Anda di halaman 1dari 16

IJTIHAD SEBAGAI SUMBER AGAMA

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 8 (PS 2)
NUR CAHAYA SIREGAR (2240100062)
NEHA SAPITRI HSB (2240100053)

DOSEN PENGAMPU
SYUAIB NASUTION, M.H.

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYEKH ALI HASAN AHMAD
ADDARY PADANGSIDIMPUAN
TA 2023/2024
KATA PENGANTAR
Pertama-tama kami panjatkan puja dan puji syukur atas rahmat dan ridho Allah
SWT, Karena tanpa rahmat dan ridhonya kami tidak dapat menyelesaikan
makalah ini dengan baik dan selesai tepat waktu.
Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada Pak Syuaib Nasution, M.H selaku
dosen pengampu metode studi Islam yang membimbing kami dalam pengerjaan
tugas makalah ini. Dalam makalah ini kami menjelaskan tentang ”Ijtihad sebagai
sumber agama.”
Mungkin dalam pembuatan makalah ini terdapat kesalahan yang belum kami
ketahui, maka dari itu kami mohon saran dan kritik dari teman-teman maupun
dosen demi tercapainya makalah yang sempurna.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................................iii
A. Latar Belakang.......................................................................................................iii
B. Rumusan Masalah.................................................................................................iii
C. Tujuan....................................................................................................................iii
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................1
A. Pengertian Ijtihad...................................................................................................1
B. Dasar- dasar Ijtihad................................................................................................3
C. Syarat- syarat Mujtahid...........................................................................................3
D. Lapangan Ijtihad.....................................................................................................5
E. Hukum Ijtihad.........................................................................................................7
F. Ijtihad Nabi SAW.........................................................................................................8
Kesimpulan.......................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................12

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kita tahu bahwa hukum Islam adalah sistem hukum yang bersumber dari wahyu
agama, sehingga istilah hukum Islam mencerminkan konsep yang jauh berbeda
jika dibandingkan dengan konsep, sifat dan fungsi hukum biasa. Seperti lazim
diartikan agama adalah suasana spiritual dari kemanusiaan yang lebih tinggi dan
tidak bisa disamakan dengan hukum. Sebab hukum dalam pengertian biasa hanya
menyangkut soal keduniaan semata. Sedangkan Joseph Schacht mengartikan
hukum Islam sebagai totalitas perintah Allah yang mengatur umat Islam dalam
keseluruhan aspek kehidupan, baik menyangkut penyembahan dan ritual, politik,
pendidikan, ekonomi dan hukum. Pada umumnya sumber hukum islam ada dua,
yaitu: Al-Qur’an dan Hadist,namun ada juga yang disebut Ijtihad sebagai sumber
hukum yang ketiga berfungsi untuk menetapkan suatu hukum yang tidak secara
jelas ditetapkan dalam Al-Qur’an maupun Hadist. Namun demikian,tidak boleh
bertentangan dengan isi kandungan Al-Quran dan Hadist.

B. Rumusan Masalah

1. Menjelaskan pengertian tentang Ijtihad.

2. Bagaimana dasar-dasar Ijtihad.

3. Apa saja syarat-syarat Mujtahid.

4. Bagaimana Hukum Ijtihad.

5. Menjelaskan Ijtihad Nabi Saw.

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian tentang Ijtihad.

2. Agar kita mengetahui dasar-dasar Ijtihad.

3. Untuk mengetahui Syarat-syarat Mujtahid.

4. Untuk memahami Masalah-masalah yang diIjtihadkan.

iii
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijtihad
Secara bahasa, ijtihad berasal dari kata jahada kata ini beserta seluruh
variasinya menunjukkan pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasanya, sulit
dilaksanakan, atau yang tidak disenangi. kata ini pun berarti kesanggupan (al-
wus), kekuatan (al-thaqah), dan berat (al-masyaqqah).
Ijtihad dalam artian jahadah terdapat di dalam Al-quran surah An- Nahl (16)
ayat 38, surah An-Nur (24) ayat 53, dan surah Fathir (35) ayat 42. Semua kata itu
berarti pengerahan segala kemampuan dan kekuatan (badzl al-wus'i wa al-thaqah),
atau juga berarti berlebihan dalam bersumpah (al-mubalaghat fi al-yamin).
Dalam al-sunnah, kata ijtihad terdapat dalam sabda Nabi yang artinya "pada
waktu sujud bersungguh-sungguhlah dalam berdoa (faitahidu fi al-du'a)". Dan
hadis lain yang artinya "Rasul Allah SAW bersungguh-sungguh (yajtahid) pada 10
hari terakhir (bulan Ramadan)".
Para ulama bersepakat tentang pengertian ijtihad secara bahasa, tetapi berbeda
pandangan mengenai pengertiannya secara istilah (terminologi). Pengertian ijtihad
secara istilah muncul belakangan yaitu pada masa tasyri' dan masa sahabat.
perbedaan ini meliputi hubungan ijtihad dengan fiqih, ijtihad dengan Alquran,
ijtihad dengan as-sunnah, dan ijtihad dengan dalalah nash.1
Al- zubaidi berpendapat bahwa kata juhda dan jahda mempunyai arti kekuatan
dan kesanggupan, sedangkan bagi Ibnu Katsir jahda berarti yang sulit berlebih-
lebihan atau bahkan tujuan, sedang Sa'id Al-Thaftani memberikan arti ijtihad
dengan tahmil Al juhdi (ke arah yang membutuhkan kesungguhan) dari semua arti
itu, maka ijtihad adalah penyerahan segala kesanggupan dan kekuatan untuk
memperoleh apa yang dituju sampai pada batas puncaknya.
Ibrahim Husein mengidentifikasikan (muradif) makna Al ijtihad dengan Al
istinbath. Istinbath berasal dari kata nabath (air yang mula-mula memancar dari
sumur yang digali). Dengan demikian, menurut bahasa, arti istimbath sebagai
padanan dari ijtihad ialah "mengeluarkan sesuatu dari persembunyiannya"
Sedangkan arti ijtihad dari terminologinya, para ulama berbeda pendapat dalam
mendefinisikannya. Perbedaan itu karena sudut pandangan mereka yang berbeda-
beda. Sebagian ulama mendefinisikan ijtihad dan qiyas pengertian ini menurut Al
Ghazali dalam Al Mustashfa tidak cocok, karena sifat ijtihad tidak cocok, karena
sifat ijtihad lebih luas daripada qiyas, sementara itu Al Syafi'i tetap mengartikan
ijtihad dalam arti sempit dengan qiyas.
Bagi mayoritas ulama Ushul fiqih, ijtihad adalah "pengerahan segenap
kesanggupan oleh seorang ahli fiqih atau mujtahid untuk memperoleh pengertian
1
Atang Abd Hakim,Metodologi studi islam,Bandung 1999, Hal 95-96

1
tingkat zhan dan mengenai hukum syara". Dalam definisi ini terdapat perkataan
untuk memperoleh pengertian tingkat zhan mengenai hukum syara Amali ialah
hukum Islam yang berhubungan dengan tingkah laku dan perbuatan manusia yang
lazim disebut dengan hukum taklifi. Dengan demikian, ijtihad tidak untuk
mengeluarkan hukum syara Amali yang statusnya qath'i.
Definisi mayoritas ulama ushul mengenai pengertian ijtihad di atas merupakan
kristalisasi dari beberapa pengertian ijtihad didefinisikan oleh para ulama. Bila
kita analisa definisi-definisi yang dikemukakan oleh para ulama Ushul, maka kita
temukan beberapa perbedaan dan persamaan.
Perbedaan rata-rata seputar sebagai berikut:
a. Penggunaan bahasa. Misalnya ada yang menggunakan istilah istafraghra
(menghabiskan keseluruhan kesanggupan) dan ada juga badzl (pengerahan
seluruh kesanggupan).
b. Subjek ijtihad. Ada yang dinisbatkan pada mujtahid yang konotasinya bahwa
upaya ijtihad tidak harus dalam satu bidang tetapi juga menyangkut bidang-
bidang lainnya.
c. Sumber yang diijtihad. Ibnu Hazm menggunakan istilah Nash (sesampainya
sesuatu pada batasnya), tentu Nash ini merupakan perwujudan dari
kebenaran hakiki, sehingga tidak memerlukan penakwilan dan penafsiran
serta tidak ada tempat bagi ijtihad. Ulama lain tidak saja menggunakan dalil
Nash (Alquran dan Sunnah shahihah) tetapi juga menggunakan dalil-dalil
lain karena sumber ijtihad tidak hanya Alquran dan as-sunnah.
d. Metode ijtihad. Sebagian menggunakan metode ma'quli (dari sumber
Alquran dan Al Sunnah) metode ini Itba' dengan metode Rasulullah SAW. Di
mana beliau selalu menggunakan Wahyu dalam menyelesaikan setiap
permasalahan. Ulama lain menggunakan metode ma'quli (berdasarkan ra'yu
atau akal pikiran semata), metode ini ditetapkan berdasarkan asumsi bahwa
Nabi SAW. Diperbolehkan untuk ijtihad.
Sedangkan persamaan adalah sebagai berikut:
a. Hukum yang dihasilkan selalu bersifat zhanni, karena hukum itu diciptakan
berdasarkan akal pikiran manusia sehingga dalam satu masalah dapat timbul
berbagai jalan pikiran dan menghasilkan hukum yang berbeda.
b. Objek ijtihad hanya berkisar hukum taklify, yakni hukum yang berkenaan
dengan amal ibadah manusia.
c. Masing-masing ulama menggunakan istilah kesungguhan sehingga upaya
ijtihad tidak main-main, karena itu dibutuhkan upaya dan syarat-syarat
tertentu bagi mujtahid. Dan sebagai konsekuensinya adalah bagi mereka
yang salah dalam ijtihad, maka dia masih diberi pahala satu (karena
kesungguhannya), dan bayi mereka yang benar maka mendapatkan pahala
dua (karena kebenaran yang dicapai dan sesungguhnya).2

2
Dr. Muhaimin, Studi islam dalam ragam dimensi dan pendekatan,Kencana (Miswanto, 2019)

2
B. Dasar- dasar Ijtihad
Adapun yang menjadi dasar hukum ijtihad ialah Al-qur'an dan Al- Sunnah. Di
antara ayat Alquran yang menjadi dasar ijtihad adalah sebagai berikut.
Q.S An-Nisa (4):105.

‫ِإَّنٓا َأنَز ْلَنٓا ِإَلْيَك ٱْلِكَٰت َب ِبٱْلَح ِّق ِلَتْح ُك َم َبْيَن ٱلَّناِس ِبَم ٓا َأَر ٰى َك ٱُهَّللۚ َو اَل َتُك ن‬
‫ِّلْلَخ ٓاِئِنيَن َخ ِص يًم ا‬
Artinya: Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan
membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang
telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang
yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat,
Q.S Ar-Rum (30):21

‫ِاَّن ِفْي ٰذ ِلَك ٰاَل ٰي ٍت ِّلَقْو ٍم َّيَتَفَّك ُرْو َن‬


Artinya: Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
(kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.
Adapun sunnah yang menjadi dasar ijtihad di antara hadis Amr bin al-ash yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, dan Ahmad menyebutkan bahwa Nabi
Muhammad bersabda.

،‫ َو ِإَذ ا َح َك َم َفاْج َتَهَد ُثَّم َأْخ َطَأ‬، ‫ َفَلُه َأْج َر اِن‬، ‫ِإَذ ا َح َك َم اْلَح اِكُم َفاْج َتَهَد ُثَّم َأَص اَب‬
‫َفَلُه َأْج ٌر‬
Artinya: “Apabila seorang hakim menghukumi suatu masalah lalu dia berijtihad
kemudian dia benar, maka dia mendapat dua pahala. Apabilia dia menghukumi
suatu masalah lalu berijtihad dan dia salah, maka dia mendapatkan satu
pahala.”[HR. Muslim]3

C. Syarat- syarat Mujtahid


Menurut Abdul Hamid Hakim bahwa seorang mujtahid harus memenuhi empat
syarat ijtihad, yaitu:
1. Mempunyai pengetahuan yang cukup (alim) tentang al-kitab dan al-
Sunnah.
2. Mempunyai kemampuan berbahasa Arab yang memadai, sehingga
mampu menafsirkan kata-kata yang asing (gharib) dari Alquran dan
sunnah.
3. Menguasai ilmu ushul fiqh
4. Mempunyai pengetahuan yang memadai tentang nasikh dan mansukh.

3
Atang abd hakim, op.cit, Hal 99

3
Tanpa memenuhi persyaratan tersebut, maka sesorang tidak dapat dikategorikan
sebagai mujtahid yang berhak melakukan ijtihad. Ulama mujtahid menurut ahli
ushul dibedakan tingkatanya tergantung pada aktivitas ijtihad yang dilakukanya.4
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan syarat-syarat yang harus
dimiliki oleh mujtahid. Mujtahid ialah orang yang mampu melakukan ijtihad
melalui cara istinbath (mengeluarkan hukum dari sumber hukum syariat) dan
tathbiq (penerapan hukum). Sebelum dikemukakan beberapa pendapat ulama
mengenai syarat-syarat mujtahid, ada baiknya dijelaskan dulu mengenai rukun
ijtihad, yaitu sebagai berikut.
1. Al-waqi', yaitu adanya kasus yang terjadi atau diduga akan terjadi yang
tidak diterangkan oleh nas.
2. Mujtahid, iyalah orang yang melakukan ijtihad yang mempunyai
kemampuan untuk berijtihad dengan syarat-syarat tertentu.
3. Mujtahid fih, iyalah hukum-hukum syariah yang bersifat Amali (taklifi).
4. Dalil syara untuk menentukan suatu hukum bagi mujtahid Fih.5
Keempat rukun tersebut harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum melakukan
ijtihad, mengingat masing-masing rukun secara simultan sebagai syarat kebolehan
melakukan ijtihad. Begitu banyak syarat-syarat yang diberikan pada predikat
mujtahid, maka tingkatan ini terbagi atas beberapa bagian, pembagian ini menurut
tingkat pemenuhan terhadap syarat-syarat yang diberikan, adapun pembagiannya
sebagai berikut.
a. mujtahid mutlak
Mujtahid mutlak adalah orang yang mampu menggali atau mengambil hukum-
hukum cabang dari dalil-dalilnya, dan mampu pula menerapkan metode dan
dasar-dasar pokok yang ia susun sebagai landasan atas segala aktivitas ijtihadnya.
Mujtahid ini dibagi dua:
1. Mujtahid Mutlak Mustaqil atau orang yang mampu menyusun metode dan
dasar-dasar mazhab, ia tidak taqlid atau mengikuti atau dasar orang lain
yang ia mampu menggali hukum-hukum agama dari sumbernya yang
pokok dan juga dalil-dalil lain yang ia tetapkan sebagai hujjah setelah ia
melakukan pengkajian. Misalnya mazhab arba'ah (Hanafi, Maliki, Syafi'i,
dan Hambali).
2. Mujtahid Mutlak Muntasib, ialah orang yang sudah mencapai apa yang
dicapai oleh mujtahid mutlak mustaqil, hanya saja ia tidak menyusun
metode atau dasar-dasar ijtihadnya sendiri, tetapi ia menempuh jalan yang
ditempuh oleh mujtahid mutlak mustaqil. Mujtahid ini tidak taklid kepada
imamnya atau gurunya tanpa dalil dan hukumnya, melainkan ia hanya
menggunakan keterangan imamnya untuk meneliti dalil-dalil dan sumber
pengambilannya.

4
Agus Miswanto, Ushul fiqh metode ijtihad hukum islam,Di Yogyakarta 2019,Hal 17
5
Atang abd hakim,op.cit, Hal 100

4
b. Mujtahid Mazhab
Orang yang mampu meng-istinbath-kan hukum-hukum agama yang belum atau
tidak ditetapkan oleh mazhab dengan menggunakan metode atau dasar-dasar yang
disusun oleh Imam mazhabnya. Misalnya Abu Ja'far al-thahawi dalam mazhab
Hanafi. Mujtahid mazhab dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1. Mustahid Takhrij, atau juga dikenal mujtahid ashhab al-wujud.
2. Mujtahid Tarjih atau dikenal dengan mujtahid fatwa.6

D. Lapangan Ijtihad
Lapangan atau wilayah ijtihad atau majal Al- ijtihad adalah masalah-masalah
yang diperbolehkan penetapan hukumnya dengan cara ijtihad. Istilah teknis yang
terdapat dalam ilmu Ushul fiqh adalah Al mujtahid Fih. Menurut Abu Hamid
Muhammad Al Ghazali lapangan ijtihad adalah setiap hukum syara yang tidak
memiliki dalil qath'i.
Wilayah ijtihad dalam pandangan ulama salaf terbatas dengan masalah-masalah
fiqhiyah, namun pada akhirnya wilayah tersebut mengembang pada aspek
keislaman yang mencakup akidah, filsafat, tasawuf, dan fiqih sendiri.
Dalam kaitan wilayah ijtihad, ustadz Muhammad Al Madani dalam bukunya "
mawathin al-ijtihad fi al-syari'ah Al-Islamiyah"menyatakan bahwa dalam masalah
hukum terbagi dua kemungkinan yang perlu diantisipasi, yaitu:

1. Masalah qath'iyah
Masalah-masalah yang sudah ditetapkan hukumnya dengan dalil-dalil yang pasti
maupun dalil dalil aqli. Hukum qath'iyah sudah pasti berlakunya sepanjang masa
sehingga tidak mungkin adanya perubahan dan modifikasi serta tidak ada wilayah
meng-istinbath-kan hukum bagi para mujtahid.
Masalah qath'iyah terbagi atas tiga bagian, yaitu:
a. Masalah akidah, yakni masalah yang menentukan apakah seseorang itu
mukmin atau kafir, barang siapa yang mengingkari tentunya ia mencabut
imannya. Misalnya masalah rukun iman.
b. Masalah Amali, yang ini masalah ibadah yang telah ditetapkan
ketentuannya dalam Nash dan tidak mungkin terjadi perselisihan.
Misalnya ketentuan bilangan shalat, ketentuan kadar zakat, puasa
Ramadhan, hal zina, mencuri, dan sebagainya serta hukum-hukum yang
bersifat dharuri(primer) yang terdiri atas pemeliharaan agama,
6
Dr Muhaimin,op.cit,Hal 188-189

5
pemeliharaan jiwa, pemeliharaan harta, memelihara akal, dan
memelihara kehormatan atau keturunan.
c. Kaidah-kaidah yang pasti, di mana kaidah-kaidah tersebut diintisarikan
dan bersumber dari nash-nash yang qath'i "la Dharara wa la
dhirara"(tidak boleh membikin mudharat pada orang lain dan dibikin
mudharat dari orang lain).
2. Masalah Zhanniyah
Masalah-masalah yang hukumnya belum jelas dalil Nash-nya sehingga
memungkinkan adanya wilayah dan ikhtilaf. Adapun wilayah Zhanniyah ada tiga
macam yaitu:
a. Hasil analisa para teolog, yakni masalah yang tidak berkaitan dengan
akidah keimanan seseorang.
b. Aspek Amaliyah yang Zhanni, yakni masalah yang belum ditentukan
kaidah atau kriterianya dalam Nash.
c. Sebagian kaidah-kaidah Zhanni, yaitu masalah qiyas, sebagian ulama
memeganginya karena kias merupakan norma hukum tersendiri, dan
sebagian tidak, karena qiyas bukan merupakan norma hukum tersendiri
melainkan sekedar metode pemahaman Nash.
Pembagian tersebut dapat disimpulkan bahwa wilayah ijtihad hanya sebatas
pada masalah yang hukumnya ditunjukkan oleh dalil Zhanni, yang kemudian
terkenal dengan masalah fiqih serta masalah hukumnya sama sekali belum
disinggung baik oleh Alquran maupun sunnah dan Ijma.
Kalau kita telaah fenomena yang terjadi, maka wilayah ijtihad tidak hanya
berlaku untuk bidang fiqih, tetapi juga berlaku bidang akidah, tasawuf, dan
filsafat. Hal itu dapat kita lihat ulasan berikut ini:
 Bidang akidah, yakni yang berkaitan dengan kepercayaan misalnya:
apakah Nabi SAW beri isra mi'raj dengan roh saja atau badannya
sekalian. Apakah orang Islam yang melakukan dosa besar tetap mukmin,
apakah perbuatan manusia itu ciptaan tuhan atau ciptaan manusia sendiri
apakah Allah itu bersifat atau tidak.
 Bidang tasawuf yang berkaitan dengan etika dalam beribadah dan
bermuamalah misalnya: konsep ma'rifat, sebagian ada yang melihat
Allah dengan mata indra, atau dengan mata hati, atau hanya sekedar
mengetahui (Irfan) terhadap ciptaan dan sifat-sifat Allah yang mampu
membuktikan bahwa Allah itu ada, dan sebagainya.
 Bidang filsafat, yang nih masalah yang berkaitan dengan perenungan
dan pemikiran tentang hakikat Islam dan ajaran-ajarannya. misalnya:
apakah alam itu tercipta dari sesuatu yang ada, atau berasal dari sesuatu
yang semula sudah ada, atau berasal dari sesuatu yang semula sudah ada
dan sebagainya.7
7
Ibid,Hal 193-195

6
E. Hukum Ijtihad
Ulama berpendapat, Jika seorang muslim dihadapan kepada suatu peristiwa,
atau ditanya tentang suatu masalah yang berkaitan dengan hukum syara', maka
hukum ijtihad bagi orang itu bisa wajib 'Ain, wajib kifayah, sunat, atau haram,
bergantung pada kapasitas orang tersebut.
1. Bagi seorang muslim yang memenuhi kriteria mujtahid yang dimintai fatwa
hukum atas suatu peristiwa yang terjadi dan ia khawatir peristiwa itu akan
hilang begitu saja tanpa kepastian hukumnya, atau ia sendiri mengalami
peristiwa yang tidak jelas hukumnya dalam Nash, maka hukum ijtihad
menjadi wajib 'ain.
2. Bagi seorang muslim yang memenuhi kriteria mujtahid yang diminta fatwa
hukum atas suatu peristiwa yang terjadi, tetapi ia mengkhawatirkan
peristiwa itu lenyap dan selain dia masih ada mujtahid lainnya, maka
hukum ijtihad menjadi wajib kifayah. Artinya, jika semua mustahil tidak
ada yang melakukan ijtihad atas kasus tersebut, maka semuanya berdosa.
Sebaliknya, jika salah seorang dari mereka melakukan ijtihad maka
gugurlah tuntutan ijtihad atas diri mereka.
3. Hukum berijtihad menjadi sunnah jika dilakukan atas persoalan-persoalan
yang tidak atau belum terjadi.
4. Hukum ijtihad menjadi haram dilakukan atas peristiwa-peristiwa yang
sudah jelas hukumnya secara qath'i baik dalam Alquran maupun as-sunnah
atau ijtihad atas peristiwa yang hukumnya telah ditetapkan secara ijma'.8
Seseorang yang hendak melakukan ijtihad, harus benar-benar memperhatikan
sumber-sumber dasar berpikir untuk ijtihad itu secara berjenjang atau berurutan,
agar hasilnya bisa berkekuatan dasar hukum.
Urutan susunan sumber-sumber itu adalah sebagai berikut:
 Dalil-dalil manthuq, yaitu nash-nash ayat Alquran dan nash-nash hadis
Rasulullah SAW. Sesuai dengan kriteria dan kualitasnya, serta memiliki
pemahaman yang jelas dan tegas.
 Dalil-dalil mafhum dari ayat-ayat Alquran dan hadis-hadis Rasulullah
SAW sesuai dengan kriteria dan kualitasnya hadis tersebut.
 Qiyas, yaitu menetapkan sesuatu hukum atas dasar adanya persamaan
antara hukum yang akan diambil dengan hukum pokok yang sudah ada.
Perlu dijelaskan, bahwa seseorang yang telah melakukan ijtihad untuk dirinya
sendiri tentang hukumnya sesuatu masalah dan ia telah beramal sesuai dengan
hasil ijtihadnya itu, kemudian pada suatu ketika ia merubah hasil ijtihadnya itu,
maka ia harus membatalkan apa yang diperbuat atas dasar hasil ijtihadnya yang
pertama.

8
Atang abd hakim,op.cit,Hal 105

7
Hasil ijtihad dari seseorang mujtahid tidak boleh dibatalkan oleh mujtahid yang
lain, selama hasil ijtihad itu tidak bertentangan dengan nash- nash atau dalil-dalil
yang qath'i.9

F. Ijtihad Nabi SAW


1. Rasulullah SAW Mengajarkan Ijtihad
Betapa pentingnya ijtihad dalam kehidupan umat Islam, menjadikan Rasulullah
SAW harus mengajari dan menyiapkan para sahabatnya untuk menjadi seorang
mujtahid. Dalam sebuah riwayat Rasulullah SAW mengajarkan cara berijtihad
kepada Umar ibn al-Khaththab. Ketika itu Umar datang kepada Rasulullah SAW
menanyakan tentang perihal hukum puasanya setelah dia mencium istrinya.

‫ َأَر َأْيَت َلْو َتَم ْض َم ْض َت ِبَم اٍء َو َأْنَت‬: ‫َفَقاَل َر ُسوُل ِهللا َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم‬
‫ َفِفيَم ؟‬: ‫ َفَقاَل َر ُسوُل ِهللا َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم‬، ‫ اَل َبْأَس ِبَذ ِلَك‬: ‫َص اِئٌم ؟ ُقْلُت‬
Artinya: “Rasulullah SAW bertanya: Apa pendapatmu jika kamu berkumur
dengan air sedang kamu dalam keadaan berpuasa? Maka aku berkata: Tidak
mengapa hal yang demikian. Maka Rasulullah bersabda: Maka untuk apa ada
pertanyaan?” (HR. Ahmad)
Dalam hadits ini Rasulullah SAW tidak langsung menjawab pertanyaan yang
diajukan Umar. Beliau mencoba untuk mengajarkan kepada Umar salah satu cara
berijtihad yaitu menganalogikan hukum berkumur ketika berpuasa dengan hukum
mencium istri ketika dalam keadaaan berpuasa.
2. Sahabat Berijtihad di Zaman Nabi SAW
Di saat wahyu masih turun. Di saat Rasulullah SAW masih hidup. Ternyata
dalam beberapa keadaan, ijtihad dibutuhkan untuk menyelesaikan permasalahan
yang terjadi. Bahkan di zaman Rasulullah SAW para sahabat juga sudah
berijtihad.
Salah satu contoh ijtihad sahabat di zaman Nabi SAW adalah yang dilakukan
oleh ‘Amr ibn ‘Ash sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud
dalam Sunannya.
‘Amr ibn ‘Ash menuturkan: Saya bermimpi pada saat malam yang sangat dingin
ketika perang Dzat as-Salasil kemudian saya terbangun. Ketika saya mandi saya
akan mati, sehingga saya bertayammum. Kemudian saya shalat shubuh dengan
para sahabat. Maka mereka melaporkan hal itu kepada Rasulullah SAW. Beliau
SAW bertanya:

‫َيا َع ْم ُرو َص َّلْيَت ِبَأْص َح اِبَك َو َأْنَت ُج ُنٌب ؟‬

9
Drs. H. Rusman Hasibuan, Inilah islam,Padangsidimpuan 2000, Hal 62-63

8
Artinya: “Wahai ‘Amr, kamu shalat dengan para sahabatmu sedangkan kamu
dalam keadaan junub?”
‘Amr ibn ‘Ash berkata: Maka saya ceritakan kepada beliau sebab yang
menghalangiku untuk mandi. Kemudian saya katakan: Saya mendengar Allah
SWT berfirman:

‫َو اَل َتْقُتُلوا َأْنُفَس ُك ْم ِإَّن َهَّللا َك اَن ِبُك ْم َرِح يًم ا‬
Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah
Maha Penyayang kepadamu”. (QS. An-Nisa’: 29)
‘Amr ibn ‘Ash berkata: Maka Rasulullah SAW tertawa dan tidak berkata apapun.
Dari hadits di atas menunjukkan bahwa Rasulullah SAW membenarkan ijtihad
yang dilakukan oleh ‘Amr ibn ‘Ash. Namun ada juga riwayat dimana Rasulullah
SAW menolak ijtihad yang dilakukan oleh sahabatnya.
Dalam sunannya Imam Abu Dawud meriwayatkan bahwa ada salah seorang
sahabat yang mengalami luka di zaman Rasulullah SAW. Kemudian dia bermimpi
dan disuruh oleh para sahabatnya untuk mandi, kemudian dia meninggal. Berita
tersebut sampai kepada Rasulullah SAW, kemudian beliau bersabda:

‫َقَتُلوُه َقَتَلُهُم ُهَّللا َأَلْم َيُك ْن ِش َفاُء اْلِع ِّي الُّس َؤ اَل‬

Artinya: “Mereka telah membunuhnya, semoga Allah menghukum mereka,


bukankah obatnya tidak tahu adalah bertanya?” (HR. Abu Dawud)
Dari hadits Nabi SAW di atas kita ketahui bahwa Rasulullah SAW mengingkari
ijtihad yang dilakukan oleh mereka yang menyuruh sahabat tadi untuk mandi
janabah sedang dia dalam keadaan luka parah. Maka pelajaran penting dari kisah
di atas adalah bahwa yang berhak untuk berijtihad adalah orang-orang yang sudah
terpenuhi syarat-syarat untuk menjadi seorang mujtahid, bukan sembarang orang
berhak untuk berijtihad.

3. Rasulullah SAW Juga Berijtihad


Tidak hanya para sahabat Nabi SAW yang berijtihad, bahkan Rasulullah SAW
sendiri dalam beberapa keadaan juga berijtihad ketika wahyu tidak kunjung turun.
Sedangkan beliau dituntut untuk menyelesaikan sebuah permasalahan dengan
segera. Maka disinilah Rasulullah SAW berijtihad.

9
Rasulullah SAW adalah seorang yang ma’shum, artinya Allah SWT menjaga
Rasulullah SAW dari perbuatan salah. Namun hal itu berlaku ketika menyangkut
urusan dasar-dasar syari’ah. Maka jika ijtihad Rasulullah SAW kurang tepat dalam
masalah dasar-dasar syari’ah, Allah SWT langsung menurunkan wahyu untuk
menjelaskan kekurang tepatan ijtihad Rasulullah SAW.
Salah satu contoh ijtihad Rasulullah SAW yang kurang tepat adalah terkait
masalah tawanan perang Badar. Rasulullah SAW meminta pendapat para
sahabatnya untuk menyelesaikan masalah ini. Ada yang mengusulkan untuk
dibunuh. Ini adalah pendapat Umar ibn al-Khaththab. Mayoritas mengusulkan
agar tidak dibunuh dan mengambil tebusan dari mereka. Dan inilah yang dipilih
oleh Rasulullah SAW. Lantas untuk menunjukkan kekurang tepatan ijtihad
Rasulullah SAW, Allah SWT menurunkan ayat:

‫َم ا َك اَن ِلَنِبٍّي َأْن َيُك وَن َلُه َأْس َر ى َح َّتى ُيْثِخ َن ِفي اَأْلْر ِض ُتِريُد وَن َع َر َض‬
‫الُّد ْنَيا َو ُهَّللا ُيِريُد اآْل ِخ َر َة َو ُهَّللا َع ِزيٌز َح ِكيٌم‬
Artinya: “Tidak pantas bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat
melumpuhkan musuhnya di muka bumi. kamu menghendaki harta benda
duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). dan Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. al-Anfal: 67)
Ketika ijtihad Rasulullah SAW tidak berkaitan dengan dasar-dasar syari’ah,
maka Allah SWT tidak menurunkan wahyu untuk menunjukkan kekurang tepatan
ijtihad beliau. Dan ini tidak terkait dengan kema’shuman Rasullullah SAW, karena
tidak berkaitan dengan dasar-dasar syari’ah. Salah satu contoh dalam hal ini
adalah ijtihad beliau terkait penempatan posisi perang ketika perang Badar.
Contoh yang lain yaitu terkait penyerbukan pohon kurma.10

Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa ijtihad adalah
mencurahkan semua kemampuan dalam segala perbuatan. Dalam ushul fiqh,
para ulama ushul fiqh mendefinisikan ijtihad secara berbeda-beda. Misalnya
menurut Imam Al-Ghazali ijtihad merupakan upaya maksimal seorang
mujtahid dalam mendapatkan pengetahuan tentang hukum-hukum syara.

10
Jurnal Ijtihad di zaman Nabi Saw, Ali shodiqin,Thn 2015

10
Kedudukan ijtihad sebagai sumber hukum islam adalah sebagai sumber hukum
ketiga setelah Al-Quran dan Al-Hadist.
Ijtihad adalah sebuah usaha yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dengan
berbagai metode yang diterapkan beserta syarat-syarat yang telah ditentukan
untuk menggali dan mengetahui hukum Islam untuk kemudian diimplementasikan
dalam kehidupan bermasyarakat.
Tujuan ijtihad dilakukan adalah upaya pemenuhan kebutuhan akan hukum
karena permasalahan manusia semakin hari semakin kompleks di mana
membutuhkan hukum Islam sebagai solusi terhadap problematika tersebut.
Syarat-syarat mujtahid yaitu:
 Mempunyai pengetahuan yang cukup (alim) tentang al-kitab dan al-Sunnah.
 Mempunyai kemampuan berbahasa Arab yang memadai, sehingga mampu
menafsirkan kata-kata yang asing (gharib) dari Alquran dan sunnah.
 Menguasai ilmu ushul fiqh.
 Mempunyai pengetahuan yang memadai tentang nasikh dan mansukh.
Wilayah ijtihad dalam pandangan ulama salaf terbatas dengan masalah-masalah
fiqhiyah, namun pada akhirnya wilayah tersebut mengembang pada aspek
keislaman yang mencakup akidah, filsafat, tasawuf, dan fiqih sendiri.
Hukum ijtihad, Ulama berpendapat, Jika seorang muslim dihadapan kepada
suatu peristiwa, atau ditanya tentang suatu masalah yang berkaitan dengan hukum
syara', maka hukum ijtihad bagi orang itu bisa wajib 'Ain, wajib kifayah, sunat,
atau haram, bergantung pada kapasitas orang tersebu

DAFTAR PUSTAKA

Hakim , A. A. (1999). Metodologi Studi Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.


Hasibuan, R. (2000). INILAH ISLAM. Padangsidimpuan: Percetakan ilmiyah
STAIN Padangsidimpuan.

11
Miswanto, A. (2019). Ushul fiqh Metode Ijtihad Hukum Islam. DI Yogyakarta:
UNIMMA PRESS.
Muhaimin, P. D. (2005). Studi islam dalam ragam dimensi dan pendekatan.
Kencana: Prenadamedia group.
Jurnal Shodiqin, A. (2015). Ijtihad di zaman Nabi Saw

12

Anda mungkin juga menyukai