Anda di halaman 1dari 19

IJITIHAD SEBAGAI METODE STUDI HUKUM ISLAM

MAKALAH

Ditulis untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengantar Studi Hukum Islam

Disusun Oleh : Kelompok 5

1. Husnaya Darma Haritsa (2216010052)

2. Nelvi Agustina (2216010064)

3. Cut Adinda Putri Tarvia (2216010068)

Dosen Pengampu :

Prof. Dr . Asasriwani,M.H.

Hariri Ocviani Arma, SH,MH

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UIN IMAM BONJOL PADANG

1444 H/2022M
KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmatNya sehingga
makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan
terimakasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan
sumbangan baik pikiran maupun materinya.Penulis sangat berharap semoga makalah ini
dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca.

Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca praktekkan
dalam kehidupan sehari-hari.Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak
kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan
pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Padang, 8 Maret 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar..............................................................................................................ii

Daftar Isi.........................................................................................................................iii

Bab I..................................................................................................................................1

A. Latar Belakang..................................................................................................1

B. Rumusan Masalah.............................................................................................1

C. Tujuan Penulisan...............................................................................................2

Bab II................................................................................................................................3

A. Pengertian Ijtihad..............................................................................................3

B. Dasar Hukum Ijtihad.........................................................................................5

C. Cangkupan dan Macam-Macam Ijtihad............................................................6

D. Sejarah Ijtihad.................................................................................................10

Bab III.............................................................................................................................14

A. Kesimpulan......................................................................................................14

B. Saran................................................................................................................14

Daftar Pustaka...............................................................................................................15

iii
iv
BAB 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Islam adalah agama yang sempurna agama yang memperhatikan umatnya dari
urusan-urusan yang penting, hingga ke hal-hal kecil dalam kehidupan. maka
beruntunglah bagi kaum muslimin, karena kehidupannya sudah diatur sedemikian rupa
oleh agama Islam adalah Alquran dan Sunnah yang menjadi dua sumber pedoman
dalam hidup seorang muslim.

Tapi sebagai salah satu agama terbesar di dunia umat Islam juga sering
dihadapkan dengan berbagai permasalahan terutama yang berkaitan dengan cara atau
ibadah Oleh karena itu selain menggunakan Alquran dan Sunnah ulama juga
menggunakan ijma dan qiya sebagai instrumen untuk membantu memecahkan masalah
umat.

Selain itu para ulama juga harus melakukan ijtihad dalam mencari solusi
permasalahan yang dihadapi umat Islam berbagai perbedaan mazhab yang kita kenal
saat ini merupakan hasil dari ijtihad kita tahu tidak ada yang salah dari mazhab-mazhab
tersebut karena itu semua merupakan hasil terbaik dari para mujtahid untuk menemukan
hukum terbaik.

Dengan adanya ijtihad Islam menjadi agama yang luas dinamis fleksibel sesuai
dengan dinamika zaman.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam


makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Jelaskan Apa yg di maksud dari Pengertian Ijtihad ?

2. Apakah itu Dasar Hukum Ijtihad ?

1
3. Apa saja Cakupan dan Macam-macam Ijtihad ?
4. Jelaskan Sejarah dari Ijtihad ?

C. TUJUAN PENULISAN

1. Untuk Mengetahui apa pengertian dari ijtihad


2. Untuk Mengetahui apa saja dasar hukum ijtihad
3. Untuk Mengetahui cakupan dan macam-macam dari ijtihad
4. Untuk mengethaui sejarah dari ijtihad

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijtihad

Ijtihad secara bahasa adalah berasal dari kata al-jahd dan al-juhd yang berarti
kemampuan, potensi, dan kapasitas. Dalam Lisân al-‘Arab disebutkan bahwa al-juhd
berarti mengerahkan segala kemampuan dan maksimalisasi dalam menggapai sesuatu.
Wazn ifti’âl menunjukkan arti muballaghah (melebihkan) dari kata dasarnya. Dalam hal
ini ijtihad lebih berarti mubalaghah (mengerahkan kemampuan) daripada arti kata
jahada (mampu). Berdasarkan pengertian ini, ijtihad menurut bahasa artinya
mengeluarkan segala upaya dan memeras segala kemampuan untuk sampai pada satu
hal dari berbagai hal yang masing-masing mengandung konsekuenssi kesulitan dan
keberatan (masyaqqah). 1

Artinya, “Pencurahan segenap kesanggupan untuk mendapatkan suatu urusan


atau suatu perbuatan.”

Sedangkan menurut istilah

Artinya, “Pencurahan segenap kemampuan secara maksimal untuk


mendapatkan hukum syara’ yang ‘amaliy dari dalil-dalilnya yang
tafshîlî

Sedangkan menurut beberapa pendapat menurut (wahda al Zuhaili ) ijtihad


adalah melakukan istimbath hukum syariat dari segi dalil-dalinya yang terperinci di
dalam syariat.2 Dalam hubungannya dengan hukum, ijtihat adalah usaha usaha atau
ikhtiar yang sungguh-sungguh dengan mempergunakan segenap kemampuan yang ada
1
Rosidin, Pengantar Hukum Islam dari Semenanjung Arabia sampai Indonesia. Yogyakarta : Lintang Rasi
Aksara Books,2016, hal 111
2
Asasriwarni,”Pengantar Studi Hukum Islam”. Padang Pariaman : Pustaka Artaz, hal 33

3
dilakukan oleh orang ( ahli hukum) yang memenuhi syarat untuk merumuskan garis
hukum yang belum jelas atau tidak ada ketentuannya di dalam alquran dan sunnah
Rasullulah

Ijtihad merupakan dasar dan sarana pengembangan hukum islam. Ia adalah


kewajiban umat islam yang memenuhi syarat (karena pengetahuan dan
pengalamanya)untuk menunaikannya.Kewajiban itu tercermin dalam sunnah Nabi
Muhammad Saw yang mendorong mujtahid untuk berijtihad. Mujtahid orang yang
berijtihad, (hasil) ijtihad yaitu benar,kata Nabi akan memperoleh dua pahala. Kalau
ijtihadnya salah, dia akan mendapat (juga) satu pahala.

Dengan kata lain , ijtihad adalah pengerahan segala kesanggupan seorang faqih
(pakar fikih islam) untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum sesuatu melalui dalil
syara(agama). Dalam istilah inilah, ijtihad lebih banyak para fuqohah yang menegaskan
bahwa ijtihat itu bisa dilakukan dibidang fiqh3.

Sehingga dapat disimpulkan dan dipahami bahwa ijhihad itu,adalah usaha


intelektual secara sungguh-sungguh, usaha yang dilakukan itu adalah melakukan
istinbaht (menyimpulkan) dan menemukan hukum, pencarian tersebut diakukan melalui
dalil-dalil baik dalam al quran dan sunnah dan orang yang melakukan itu adalah seorang
yang memiliki kompetensi dan keluasaan serta pengetahuan dalam bidang hukum islam.

Ulama usul mendefenisikan ijtihad sebagai mencurahkan kesanggupan dalam


mengeluarkan hukum syara’yang bersifat amaliah dari dalil-dalilnya yang terperinci
baik dalam alquran maupun sunnah.Sementara itu , Al-Syaukani mendefinisikan ijtihad
sebagai pengerahan upaya dalam memperoleh hukum syara’yang bersifat ‘amally
dengan cara melakukan istinbath. Masih banyak lagi ahli usul yang mendefinisikan
ijtihad secara variatif, seperti ibnu ,al-Ghazali,dan ulama kontemporer .Dari variasi
defenisi ijtihad ini Whdah al –Zuhalli menyimpulkan bahwa ijtihad merupakan
perbuatan untuk mengistibankan (mengeluarkan) hukum syara’ dari dalil-dalil syariat
yang terperinci.4

Abdul Wahhab Khallaf sebagaimana dikutip oleh Zarkasyi dalam bukunya


pengantar ilmu fiqih ,ushul fiqih , menerangkan bahwa arti ijtihad dalam arti luas
meliputi:

1. Pencurahan segenap kemampuan untuk mendapatkan hukum syara’ yang


dikehendaki olen nash yang dzanniy dalalah-nya.

3
Asasriwarni,”Pengantar Studi Hukum Islam”. Sumatera Barat : Pustaka Artaz.2020, hal 33

4
Marzuki, Pengantar Studi Hukum Islam Prinsip Dasar Memahami berbagai Konsep dan Permasalahan
Hukum di Indonesia.Yogyakarta:Penerbit Ombak (Anggota 1KAPI),2017, HAL 100

4
2. Pencurahan segenap kemampuan untuk mendapatkan hukum syara’ yang
amaliy dengan menetapkan qa’idah syar’iyyah kulliyyah.

3. Pencurahan segenap kesanggupan untuk mendapatkan hukum syara’yang


‘amaliy tentang masalah yang tidak ditunjuki hukumnya oleh sesuatu nash, dengan
mengunakan sarana-sarana yang direstui nash, dengan mengunakan sarana-sarana yang
direstui oleh syara’ untuk mengunakan mengenai masalah tersebut dengan ijtihad bir-
ra’yi.

selain itu, juga ada beberapa ulama yang mengemumukan pendapatnya tentang
pengertian ijtihad, yaitu5 :

1. Ibnu as-Subki

Pengerahan kemampuan seorang ahli fiqh untuk menghasilkan hukun


syara’yang berrsifat zhanni

2.al- Amidi

Pengerahan kemampuan secara maksimum, dalam menentukan hukum


syara’ yang bersifat zhanni, sehinga merasa tidak mampu menghasilkan lebih dari
temuan tersebut

3. Muhammad Abu Zahrah

Pengerahan kemampuan seorang ahli fiqh untuk mengali hukum-hukum


(syara’) yang bersifat ‘amaliyyah dari dalil-dalil yang bersifat terperinci.

B. Dasar Hukum Ijtihad

Sebagai salah satu dasar penetapan hukum syara’, keberadaan ijtihad ditopang
oleh banyak dalil, baik ayat-ayat al quran maupun sunnah baik secara langsung maupun
tidak langsung yang mendukungnya. Dari alquran , antara lain, firman Allah pada surah
an-Nisa’(4):59

‫ر ِم ْن ُك ۚ ْم‬T
ِ T‫ل َواُولِى ااْل َ ْم‬Tَ ‫ ْو‬T‫َّس‬ُ ‫ الر‬T‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذي َْن ٰا َمنُ ْٓوا اَ ِط ْيعُوا هّٰللا َ َواَ ِط ْيعُوا‬
‫هّٰلل‬ ُ ‫ ُر ُّد ْوهُ اِلَى هّٰللا ِ َوالر‬Tَ‫ ْي ٍء ف‬T‫از ْعتُ ْم فِ ْي َش‬T
ِ ‫و َن بِا‬Tْ Tُ‫ل اِ ْن ُك ْنتُ ْم تُْؤ ِمن‬Tِ ‫ ْو‬T‫َّس‬ َ َ‫فَا ِ ْن تَن‬
‫ك َخ ْي ٌر َّواَحْ َس ُن تَْأ ِو ْياًل‬ َ ِ‫َو ْاليَ ْو ِم ااْل ٰ ِخ ۗ ِر ٰذل‬
“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan
Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda

5
Rahman Dahlan, “ Ushul fiqh”. Jakarta: Amzar, 2014, hal 339

5
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Pada ayat di atas Allah memerintahkan untuk mengembalikan maslah yang


menjadi objek perbedaan kepada Allah dan Rasulnya. Cara yang ditempuh tentulah
dengan cara berijtihad memahami kandungan makna dan prinsip-prinsip hukum yang
terdapat pada ayat ayat al quran dan hadit, kemudian menerapkan makna prinsip
tersebut pada persoalan yang sedang dihadapi.

Demikin juga firman Allah pada surah an-Nisa’ (4)105:

ُ ‫ىك هّٰللا‬ ِّ ‫ب بِ ْال َح‬


ِ َّ‫ق لِتَحْ ُك َم بَي َْن الن‬
َ ‫اس بِ َمٓا اَ ٰر‬ َ ‫ْك ْال ِك ٰت‬
َ ‫اِنَّٓا اَ ْن َز ْلنَٓا اِلَي‬
Sungguh, Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur'an) kepadamu (Muhammad)
membawa kebenaran, agar engkau mengadili antara manusia dengan apa yang telah
diajarkan Allah kepadamu,

Sedangkan dari sunnah, yang membolehkan berijtihad, diantaranya Hadist yang


diriwayatkan oleh Umar Artinya : “ jika seorang hakim menghakimi sesuatu, dan benar,
maka ia mendapatkan dua, dan bila salah maka ia mendapat satu pahala,” Dan hadist
mu’adz ibnu jabal ketika Rasullulah Saw mengutusnya ke Yaman untuk menjadi hakim
di Yaman. Artinya; Rasullah Saw bertanya : “ dengan apa kamu menghukumi?”Ia
menjawab, “ Dengan apa yang ada dalam kitab Allah Rasulullah. Jika kamu tidak
mendapatkan dalam kitab Allah?” Dia menjawab aku memutuskan dengan apa yang
diputuskan Rasulullah” Rasul bertanya lagi, “ jika tidak mendapatkan dalam ketetapan
Rasulullah?" Berkata Mu’adz,” aku berijtihad dengan pendapatku Rasulullah bersabda”
Aku bersyukur kepada Allah yang telah menyepakati utusan dari Rasul-Nya. Dan hal itu
telah diikuti oleh para sahabat setelah nabi wafat.

Selain itu, Yahya bin Dinar yang biasa juga dipanggil dengan Abu Hasyim juga
meriwayatkan yang artinya :” Qadhi (hakim ada tiga golongan ;myang dua golongan
masuk neraka, sedang satu golongan lagi masuk surga.( ketiga golongan itu ialah,
(pertama) seseorang yang mengetahui kebenaran, kemudian ia memutus perkara
denganya, maka ia masuk surga; (kedua), seseorang memutus perkara diantara manusia
berdasarkan ketidaktauannya, maka ia masuk nerakadan (ketiga)seseorang yang curang
dalam keputusanya, maka ia masuk neraka” tentu kami akan berangapan,
sesungguhnya (setiap)qadhi (hakim),jika ia berijtihad, maka ia masuk surga.”

Adapun lamdasan ijtihad yang berasal dari atsar sahabat ialah, telah terjadi ijma’
di kalangan para sahabat bahwa apabila mereka menghadaapi masalah hukum yang

6
tidak ditemukan ketentuannya, baik dalam al quran maupun dalam sunnah maka mereka
melakukan ijtihad.

C. Cangkupan Ijtihad dan Macam-Macam Ijtihad

1. Cangkupan Ijtihad

a. Objek Ijtihad

Menurut Al-ghazali, objek ijtihad adalah setiap hukum syara yang tidak
memiliki dalil yang qathi. Dari pendapatnya itu, diketahui ada permasalahan yang tidak
bisa dijadikan objek ijtihad. Dengan demikian, syariat islam dalam kaitannya dengan
ijtihad terbagi dalam dua bagian:

1. Syari’at yang tidak boleh dijadikan lapangan ijtihad , yaitu hukum-hukum


yang telah dimaklumi sebagai landasan pokok islam, yang berdasarkan pada dalil-dalil
yang qath’i seperti kewajiban melaksanakan sholat, zakat, puasa, ibadah haji, atau
haramnya melakukan zina, mencuri;tentang ancaman hukuman yang telah ditentukan
akurannya(Al-‘uqubat wa al-muqaddarat), dan semua ketentuan hukum islam yang
diketahui secara mudah dan jelas.Semua itu telah ditetapkan hukumnya didalam al
quran dan As- sunnah. Kewajiban shalat dan zakat berdasarkan firman SWT. dalam
surah An-Nur : 56

‫َواَقِ ْي ُموا الص َّٰلوةَ َو ٰاتُوا ال َّز ٰكوةَ َواَ ِط ْيعُوا ال َّرس ُْو َل لَ َعلَّ ُك ْم تُرْ َح ُم ْو َن‬
“Dan laksanakanlah salat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada Rasul (Muhammad),
agar kamu diberi rahmat.

Ayat tersebut tidak boleh dijadikan lapangan ijtihad untuk mengetahui maksud shalat
2. Syarat yang dijadikan lapangan ijtihad, yaitu hukum yang didasarkan pada
dalil-dalil yang bersifat zhanni, baik maksudnya, petunjuknya , ataupun
eksitensinya(tsubut), serta hukum-hukum yang belum ada nash-nya dan ijma para
ulama, atau ayat-ayat dan hadis-hadis yang maknanya tidak secara tegas menunjuk
makna tertentu, sehingga mengandung kemungkinan makna lain yang dimaksudkan
selain makna yang segera terbayang pada benak kita, ketika memahani redaksi ayat atau
hadis tersebut.

Apabila ada nash yang keberadaannya masih hammi, hadis ahad misalnya, maka
yang terjadi lapangan( ijtihad di antaranya adalah peneliti bagaimana sanadnya,derajat
pada perawinya, dan lain-lain. Sedangkan terhadap permasalahan yang tidak ada nash-
nya , maka yang terjadi lapangan ijtihad adalah dengan cara mengunakan kaidah-kaidah
yang bersumber dari akal, seperti qiyas, istihsan,mashlahab mursalah dan lain-lain .
Namun permasalahan ini banyak di perdebatkan di kalangan para ulama.

7
Jadi, yang menjadi objek/ lapangan ijtihad ialah sebagai berikut6:

1. Semua ayat alquran dan hadis yang dari segi keberadaannya bersifat qath’i,
tetapi dari segi dalalahnya bersifat zhanni

2. Semua ayat-ayat alquran yang diriwayatkan tidak secara mutawatir (yang


tidak terdapat di dalam mushaf ustmani), yaitu yang termasuk dalam utsmani), yaitu
yang termasuk dalam qira’ah dan syadzdzah.

3. Persoalan-persoalan hukum yang tidak terdapat nashsh alquran atau hadist


atau ijma’ yang menjelaskan hukumnya.Dalam hal ini, untuk menentukan
hukumnya,digunakan dalil yang bersifat penalaran hukum, seperti: qiyas,
ihtisan,mashlahah mursalah,’ufr,istishhab,atau dalil-dalil yang lain, yang dalam
pengunaanya terdapat banyak perbedaan pendapat antara satu mazhab dengan mazhab
lainya.

b. Kaidah-Kaidah yang bersumber dari Akal

1. Qiyas

Qiyas secara etimologi bermakna menyamarkan sesuatu sedangkan menurut


istilah sebagaimana di sampaikan oleh para ulama ahli ushul fiqh yang artinya:
“menyamakan hukum suatu peristiwa peristiwa yang tidak ada nash mengenai
hukumnya,dengan suatu peristiwa yang telah ada nash hukumnya, karena adanya
persamaan ‘illah.7

Qiyas merupakan metode pertama yang dipegang para mujtahid untuk


menginstibatkan hukum yang tidak diterangkan nash, sebagai metode yang terkuat dan
paling jelas.Beberapa contoh qiyas, jual beli saham(indent) dibolehkan karena dikecuali
dengan hadist Nabi SAW “ rasulullah melarang menjual barang yang tidak hadir dan
memberikan dispensasi pada jual beli indent”

Diqiyaskan denganya jual beli barang yang sudah ada atau dan barang yang akan
ada dari buah batang kayu karena samanya hajat kepada keduanya dand berlakunya
kebiasaan orang melakukanya tanpa menimbulkan sengketa. Diqiyaskan pula kepada-
nya, jual beli sesuatu yang masih ditempa.

2. Itihsan

6
Rahman Dahlan, “ Ushul Fiqh”. Jakarta : Amzar, 2014, Hal 374
7
Rosidin, Pengantar Hukum Islam dari Semenanjung Arabia sampai Indonesia. Yogyakarta : Lintang Rasi
Aksara Books,2016, hal 118

8
Istihsan merupakan metode ijtihad birra’yi (dengan rasio )yang kedua. Menurut
pengertian bahasa Arab, Istihsan adalah “ menjadikan atau mengangap sesuatu itu baik.
Atau “ mengikuti sesuatu yang baik secara hissy ( lahir ) dan ma’nawi.

3. Istishlah

Istishlah merupakan meetode penepatan hukum syara’ yang tak ada nashnya
yang amat subur dengan dia syariat dapat berjalan mengikuti perkembangan dinamika
manusia dan mewujudkan kemaslahatan mereka. Istishlah menurut bahasa mencari
maslahat , baik dalam artian kontrit, seperti dikatakan “ istishlah badanahu”( dia
mencari mashlahat, badannya), maupun dalam artian abstrak, seperti dikatakan ishtishah
khulqahu ( dia mencari maslahat akhlaknya)

Menurut istilah Ulama Ushul adalah menetapkan hukum suatu peristiwa hukum
yang tidak disebutkan nash, dan ijma, berlandaskan pada pemeriharaan ,mashlahah yang
tak ada dalil syara’ yang menunjukan diakuinya atau ditolaknya.

4. Istishab

Secara etimologi, istishab berarti i’tibar al-mushahabah (ungkapan penyertaan) ,


atau berarti istimrar al-shihhab (selalu menemani atau selalu menyertai ). Sedangkan
secara terminologis, istihab didefenisikan oleh ahli ushul sebagai “ menetapkan hukum
atas sesuatu menurut keadaan yang ada sebelumnya hingga ada dalil yang merubah
keaddan tersebut, atau dijadikan hukum yang ada pada masa lalu tetap berlaku hingga
sekarang sampai ada dalil yang merubahkan”.8

2. Macam- Macam Ijtihad

Dr. Dualibi membagi ijtihad menjadi 3 bagian, yang sebagian sesuai dengan
pendapat Asy-Syabiti dalam kitab Al-Mufaqat, yaitu

a. Ijtihad Al-Bayani yaitu suatu kegiatan ijtihad yang bertujuan untuk menjelaskan
hukum-hukum syara’ yang terdapat yang terdapat nashs Alquran dan sunnah

b. Ijtihad al-Qiyasi yaitu kegiatan ijtihad untuk menetapkan hukum syara’ atas
peristiwa- peristiwa hukum yang tidak nashsh Alquran maupun haditnya, dengan cara
mengqiaskan kepada hukum- hukum syara’ yang ada nashsh-nya.

c. Ijtihad al-Istishlah yaitu suatu kegiatan ijtihad untuk menetapkaan hukum syara’ atas
peristiwa-peristiwa hukum yang tidak ada nashs-nya, baik dari Alquran maupun sunah,
melalui cara penalaran berdasarkan prinsip al-istishlah (kemaslahatan).

8
Marzuki, “ Pengantar Studi Hukum Islam Prinsip Dasar Memahami berbagai Konsep dan Permasalahan
Hukum Islam di Indonesia”. Yogyakarta: Penerbit Ombak ( Aggota 1KAPI),2017, Hal 117

9
Menurut Muhammad Taqiyu al-Hakim pembagian ijtihad di atas belum
sempurna , diapun megungkapkan beberapa alasan diantaranya jami wal mani:
menurutnya, ijtihad dibagi 2, yaitu :

a. Ijtihad al-agli, yaitu hujjahnya didasarkan pada akal, tidak mengunakan dalil syara
Mujtahid dibebaskan berfikir, dengan mengikuti kaidah-kaidah yang pasti.

b. Ijtihad syari yaitu ijtihad yang didassarkan pada syara’ termasuk dalam permbagian
ini adalah Tima qiyas Istihad, istishlah, urf istishab,dan lain-lain.

D. Sejarah Ijtihad

Secara umum, mulanya fiqh hanya berupa catatan-catatan yang memuat


yuridprudensi dan interpretasi-interpretasi para sahabat terhadap materi-materi hukum
yang ada dalam al-Quran dan Sunnah. Setelah tiba masa registrasi dan kodifikasi
Hukum Islam, mulai terbentuk pola-pola dan metode penalaran Hukum Islam sebagai
cara mengolah sumber-sumber hukumnya menjadi diktum-diktum hukum yang
dibutuhkan oleh umat manusia dalam penyelengaraan ibadahnya dan penertiban
muamalahnya dalam kehidupan bermasyarakat dan berpemerintah. Metode berijtihad
yang dikembangkan oleh ulama mujtahid biasanya disebut “ mazhab”. Pada mulanya
tercatat 500 mazhab, tetapi kemudian menciut menjadi puluhan dan setelah melalui
seleksi ilmiah selama beberapa abad, kini tinggal 4 mazhab yang terkenal dan
diberlakukan di seluruh dunia.

Secara historis, ijtihad pada sadasarnya telah tumbuh sejak masa-masa awal
islam, yaitu sejak zaman Nabi saw.dan berkembang pada masa sahabat dan tabiin .
Banyak riwayat yang menjelaskan betapa Rasulullah memberikan wewenang kepada
para sahabat beliau untuk melakukan ijtihad. Salah satu yang paling sering diungkapkan
dalam kitab-kitab ushul fiqh ialah kisah pengutusan Mu’az bin Jabal ke Yaman. Dalam
riwayat tersebut disebutkan bahwa Rasullullah memuji Mu’az ketika dia menjelaskan
metode ijtihad, dimana sumber hukum secara berturut-turut ialah al-Quran, Sunnah, dan
ar-ra’y(penalaran hukum).Dalam hal ini ia berkata :” ajtahid ra’yi ( saya berijtihad
mengunakan nalar saya).

Wewenang untuk berijtihad yang diberikan Rasulullah kepada sahabat itu,


ternyata belakang sangat berguna untuk menjawab persoalan-persoalan yang timbul
setelah wafatnya beliau. Akan tetapi masa Rasulullah ijtihad yang dilakukan para
sahabat selalu dikonfirmasikan hasilnya kepada beliau untuk mendapat pengesahan,
ataupun mendapat koreksi dari Rasulullah jika ternyata hasil ijtihad mereka keliru.

10
Pada zaman sahabat besar terutama khulafaur rasidin dan para sahabat
terkemuka lainya,seperti Zaid Bin Shabit dan Abdullah bin Mas’ud, gairah ijtihadiyah
semakin berkembang karena sudah mulai terasa keperluanya. Pada masa sahabat, ijtihad
itu benar-benar berfungsi sebagai alat pengali hukum bahkan dipandang sebagai suatu
kebutuhan yang harus dilakukan guna menyelesaikan berbagai kasus yang ketentuan
hukumya tidak secara tegas dan jelas mereka jumpai didalam al-Quran dan Sunnah.
Para sahabat Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, melakukan ijtihad dan mempergunakan qiyas.
Mereka mengadakan ijtihad diberbagai tempat dan menganalogikan sebagian lain serta
membandingkan penalaranya dengan penalaran yang lain. Masalah khilafiyah juga
merupakan hal yang tak terhindarkan dalam kurun waktu perkembangan ijtihad, yang
dengan ini memberikan sumbagan intelektual yang amat berharga bagi dunia ijtihad

Pada masa Bani Umayah ijtihad juga berdasarkan pada al-Quran,


Sunnah,Ijma,dan ra’yu, akan tetapi banyak terjadi peristiwa-peristiwa baru baik politik
maupun non politik yang berpengaruh pada revolusi ijtihad. Perpecahan dan
pertingkaian di kalangan umat islam sekitar permasalahan khilafah dan siapa yang
berhak memegang pemerintahan yang hal ini melahirkan kelompok-kelompok seperti
khawarij, syiah dan jumrah yang menentang kedua kelompok tersebut. Maing-masing
kelompok tersebut berpendirian pada prinsip ilmu yang berbeda, pokok-pokok dan
kaidah-kaidah sendiri serta pendapat-pendapat subjektif mereka.

Masa khilafah Bani Abbasiyah mencapai masa yang pantas disebut masa
aktivitas atau masa kematangan dalam berfikir. Pada periode ini lahir 13 orang mujtahid
yang mana pendapat mereka dibukukan dan dipanuti banyak orang dan juga diakui oleh
jumrah ulama islam. Para ulama fiqh, jauh sebelum tejadi kasus baru, telah
memperisapkan perangkat hukun bagi usaha ijtihad dikemudian hari agar masyarakat
dapat menghadapi perubahan zaman dengan tetap berlandasan syariat.Pada masa tabiin
ini dan dua atau tiga kurun generadi berikutnya yang disebut masa pembinaan dan
pembukuan Fiqh Islam atau masa istirahat dan keemasan fiqh Islam, fiqh Islam
mencapai puncak kejayaannya bersama dengan kemajuan dunia Islam di hampir semua
bidang masa inilah muncul mujtahid yang kemudian dijadikan sebagai mazhab-mazhab
yang masyhurnya sekarang ini adalah 4 mazhab. Namun fase ini hanya mampu bertahan
selama kurang lebih dua setengah abad.

Ketika masa ijtihad para ulama pasca ijtihad, tidak ada lagi orang yang memiliki
kemampuan tinggi dalam berijtihad setelah Muhammad bin jarir at-tabari yang
memberanikan diri dalam beristinbat dan berfatwa. Bahkan mereka mengekang hak
kebebasan diri mereka. Pada fase ini, dunia istirahat mengalami kemunduran dan
akibatnya fiqih Islam pun menjadi lambat dan mengalami kebekuan. Semangat ijtihad
para mujtahid mengalami kelesuan dan khualitas serta kuantitas mereka semakin
menurun.

11
Masa kemunduran fiqh islam yang berlangsung sejak pertengahan abad ke-4 sampai
akhir abad ke-13 Hijriyah ini disebut dan dijuluki sebagai ‘periode taklid dan penutupan
pintu ijtihad, tindakan ini dipandang benar pada masa itu, bahkan ada berita bahwa
terdapat fuqaha yang merasa tidak keberatan pintu ijtihad ditutup rapat.

Dalam hal apakah suatu zaman boleh terjadinya kekosongan mustahil atau tidak
ada yang berijtihad, pada ulama berselisih pendapat dalam hal ini. Golongan Hanabilah,
dan azzubaidi dari golongan asy Syafi'iyah berpendapat bahwa tidak boleh pada suatu
zaman terjadi kekosongan mujtahid. Ijtihad merupakan fardhu kifayah, sebab peristiwa
yang terjadi ini tidak terbatas, kalau suatu zaman tidak ada seorang mujtahid pun akan
berarti manusia ini akan berhimpun untuk selalu berbuat baik dalam keliru. Akan tetapi
pendirian ini dibantah oleh kebanyakan ulama, diantara mereka ar-Raziy,al- Ghazali, al
Qaffal, dan beberapa ulama lainnya dari berbagai macam mazhab. Menurut mereka
boleh saja satu zaman itu kosong dari mujtahid.

Sedangkan ijtihad yang menjadi implementasi dan kebutuhan pada masa kini
pada dua macam yaitu

1.Ijtihad intiqa’i

Ijtihad intiqa’i adalah memilih satu pendapat dari beberapa pendapat terkuat
yang terdapat pada barisan fiqih Islam yang penuh dengan keputusan hukum. Ijtihad
dalam hal ini yaitu mengadakan studi komparatif terhadap pendapat itu dan memiliki
kembali dalil-dali nash atau dalil-dalil ijtihad dari ijtihad yang akhirnya kita dapat
memiliki kenampakan yang terkuat dalamnya dan alasannya pun sesuai dengan ‘kaidah
tarjih’ dan di atasnya pendapat itu mempunyai relevansinya dalam kehidupan pada
zaman sekarang hendaknya pendapat itu mencerminkan kelemahan dan kasih sayang
kepada manusia enaknya pendapat itu lebih mendekati kebudayaan dan diterapkan oleh
hukum Islam, lebih memproditaskan untuk merealisasikan masuk cara kemaslahatan
manusia dan menolak marabahaya dari mereka.

2. Ijtihad Insya’i

Ijtihad Insya’i adalah mengambil konklusi hukum baru dari suatu persoalan,
yang persoalan itu belum pernah dikemukakan oleh ulama-ulama dahulu. Baik itu
persoalan lama atau baru.Dalam ijtihad ini diyakini bahwa permasalahan ijtihad yang
menyebabkan kesulitan di kalangan para pakar fiqh terdahulu atas dua pendapat, maka
boleh seorang mujtahid masa kini memunculkan pendapat ketiga. Karena adanya siapa
dalam permaslahan tersebut menunjukkan bahwa masalah tersebut menerima berbagai
macam interpretasi dengan serta apa perbedaan pendapat.Dan pendapat-pendapat orang
yang berhak ijtihad itu tidak boleh dibekukan dan diberhentikan pada batas tertentu.
contoh Syekh Abdullah bin Zaid al Mahmud sebagai ketua presiden dan agama Qatar

12
berpendapat bahwa membawa boleh menggunakan pakaian ihram dari Jeddah bagi
jamaah haji yang naik pesawat terbang. Ini merupakan hasil ijtihad insya’i baru sebab
pesawat terbang belum dikenal dahulu, dengan demikian syekh Abdullah beralasan
bahwa ditetapkannya miqat-miqat haji di tempat tertentu karena terdapat itu berada pada
jalur menuju Mekah. Tempat miqat tersebut semuanya terletak di pinggir kota
Hijaz.Disebabkan bahwa sekarang jeddah itu menjadi rute bagi semua jamaah haji yang
naik pesawat dan dengan dalih adanya keterpaksaan, mereka butuh akan penonton miqat
di bumi untuk tempat memulai mengenakan pakaian ihram untuk haji dan umroh, maka
wajiblah memenuhi kebutuhan mereka.

13
BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan di atas disimpulkan bahwa ijtihad adalah mencurahkan


semua kemampuan dalam segala perbuatan.Dalam ushul fiqh,para ulama ushul fiqh
mendefenisikan ijtihad secara berbeda-beda.Misalnya menurut imam Al-Ghazali ijtihad
merupakan upaya maksimal secara mujtahid dalam mendapatkan pengetahuan tentang
hukum-hukum syara.Kedudukan ijtihad sebagai sumber hukum islam adalah sebagai
sumber hukum hukum ketiga setelah Al-Quran dan Al-Hadist.Jenis-jenis ijtihad antara
lain adalah : ijma’,qiyas ,mashalihul mursalah ,istishab,sududz dzariyah,urf,dan istishan.

2. Saran

Istilah yang dapat kami paparkan dalam makalah ini ,yang tentunya pembahasan
tentang ijtihad. Pada pembahasan tersebut kami selaku pembuat makalah ini sangat
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun . Kami juga mengharapkan
makalah ini sangat bermanfaat untuk kami khususnya dan pembaca umumnya.

14
DAFTAR PUSTAKA

Asasriwarni ,”Pengantar Studi Hukum Islam”. Sumatera Barat. : Pustaka Artaz.2020.

Dahlan Rahmad, “ Ushul fiqh”. Jakarta: Amzar, 2014.

Efendi Santria,” Ushul Fiqh”,Jakarta: Kencana,2009.

Marzuki, Pengantar Studi Hukum Islam Prinsip Dasar Memahami berbagai Konsep dan
Permasalahan Hukum di Indonesia.Ygyakarta:Penerbit Ombak (Anggota
1KAPI),2017.

Rosidin, Pengantar Hukum Islam dari Semenanjung Arabia sampai Indonesia.


Yogyakarta : Lintang Rasi Aksara Books,2016.

15

Anda mungkin juga menyukai