Anda di halaman 1dari 18

IJTIHAD SEBAGAI SUMBER HUKUM

ISLAM

TIM PENYUSUN

1. Nisa Fitria
2. Utri Handayani
3. Furilah Rizki
4. M. Afif Hasan
5. Eva Fitriana Nur Utami

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI


PUTRA BANGSA KEBUMEN
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah hirobbilalamin, puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT yang
telah melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya kepada penyusun, sehingga penyusun dapat
menyelesaikan makalah ini dengan baik dan pada waktu yang telah ditentukan. Sholawat serta salam
semoga tetap tercurahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW, yang membimbing umatnya dari
zaman jahiliyah menuju zaman Islamiyah yakni ajaran agama Islam.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam, tentang
Ijtihad sebagai Sumber Hukum Islam. Penyusun berharap makalah ini dapat menambah pengetahuan
pembaca. Tim penyusun tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada Dosen Pembimbing serta semua
pihak yang terlibat dalam penyusunan makalah ini. Tim penyusun berharap semoga semua yang telah
berjasa dalam penyusunan makalah ini mendapat balasan yang sebaik-baiknya dari Allah SWT.

Akhirnya tim penyusun menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna. Untuk itu tim
penyusun mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca, sehingga makalah ini
bisa mencapai kesempurnaan.

Kebumen, 10 Oktober 2015

Tim Penyusun

2
DAFTAR ISI

Kata pengantar .................................................................................................................... 2

Daftar isi .............................................................................................................................. 3

BAB I (Pendahuan )

1.1 Latar Belakang............................................................................................................... 4

1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................................... 5

1.3 Tujuan Penulisan ........................................................................................................... 5

BAB II ( Pembahasan )

a. Pengertian Ijtihad ..................................................................................................... 6


b. Syarat-syarat mujtahid ............................................................................................ 8
c. Hukum berijtihad dikalangan ulama ...................................................................... 9
d. Metode-metode Ijtihad ......................................................................................... 11
e. Fungsi-fungsi Ijtihad ............................................................................................. 13
f. Contoh Ijtihad ....................................................................................................... 14

BAB III ( Penutup )

a. Kesimpulan ............................................................................................................ 17
b. Kritik dan saran ..................................................................................................... 17

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Ijtihad merupakan upaya untuk menggali suatu hukum yang sudah ada pada zaman Rasululloh
SAW. Dan perkembangan ijtihad dilakukan oleh para sahabat, tabiin serta masa-masa selanjutnya
hingga sekarang. Rosululloh sendiri adalah Mujtahid (ahli ijtihad) yang pertama. Ijtihadnya terbatas
dalam masalah-masalah yang belum ditetapkan hukumnya oleh wahyu (Al quran). Apabila hasil
ijtihad rosululloh saw itu benar, maka turun wahyu membenarkannya, dan apabila ijtihad rosululloh
salah maka turun wahyu untuk meluruskan kesalahannya. Contohnya: rosululloh menerima
pembenaran wahyu tentang pembebasan tawanan perang Badr, Ketika itu umat Islam memenangkan
pertempuran dan banyak tentara musuh yang tertawan. Rasulullah saw. bertanya kepada sahabat-
sahabatnya mengenai tawanan perang tersebut. *Umar bin Khatab menjawab: Tawanan perang itu
hendaknya dibunuh. Sedengkan *Abu Bakar as-Siddiq menyatakan, agar tawanan itu dibebaskan
dengan syarat membayar *fidyah (denda). Rasulullah saw. mengambil keputusan agar tawanan itu
dibebaskan dengan membayar fidyah. Keputusan ini menupakan ijtihad Rasulullah saw. meskipun
dimusyawarahkan terlebih dahulu dengan sahabat-sahabatnya. Lalu turunlah surah al-anfal ayat 67-69
yang membenarkan ijtihad Rasulullah saw. adapun contoh ijtihad Rasulullah saw. yang salah ialah
tentang keputusannya pemberian izin orang-orang munafik untuk tidak ikut dalam peperangan. Lalu
turun surah at-Taubah ayat 43-45 yang menyatakan kekeliruan ijtihad Rasulullah saw.

Ijtihad mempunyai peranan yang penting dalam kaitannya pengembangan hukum Islam.
Sebab, dalam kenyataannya di dalam Al-Quran terdapat ayat-ayat Muhkamat (jelas kandungannya)
dan ada yang Mutasyabihat (memerlukan penafsiran (belum terang). Dari sinilah, sehingga ajaran
Islam selalu menganjurkan agar manusia menggunakan akalnya. Apalagi agama Islam sebagai
Rahmatan lil Alamin (Rahmat bagi seluruh alam) membuat kesediaannya dalam menerima
perkembangan yang dialami umat manusia. Sehingga secara pasti cocok dan tepat untuk diterapkan
dalam setiap waktu dan tempat. Maka peranan ijtihad semakin penting untuk membuktikan keluasan
dan keluwesan hukum Islam.

Sesungguhnya ijtihad adalah suatu cara untuk mengetahui hukum sesuatu melalui dalil-dalil
agama yaitu Al-Quran dan Al Hadist dengan jalan istimbat. Adapun Mujtahid yaitu ahli ilmu fiqih
yang menghabiskan atau mengerahkan seluruh kesanggupannya untuk memperoleh persangkaan kuat
terhadap suatu hukum agama. Oleh karena itu, kita harus berterimakasih kepada para Mujtahid
terdahulu yang telah mengorbankan waktu, tenaga dan pikiran untuk menggali hukum tentang
masalah-masalah yang dihadapi oleh umat Islam baik yang sudah lama terjadi di zaman Rosululloh
SAW maupun yang baru terjadi

4
1.2 RUMUSAN MASALAH

Dalam penulisan makalah ini, penulis merumuskan beberapa masalah diantaranya


sebagai berikut :

a. Apa yang dimaksud dengan Ijtihad ?


b. Apa saja syarat-syarat mujtahid ?
c. Bagaimana Hukum berijtihad dikalangan Ulama ?
d. Apa saja metode-metode Ijtihad ?
e. Apa saja fungsi-fungsi Ijtihad ?
f. Contoh Ijtihad .

1.3 TUJUAN PENULISAN

1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam


2. Menambah pengetahuan penulis dan pembaca mengenai Ijtihad
3. Untuk mengetahui pengertian Iijtihad
4. Untuk mengetahui syarat-syarat Mujtahid atau orang yang melakukan Ijtihad
5. Untuk mengetahui bagaimana hukum berijtihad dikalangan Ulama
6. Untuk mengetahui apa saja metode-metode Ijtihad
7. Untuk mengetahui fungsi-fungsi Ijtihad
8. Untuk mengetahui contoh ijitihad

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN IJTIHAD

Pasca Rasulullah SAW wafat, aktifitas Ijtihad merupakan tren keilmuan yang
berkembang pesat. Keberadaannya berfungsi sebagai pelayanan umat, merekomendasikan
solusi problematika aktual yang berkembang dengan corak kehidupan tiap-tiap generasinya,
tanpa terlepas dari mainstream syariat. Sehingga lahirlah kekayaan dibidang ilmu fiqih yang
tiada taranya dalam sejarah. Iklim keilmuan semacam ini berlangsung hingga pertengahan
kurun waktu tahun ke empat hijriyah.

Kata ijtihad (Al- ijtihad) berakar dari kata al-juhd, yang berarti al-thaqah (daya,
kemampuan atau kekuatan) atau dari kata al-jahd yang berarti al masyaqqah (kesulitan,
kesukaran) dari itu secara harfiah, ijtihad adalah suatu ungkapan dari pengerahan daya
kemampuan untuk mewujudkan sesuatu yang di tuju. Karenanya, kosakata ijtihad hanya
digunakan untuk sesuatu yang mengandung beban dan kesulitan. Sedangkan secara
terminologis, terdapat beberapa pendefinisian sebagaimana yang diutarakan oleh beberapa
pakar, yaitu:

1. Pengerahan kemampuan dalam mendapatkan pengetahuan bertaraf asumtif (zhann)


atas hukum-hukum syara, dengan upaya maksimal dimana kemampuan diri tidak
dapat lagi memberikan sesuatu yang lebih dari itu. Definisi ini diungkapkan oleh Al-
Amudi dan ibn Al-Hajib. Dengan pengertian ini ijtihad hanya belum mencakup
pengetahuan bertaraf zhanni, kebenaran qathi (pasti) belum tercakup didalamnya.
2. Pengerahan kemampuan dari seorang mujtahid dalam mencapai keyakinan atas
hukum-hukum syara. Definisi yang diungkapkan Al-Ghazali ini berkebalikan dari
definisi pertama, yakni hanya mengkaitkan ijtihad dengan objek hukum berdimensi
kebenaran pasti, padahal sebagian besar produk ijtihad adalah pengetahuan bertaraf
zhanni.
3. Pengerahan kemampuan dalam menentukan hukum-hukum syara. Definisi yang
dilontarkan Al-Baidlawi ini mencakup dimensi kebenaran rasio (aqliyah) dan
dokstrinsial (naqliyyah), kebenaran pasti (qathi) dan kebenaran asumtif (zhanni).
4. Al-Zarkasyi mendefinisikan bahwa ijtihad adalah pengerahan segala kemampuan
dalam menemukan hukum-hukum syariat berdimensi praktik (amaliyah) dengan jalan
menggalinya dari sumber-sumbernya(istinbath). Definisi mengecualikan aktifitas
penggalian hukum-hukum syariat berdimensi keyakinan.

6
Sedangkan pengertian ijtihad yang sering dikemukakan para ulama ushul al fiqh
adalah definisi Imam al-Ghazali yang dikutib oleh Ahmad Zahra, ijtihad adalah Pengerahan
kemampuan seseorang mujtahid dalam rangka memperoleh pengetahuan tentang hukum
syara.

Definisi diatas setidaknya mengandung tiga unsur ijtihad, yaitu:

1. Pengerahan segenap kemampuan, yang berarti ijtihad merupakan usaha jasmani,


rohani, tenaga, pikiran, waktu maupun biaya dan bukan ala kadarnya.
2. Seorang mujtahid, yang mengandung arti bahwa ijtihad hanya mungkin dan boleh
dilakukan oleh seorang yang telah memenuhi persyaratan tertentu, sehingga mencapai
tingkatan mujtahid, dan bukan oleh sembarang orang.
3. Guna memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum syara yang mengandung arti
bahwa capaian ijtihad adalah ketentuan hukum yang menyangkut tingkah laku
manusia dalam kaitannya dengan pengamalan ajaran agama.

Dikalangan ahli fiqih, ijtihad merupakan terminology yang berjenjang. Ada yang
digolongkan ijtihad mutlaq. Ada juga yang disebut ijtihad muqoyyad atau muntasib. Yang
pertama adalah ijtihad seorang ulama dalam bidang fiqih, bukan saja menggali hukum-hukum
baru, melainkan juga memakai metode baru, hasil pemikiran orisinil. Inilah tingkatan ijtihad
para peletak madzhab, yang pada pertumbuhan fiqih, sekitar abad 2-3 hijriyah, jumlahnya
mencapai belasan. Tapi karena seleksi sejarah akhirnya yang bertahan dalam arti diikuti
mayoritas umat Islam hanyalah empat; Abu Hanifah (peletak madzhab Hambali), Malik bin
Anas (peletak madzhab Maliki), Muhammad bin Idris as-Syafii (peletak madzhab Syafii),
dan Ahmad bin Hanbal(peletak madzhab Hanbal).

Sedang ijtihad muqayyad atau muntasib adalah ijtihad yang terbatas pada upaya
penggalian hukum (istinbath al ahkam), dengan piranti atau metode yang dipinjam dari hasil
pemikiran orang lain. Misalnya, dalam lingkup madzhab Syafii kita mengenal nama-nama,
seperti an-Nawawi, artinya Rofii atau imam haramain. Mereka adalah orang-orang yang telah
melakukan fungsi itu dengan otoritas yang diakui(mutamad), tetapi metode (manhaj) yang
digunakan adalah manhaj Imam Syafii.

Dalam hal ini, ijtihad bukan saja mencari kebenaran atau hukum-hukum yang
berhubungan dengan hukum fiqih yang ada, melainkan juga membahas masalah-masalah
yang berkaitan dengan isu sentral dalam sejarah pemikiran politik dan termasuk juga
pemikiran politik islam.

7
B. SYARAT-SYARAT MUJTAHID
Ijtihad adalah tugas suci keagamaan yang bukan sebagai pekerjaan mudah, tetapi pekerjaan
berat yang menghendaki kemampuan dan persyaratan tersendiri. Oleh sebab itu, tidak mungkin
semua orang dapat melakukannya, sekalipun mereka tetap memiliki hak untuk itu. Seperti
dalam dunia kedokteran, memang hak semua orang untuk bisa berbicara tentang kesehatan,
tetapi tidak semua memiliki otoritas melakukan diagnosis dan membuat resep, kecuali dokter.
Sebab jika semua orang diberi wewenang melakukan diagnosis dan membuat resep, akibatnya
adalah bahaya bagi kehidupan manusia sendiri. Demikian pula ijtihad, jika semua orang
melakukan ijtihad maksudnya: ijtihad mutlak, maka akibatnya pun akan membahayakan
kehidupan umat.

Ijtihad mesti disertai pemahaman, sedang setiap pemahaman memerlukan keahlian,


sementara keahlian membutuhkan persyaratan. Sebagaimana halnya setiap ilmu ada ahli dan
pakar di bidangnya yang telah memenuhi persyaratan sesuai ketentuan dalam bidang tersebut.
Orang yang tidak ahli di bidangnya tentu tidak dapat dan tidak boleh memaksakan diri untuk
berijtihad.

Ada banyak rumusan mengenai persyaratan mujtahid yang diajukan para ulama
dengan variasi peristilahan yang berbeda namun dapat dikatakan mengandung substansi yang
hampir sama. Disini cukup dijelaskan persyaratan yang dianggap pokok dan menjadi semacam
kesepakatan ulama yang mengemukakan syarat-syarat bagi seseorang yang berhak dan layak menjadi
mujtahid, yaitu:

1. Menguasai al-Quran dan ilmu-ilmu yang terkait dengannya. Penguasaan terhadap al-Quran
yang dimaksud adalah hafal (kalau mungkin) atau hamper hafal seluruhnya dan memahami
kandungannya, terutama ayat-ayat yang terkait dengan hukum, yang menurut al-Ghazali ada
sekitar 500 ayat. Sedang yang dimaksud ilmu-ilmu terkait dengan pehaman al-Quran antara
lain ilmu tentang sebab-sebab turunnya ayat, nasikh-mansukh (penggantian suatu ayat dengan
ayat yang lain).
2. Menguasai al-Hadits al-shahih (hadist yang sahih) terutama yang berhubungan dengan hukum
dan harus memahami ilmu-ilmu yang berkait dengannya, seperti ilmu dirayah dan riwayah,
sebab-sebab wurud (terjadinya) Hadits dan sebagainya. Seorang mujtahid tidak dituntut hafal
semua Hadits tentang hukum, melainkan cukup mengetahui letaknya ketika hendak
dipergunakan. Tetapi jika hafal seluruh ayat maupun hadist hukum tentu lebih baik dan
sempurna.
3. Menguasai ilmu ushul al-fiqh beserta kaidah-kaidahnya. Penguasaan terhadap ilmu ini penting
karena dengannya dapat diketahui kaidah-kaidah istinbath hukum yang berguna untuk
memastikan suatu dalil dan mengambil suatu kesimpulan dalam rangka menetapkan
hukumsuatu masalah. Al-Ghazali menganggap penguasaan terhadap ilmu ushul al-fiqh
merupakan syarat yang penting di samping ilmu hadist dan ilmu bahasa.
8
4. Memahami tujuan pokok syariat Islam (maqosid asy-syariah). Seorang mujtahid harus
mengetahui tujuan-tujuan pokok syariat Islam agar tidak keliru lantaran terjebak dan terpaku
pada hukum-hukum yang bersifat juziy (bagian) tanpa mempertimbangkan maksud-maksud
hukum yang bersifat kulliy (keseluruhan).
5. Harus bertaqwa kepada Allah SWT. Syarat ini terutama dikaitkan dengan dapat diterima atau
tidaknya fatwa yang dikeluarkan sebagai hasil ijtihad yang dilakukan, dan tidak berkaitan
dengan kemampuan yang dimiliki untuk melakukan ijtihad.
6. Mengetahui obyek ijma mujtahid generasi terdahulu, sehingga seorang mujtahid tidak
mencetuskan suatu hukum yang menyalahi garis consensus pendahulunya. Dalam
permasalahan ini, seorang mujtahid tidak harus hafal semua permasalahan yang telah
disepakati dalam forum ijma. Yang menjadi keharusan hanyalah memastikan bahwa hukum
yang dicetuskan tidak melanggar garis consensus para mujtahid, adakalanya sintesa hukum
yang tercetuskan tersebut bersesuaian dengan salah satu madzhab ulama, atau ia memiliki
dugaan kuat bahwa kasus yang dihadapinya merupakan permasalahan kontemporer yang
belum mendapatkan penyikapan hukum dari generasi sebelumnya.
7. Memiliki cakrawala luas dalam penguasaan bahasa arab dari sisi vocabulary (lughat),
gramatika (nahwu-sharf), sastra dan gaya bahasa (maani-bayan), dengan sekedar
pengetahuannya untuk memahami komunikasi orang arab dengan kebiasaan pemakaiannya,
berupa kata-perkata dan susunan kata, makna umum dan khusus, hakikat dan majas, serta
mutlaq dan muqoyyad.

C. HUKUM BERIJTIHAD DI KALANGAN ULAMA


Persoalan lain yang perlu dibicarakan dalam ijtihad ini adalah hukum berijtihad. Imam
Asy Syaukani menukilkan ucapan sebagian ahli fiqih yang artinya: Hendaknya di setiap
negara terdapat orang yang mampu berijtihad. Sebab ijtihad itu termasuk fardlu kifayah
hukumnya.

Imam An Nawawi menyebutkan, bahwa ijtihad mustaqil (yang menggunakan


manhajnya sendiri langsung dari dalil syara) telah terhenti sejak awal abad IV hijrah,
sedangkan ijtihad muntasib (yang mendasarkan manhaj sesuatu aliran) masih selalu ada
sampai munculnya tanda-tanda kiamat kubro. Dan ijtihad muntasib ini tidak boleh terputus
karena hukumnya fardlu kifayah. Kapan saja penduduk suatu kota mengabaikan ijtihad
muntasib ini dan meninggalkannya, maka berdosalah semuanya. Demikian juga menurut
pendapat Imam al Mawardi, ar Robbani, al Banawi dan sebagainya.

Ibnu Shalah berkata: Pendapat yang saya lihat dari buku-buku para Imam
mengisyaratkan bahwa yang dihukumi fardlu kifayah adalah mujtahid muqayyad
sedangkan pendapat yang kuat menurut saya bahwa yang dihukumi fardlu kifayah adalah
ijtihad mutlak.

9
Maksud Ibnu Shalah ialah, untuk melaksanakan fardlu kifayah ini harus ada mujtahid
yang mampu menggunakan dalil-dalil syara secara langsung.

Atas dasar ini, seorang ulama yang telah memiliki dalam dirinya kemampuan untuk
berijtihad dan tersedia fasilitas-fasilitas untuk ijtihad hendaknya melengkapi dirinya dengan
syarat-syarat ijtihad di bidang ini dan berusaha terus untuk memperluas serta
memperdalamnya sehingga ia mencapai derajat ijtihad mutlak. Guna menutup lobang
kekosongan dan mengangkat kesulitan dan dosa dari umat Islam, sekarang dilakukan ijtihad
jamai.

Ketetapan hukum demikian ini berlaku secara umum dalam segala perbuatan yang
hukumnya fardlu kifayah. Bila terdapat seorang yang memenuhi syarat untuk
melaksanakannya hendaknya ada yang maju mengisi kekosongan ini sebagai tanda syukur
kepada Allah yang telah melimpahkan nikmat kepada dirinya.

Uraian di atas adalah berkenaan dengan hukum ijtihad bila dilihat dari segi deskripsi
dan kemampuan. Kalau dilihat dari sudut bermunculannya kejadian yang menuntut adanya
fatwa, sebagian ahli ushul membagi tiga yaitu; fardlu ain, fardlu kifayah, dan nadb.

Pertama, Ijtihad itu fardlu ain dalam dua keadaan:

a. Ijtihad yang harus dilakukan oleh diri seorang mujtahid, ketika muncul suatu kejadian-
kejadian dengan kata lain, ia harus berijtihad untuk dirinya tentang hal yang berhubungan
dengan ibadah, muamalah, perkawinan, talaknya dan sebagainya.
b. Ijtihad dalam suatu perkara yang dimana dia harus memutuskan hukumnya (seperti tiadanya
orang selain dirinya sendiri yang bisa dipercaya kefasihan dan kemampuan agamanya. Di saat
demikian ini ia wajib berijtihad) bila kebutuhan mendesak cepat untuk menentukan hukum
kejadian itu, ia harus cepat pula berijtihad tetapi bila tidak terlalu mendesak, bolehlah ia
menundanya.
Kedua: Ijtihad yang fardlu kifayah, dalam dua keadaan:

a. Bila terjadi suatu perkara pada seseorang lalu minta fatwa kepada seseorang ulama, kewajiban
untuk menjawab fatwa itu dipikulkan kepada semua umat, terutama ulama yang diajukan
kepadanya pertanyaan itu. Kalau dia atau lainnya menjawab masalah tersebut gugurlah
kewajiban atas umat tetapi kalau tidak ada yang menjawab maka berdosalah semuanya.
b. Suatu hukum yang harus diputuskan oleh dua orang hakim dalam suatu majelis. Kewajiban
untuk memutuskan ini dipikulkan kepada kedua pundak hakim tadi. Bila salah seorang telah
menetapkan keputusannya, gugurlah kewajiban atas hakim yang kedua.
Ketiga: Hukum Ijtihad yang mandub (bersifat keutamaan), terdapat dalam dua keadaan:

a. Ijtihad seorang ulama terhadap perkara yang belum muncul sehingga ia telah mengetahui hukum
suatu perkara yang belum terjadi itu.
10
b. Ijtihad terhadap suatu perkara yang ditanyakan oleh seseorang kepadanya sebelum terjadinya
perkara itu.

Dalam pada itu perlu dicatat bahwa sebagian ulama menambahkan adanya ijtihad yang haram
hukumnya yaitu ijtihad yang bertentangan dengan dalil qathi sebab ijtihad tersebut dianggap sebagai
ijtihad tidak pada tempatnya. Di antara ijtihad yang haram itu adalah ijtihad orang yang tidak berhak
melaksanakan ijtihad yaitu ijtihadnya pemimpin yang tidak mempunyai kemampuan, telah
diungkapkan oleh hadits bahwa mereka memberi fatwa tanpa didasari ilmu sehingga sesat dan
menyesatkan.

D. METODE-METODE IJTIHAD
Metode-metode yang umum dipergunakan adalah Qiyas, Istihsan, Al-
Mashlahatul Mursalah, Istishhab,Urf.

1. Qiyas

Qiyas menurut bahasa Arab berarti menyamakan, membandingkan atau mengukur, seperti
menyamakan si A dengan si B, karena kedua orang itu mempunyai tinggi yang sama, bentuk tubuh
yang sama, wajah yang sama dan sebagainya. Qiyas juga berarti mengukur, seperti mengukur tanah
dengan meter atau alat pengukur yang lain. Demikian pula membandingkan sesuatu dengan yang lain
dengan mencari persamaan-persamaannya.

Menurut para ulama ushul fiqh, Qiyas ialah menetapkan hukum suatu kejadian atau
peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya kepada suatu kejadian atau
peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan 'illat
antara kedua kejadian atau peristiwa itu. Misalnya hukum minum bir (disebut farun) sama dengan
hukum minum khamar (disebut aslun), yaitu haram (disebut hukum asal), karena keduanya sama-sama
memabukan (disebut ilat hukum). Masalah-masalah yang boleh dilakukan dengan cara ini adalah
masalah-masalah atau kejadian-kejadian yang tidak ada ketentuan hukumnya di dalam Alquran dan
sunah.

2. Istihsan

Istihsan menurut bahasa berarti menganggap baik atau mencari yang baik. Menurut ulama
ushul fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang
ditetapkan berdasar dalil syara', menuju (menetapkan) hukum lain dari peristiwa atau kejadian itu juga,
karena ada suatu dalil syara' yang mengharuskan untuk meninggalkannya. Dalil yang terakhir disebut
sandaran istihsan. Mujtahid yang dikenal banyak memakai ishtihsan dalam meng-istinbath-kan hukum
adalah Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi).

11
Istihsan berbeda dengan qiyas. Pada qiyas ada dua peristiwa atau kejadian. Peristiwa atau
kejadian pertama belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan dasarnya.
Untuk menetapkan hukumnya dicari peristiwa atau kejadian yang lain yang telah ditetapkan
hukumnya berdasarkan nash dan mempunyai persamaan 'illat dengan peristiwa pertama. Berdasarkan
persamaan 'illat itu ditetapkanlah hukum peristiwa pertama sama dengan hukum peristiwa kedua.
Sedang pada istihsan hanya ada satu peristiwa atau kejadian. Mula-mula peristiwa atau kejadian itu
telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Kemudian ditemukan nash yang lain yang mengharuskan
untuk meninggalkan hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan itu, pindah kepada
hukum lain, sekalipun dalil pertama dianggap kuat, tetapi kepentingan menghendaki perpindahan
hukum itu. Dengan perkataan lain bahwa pada qiyas yang dicari seorang mujtahid ialah persamaan
'illat dari dua peristiwa atau kejadian, sedang pada istihsan yang dicari ialah dalil mana yang paling
tepat digunakan untuk menetapkan hukum dari satu peristiwa.
3. Al-Maslahatul Mursalah

Al-mashlahatul mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak disinggung oleh syara' dan
tidak pula terdapat dalil-dalil yang menyuruh untuk mengerjakan atau meninggalkannya, sedang jika
dikerjakan akan mendatangkan kebaikan yang besar atau kemaslahatan. Mashlahat mursalah disebut
juga mashlahat yang mutlak karena tidak ada dalil yang mengakui kesahan atau kebatalannya. Jadi
pembentuk hukum dengan cara mashlahat mursalah semata-mata untuk mewujudkan kemaslahatan
manusia dengan arti untuk mendatangkan manfaat dan menolak kemudharatan dan kerusakan bagi
manusia. Mujtahid yang dikenal banyak menggunakan metode al-maslahah al-mursalah adalah Imam
Hanbali dan Imam Malik.

4. Istishhab

'Istishhab menurut bahasa berarti "mencari sesuatu yang ada hubungannya." Menurut istilah
ulama ushul fiqh, ialah tetap berpegang kepada hukum yang telah ada dari suatu peristiwa atau
kejadian sampai ada dalil yang mengubah hukum tersebut. Atau dengan perkataan lain, ialah
menyatakan tetapnya hukum pada masa yang lalu hingga ada dalil yang mengubah ketetapan hukum
itu.
Menurut Ibnu Qayyim, istishhab ialah menyatakan tetap berlakunya hukum yang telah ada
dari suatu peristiwa, atau menyatakan belum adanya hukum suatu peristiwa yang belum pernah
ditetapkan hukumnya. Sedang menurut asy-Syathibi, istishhab ialah segala ketetapan yang telah
ditetapkan pada masa lampau dan dinyatakan tetap berlaku hukumnya pada masa sekarang.
Dari pengertian istishhab yang dikemukakan Ibnu Qayyim di atas, dipahami bahwa istishhab
itu terbagai kepada dua macam;
i. Segala hukum yang telah ditetapkan pada masa lalu, dinyatakan tetap berlaku pada masa sekarang,
kecuali kalau ada yang mengubahnya. Berdasarkan pengertian ini, istishhab merupakan salah satu
produk hukum.
ii. Menetapkan segala hukum yang ada pada masa sekarang, berdasarkan ketetapan hukum pada
masa yang lalu. Berdasarkan pengertian ini, istishhab merupakan proses penetapan hukum.
12
5. Urf

'Urf ialah sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di kalangan
mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan. Oleh sebagian ulama ushul fiqh, 'urf disebut adat
(adat kebiasaan). Sekalipun dalam pengertian istilah hampir tidak ada perbedaan pengertian antara 'urf
dengan adat, namun dalam pemahaman biasa diartikan bahwa pengertian 'urf lebih umum dibanding
dengan pengertian adat, karena adat disamping telah dikenal oleh masyarakat, juga telah biasa
dikerjakan di kalangan mereka, seakan-akan telah merupakan hukum tertulis, sehingga ada sanksi-
sanksi terhadap orang yang melanggarnya.
Seperti dalam salam (jual beli dengan pesanan) yang tidak memenuhi syarat jual beli. Menurut
syarat jual beli ialah pada saat jual beli dilangsungkan pihak pembeli telah menerima barang yang
dibeli dan pihak penjual telah menerima uang penjualan barangnya. Sedang pada salam barang yang
akan dibeli itu belum ada wujudnya pada saat akad jual beli dilakukan, baru ada dalam bentuk
gambaran saja. Tetapi karena telah menjadi adat kebiasaan dalam masyarakat, bahkan dapat
memperlancar arus jual beli, maka salam itu dibolehkan. Dilihat sepintas lalu, seakan-akan ada
persamaan antara ijma' dengan 'urf, karena keduanya sama-sama ditetapkan secara kesepakatan dan
tidak ada yang menyalahinya. Perbedaannya ialah pada ijma' ada suatu peristiwa atau kejadian yang
perlu ditetapkan hukumnya. Karena itu para mujtahid membahas dan menyatakan kepadanya,
kemudian ternyata pendapatnya sama. Sedang pada 'urf bahwa telah terjadi suatu peristiwa atau
kejadian, kemudian seseorang atau beberapa anggota masyarakat sependapat dan melaksanakannya.
Hal ini dipandang baik pula oleh anggota masyarakat yang lain, lalu mereka mengerjakan pula. Lama-
kelamaan mereka terbiasa mengerjakannya sehingga merupakan hukum tidak tertulis yang telah
berlaku diantara mereka. Pada ijma' masyarakat melaksanakan suatu pendapat karena para mujtahid
telah menyepakatinya, sedang pada 'urf, masyarakat mengerjakannya karena mereka telah biasa
mengerjakannya dan memandangnya baik.

E. FUNGSI-FUNGSI IJTIHAD
Adapun fungsi-fungsi Ijtihad diantaranya :
1. Fungsi Al-Ruju (kembali)
Mengembalikan ajaran-ajaran islam kepada Al-Quran dan Sunnah dari segala interpretasi
yang kurang relevan
2. Fungsi Al-Ihya (kehidupan)
Menghidupkan kembali bagian-baguan dari nilai dan islam semangat agar mampu
menjawab tantangan zaman.
3. Fungsi Al-Inabah (pembenahan)
Memenuhi ajaran-ajaran islam yang telah di ijtihadi oleh ulama terdahulu dan
dimungkinkan adanya kesalahan menurut konteks zaman dan kondisi yang dihadapi

13
Begitu pentingnya melakukan ijtihad, sehingga jumhur ulama menunjuk ijtihad menjadi
hujjah dalam menetapkan hukum berdasarkan firman Alloh SWT surat an-Nisa59 jika kamu
mempersengketakan sesuatu maka kembalikanlah sesuatu tersebut kepada Alloh dan Rosul-Nya.
Perintah untuk mengembalikan masalah kepada al-Quran dan sunnah ketika terjadi perselisihan
hukum ialah dengan penelitian seksama terhadap masalah yang nashnya tidak jelas.

F. CONTOH IJTIHAD
1. Pandangan para Ulama dan Kyai di Indonesia tentang facebook
Facebook memang sebuah fenomena tersendiri di zaman sekarang ini. Melejitnya jumlah
pengguna Facebook di Indonesia ini ternyata menarik perhatian para ulama dan kiyai di negeri ini.
Setidaknya sekitar 700 ulama se-Jawa Timur sempat berkumpul untuk membahas hukum penggunaan
facebook. Rupanya para tokoh Islam sedikit khawatir bahwa meluasnya jejaring sosial tersebut juga
dapat berdampak negatif. Misalnya mereka takut kalau digunakan untuk transaksi negatif seperti seks
terselubung. Padahal sebenarnya facebook nyaris punya kemiripan dengan berbagai media elektronik
lain, seperti televisi, radio, telepon serta internet.
Semua itu pada dasarnya bebas nilai, kecuali setelah diisi dengan berbagai konten. Kalau
kontennya bermuatan positif, tentu hukumnya halal. Sebaliknya, kalau kontennya bermuatan negatif,
tentu saja hukumnya menjadi menjadi haram atau setidaknya menjadi makruh.
Ada beberapa ulama yang mengharamkan televisi, lantaran beranggapan bahwa televisi punya
pengaruh yang negatif. Dan rasanya alasan mereka tidak terlalu salah, kalau kita melihat madharat
yang ditimbulkan oleh konten yang dimuat oleh stasiun TV. Bahkan kalangan pemerhati dan pendidik
pun sepakat bahwa TV punya banyak madharat. Tetapi kedudukan pesawat TV sebagai sebuah sarana
teknologi, tentu tidak ada yang mengharamkannya. Demikian juga dengan fenomena facebook,
banyak pihak yang merasa keberadaannya menghawatirkan, karena adanya penyalahgunaan.
Diantaranya untuk sarana bermesum-ria, atau juga untuk bergosip, berhasad, berjunjing, atau
menyebarkan berita bohong. Dan beberapa kasus, memang hal itu terjadi. Walau pun rasanya bukan
pada tempatnya untuk mengatakan bahwa semua pengguna facebook pasti melakukan kemaksiatan
dan kemungkaran seperti yang disebutkan. Banyak manfaat yang bisa disebutkan untuk tekonolgi
facebook, bahkan bisa digunakan juga untuk berdakwah.
Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3)
Salah satu hasil fatwa tentang facebook telah dikeluarkan oleh Forum Musyawarah Pondok
Pesantren Putri (FMP3) se-Jatim di Pondok Pesantren Putri Hidayatul Mubtadien Lirboyo, Kecamatan
Mojoroto, Kota Kediri. Pertemuan yang dilaksanakan sejak Rabu mengharamkan komunikasi dua
orang berlainan jenis yang bukan muhrim baik melalui Facebook. Dan sebenarnya medianya bukan
terbatas pada facebook saja, tetapi termasuk di dalamnya Friendster maupun SMS dan lain sebagainya.
Dengan syarat bila semua dilakukan secara berlebihan. Larangan ini kami keluarkan sesuai aturan
agama, kata seorang anggota perumus Komisi C FMP3, Masruhan. Namun jika komunikasi tersebut
terkait keinginan untuk menikah, menurut Masruhan, tetap diperbolehkan.
Kiyai Nabil Lirboyo

14
Kiyai Nabil Haroen sebagai juru bicara Pondok Pesantren Lirboyo Jawa Timur sempat
berkomentar begini, Para tokoh muslim atau imam di Indonesia berpandangan sebaiknya ada fatwa
atau batasan mengenai jejaring sosial maya, di mana dalam pandangan mereka pergaulan terbuka
mampu mengundang birahi atau hasrat yang di dalam ajaran Islam diharamkan,. Namun demikian,
beliau tidak mengharamkan facebook secara gebyah uyah. Pesantren Lirboyo, menurut Nabil, masih
memperbolehkan santrinya menggunakan Facebook asal tidak mengarah ke hal-hal yang berbau porno
atau mengundang birahi. Nabil meminta bantuan Majelis Ulama Indonesia (MUI) agar untuk
menyosialisasikan hukum haram berhubungan dengan lawan jenis via HP, 3G, Facebook, Friendster
dan lain sebagainya.
Sayangnya, berita ini kemudian dibantah oleh pemimpin Pondok Lirboyo, Kiai Idris.
Beliau tegas membantah kenal dengan orang yang mengatasnamakan juru bicara Ponpes Lirboyo,
Nabil Haroen. Tidak ada itu, saya bahkan tidak kenal dengan Nabil, Kiai Idris mengaku memang
ada pertemuan ulama se-Jatim dengan agenda membahas persoalan umat kontemporer. Namun
pertemuan itu sama sekali tidak menyinggung tentang hukum Facebook. Tadi malam pertemuannya
selesai, tapi tidak ada bahas itu, ungkapnya.
Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Bagaimana dengan Majelis Ulama Indonesia? Sepanjang yang saya ketahui, MUI belum
berniat membahas Facebook. Anggota MUI Amidhan bahkan menyatakan belum mendengar rencana
ulama seJatim tersebut. Kalaupun ulama di Jatim membahasnya, menurut Amidhan, itu semacam
keprihatinan. Secara pribadi, Amidhan menilai situs pertemanan itu tidak melulu berdampak negatif.
Kalau digunakan murni untuk kebaikan, saya kira tidak ada masalah. Tapi kalau menimbulkan hal-
hal tidak baik, ya harus ditindak, tuturnya

2. Hukum foto selfie menurut pandangan Islam


Ini dilansir dari berita islami masa kini Trans TV Terbaru yang kemudian mendapat
tanggapan dari cendekiawan muslim: boleh atau haram? Menurut redaksi berita Islami masa
kini yang diambil dari hadist, foto selfie dikategorikan sebagai gambar di mana Rasulullah
Muhammad Saw melarang membuat gambar maupun dipajang di dalam rumah. Berikut ini
hadits atau sumber hukum Islam syariah yang melarang foto selfie. (Baginda) Muhammad
SAW melarang gambar ada di dalam rumah dan beliau juga melarang membuat gambar.
Hadits Riwayat Tirmizi Nomor 1749. Lalu, foto apa saja yang dilarang dalam syariat Islam?
Semua gambar yang dihasilkan dari objek bernyawa dilarang, yaitu manusia, hewan,
termasuk tumbuhan. Suatu ketika malaikat Jibril ingin masuk ke dalam rumah, tetapi Jibril
menyuruh pemilik rumah untuk menyingkirkan kepala patung yang ada di rumah baru ia akan
masuk. Hal ini menunjukkan bahwa gambar, foto atau patung bernyawa yang ditandai dengan
adanya kepala di dalam rumah dilarang dalam Islam. Hal ini diperkuat dengan hadis yang
berbunyi: (Ciri-ciri) gambar adalah terdapat kepala, apabila kepala (gambar) itu dihilangkan,
maka bukan lagi dikatakan gambar." (HR Al Baihaqi 7/270)."

15
Syeh Al Albani mengatakan bahwa hadits di atas sahih dan tidak diragukan lagi
kebenarannya. Berdasarkan hadis tersebut, sejumlah ulama melarang untuk membuat foto
yang identik dengan gambar, termasuk foto selfie. Apalagi video selfie biasanya menunjukkan
kepala di mana kategori sebuah lukisan yang dimaksud Nabi pada zaman dahulu adalah
meliputi kepala. Dengan dasar dan landasan ini, beberapa ulama memberikan fatwa bahwa
foto selfie itu haram. Meski begitu, ada juga sejumlah ulama yang memperbolehkan hukum
foto selfie ditinjau dari perspektif Islam. Menurut ulama yang setuju dan memperbolehkan
foto selfie adalah bahwa gambar yang diambil dari alat kamera bukanlah menciptakan hal
baru yang menyerupai makhluk hidup, tetapi gambarnya sendiri yang diabadikan dalam
sebuah alat. "Gambar dan foto itu identik tetapi tidak sama. Kalau gambar yang dimaksud
pada zaman Nabi itu melukis dengan mencoba untuk meniru bentuk aslinya, maka foto pada
zaman modern hanyalah mengabadikan objek foto pada momen dan waktu tertentu melalui
proses pengambilan cahaya. Jadi, foto selfie itu bukan termasuk kategori yang dimaksud
dalam hadis," ujar Lismanto, cendekiawan muslim alumnus Universitas Islam Negeri (UIN)
Walisongo saat dihubungi IslamCendekia.Com via media sosial.
Dengan alasan yang berpijak pada definisi lukisan/gambar dan foto tersebut, Lismanto
mengatakan bahwa foto selfie itu boleh dan tidak haram. "Tapi, ada dampak tersendiri dari
foto selfie, terutama saat diunggah di media sosial dan dilihat banyak orang," imbuhnya.
"Saya pernah diskusi ringan dengan seorang teman asal Turki yang kebetulan seorang
muslim taat dan penganut semacam tarekat atau sufisme Islam. Dalam setiap foto profilnya, ia
sama sekali tidak meng-upload dalam jarak dekat seperti selfie. Alasannya, ketika banyak
orang di berbagai penjuru melihat foto kita dan pada akhirnya menaruh perasaan negatif
seperti cemburu, iri, sakit hati, mengumpat, dan tindakan negatif lainnya, maka ia akan
melakukan transfer energi negatif yang bisa masuk ke dalam tubuh kita," tuturnya.
Lismanto melanjutkan, nah, energi negatif yang dipancarkan seseorang melalui wajah
foto selfie di media sosial bisa menyebabkan mudah lelah, cepat meriang, dan hal-hal lain
yang berdampak negatif pada tubuh. "Itu alasan teman saya yang di Turki tidak mau
mengunggah foto selfie di media sosial, baik Facebook, Twitter, Instagram, bahkan Youtube,"
pungkas Lismanto.

16
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Ijtihad adalah sebuah usaha yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dengan berbagai
metode yang diterapkan beserta syarat-syarat yang telah ditentukan untuk menggali dan
mengetahui hukum islam untuk kemudian diimplemetasikan dalam kehidupan bermasyarakat.
Tujuan dilakukan Ijtihad adalah upaya pemenuhan kebutuhan akan hukum karena
permasalahan manusia semakin hari semakin kompleks dimana membutuhkan hukum islam
sebagai solusi terhadap problematika tersebut.

B. KRITIK DAN SARAN


Demikian makalah ijtihad sebagai sumber hukum islam dalam mata kuliah Pendidikan
Agama Islam, yang tentunya masih jauh dari kesempurnaan. Kami sadar bahwa ini
merupakan proses dalam menempuh pembelajaran, untuk itu kami mengharapkan kritik serta
saran yang membangun demi kesempurnaan hasil diskusi kami. Harapan kami semoga
makalah ini dapat dijadikan suatu ilmu yang bermanfaat bagi kita semua. Amin.

17
DAFTAR PUSTAKA

KHE. Abdurrahman. Menempatkan Hukum Dalam Agama. Bandung, Sinar Baru. 1990.

_________ Perbandingan Madzhab. Bandung, Sinar Baru. 1990

Abu Zahrah, Muhammad. Ushul Fiqh. Beirut, Dar El-Fikr. t.t.

__________, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah. Beirut, Dar El-Fikr. t.t.

Al-Amidi, Ali bin Muhamad. Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. Beirut, Dar al-Kutub al-Arabi, 1404 H.

Al-Andalusi, Ali bin Ahmad bin Hazm. Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. Kairo, Dar al-Hadits, 1404 H

18

Anda mungkin juga menyukai