Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Asbabun Nuzul.
Dosen Pembimbing:
Putri naziah
Sumatera Utara
2022
KATA PENGANTAR
Segala puji kepada Allah SWT yang telah memberikan banyak nikmat, diantaranya
nikmat Iman, Islam, dan kesehatan serta kesempatan sehingga pemakalah dapat menyelesaikan
makalah ini, tepat pada waktunya.
Tidak lupa shawalat berangkaikan salam kita hadiahkan kepada junjungan alam buah hati
siti aminah putra Abdullah Nabi besar Muhammad Shallallahu „alaihi wa sallam.
Terimakasih kami kepada Al- Ustadz Sulaiman Muhammad Amir Selaku Dosen
pembimbing mata kuliah Asbabun Nuzul yang telah memberikan kami kesempatan untuk
memaparkan materi ini serta telah membimbing kami dalam menyelesaikan makalah ini tepat pada
waktunya, dan juga kami ucapkan terimakasih pada semua pihak yang telah ikut berperan dalam
penyusunan makalah ini.
Dalam penyusunan makalah ini kami menyadari banyak terdapat kesalahan. Oleh karena itu
dengan tangan terbuka sangat mengharapkan untuk memberikan masukan berupa kritik sehat dan
saran kontruktif yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
ii
DAFTAR ISI
BAB I……………………………………………………………… 1
PENDAHULUAN………………………………………………… 1
Latar Belakang…………………………………………………….. 1
Rumusan Masalah…………………………………………………. 2
BAB II…………………………………………………………….. 3
PEMBAHASAN……………………………………………….…. 3
Madaniyah ……………………………………………………..4
Pengertian makiah………………………...…….……………… 5
Aneka Riwayat………...………………...….…………………….... 10
Pandangan Ulama…………………..……………………………… 12
BAB III……………..……………………………………………….13
Kesimpulan …………………………………………………...…….13
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………….14
BAB I
PENDAHULUAN
1
antara laki-laki dan perempuan dan kebebasan penuh untuk memilih dalam beragama dan
keimanan, prinsipnya adalah ‘ishmah’, kebebasan untuk memilih tanpa ancaman atau
bayangan kekerasan dan paksaan apapun. Sedangkan pesan Madinah adalah kompromi
praktis dan realistis, ketika tingkat tertinggi dari pesan Makkah tidak dapat diterima oleh
masyarakat-sejarah abad VII M. Oleh karena itu, kalau ayatayat yang turun dalam periode
Makkah dapat disebut sebagai (menurut istilah AnNa’im) ayat-ayat “universal-
egalitariandemokratis”, maka ayat-ayat Madinah dapatlah dinamai ayat-ayat
“sektariandiskriminatif”.
Hijrah menandai tidak saja perubahan dramatik dalam pertumbuhan jumlah umat
Islam dan pembentukan masyarakat politik atau negara Islam pertama di Madinah;
melainkan juga peralihan yang signifikan dalam materi pokok dan isi misi Nabi. Secara
umum disepakati bahwa selama periode Makkah al-Qur’an lebih banyak berisi tentang
ajaran agama dan moral, tidak menyatakan norma-norma politik dan hukum secara khusus,
yang baru dikembangkan pada periode Madinah. Penjelasan tentang perubahan ini adalah
karena pada periode Madinah ini al-Qur’an harus memberikan respon terhadap kebutuhan
sosial-politik yang konkrit dalam suatu komunitas yang dibangun.
B. Rumusan Masalah
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Makkiyah
Makkiyah adalah ayat-ayat yang turun sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah. Surah-
surah Makiyyah turun selama 12 tahun, 5 bulan, 13 hari, dimulai pada 17
Ramadhan, saat Nabi berusia 40 tahun. Untuk ayat-ayat yang turun setelah Rasulullah
SAW hijrah ke Madinah pengertian Makkiyah adalah ayat yang turun sebelum
Rasulullah SAW hijrah meskipun ayat tersebut turun di luar kota Makah, semisal di Mina, Arafah
atau Hudaibiyah dan lainnya. Sedangkan pengertian Madaniyah adalah ayat yang turun sesudah
Rasulullah SAW hijrah, meskipun ayat tersebut diturunkan di Badar, Uhud, Arafah atau
Makah.pengertian Makkiyah adalah ayat yang berisi pangilan kepada penduduk Mekkah dengan
panggilan “wahai manusia”, “wahai orangorang yang ingkar”, “wahai anak adam”. Sedangkan
pengertian Madaniyah adalah ayat yang berisi panggilan kepada penduduk Madinah dengan
panggilan “wahai orangorang yang beriman”. Ada tiga peninjauan pemaknaan makiyah dan
madaniyah;
5. Jika didahului dengan panggilan: Yâ Ayyuhâ an-Nâs (wahai manusia) atau Yâ Banî Adam
(wahai anak Adam)
3
B pengertian madiyah
Madaniyah adalah istilah yang diberikan kepada ayat Al Qur'an yang diturunkan di
Madinah atau diturunkan setelah Rasulullah SAW hijrah ke Madinah. Sebuah surat dapat terdiri
atas ayat-ayat yang diturunkan di Madinah secara keseluruhan namun bisa juga sebagian
diturunkan di Mekkah.
rasal dari kata Mekkah. Sedangkan Madaniyah (al-madaniyah) berasal dari Madinnah.
Secara harfiah, Makkiyah berarti surat atau ayat yang diturunkan di Mekkah. Sedangkan,
Madaniyah adalah surat atau ayatyangditurunkandiMadinah.
Para ulama sebagaimana dijelaskan Jalaludin as-Suyuthi dalam bukunya Mengenal Surat
Makkiyah dan Madaniyah, mendefinisikan al-Madani ke dalam tiga istilah. Pertama, alMadani
adalah ayat atau surat yang diturunkan setelah hijrah, baik yang turun di Mekkah atau di Madinah,
turun pada tahun futuh Makkah atau tahun terjadinya Haji
Wada', atau dalam salah satu berpergian Nabi SAW.
Kedua, al-Madani adalah sesuatu yang diturunkan di Madinah. Berdasarkan definisi ini, ada
posisi ayat atau surat yang berada di tengah. Artinya, apa yang diturunkan pada Nabi SAW saat
bepergian di luar Mekkah dan Madinah maka tidak dapat disebut surat Makki atau Madani.
Ketiga, al-Madani adalah sesuatu (ayat atau surat) yang ditujukan untuk penduduk
Madinah. Al-Qadhi Abu Bakar dalam kitabnya al-Intishar mengatakan, untuk mengetahui al-
Makki dan al-Madani dikembalikan pada hafalan sahabat dan tabiin. Tidak ada suatu perkataan
dari Nabi SAW tentang hal tersebut.
Makky adalah ayat – ayat Al – Qur’an yang diturunkan di kota Mekkah dan sekitarnya.
Sedangkan Madany adalah ayat – ayat Al – Qur’an yang diturunkan di kota Madinah dan sekitarnya
hal ini jika dikategorikan dari tempatnya. Sedangkan jika dikategorikan dari waktunya Makky
4
adalah ayat – ayat yang turun sebelum Nabi hijrah ke Madinah walaupun ayat tersebut diturunkan
dikota Madinah. Sedangkan Madany adalah ayat – ayat Al – Qur’an yang diturunkan setelah Nabi
hijrah ke Madinah walaupun ayat tersebut turun di kota Mekkah. Jika dilihat dari perwahyuan
Makky adalah ayat – ayat yang diturunkan dengan menyinggung orang – orang Mekkah, baik
turunnya di Mekkah ataupun di Madinah baik sebelum dan sesudah hijrah, maka ayat tersebut
disebut dengan Makkiyah. Sedangkan Madany adalah ayat – ayat yang menyinggung penduduk
Madinah, baik turun di kota Mekkah atau Madinah, baik sebelum atau sesudah hijrah tetap disebut
Madaniyah. Jika dikategorikan mulaahazhatu ma tadhammanat as-suuratu (kriteria), Makkiyah
adalah surat yang berisi cerita-cerita umat dan para Nabi atau Rasul terdahulu. Sedangkan
Madaniyah adalah surat yang berisi hukum hudud, faraid dan sebagainya.
2. Pendekatan analogi
5
Ciri Ayat Madaniyyah
Secara kronologis periode turunya al- Qur’an dibagi menjadi dua, yaitu; periode
Makkah (makkiyah) dan periode Madinah (Madaniyyah). Pembagian seperti ini didasarkan
atas dua parameter yaitu, tempat (al-makan) dan waktu (al-zaman). Menurut Abdullahi
Ahmed An-Na’im, pesan yang terkandung dalam ayat-ayat Makkiyah merupakan pesan
Islam yang abadi dan fundamental, yang menekankan martabat yang inheren pada seluruh
umat manusia, tanpa membedakan jenis kelamin (gender), keyakinan agama, dan ras.
Pesan-pesan ini ditandai dengan persamaan antara laki-laki dan perempuan dan kebebasan
penuh untuk memilih dalam beragama dan keimanan, prinsipnya adalah ‘ishmah’,
kebebasan untuk memilih tanpa ancaman atau bayangan kekerasan dan paksaan apapun.
Sedangkan pesan Madinah adalah kompromi praktis dan realistis, ketika tingkat tertinggi
dari pesan Makkah tidak dapat diterima oleh masyarakat-sejarah abad VII M. Oleh karena
itu, kalau ayatayat yang turun dalam periode Makkah dapat disebut sebagai (menurut istilah
AnNa’im) ayatayat “universal-egalitariandemokratis”, maka ayat-ayat Madinah dapatlah
dinamai ayat-ayat “sektariandiskriminatif”.
6
Hijrah menandai tidak saja perubahan dramatik dalam pertumbuhan jumlah umat
Islam dan pembentukan masyarakat politik atau negara Islam pertama di Madinah;
melainkan juga peralihan yang signifikan dalam materi pokok dan isi misi Nabi. Secara
umum disepakati bahwa selama periode Makkah al-Qur’an lebih banyak berisi tentang
ajaran agama dan moral, tidak menyatakan norma-norma politik dan hukum secara khusus,
yang baru dikembangkan pada periode Madinah. Penjelasan tentang perubahan ini adalah
karena pada periode Madinah ini al-Qur’an harus memberikan respon terhadap kebutuhan
sosial-politik yang konkrit dalam suatu komunitas yang dibangun.
Sebagai contoh, al-Qur’an selama periode Makkah selau menyapa seluruh manusia,
menggunakan kata-kata seperti; “Wahai manusia” dan “wahai anak Adam”. Sedangkan
pesan Madinah mulai membedakan antara laki-laki dan perempuan, umat Islam dan non-
muslim, dalam status hukum dan hak mereka di depan hukum. Semua ayat yang menjadi
dasar diskriminasi terhadap perempuan dan non-muslim merupakan ayat-ayat Madinah.
Sebagai contoh, al-Qur’an surat ke empat yang dikenal sebagai surat anNisa (surat tentang
perempuan), berisi aturan-aturan yang lebih rinci tentang perkawinan, perceraian, waris dan
semacamnya dengan pengaruh diskriminasinya terhadap perempuan, diwahyukan selama
masa Madinah.Tumpang tindih antara periode Makkah dan Madinah, lebih mengantarkan
pada satu pemahaman tentang perubahan gradual ketimbang perubahan yang cepat dalam
7
isi pesan tersebut. Sebagai hasil dari peralihan isi pesan dan metode seruanya, beberapa
orang berpura-pura masuk Islam tanpa keyakinan murni yang mendalam. Fenomena ini
sebagian besar secara jelas ditunjukan oleh acuan al-Qur’an yang berulang-ulang pada
kalimat al-munafiqun (kaum munafik) dalam wahyu Madinah, sedangkan dalam wahyu
Makkah tidak ada ayat semacam itu. Dengan berkurangnya tingkat atau bentuk kekerasan
selama periode Makkah, orang memiliki kebebasan penuh untuk memeluk Islam atau
menolaknya. Dengan hilangnya tingkat kebebasan secara gradual selama periode Madinah,
banyak orang kafir menunjukkan iman pada tampak luarnya untuk menghindarkan akibat
negatif (menyelamatkan diri) bila mereka menampakkan kekafiranya.
8
BAB III
KESIMPULAN
Periode Makkah dan Madinah ternyata bukan sekadar rentang tempat dan waktu (locus dan
tempus) semata, tetapi ia – dengan konteks dan kultur masyarakat tempat turunya yang berbeda –
berakibat pada pemaknaan dan penafsiran yang berbeda pula terhadap alQur’an. Sehingga, sejatinya
penafsiran terhadap al-Qur’an bukanlah sesuatu yang sudah “final”, melainkan bersifat dinamis,
sesuai dinamika dan konteks kehidupan manusia itu sendiri. Wa Allah a’lam bi alshawab
DAFTAR PUSTAKA
An-Na’im, Abdullah Ahmed, Dekonstruksi Syari’ah : Wacana Kebebasan Sipil, HAM dan
Hubungan Internasional dalam Islam (Yogyakarta : LkiS,1994)