DI SUSUN OLEH:
3.NURHAYANI (220601010)
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang Maha Kuasa karena dengan
taufik dan hidyah-Nya sehingga Makalah tentang “Penggalian dan Penemuan Hukum
Islam” ini bisa kami selesaikan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
Didalam makalah ini kami menyajikan tentang penggalian dan penemuan hukum
islam di antaranya ijtihad, taqlif, ittiba’ dan talfiq yang kami susun berdasarkan literatur
yang telah dikumpulkan.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan makalah ini, masih
melakukan banyak kesalahan. Oleh karena itu kami memohon maaf atas kesalahan dan
ketidaksempurnaan yang pembaca temukan dalam makalah ini. Kami juga mengharap
adanya kritik serta saran dari pembaca apabila menemukan kesalahan dalam makalah ini.
Penulis
i
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR........................................................................................ i
DAFTAR ISI....................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................ 1
1.1.Latar Belakang......................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah.................................................................... 1
1.3 Tujuan...................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian ijtihad
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................173
BAB I
PENDAHULUAN
Ilmu ushul fiqh merupakan metode dalam menggali dan menerapkan hukum, itu sangat
berguna untuk memandu para mujahidin dalam mengistibatkan hukum syara' secara
benar dan dapat di pertanggung jawabkan hasilnya melalui ushul fiqh dapat ditemukan
jalan keluar dalam menyelesaikan dalil-dalil yang tampaknya bertentangan dengan
dalillainnya.
Dalam ushul fiqh juga dibahas masalah tenteng penemuan dan penggalian hukum islam
di antaranya “ijtihad, ittiba', talfiq dan taqlid”. Keempatnya memiliki arti yang berbeda dan
maksudpun berbeda. Tetapi keempatnya sangat jelas diatur dalam islam ittiba' ini di
dasarkan dalam al-qur’an surah an-nahl ayat 43 yang artinya “dan kami telah mengutus
sebelum kamu kecuali orang-orang lelaki yang kami beri wahyu untuk mereka, maka
bertanyalah untuk orang yang memiliki pengatahuan jika kamu tidak mengetahui”
1.3 Tujuan
1. Mengetahui yang di maksud dengan “ijtihad, ittiba’ , talfiq dan taqlid”
2. Mengetahui bentuk-bentuk dari “ijtihad, ittiba’ , talfiq dan taqlid”
3.
1
BAB Il
PEMBAHASAN
1.Ijtihad
1
Ibn Manzur, Lisan al-Arab, Jilid III, (Beirut : Dar as-Sadr, t.t.) hlm. 103.
2
Yusuf al-Qardhawi, al-Ijtihad fi asy-Syariah al-Islamiyyah ma`a Nazarat Tahliliyyah fi al-
Ijtihad al Mu`asir, terj. Ahmad Syathari, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987) hlm. 1.
3
Kamal Mukhtar, dkk., jilid 1, op.cit., hlm. 116
4
Imam Zaid juga memberikan definisi yang hampir sama. Lihat: Muhammad Abu Zahrah,
Abu Hanifah : Hayatuh wa `Asruh `Ara`uh wa Fiqhuh, ( Kairo : Dar al-Fikr al-`Araby, 1952) hlm. 453
5
Tim Penyusun Text Book, Pengantar Ilmu Fiqh, (Jakarta : Proyek Pembinaan Perguruan
Tinggi Agama / IAIN Pusat, 1981) hlm. 136
2
engkau menetapkan di antara manusia dengan jalan yang telah ditunjukkan oleh
Allah kepadamu”.
6
Rahmat Syafe`I, op.cit., hlm. 102
7
Tim Penyusun Text Book, op. cit., hlm. 138
8
Kamal Mukhtar, dkk., Jilid I, op.cit., hlm. 122
3
B. Objek dan Macam-macam Ijtihad
Objek ijtihad adalah masalah hukum syara’ yang tidak memiliki dalil yang
qat’iy. Apabila ada nas yang keberadaannya zanniy seperti hadis ahad maka yang
menjadi lapangan ijtihad dalam hal ini adalah meneliti bagaimana sanadnya, derajat
para perawinya dan lain-lain. Manakala ada nas yang petunjuknya zanniy, maka yang
menjadi lapangan ijtihad adalah bagaimana maksud nas tersebut dengan
menggunakan kaidah bahasa Arab, kaidah ‘am, khas dan lain-lain. Berkenaan dengan
masalah syara’ yang tidak ada nasnya, maka yang menjadi lapangan ijtihad adalah
seluk-beluk masalah tersebut secara keseluruhan.9
Dilihat dari segi dalil yang dibuat sebagai pedoman, ijtihad terbagi tiga
macam, yaitu:
a. Ijtihad bayani; yaitu ijtihad untuk menemukan hukum yang terkandung
dalam nas yang petunjuknya zanniy. Ijtihad dalam hal ini memberikan bayan
(penjelasan) yang positif dari dalil nas tersebut. Contoh: pengertian tiga quru’
pada surah al-Baqarah ayat 228; bisa berarti tiga kali suci, bisa berarti tiga
kali haid. Imam Syafi’i berijtihad mengambil pengertian tiga kali suci,
sedang Imam Hanafi mengambil pengertian tiga kali haid.
b. Ijtihad qiyasi, yaitu menetapkan hukum suatu peristiwa berdasarkan
qiyas/menurut metode qiyas.
c. Ijtihad istislah, yaitu menetapkan hukum sesuatu permasalahan dengan
menggunakan ra’yu berdasarkan kaidah istishlah/mengambil kemaslahatan.
B. Syarat-syarat Mujtahid
Seseorang ulama mujtahid harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Mengetahui seluk-beluk bahasa Arab dalam semua seginya, yaitu nahu, saraf,
bayan, ma’ani dan badi’; dapat mengetahui lafaz-lafaz yang zahir, sarih, mujmal,
haqiqat, majaz, ’am, khas, muhkam, mutasyabih, mutlaq dan muqayyad.
2. Memiliki pengetahuan yang cukup baik tentang Alquran; mana lafaz yang
mantuq, mafhum, mutlaq, muqayyad, sarih, kinayah, nasikh-mansukh;
mengetahui sebab nuzul dan lain-lain.
9
Rahmat Syafe`I, op.cit., hlm. 107
4
3. Memiliki pengetahuan yang luas tentang sunnah; yakni mengetahui mana hadis
yang mutawatir, ahad, sahih makna haqiqat, majaz, dan lain-lain.
4. Memiliki pengetahuan yang luas tentang ijma’ dan qiyas.
6. Memiliki pengetahuan yang luas tentang usul fikih. Al-Razi berkata “Ilmu usul
fikih adalah ilmu yang paling penting dimiliki setiap mujtahid.”
7. Memiliki pengetahuan yang luas tentang sunnah; yakni mengetahui mana hadis
yang mutawatir, ahad, sahih makna haqiqat, majaz, dan lain-lain.
8. Memiliki pengetahuan yang luas tentang ijma’ dan qiyas.
10. Memiliki pengetahuan yang luas tentang usul fikih. Al-Razi berkata “Ilmu usul
fikih adalah ilmu yang paling penting dimiliki setiap mujtahid.”94
C. Tingkatan Mujtahidin
2.Ittiba’
a).Pengertian Ittiba`
Ittiba` secara bahasa berarti iqtifa` (menelusuri jejek), qudwah (bersuri teladan) dan
uswah (berpanutan). Ittiba` menurut istilah menerima perkataan atau ucapan orang lain
dengan mengetahui sumber atau alasan dari perkataan tersebut, baik dalil Alquran
maupun hadis yang dapat dijadikan hujjah /alasan. Sedangkan orang yang mengikuti
dengan adanya dalil, dinamakan muttabi. Firman Allah swt. dalam surah An-Nahl ayat
43 berbunyi :
. التعلملن كنتم إن الذكر اه فسئللآ
5
Artinya: Maka tanyakanlah olehmu kepada orang yang tahu jika kamu tidak
Mengetahuinya.
Artinya: Ikutilah apa yang di turunkan kepadamu dari tuhanmu dan janganlah kamu
ikuti selain dia sebagai pemimpin sedikit sekali kamu mengambil pelajaran.
Dalam ayat pertama terdapat kalimat “tanyakanlah” yaitu suatu perintah yang
memfaedahkan hal yang wajib untuk dilakukan. Maksudnya kewajiban kamu bertanya
kepada orang yang tahu berdasarkan dari kitab dan sunnah. Sedangkan pada ayat kedua
terdapat pula kalimat “turutilah” yaitu suatu perintah, yang tiap-tiap perintah wajib
untuk dilakukan.10 Sabda Rasulullah Saw.
) يرهUUل داود وغU U Uدي (رواه ابUUUدين من بعUUUاء الراشU U U نة خلفUUUنتى وسUUUعليكم بس
Rasyidin Khulafaur sunnah dan caraku atau sunnahku turuti Wajib : Artinya
sesudahku. (H.R.Abu Dawud dan lainnya).
b).Tujuan Ittiba`
Dengan adanya Ittiba` diharapkan agar setiap kaum muslimin, sekalipun ia orang
awam, ia dapat mengamalkan ajaran agama Islam dengan penuh keyakinan, tanpa
diselimuti keraguan srdikitpun. Suatu ibadah atau amal jika dilakukan dengan penuh
keyakinan akan menimbulkan keikhlasan dan kekhusukan. Keikhlasan dan kekhusukan
merupakan syarat sahnya suatu ibadah atau amal yang dikerjakan.
c). Jenis-jenis Ittiba`
Ulama berbeda pendapat tentang ittiba` kepada ulama atau para mujtahid.
Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa ittiba` itu hanya dibolehkan kepada
Allah dan Rasul-Nya, dan para sahabatnya saja. Tidak boleh kepada yang lain.
Hal ini dapat di ketahui melalui perkataan beliau kepada Abu Dawud, yaitu :
“Berkata Daud, aku mendengar Ahmad berkata, Ittiba` itu adalah seorang yang
mengikuti apa yang berasal dari Nabi Saw. dan para sahabatnya”.11
10
A. Hanafi, Ushul Fiqih (Jakarta : Widyaya, tth) hlm. 154
11
Ramayulis, Sejarah dan Pengantar Usul Fiqih, hlm. 208
3.Taqlid
A.pengertian Taqlid
Kata taqlid berasal dari bahasa Arab yakni kata kerja “Qallada”, yaqallidu’,
“taglidan”, artinya meniru menurut seseorang dan sejenisnya.
a. Al-Ghazali mendefinisikan taqlid adalah menerima ucapan tanpa hujjah.
b. Al-Asnawi mendefinisikan taqlid adalah mengambil perkaraan orang lain tanpa
dalil.
c. Ibn Subki mendefinisikan taqlid adalah mengambil suatu perkaraan tanpa
mengetahui dalil.
Adapun taqlid yang dimaksud dalam istilah ilmu ushul fiqih adalah :
ُقَبُوْ ُل قَوْ ِل ْالقَاِئ ِل َوَأ ْنتَ الَ تَ ْعلَ ُم ِم ْن َأ ْينَ قَالَه .
“Menerima perkataan orang lain yang berkata, dan kamu tidak mengetahui alasan
perkataannya itu.”
Dengan demikian essensi taqlid adalah :
1. Beramal dengan mengikuti ucapan atau pendapat orang lain.
2. Ucapan atau pendapat orang lain yang diikuti itu tidak bernilai hujjah.
3. Tidak mengetahui hujjah dari pendapat yang diikutinya itu.
B. Hukum Bertaqlid
Taqlid itu ada yang haram dan haram kita memberikan fatwa berdasarkan
paham tersebut. Namun, ada yang wajib, dan ada pula yang boleh kita anut.
a). Taqlid yang haram, yang disepakati oleh seluruh ulama ada tiga jenis, yaitu:
1).Taqlid semata-mata mengikuti adat kebiasaan atau pendapat nenek
moyang atau orang-orang dahulu kala yang bertentangan dengan Alquran
dan hadis. Hal ini terdapat dalam QS. Al-Baqarah: 170, yang berarti “Dan
apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan
Allah swt.” Mereka menjawab, “(tidak) kami hanya mengikuti apa yang
kami dapati pada nenek moyang kami (melakukannya), padahal nenek
moyang mereka itu tidak mengetahui apapun dan mendapat petunjuk.”
2). Taqlid kepada perkataan atau pendapat seseorang, sedang yang bertaqlid
mengetahui bahwa perkataan atau pendapat itu salah.
3). Taqlid kepada orang atau sesuatu yang tidak diketahui kemampuan dan
keahliannya, seperti menyembah berhala, tetapi ia tidak mengetahui
kemampuan, kekuasaan atau keahlian berhala tersebut.
b). Taqlid yang wajib. Wajib bertaqlid kepada orang yang perkataannya dijadikan
sebagai dasar hujjah, yaitu perkataan dan perbuatan Rasulullah saw.
Taqlid yang diperbolehkan, yaitu bertaqlid kepada seorang mujtahid atau
beberapa orang mujtahid dalam hal yang belum ia ketahui hukum yang
berhubungan dengan suatu peristiwa dengan syarat bahwa yang bersangkutan
harus selalu berusaha menyelidiki kebenaran masalah yang diikuti itu.
c). Ketentuan Bertaqlid
Ibn al-humman menunjukan kesepakatan ulama tentang bolehnya bertaqlid
kepada seorang dari kalangan ahli ilmu yang di ketahuinya bahwa orang itu
mempunyai kemampuan untuk berijtihad dan memiliki sifat adil (pengertian
a’dil disini mengandung maksud khusus yaitu ‘adil dalam pengertian
periwayatan hadist, bukan dalam pengertian peradilan), yaitu seorang yang
memiliki kriteria (sifat) sebagai berikut:
a) Tidak pernah melakukan dosa besar.
b) Tidak sering melakukan dosa kecil.
c) Selalu menjaga muru’ah atau harga diri.
4) Pembagian taqlid
Taqlid terbagi menjadi 2 bagian, pertama taklid Mahmud, kedua taklid Madzmum.
Yang dimaksud dengan taklid mahmud adalah seseorang taklid karena ia tidak
memenuhui syarat-syarat mujtahid. Adapun taqlid madzmum terbagi menjadi 3
macam :
a) Hal-hal yang bertentangan dengan apa yang diturunkan Allah
b) Taklid kepada seseoang yang tidak diketahui kepribadiannya.
c) Taklid kepada seseorang setelah datangnya hujjah atau kebenaran yang bebeda
dengan pendapat yang ia anut.
4.Talfiq
1. Pengertian Talfiq
Kata talfiq berasal dari kata laffaqa yang artinya mempertemukan menjadi satu.
Adapun secara istilah talfiq adalah mengambil atau mengikuti hukum dari suatu peristiwa
atau kejadian dengan mengambilnya dari berbagai macam madzhab.Contohnya seperti dua
orang laki-laki dan perempuan melaksanakan akad nikah, tanpa wali dan saksi, cukup
dengan melaksanakan pengumuman saja. Dasar pendapat mereka adalah dalam hal wali
mereka mengikuti pendapat madzhab Hanafi. Menurut pendapat Hanafi syah nikah tanpa
wali. Sedang mengenai persaksian, mereka mengikuti pendapat madzhab Maliki. Menurut
madzhab Maliki syah akad nikah tanpa saksi, cukup dengan pengumuman saja. Bila
demikian hanya dapat disimpulkan bahwa syah nikah tanpa wali dan saksi asal ada
pengumuman saja.
3).Talfiq yang dilarang
Tidak semua talfik itu boleh secara mutlak, Talfiq yang dilarang ada 2 macam :
1) Bathil Lidzatihi, talfiq yang mengarah kepada yang haram seperti khamr, zina
dan sebagainya.
2) mahdzurun La Lidzatihi, terbagi menjadi beberapa macam :
a) Mengambil atau mengikuti pendapat-pendapat yang mudah dari setiap
madzhab, tanpa ada udzur tertentu.
b) Talfiq yang mengharuskan kembali kepada perbuatan taqlid
at, Beirut : Dar al-Kutub al-`Ilmiyah.
Al-Kahlaniy, Muhammad bin Ismail, t.t., Subul al-Salam, Bandung : Dahlan
Al-Nawawi, Muhyiddin Abu Zakariya Yahya bin Syaraf bin Murri, t.t., Nihayah
al-Zain fi Irsyad al-Mubtadi`in, Beirut : Dar al-Fikr, cet 1.
Al-San’ani, 1988, Subul al-Salam, Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Jilid IV.
Anis, Ibrahim, dkk., 1972, al-Mu`jam al-Wasit, Mesir: Majma` al-Lughah al-
Arabiyyah.
Asy-Syatibi, Al-Imam Abu Ishaq Ibrahim ibn Musa, t.t., Al-Muwafaqat fi Usul
al-Ahkam, t.t.p: Dar al-Fikr, Jilid IV.
Darajat, Zakiah, 1995, Ilmu Fiqh, Yogyakarta : Dana Bhakti Wakaf, jilid 2.
Dikbud, Dep, 1994, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka,
Ibn Manzur. t.t. Lisan al-Arab. Beirut: Dar as-Sadr. Jilid III.
Mukhtar, Kamal, dkk. 1995a. Ushul Fiqh I. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf.
Mukhtar, Kamal, dkk. 1995b. Ushul Fiqh II. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf.
Qasim, M.Rizal, 2009, Pengalaman fikih, Solo : PT. Tiga Serangkai Mandiri.
Rahman, Asjmuni A. 1986. Qaidah-Qaidah Fiqih. Jakarta: Bulan Bintang.
RI, Depag, 1984/ 1985, Ilmu Fiqh, Jakarta : Dirjen Bimbaga Islam.
Rifa`I, moh, 1978, Fiqih Islam, Semarang : PT.Karya Toha Putra
Salih, Muhammad Adib. 1984. Tafsir an-Nusus fi al-Fiqh al-Islami. Beirut: Al-
Maktab al-Islami. Jilid I.
Syarifuddin, Amir, 1997, Ushul Fiqh I, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, cet. 1.
Syukur, M. Asywadie. 1990. Pengantar Ilmu Fikih dan Ushul Fikih. Surabaya:
P.T. Bina Ilmu.
Tim Penyusun Text Book. 1981. Pengantar Ilmu Fiqh. Jakarta: Proyek
Pembinaan Perguruan Tinggi Agama/IAIN Pusat.
Zahrah, Muhammad Abu. t.t. (b) Ibn Hazam: Hayatuh wa’Asruh- `Ara`uh wa
Fiqhuh. Kairo: Dar al-Fikr al-‘Araby.
Zahrah, Muhammad Abu. 1952. (c) Abu Hanifah: Hayatuh wa ‘Asruh- `Ara`uh
wa Fiqhuh. Kairo: Dar al-Fikr al-‘Araby. Cetakan kedua.