MAKALAH
Oleh:
Kelompok 8
Rosnia
NIM: 602022123121
Dosen Pemandu
Baharuddin, S.Pd.,M.Pd.
Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
Karena limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga dapat menyelesaikan
makalah ini tepat pada waktunya. Shalawat serta salam semogah tercurahkan
Kepada Nabi Muhammad SAW yang senantiasa membawa kita Kepada jalan yang
baik bagi Allah SWT.
Atas Rahmat Allah SWT kami dapat menyelesaikan dengan judul “ Sumber
Ajaran Islam (Al-Qur’an )” sebagai tugas makalah pengantar studi islam.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
A. Kesimpulan................................................................................................................... 17
B. Saran............................................................................................................................. 17
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LatarBelakang
1
al tsubt (kebnaran sumber) dan al dalalah (kandungan makna). Dan sisi al
subut al-qur’an tidak ada perbedaan pandangan dikalangan umat islam
tentang kebenaran sumbernya (qath’I tsubut) berasal dari Allah karena
sampai kepada umat islam secara mutawatir sehingga memfaedahkan yain.
Adapun tafsir merupakan ilmu syari’at yang paling agung dan tinggi
kedudukannya. Ia merupakan ilmu yang paling mulia objek pembahasannya
dan tujuannya, serta sangat dibutuhkan bagi umat islam dalam mengetahui
makna dari al-qur’an sepanjang zaman. Tanpa tafsir seorang muslim tidak
dapat menangkaap Mutiara-mutiara berharga dari ajaran ilahi yang
terkandung dalam al-qur’an.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulis
2
BAB II
PEMBAHASAN
“Adapun lamanya waktu antara permulaan turun wahyu dengan yang terakhir turun adalah 22
tahun 2 bulan 22 hari. Dalam periode tersebut Rasulullah menerima wahyu melalu iMalaikat
Jibril.”
1 Abdul Hamid, LC.,M.A.,Pengantar studi Al-Qur’an, Cetakan kedua, Kencana, Jakarta,2017, Hal
119
3
secara etimologi adalah berasal dari kata مكةdan مدينهyang artinya adalah
Kota Mekkah dan Madinah.
Hamzah Muchotob, Study Al Qur’an Komprehensif, Wonosobo,Gama
Media , 726 mendapatkan tambahanya sebelum huruf ta sehingga
menjadi مكيةdan مدنية. Perubahan bentuk ini dalam ilmu shorof dikenal
dengan mashdarshina’y. sehingga juga mengalami perubahan arti menjadi“
bersifat kemekkahan atau bersifat kemadinahan.
Dalam mendefinisikan Makki (Makkiyah) dan Madani (Madaniyah)
ada beberapa teori yang berbeda–beda. Sedikitnya ada 4 teori dalam
menentukan kreteria untuk memisahkan nama bagi ayat makiyah dan
madaniyah, yaitu:
1. Teori Geografi (Mulahadhotu Makan Annuzul) Makiyah ialah ayat–ayat
yang turun di mekah dan sekitarnya, baik sebelum atau sesudah hijrah.
Sedangkan madaniyah ialah ayat–ayat yang turun di madinah dan
sekitarnya.
2. Teori Subjektif (Mulahadhotu Mukhothobin) Makiyah adalah ayat–ayat
yang berisi khitab atau panggilan kepada penduduk makkah dengan
menggunakan kata-kata “yaa ayyuhan nassu” dan lain–lain. Sedangkan
madaiyah adalah ayat-ayat yang berisi panggilan kepada orang–orang
madinah dengan menggunakan kata-kata “yaa ayyuhalladzi naamanu”.
3. Teori Historis (Mulahadhotu Zaman Annuzul) Makiyah adalah ayat-ayat
Al-Qur’an yang diturunkan sebelum hijrah Nabi Muhammad SAW ke
madinah, meskipun turunnya ayat diluar kota makkah. Sedangkan
madaniyah adalah ayat–ayat Al-Qur’an yang turun setelah hijrahnya
Nabi Muhammad SAW ke Madinah Meskipun turunya di makkah dan
sekirarnya.
4. Teori Content Analysis (Mulahadhotu Maa Tadhomananna) Makkiyah
adalah ayat-ayat yang berisi cerita–cerita umat dan para nabi atau rasul
4
dahulu. Sedangkan madaniyah adalah ayat-ayat yang berisi hukum
hudud, faraid, dan sebagainya
2 Ibrahim Muhammad Safi’i, Bashair Al Jinaan Fii Ulum Al Qur’an, (Kuliah Dirasah Islamiyah
Universitas Al Azhar), 230.
5
Cara pertama, didasarkan pada riwayat shahih para Shahabat. Karena
mereka hidup di sekeliling nabi, sehingga mengetahui saat turunnya wahyu.
Sebagian besar penetuan Makkiyah dan Madaniyah melalui metode
pertama ini. Qadhi Abu bakar Ibn Thayyib dalam AlIntishar menegaskan,
“pengetahuan tentang surah Makki dan Madani mengacu pada hafalan para
Shahabat dan Tabi’in. Tidak satu keterangan pun yang datang dari nabi
mengenai hal itu, sebab Ia tidak diperintahkan untuk itu, dan Allah tidak
menjadikan ilmu pengetahuan mengenai sejarah naskh dan mansukh itu
wajib bagi ahli ilmu, tetapi pengetahuan tersebut.
Cara kedua, dengan menggunakan cara analogi atau qiyas.Apabila
dalam surah Makkiyah terdapat satu ayat yang mengandung sifat
Madaniyah atau suatu peristiwa Madaniyah, maka dikatakan bahwa ayat itu
Madani. Begitu juga sebaliknya, Jika dalam surah Madaniyah terdapat suatu
kandungan sifat Makkiyah atau berkenaan dengan peristiwa Makkiyah,
Maka dikatakan sebagai surah Makkiyah. Inilah yang disebut qiyas ijtihad.
Berkaitan dengan qiyas ijtihadi, para Ulama’ mengatakan ‘Setiap surah
yang didalamnya mengandung kisah-kisah nabi danUmat terdahulu, maka
surah itu adalah surah makkiyah. Adapun surah yang didalamnya terdapat
kewajiban dan ketentuan, maka surah itu merupakan surah Madaniyah.
Karena itu Ja’bari mengatakan, untuk mengetahui surah itu Makkiyah atau
Madaniyah, ada dua cara :Sima’i dan qiyasi. Jadi dapat dipastikan, para
Ulama’ selalu memiliki pola dasar yang dijadikan pijakan untuk menentukan
semua ilmu termasuk Makkiyah dan Madaniyah. Tampaknya baru dua dasar
yang dipakai dalam penentuan Makkiyah dan Madaniyah. Yaitu Sima’i yang
bersandar pada pendengaran riwayatriwayat para Shahabat dan Tabiin, dan
Qiyasi yang bersandar pada pola penalaran yang lurus berdasarkan logika
yang sehat.3
6
Ciri-Ciri dan perbedaan Makkiyah dan Madaniyah
Untuk mengetahui kekhususan dari surah-surah Makkiyah dan
Madaniyah, keduanya memilik iciri-ciri sebagai berikut :
a. Ciri-ciri Makkiyah berdasarkan Uslubnya
• Setiap surah yang di dalamnya mengandung“ Sajdah” kecuali Surah
Al Hajj
• Setiap surah yang mengandung lafadz“ ” كالDi dalam Al Qur’an di
sebut kan sebanyak 33 x dalam 15 Surah.
• Setiap surah yang mengandung lafadz “ ” ياايهاالناسkecuali Surah Al
hajj
• Setiap surah yang mengandung kisah para nabi dan umat terdahulu
• Setiap surah yang mengandung kisah Nabi Adam dan Iblis kecuali QS.
Al Baqoroh
ٓ
• Setiap surah yang diawali dengan huruf – huruf muqotho’ah ( الم, )ق
b. Adapun dari segi tema adalah bahwasanya surah surah Makkiyah
memiliki kandungan tema sebagai berikut :
• Ajaka kepada tauhid dan beribadah hanya kepada Allah Swt.
• dasar-dasar umum bagi perundang undangan dan akhlak mulia yang
menjadi dasar terbentuknya suatu masyarakat.
• Menyebutkan kisah Nabi dan umat terdahulu sebagai pelajaran bagi
mereka sehingga mengetahui nasib orang yang mendustakan
sebelum mereka
• Suku katanya pendek –pendek serta disertai kata kata yang
mengesankan sekali, pernyataannya singkat, di telinga terasa
menembus dan terdengar sangat
• keras, menggetarkan hati dan maknanya pun meyakinkan dengan
diperkuat oleh lafallafal sumpah anNaml, al-Qashas, al-‘Ankabut, ar-
7
Rum, Luqman, as-Sajdah, Yasin, Shad, al-Mu’min, Fush-shilat/Hamim
as- Dalam al-Qur’an terdapat 29 surat yang diawali dengan al-
ahrufalmuqatha’ah yaitu: al-Baqarah, Ali Imran, al-An’am, Yunus,
Hud, Yusuf, ar-Ra’d, Ibrahim, al-Hijr, Maryam, Thaha, as-Syu’ara,
Sajdah, as-Syura, az Zukhruf, ad-Dukhan, al-Jatsiyah, al-Ahqaf, Qaf,
dan al-Qalam.
Ciri-ciri Madaniyah surah Madaniyah berdasarkan ushlubnya adalah
sebagai berikut :
1) Setiap surah berisi kewajiban atau had (Sanksi)
2) Setiap surah yang didalamnya disebutkan orang-orang munafik,
kecuali (QS. Al Ankabut)
3) Setiap surah yang didalamnya terdapat dialog dengan ahli kitab.
c. Ciri-ciri surah Madaniyah berdasarkan tema adalah sebagai berikut :
1) Menjelaskan tentang ibadah, muamalah, had, kekeluargaan,
warisan, jihad, hubungan sosial, hubungan internasional, baik di
waktu damai maupun perang.
2) Seruan terhadap ahli kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani, dan
ajakan kepada mereka untuk masuk Islam, penjelasan mengenai
penyimpangan penyimpangan terhadap kitab-kitab Allah Swt.
3) Menjelaskan tentang perilaku orang munafik, menganalisis
kejiwaan dan membuka kedok mereka dan menjelaskan
bahwasanya ia berbahaya bagi agama.
4) Suku kata dan ayat-ayatnya panjang-panjang dan dengan gaya
bahasa yang memantapkan syariat serta menjelaskan tujuan dan
sasarannya.
Diantara surah-surah yang tergolong surah madaniyah adalah
sebagai berikut :
8
(1)Al-Baqarah,(2) Ali Imran, (3) An-Nisaa’,(4) Al-Maa`idah, (5)
AlAnfaal, (6) At-Taubah, (7) An-Nuur, (8) Al-Ahzaab,(9)
Muhammad,(10) Al-Fat-h.
Secara Bahasa yang dimaksud dengan qath’ia dalah putus, pasti, atau
diam. Qath’I dan Zhanni merupakan salah satu bahasan yang cukup rumit di
kalangan Ushuliyun atau ulama ahli ushul fiqih Ketika mereka berhadapan
dengan kekuatan suatu hukum (hujjahsuatudalil) atau sumber suatu dalil.
Menurut Muhammad Hasim Kamali ,Qath’I secara etimologi bermakna yang
definitive (pasti). Sedangkan Zhanni bermakna yang spekulatif (sangkaan).
Menurut Abdul Wahab Khallaf ,qath’Ia dalah sesuatu yang menunjukan
kepada makna tertentu dari suatu teks (ayat atau hadits). Qath’I tidak
mengandung kemungkin anta’wil serta tidak dapat memaknai selain makna
dari teks tersebut.
Sepertifirman Allah SWT:
9
B. Pandangan Para Ulama Tentang Konsep Qath’I Dan Zhanni
Dalam konsep qath’i dan zhanni ini, pandangan ulama dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu kelompok ushuliyyūn klasik dan pemikir
kentemporer. Konsep qath’i dan zhanni dalam fikih dan Ushul fikih berlaku
dalam kaitannya dengan kemungkinan adanya perubahan ijtihad dalam
suatu kasus hukum tertentu. Qath’i dan zhanni dalam Ushul fikih digunakan
untuk menjelaskan teks sumber hukum Islam, baik itu Qur‟an maupun al
Hadits dalam dua hal, yaitu al tsubūt (eksistensi) atau al-wurūd (kedatangan
kebenaran sumber), dan al dalalah (interpretasi). Menurut Safi Hasan Abu
Talib yang dimaksud dengan qath’i al-wurūd atau al-tsubūt adalah nash-nash
yang sampai kepada kita secara pasti, tidak diragukan lagi karena diterima
secara mutawatir.
Dalam ha ini, Alquran dari segi keberadaannya adalah qath’i al-wurūd
atau altsubūt karena Alquran itu sampai kepada kita dengan cara mutawatir
yang tidak diragukan keberadaannya. Sedangkan zhanni al-wurūd atau al-
ṣubūt adalah nashnash yang akan dijadikan sebagai dalil, kepastiannya tidak
sampai ketingkat qath’i. Safi Hasan Abu Talib mengatakan zhanni al-wurūd
atau al-ṣubūt adalah nash-nash yang masih diperdebatkan tentang
keberadaannya karena tidak dinukil secara mutawātir.
Qath`i al-Dalalah
Al-Qur’an dari sisi al-tsubut-nya adalah qath’i. Pengingkaran qathi’
altsubut-nya al-Qur’an akan membawa sejumlah konsekuensi teologis.
Namun demikian, dari sisi al-dalalah, ayat al-Qu’an ada yang qath’i dan ada
pula yang zhanni. Berkenaan dengan hal ini, Abdul Wahhab Khallaf
berpendapat bahwa nash al-Qur’an dan Hadis yang bersifat qath’i al-dalalah
adalah nash yang menunjuk pada makna tertentu yang tidak mengandung
kemungkinan untuk dita’wil (dipalingkan dari makna asalnya) dan tidak ada
celah atau peluang untuk memahaminya selain makna tersebut.
10
Dari sisi al-dalālah (interpretasi), jika suatu ayat Qur‟an atau teks al
Hadits hanya mengandung satu makna yang jelas dan tidak membuka
kemungkinan interpretasi lain, ia disebut sebagai teks yang qath’i al-dalālah.
Abu Zahrah dalam bukunya Ushūl al-fiqh mengatakan qath’i al-dalālah
adalah lafaz nash yang menunjukkan kepada pengertian yang jelas, tegas
serta tidak perlu lagi penjelasan lebih lanjut. Wahbah al Zuhaily mengatakan
dalālah qath’i adalah lafaz yang terdapat dalam Qur‟an yang dapat dipahami
dengan jelas dan mengandung makna tunggal.
Asy-Syathibi dalam kitabnya al-muwafaqat menyatakan bahwa dalil
qath`I adalah suatu dalil yang asal-usul historisnya (al-wurud), penunjukkan
kepada makna (al-dalalah) atau kekuatan argumentative maknanya itu
sendiri (al-hujjiyah) bersifat pasti dan meyakinkan. Lebih lanjut Asy-Syathibi
menyatakan dalam kitabnya al-muwafaqat, sebagaimana dikutip M. Quraish
Shihab, tidak ada atau jarang sekali ditemukan sesuatu yang bersifat qath`I
dalam dalil-dalil syara`, jika pandangan hanya ditujukan kepada teks secara
berdiri sendiri. Ini karena untuk menarik kesimpulan yang pasti dibutuhkan
premis-premis (muqaddimat) yang tentunya harus bersifat pasti pula,
sedangkan hal yang demikian tidak mudah ditemukan. Kenyataan
menunjukkan bahwa muqaddimat itu kesemuanya atau Sebagian besar
darinya, tidak bersifat pasti, sedangkan sesuatu yang bersandar pada yang
tidak bersifat pasti, tentulah tidak pasti pula.
Zhanni al-Dalalah
Berbeda dengan qath`i al-dalalah, sesuatu yang pasti dan meyakinkan
sehingga tidak ada lagi kemungkinan lain, zhanni al-dalalah adalah yang
masih mengandung dua atau lebih kemungkinan.Asy-Syathibi mendefinisakn
zhanni al-dalalah adalah suatu dalil yang asal usul historisnya (al-wurud),
penunjukkan kepada maknanya (al-dalalah), atau kekuatan argumentatif
maknanya itu sendiri (al-hujjiyah) diduga kuat sebagai benar, seperti
11
keputusan hakim yang didasarkan atas keterangan para saksi yang tidak
mustahil melakukan kekeliruan.
Dalam Qur‟an maupun Hadis yang dikategorikan kepada qath’i al-
dalālah adalah lafaz dan susunan kata-katanya menyebutkan angka, jumlah,
bilangan tertentu, sifat atau nama dan jenis. Misalnya, tentang pembagian
warisan, hudūd, kaffārat, dan lain-lainSelanjutnya asy-Syathibi membagi
zhanni al-dalalah menjadi tiga, yaitu; pertama, zhanni al-dalalah yang
dinaungi oleh suatu prinsip universal yang qath' i(ashl qath'i). Dalil ini tidak
diragukan lagi keabsahannya. Kedua, zhanni aldalalah yang bertentangan
dengan suatu prinsip yang qath’i. Dalil ini secara umum ditolak, karena
segala yang bertentangan dengan dasar-dasar syari’ah adalah tidak sah dan
tidak dapat dipegangi Dan ketiga, zhanni al-dalalah yang Sebagai contoh
hadis; رضار وال رضر الHadits ini adalah dzanni karena keshahihan asalusul
historisnya (al-wurud) tidak mencapai derajat mutawatir, akan tetapi hadits
ini dinaungi oleh prinsip universal (syari’ah), yaitu segala yang merugikan
(madharat) dihindari Prinsip ini.
Sementara zhanni al dalālah, baik Qur‟an maupun Hadis adalah teks
atau lafal yang membuka kemungkinan lebih dari satu makna. Abdul Wahab
al Khalaf mengatakan zhanni al-dalālah adalah lafaz yang menunjukkan
suatu makna, tetapi makna itu mengandung kemungkinan sehingga dapat
ditakwil dan dipalingkan dari makna itu kepada makna lain.4 Menurut Safi
Hasan, nash-nash yang dikategorikan zhanni al-dalālah adalah lafaz-lafaz
yang diungkapkan dalam bentuk umum atau ‘amm, musytarak dan muṭlaq.
Ketiga bentuk lafaz ini menurut kaidah ushūliyah mengandung makna atau
pengertian yang banyak dan tidak tegas.
Didukung dalil sejumlah dalil juz’I atau kasus-kasus detail, seperti
larangan bertindak merugikan dan berbuat madharat terhadap istri (Q.,s. at-
Thalaq, (65): 6), terhadap mantan istri yang dirujuk (Q.,s. al-Baqarah (20:
12
233), larangan bertindak merugikan dalam penulisan dan pemberian saksi
hutang-piutang (Q.,s. al-Baqarah (2): 282), dan larangan agar ibu dan ayah
jangan sampai menderita karena anaknya (Q.,s. al-Baqarah (20: 233). Dalili-
dalil tersebut memperkuat dan menaungi hadis dzanni tersebut..
Sebagai contoh adalah pertimbangan mashlahah oleh beberapa
ulama untuk memberi fatwa seorang raja yang menggauli istrinya di siang
hari pada bulan Ramadlan, bahwa hukumnya adalah membayar kifarat
berupa puasa 2 (dua) bulan berturut-turut. Sebenarnya menurut hadis
Rasulullah, hukuman tersebut, yaitu orang yang menggauli istrinya di siang
hari di bulan Ramadhan harus membayar kifarat berupa; membebaskan
budak, jika tidak ada budak, maka berpuasa 2 (dua) bulan berturut-turut,
dan jika tidak mampu maka memberi makan 60 (enam puluh) orang miskin.
Para ulama mempertimbangkan kemashlahatan, yaitu tujuan hukuman yang
dimaksud adalah untuk mencegah seseorang agar jangan mengulangi
perbuatannya.
Menurut para ulama tersebut, apa bila seorang raja dihukum dengan
kifarat membebaskan budak, hal itu tidak memenuhi tujuan hukuman, yaitu
mencegah pengulangan perbuatan, sebab raja itu kaya dan berapapun harga
budak dapat dibelinya, untuk kemudian dibebaskannya. Oleh karena itu,
demi kemashlahatan raja tersebut diberi hukuman kifarat puasa 2 (dua)
bulan berturut-turut agar dia merasa jera dan tidak mengulangi
perbuatannya karena puasa 2 (dua) bulan berturut-turut adalah berat.
Cara berargumentasi (istidlal) demikian, menurut al-Ghazali, adalah
bathal, karena tidak bertentangan dengan suatu prinsip yang qath’i, tetapi
tidak pula dinaungi oleh suatu prinsip yang qath’i. Menurut ay-Syatibi, dalil
ini dapat diterima atas dasar bahwa pada dasarnya segala yang berada pada
tingkat zhanni dalamsyari’ah dapat diterima.
13
CONTOH AYAT-AYAT QATH`I DAN ZHANNI
1. Contoh Ayat-ayat Qath`i
a. Ayat tentang perintah mendirikan shalat;
Ayat ini belum pasti menunjuk kewajiban shalat dan belum pasti juga
yang dimaksud dengan shalat adalah kegiatan yang dimulai dengan
takbir dan diakhiri dengan salam, karena shalat menurut Bahasa
adalah do’a. Namun demikian, menurut M. Quraish Shihab, melalui
beberapa argumentasilain, dapat dipastikan bahwa yang dimaksud
dengan perintah shalat di sini adalah wajib dan bahwa ia adalah shalat
lima kali sehari. Argumentasi itu antara lain, dikuatkan oleh sikap
Rasulullah dan sahabat-sahabat beliau yang tidak pernah
meninggalkannya, walaupun dalam keadaan kritis atau perang.Beliau
juga menegaskanbahwa ‘perbedaan antara muslim dan kafir aalah
shalat’, dan masih banyak agidalil-dalillainnya. Setelah adanya
berbagai argumentasi yang menguatkan itu, barulah dinyatakan bahwa
maknaaya tersebut adalah qathi.
b. Q.s. An-Nisa (4): 12;
14
suami dalam mewarisi harta peninggalan istrinya yang meninggal
dengan tanpa ada anak adalah setengah dari harta peninggalannya.
ُ َ َ ََ ُ َ َ ُ َ َّ َ ۡ
َوٱل ُمطلق َٰ ت َي َتَّب ۡص َن ِبأنف ِس ِه َّن ثل َٰ ثة ق ُر ٓوء
Ayat tersebut tidak bersifat qath’i, tetapi zhanni, karena kata quru`
pada ayat tersebu tdapat berarti suci dan dapat juga berartihaid. Tidak
dapat dipastikan yang mana yang dimaksud, karena tidak terhimpun
argumentasi yang cukup yang mendukung salah satu ulama.
b. Qs. Al-Maidah (5): 3;
َّ ُ َ ۡ ُ َ ۡ
.... ُح ِّر َمت َعل ۡيك ُم ٱل َم ۡيتة َوٱلد ُم
Artinya; “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah…”
15
dimaksud ganda atau lafadz ‘Am seperti itu maka disebut zhanni
dalalahnya. Hal ini disebabkan karena lafadz tersebut mempunyai
suatu arti tetapi juga mungkin berarti lain.
c. Q.s al-Maidah (5): 38;
ِۗ َّ َ ِّ َ َّ ُ َ َّ َ ُ َ ۡ َ ُ ٓ ْ َ ۡ َ ُ َ َ َ ٓ َ َۢ َ َ َ َ َ َ َٰ ا
ُ َّ ٱّلل َو
ٞ ٱّلل َعز ٌيز َحك
يم ِ ِ ِ وٱلس ِارق وٱلس ِارقة فٱقطعوا أي ِديهما جزاء ِبما كسبا نك ٗل من
Artinya; “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,
potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang
mereka kerjakan”.
16
terjemahan yang dibuat oleh para Orientalis membuat banyak perbedaan
di antara para ulama dalam menyikapi penerjemahan al-Qur’an di
berbagai wilayah. Penolakan terhadap penerjemahan al-Qur’an juga
sempat ada di Indonesia. Tapi, meskipun sempat ditolak, pada akhirnya
penerjemahan al-Qur’an di Indonesia tetap berlangsung hingga sekarang.
Proses penerjemahan itu sendiri memiliki berbagai dimensi mulai dari
keterlibatan sastra dan penggunaan bahasa daerah dalam
menerjemahkan al-Qur’an.6
Kata terjemahdapatdipergunakan pada dua arti
a) Terjemah Makna wiyyah atau Tafsiriyyah, yaitu menjelaskan makna
atau kalimat pembicara dengan bahasa lain tanpa terikat dengan
kata-kata bahasa yang menarik asal atau memperhatikan susunan
kalimatnya, melainkan oleh makna dan tujuan aslinya.
b) Terjemah Harfiyyah, yaitu mengalihkan lafadz-lafadz dari satu Bahasa
kedalam lafadz-lafadz yang seru pada bahasa lain sedemikian rupa
sehingga susunan dan tata Bahasa kedua sesuai dengan susunan
dan tatanan Bahasa pertama.
2. Tafsir
Kata tafsir diambil dari kata fassara-yufassiru-tafsiran yang berarti
keterangan atau deskripsi. Al-jurjani berpendapat bahwa kata tafsir
secara etimologi adalah Al-kasfwal Al-izhhar yang artinya menyingkap
(membuka) dan melahirkan. Pada dasarnya, pengertian tafsir
berdasarkan Bahasa tidak akan lepas dari kandungan makna Al-idhah
(menjelaskan), Al-bayan (menerangkan), Al-kasf (mengungkapkan), Al-
izhar (menampakkan), dan Al-ibanah (menjelaskan). Kata tafsir dalam al-
qur'an dibuat pada satu surat dan hanya dan hanya terdapat dalam satu
ayat, diamana kata tersebut dalam ayat itu artinya al-'idlah atau al- bayan
(penjelasan). ayat yang dimaksud adalah yang artinya:
17
ِ “Tidaklah (orang-orang kafir itu ) datang kepadamu ( membawa )
sesuatu yang ganjil, melainkan kami datangkan kepada mu sesuatu yang
benar dan yang paling baik penjelasanya.” (QS: Al Furqon: 33)
7 Buku Pusat Studi Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), Cet.ke-
3,h. 1119
18
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
B. Saran
19
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. H.Amproeni Djarat, M. (2017). Ulmul Qur'an Pengantar ilmu ilmu Al Qur'an.
Depok.
Tim penyusun kamus Depdikbud. (1983). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta.
Abdul Wahhab Khallaf, Abdul Wahhab, Ilmu Ushul al-Fiqh, Kuwait:Dar alFikr 1341 H
20