:

a. Fi’il mudhari’ yang didahului oleh ‫ أل‬nahi.

b. Fi’il mudhari’ yang didahului ‫ أل‬nafi.

c. Lafad-lafad yang memberi pengertian haram atau perintah

meninggalkan sesuatu perbuatan.15

3) Kaidah Nahi

Kaidah yang berhubungan dengan nahi (larangan) ada empat,

yaitu sebagai berikut:

a) Kaidah pertama
14
Dwi Masyitoh, Nur Kholis, fikih (XII MA, Cetakan-1, 2019) h. 137-138
15
Dwi Masyitoh, Nur Kholis, fikih (XII MA, Cetakan-1, 2019) h. 138

20
‫اَأْلْص ُل ِفي الَّنْهِي ِللَّتْح ِر يِم‬
“Pada asalnya nahi itu menunjukkan pada haram.”

Maksud dari kaidah ini adalah apabila dalil itu isinya larangan,

maka dalil tersebut menunjukkan keharaman. Sighat (lafad) nahi

selain untuk haram, sesuai dengan qarinahnya terpakai juga

untuk beberapa makna, di antaranya sebagai berikut:

a. Karahah artinya makruh.

b. Tahqir artinya meremehkan.

c. Bayanul aqibah artinya menerangkan kiblat.

d. Irsyad artinya petunjuk.

e. Do’a artinya do’a atau memohon.

f. Ta’yis artinya membuat putus asa.

g. I’tinas artinya menentramkan.

b) Kaidah kedua

‫اَأْلْص ُل في الَّنْهي َيْقَتِض ي اْلَفَس اِد ُم ْط َلًقا‬


“Pada asalnya asalnya nahi itu akan mengakibatkan kerusakan

secara muthlaq.”

Maksud dari kaidah ini adalah bahwa larangan itu mengandung

unsur kerusakan yang muthlaq, yaitu apabila larangan dilakukan

oleh seseorang maka akan membahayakan bagi dirinya dan

orang lain.

c) Kaidah ketiga

‫اَأْلْص ُل ِفي الَّنْهي َيْقَتِض ي الِّتْك َر ا َر ُم ْط َلًقا‬


“Pada asalnya nahi itu menghendaki adanya pengulangan

sepanjang masa secara muthlaq.”

21
Maksud kaidah ini adalah bahwa suatu larangan itu bersifat

kelanjutan. Larangan itu harus ditinggalkan untuk selama-

lamanya.

d) Kaidah keempat

‫الَّنْهي َع ِن الَّش ْي ِء َأْم ًرا ِبِض ِد ه‬


“Larangan terhadap sesuatu itu berarti perintah

kebalikannya”.

Maksudnya kaidah ini ialah apabila seseorang dilarang untuk

mengerjakan, berarti berlaku perintah untuk mengerjakan

kebalikannya.16

16
Dwi Masyitoh, Nur Kholis, fikih (XII MA, Cetakan-1, 2019) h. 138-141

22
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan rumusan masalah, maka dapat ditarik kesimpulan

1. Ijtihad adalah proses penafsiran hukum Islam yang dilakukan oleh

cendekiawan agama untuk mengambil keputusan hukum dalam

situasi yang tidak diatur secara eksplisit dalam Al-Quran atau hadis.

Ijtihad adalah aspek penting dalam perkembangan hukum Islam

dan memungkinkan hukum Islam untuk tetap relevan di berbagai

konteks zaman.

2. Am (Umum) adalah prinsip dalam ushul fiqh yang mengacu pada

ketetapan hukum dalam teks-teks Islam yang bersifat umum dan

dapat diterapkan dalam berbagai konteks. Prinsip ini memberikan

ruang bagi ijtihad dalam situasi di mana hukum tidak bersifat

spesifik.

3. Khass (Khusus) adalah prinsip yang mengacu pada ketetapan yang

bersifat khusus atau terbatas dalam teks-teks Islam. Dalam kasus

ini, hukum berlaku hanya untuk situasi tertentu yang diatur oleh

teks tersebut.

4. Amr (Perintah) adalah ketentuan dalam hukum Islam yang

berfungsi sebagai perintah atau tugas yang harus dilaksanakan oleh

23
individu atau umat Muslim. Perintah ini bisa berupa tugas ibadah

atau tindakan lainnya yang harus dipatuhi.

5. Nahi (Larangan) adalah ketentuan dalam hukum Islam yang

berfungsi sebagai larangan terhadap tindakan tertentu. Larangan ini

harus dihindari oleh individu atau umat Muslim, dan melanggarnya

dapat mengakibatkan dosa.

B. Saran

Demikian makalah yang kami susun, semoga dapat memberikan


manfaat bagi penyusun khususnya penyusun dan bagi pembaca
umumnya. penyusun menyadari bahwa makalah ini jauh dari
kesempurnaan, maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran yang
membangun demi kesempurnaan makalah kami.

24
DAFTAR PUSTAKA

Agus Miswanto, ushul fiqh: metode ijtihad hukum islam (cetakan I, Maret 2019)

h. 11-20

Abu Abdullah Muhammad Bin Idris Bin Al-Abbas Al-Syafii, Al-Risalah, ditahqiq
oleh Ahmad Syakir, (Mesir: Maktabah al-halabiy, 1940)

Dwi Masyitoh, Nur Kholis, fikih (XII MA, Cetakan-1, 2019) h. 131-156

Hakim, Abdul Hamid, al-Bayan, (Jakarta: Penerbit Sa’adiyah Putra, tt), h.171.

Muhammad Khudlari, Ushul al-Fiqh, (Bairut-Libanon: dar al-fikr, 1988), h. 368

Misbahuddin, Ushul Fiqh II(UIN Alauddin, Makassar, 2015) h. 11-12

25

Anda mungkin juga menyukai