Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

IJTIHAD,ITTIBA’,TALFIQ,TAQLID

Dosen Pengampu
Arif Nursihah, M.A

Disusun Oleh:

Annisa Nurkholifah Salsabila 1202090116


Alisya Roudhotul Husna 1202090134
Dimas Septian 1202090120
Toyib Farhan Hidayat 1202090158

UNIVERSITAS UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
JURUSAN PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
2020/2021
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb

Bismillahirrahmanirrahim

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam.
Atas izin dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah tepat
waktu tanpa kurang suatu apa pun. Tak lupa pula penulis haturkan
shalawat serta salam kepada junjungan Rasulullah Muhammad SAW.
Semoga syafaatnya mengalir pada kita di hari akhir kelak.
Penulisan makalah berjudul ‘Ijtihad,Ittiba’,Talfiq,Taqlid’ bertujuan untuk
memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Fiqih. Pada makalah diuraikan
pengertian dari materi makalah ini. Selain itu, diulas hukum dari
perbuatan tersebut.

Akhirul kalam, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
sempurna. Besar harapan penulis agar pembaca berkenan memberikan
umpan balik berupa kritik dan saran. Semoga makalah ini bisa
memberikan manfaat bagi berbagai pihak.

Aamiin.
Wassalamualaikum wr.wb

Bandung, 18 November 2020


Penulis
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Ilmu ushul fiqih merupakan metode dalam menggali dan menetapkan


hukum. Ilmu ini sangat berguna untuk membimbing para mujtahid dalam
mengistibatkan hukum syara’ secara benar dan dapat di pertanggung
jawabkan hasilnya. Melalui ushul fiqih dapat di temukan jalan keluar
dalam menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan dengan dalil lainnya.

Dalam ushul fiqih juga dibahas masalah ijtihad,ittiba’,talfiq,taqlid. Ke


empat-empatnya memiliki arti yang berbeda beda dan maksudnya juga
berbeda. Tetapi ke empat-empatnya sangat jelas diatur dalam islam.
Ittiba’ ini didasarkan dalam alqur’an surat an-nahl ayat 43 yg artinya : “
Dan kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang orang lelaki yang
kami beri wahyu kepada mereka, maka bertanyalah kepada orang yang
mempunyai pengetahuan jika kamu  tidak mengetahui.

Jangan sampai perbedaan pendapat di antara kita menjadikan jalan untuk 


saling bercerai  di dalam memperkokoh kuatnya agama islam, maka dari
itu sudah seharusnya kita memahami dan mengetahui tentang
ijtihad,ittiba’,talfiq,taqlid. Maka pada kesempatan ini makalah ini akan
membahas tentang ijtihad,ittiba’,talfiq,taqlid beserta hukum dan
prbedaannya.
 
B. PERMASALAHAN

1. Apa pengertian ijtihad,ittiba’,talfiq,taqlid ?


2. Bagaimana hukum taqlid dan talfiq menurut ahlussunnah wal jama’ah
?
3. Apa perbedaan antara taqlid dan ittiba’ ?

C. TUJUAN PENULISAN

Dalam pembuatan makalah ini kami mempunyai maksud dan tujuan


tertentu, yaitu ;

1. Memberi pemahaman tentang pengertian ijtihad,ittiba’,talfiq dan


taqlid juga hukum dan perbedaannya.
2. Untuk bahan diskusi pada mata kuliah ilmu fiqih ini, dan juga untuk
memenuhi atau melaksanakan tugas kelompok yang di berikan dosen
pengampu

BAB II

PEMBAHASAN

A. IJTIHAD

Pengertian Ijtihad Kata ijtihad berasal dari kata “al-jahd” atau “al-juhd”
yang berarti “al-masyoqot” (kesulitan atau kesusahan) dan “athoqot”
(kesanggupan dan kemampuan) atas dasar pada firman Allah Swt dalam
QS. Yunus ayat 9 yang artinya: ..”dan (mencela) orang yang tidak
memperoleh (sesuatu untuk disedekahkan) selain kesanggupan”.

Tetapi pengertian ijtihad dapat dilihat dari dua segi baik etimologi
maupun terminologi. Dalam hal ini memiliki konteks yang berbeda.

Ijtihad secara etimologi memiliki pengertian: “pengerahan segala


kemampuan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit”. Sedangkan secara
terminologi adalah “penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu
yang terdekat pada kitabullah (syara) dan sunnah rasul atau yang lainnya
untuk memperoleh nash yang ma’qu; agar maksud dan tujuan umum dari
hikmah syariah yang terkenal dengan maslahat.

Pengertian lain bahwa ijtihad merupakan upaya untuk menggali suatu


hukum yang sudah ada pada zaman Rasulullah Saw. Hingga dalam
perkembangannya, ijtihad dilakukan oleh para sahabat, tabi’in serta masa-
masa selanjutnya sampai sekarang ini.

Sementara Imam al-Amidi mengatakan bahwa ijtihad adalah


mencurahkan semua kemampuan untuk mencari hukum syara yang
bersifat dhanni, sampai merasa dirinya tidak mampu untuk mencari
tambahan kemampuannya itu. Sedangkan Imam al-Ghazali menjadikan
batasan tersebut sebagai bagian dari definisi al-ijtihad attaam (ijtihad
sempurna).

Dasar-Dasar Ijtihad

Ijtihad bisa dipandang sebagai salah satu metode penggali sumber hukum.
Dasar-dasar ijtihad atau dasar hukum ijtihad ialah al-Qur’ an dan sunnah.
Di dalam ayat yang menjadi dasar dalam ber-ijtihad sebagai firman Allah
Swt dalam QS. al-Nisa’:105 sebagai berikut:

Artinya: “Sesungguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan


membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa
yang telah Allah wahyukan kepadamu dan janganlah kamu menjadi
penantang (orang yang tidak bersalah) karena (membela) orang-orang
yang khianat”.

Demikian juga dijelaskan dalan QS. al-Rum: 21:


Artinya: “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”.

Fungsi Ijtihad

Adapun fungsi ijtihad, di antaranya adalah:


1) Fungsi ijtihad al-ruju’ (kembali):mengembalikan ajaran-ajaran Islam
kepada al-Qur’an dan sunnah dari segala interpretasi yang kurang
relevan.
2) Fungsi ijtihad al-ihya (kehidupan): menghidupkan kembali bagian-
bagian dari nilai dan Islam semangat agar mampu menjawab tantangan
zaman.
3) fungsi ijtihad al-inabah (pembenahan): memenuhi ajaran-ajaran Islam
yang telah di-ijtihadi oleh ulama terdahulu dan dimungkinkan adanya
kesalahan menurut konteks zaman dan kondisi yang dihadapi.

Begitu pentingnya melakukan ijtihad sehingga jumhur ulama menunjuk


ijtihad menjadi hujjah dalam menetapkan hukum berdasarkan firman
Allah Swt dalam QS. An-Nisa’: 59:
Artinya: “Jika kamu mempersengketakan sesuatu maka kembalikanlah
sesuatu tersebut kepada Allah dan Rasul-Nya”.

Perintah untuk mengembalikan masalah kepada al-Qur’an dan sunnah


ketika terjadi perselisihan hukum ialah dengan penelitian saksama
terhadap masalah yang nash-nya tidak tegas. Demikian juga sabda Nabi
Saw:
Artinya: “Jika seorang hakim bergegas memutus perkara tentu ia
melakukan ijtihad dan bila benar hasil ijtihadnya akan mendapatkan dua
pahala.Jika ia bergegas memutus perkara tentu ia melakukan ijtihad dan
ternyata hasilnya salah , maka ia mendapat satu pahala” (HR. Asy-Syafi’i
dari Amr bin ‘Ash).

Hadis ini bukan hanya memberi legalitas ijtihad, akan tetapi juga
menunjukkan kepada kita bahwa perbedaan-perbedaan pendapat hasil
ijtihad bisa dilakukan secara individual (ijtihad fardi) yang hasil rumusan
hukumnya tentu relatif terhadap tingkat kebenaran.

Manfaat Ijtihad

Dalam hal ini, Ijtihad dianggap telah memiliki kedudukan dan legalitas
dalam Islam. Namun, Ijtihad hanya boleh dilakukan oleh orang-orang
tertentu saja yang telah memenuhi syarat.Jadi,beberapa manfaat Ijtihad
adalah sebagai berikut ini:

 Ketika umat Islam menghadapi masalah baru, maka akan diketahui


hukumnya.
 Menyesuaikan hukum yang berlaku dalam Islam sesuai dengan
keadaan, waktu, dan perkembangan zaman.
 Menentukan dan menetapkan fatwa atas segala permasalahan yang
tidak berhubungan dengan halal-haram.
 Menolong umat Islam dalam menghadapi masalah yang belum ada
hukumnya dalam Islam.
Syarat-Syarat Ijtihad (Mujtahid)

Seperti yang disebutkan sebelumnya, hanya orang-orang tertentu dan


telah memenuhi syarat saja yang bisa melakukan Ijtihad. Adapun syarat-
syarat menjadi Ijtihad adalah sebagai berikut:

 Mengetahui isi Al-Qur’an dan hadits yang bersangkutan dengan


hukum itu, meskipun tidak hapal diluar kepala.
 Mesti mengetahui bahasa arab dengan alat-alat yang berhubungan
dengan itu seperti Nahwu, Shorof, Ma’ani, Bayan, Bad’i, agar dengan
ini mentafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an atau As-Sunnah dengan cara
berfikir dengan benar.
 Mesti mengetahui ilmu usul fiqh dan qoidah-qoidah fiqh yang seluas-
luasnya, karena ilmu sebagai dasar berijtihad.
 Mesti mengetahui soal-soal ijma’, hingga tiada timbul pendapat yang
bertentangan dengan ijma’ itu.
 Mesti mengetahui nasikh mansukh dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
 Mengetahui ilmu riwayat dan dapat membedakan: mana hadits yang
sahih dan hasan, mana yang dhoif, mana yang maqbul dan mardud.
 Mengetahui rahasia-rahasia tasyri’i ( asrarusy syari’ah) yaitu qoidah-
qoidah yang menerangkan tujuan syara’ dalam meletakan beban taklif
kepada mukallaf.

Tingkatan Mujtahid

1. Mujtahid mutlaq, yaitu seorang mujtahid yang mampu memberikan


fatwa dan pendapatnya dengan tidak terikat kepada madzhab apapun.
Contohnya Maliki, Hambali, Syafi`i, Hanafi, Ibnu Hazhim dan lain-
lain.
2. Mujtahid muntasib, yaitu orang yang mempunyai syarat-syarat untuk
berijtihad, tetapi ia menggabungkan diri kepada suatu madzhab
dengan mengikuti jalan yang ditempuh oleh imam madzhab tersebut.

Jenis – Jenis Ijtihad


Ijtihad dapat dibagi menjadi 7 jenis. Mengacu pada pengertian Ijtihad di
atas, adapun beberapa macam Ijtihad adalah sebagai berikut:

1. Ijma’
Pengertian Ijma’ adalah suatu kesepakatan para ulama dalam menetapkan
hukum agama Islam berdasarkan Al-quran dan hadits dalam suatu
perkara. Hasil dari kesepakatan para ulama tersebut berupa fatwa yang
dilaksanakan oleh umat Islam.
2. Qiyas
Pengertian Qiyas adalah suatu penetapan hukum terhadap masalah baru
yang belum pernah ada sebelumnya, namun mempunyai kesamaan
(manfaat, sebab, bahaya) dengan masalah lain sehingga ditetapkan hukum
yang sama.
3. Maslahah Mursalah
Pengertian Maslahah Mursalah adalah suatu cara penetapan hukum
berdasarkan pada pertimbangan manfaat dan kegunaannya.
4. Sududz Dzariah
Pengertian Sududz Dzariah adalah suatu pemutusan hukum atas hal yang
mubah makruh atau haram demi kepentingan umat.
5. Istishab
Pengertian Istishab adalah suatu penetapan suatu hukum atau aturan
hingga ada alasan tepat untuk mengubah ketetapan tersebut.
6. Urf
Pengertian Urf adalah penepatan bolehnya suatu adat istiadat dan
kebebasan suatu masyarakat selama tidak bertentangan dengan Al-quran
dan hadits.
7. Istihsan
Pengertian Istihsan adalah suatu tindakan meninggalkan satu hukum
kepada hukum lainnya karena adanya dalil syara’ yang
mengharuskannya.

Macam-macam Ijtihad

Dr. ad Dualibi, sebagaimana dikatakan Dr. Wahbah (h. 594), membagi


ijtihad kepada tiga macam;

1. Al Ijtihadul Bayani, yaitu menjelaskan (bayan) hukum-hukum


syari`ah dari nash-nash syar`i.
2. Al Ijtihadul Qiyasi, yaitu meletakkan (wadl`an) hukum-hukum
syari`ah untuk kejadian/peristiwa yang tidak terdapat dalam al Qur`an
dan Sunnah, dengan jalan menggunakan qiyas atas apa yang terdapat
dalam nash-nash hukum syar`i.
3. Al Ijtihadul Isthishlahi, yaitu meletakkan hukum-hukum syari`ah
untuk kejadian/peristiwa yang terjadi yang tidak terdapat dalam al
Qur`an dan Sunnah menggunakan ar-ra`yu yang disandarkan atas
isthishlah.

Contoh Ijtihad
Untuk lebih memahami apa itu Ijtihad, kita bisa melihat contoh
penerapannya. Adapun contoh implementasi Ijtihad, seperti
dalam proses menentukan 1 Ramadhan dan 1 Syawal, dimana
para mujtahid atau ulama membahasnya berdasarkan hukum
Islam untuk menentukan dan menetapkan tanggal 1 Syawal.

B. ITTIBA’

Pengertian Ittiba’ Secara bahasa, kata ittiba’ (‫)اتِّباَع‬


merupakan mashdar dari kata ittaba’a (‫ )اتَّبَ َع‬yang memiliki akar kata dari
huruf taa, baa dan ‘ain.

Ibnu Faris rahimahullah berkata, “Huruf taa, baa, dan ‘ain; adalah akar


kata yang semua kata turunannya tidak menyimpang dari makna asalnya,
yaitu mengikuti. Apabila dikatakan (ً ‫ْت فُالَنا‬ُ ‫ )تَبِع‬maknanya adalah engkau
mengikutinya. Dan dikatakan (ُ‫ )َأ ْتبَ ْعتُه‬maknanya adalah engkau
menyusulnya.”

Kata ittiba’ pada asalnya bermakna mengikuti jejak orang yang berjalan.
Kemudian digunakan untuk makna melakukan amalan seperti amalan
orang lain, sebagaimana dalam firman Allah,
ٍ ‫ بِِإحْ َس‬b‫َوالَّ ِذينَ اتَّبَعُوهُم‬
‫ان‬

“Dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik..” ((QS. At-


Taubah: 100.))
Kemudian kata tersebut digunakan untuk makna melaksanakan perintah
dan mengamalkan apa yang diperintahkan oleh syariat.”

Secara istilah syar’i

Adapun dalam pengertian secara syar’i, makna ittiba’ adalah berpegang


teguh dan menerima apa yang ada dalam Al-Kitab dan yang sahih
dari Sunnah, melaksanakan perintah-perintahnya dan menjauhi larangan-
larangannya.

As-Sam’ani rahimahullah berkata, “Ittiba’ menurut para ulama adalah


berpegang teguh dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang sahih menurut para ahlinya, para penukilnya, dan para
penjaganya, serta tunduk kepada sunnah, dan menerima perintah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ada di dalam sunnah. Mengikuti
orang yang diperintahkan Allah untuk diikuti. Melaksanakan perintah-
perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan Nya.”
Hukum Ittiba’

Allah telah mewajibkan kepada hamba-hamba Nya untuk menaati


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah memerintahkan mereka
untuk menaati dan mengikuti perintah beliau. Allah juga memperingatkan
mereka dari sikap menyelisihi beliau, durhaka kepada beliau, dan tidak
menaati beliau.

Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Allah mewajibkan kepada


manusia untuk ittiba’ (mengikuti) wahyu-Nya dan sunnah Rasul-
Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah berfirman dalam kitab-Nya,

‫م ِإنَّكَ َأنتَ ْال َع ِزي ُز‬bْ ‫َاب َو ْال ِح ْك َمةَ َويُزَ ِّكي ِه‬
َ ‫ك َويُ َعلِّ ُمهُ ُم ْال ِكت‬
َ ِ‫م َر ُسواًل ِّم ْنهُ ْم يَ ْتلُو َعلَ ْي ِه ْم آيَات‬bْ ‫ث فِي ِه‬
ْ ‫َربَّنَا َوا ْب َع‬
‫ْال َح ِكي ُم‬

Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan


mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan
mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Quran) dan Al-Hikmah (As-
Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha
Kuasa lagi Maha Bijaksana. ((QS. Al-Baqarah: 129.))

Maka Allah menyebutkan Al-Kitab, yaitu Al-Quran. Dan Allah juga


menyebutkan Al-Hikmah. Dan aku mendengar di antara ulama yang
memahami Al-Quran mengatakan, Al-Hikmah adalah Sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan bahwa Allah mewajibkan
kepada manusia untuk menaati Rasul-Nya dan mengikuti perintahnya.
Maka tidak boleh dikatakan wajib kecuali karena (adanya dasar dari)
Kitab Allah kemudian Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Dalil Wajibnya Ittiba’

Sangat banyak nash dalam Al-Quran maupun dalam As-Sunnah yang


memerintahkan kita untuk ittiba’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan melarang kita dari menyelisihi tuntunan beliau. Dan hukum
asal dari suatu perintah adalah wajib. Terlebih lagi di antara dalil-dalil itu
terdapat pula ancaman bagi orang yang menyelisihi dan tidak mau ittiba’
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka menjadi sangat
jelas akan wajibnya ittiba’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Allah berfirman,
‫ل فَ ُخ ُذوهُ َو َما نَهَا ُك ْم َع ْنهُ فَانتَهُوا‬bُ ‫َو َما آتَا ُك ُم ال َّرسُو‬

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang
dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” ((QS. Al-Hasyr: 7.))

Tentang ayat ini, Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata,


“Ini berlaku umum mencakup pokok-pokok agama dan cabang-
cabangnya, yang lahir maupun batin. Dan bahwa apa yang dibawa oleh
Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wa sallam) wajib untuk dipegangi dan
diikuti oleh para hamba. Tidak boleh menyelisihinya. Dan bahwa nash
Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wa sallam) atas suatu hukum
(kedudukannya) sama dengan nash Allah. Tidak
ada rukhshah (keringanan) ataupun udzur sama sekali bagi seorang pun
untuk meninggalkannya. Dan tidak boleh pula mendahulukan perkataan
seseorang atas perkataan beliau.” 

Allah berfirman,
‫ُصيبَهُ ْم َع َذابٌ َألِي ٌم‬
ِ ‫م فِ ْتنَةٌ َأوْ ي‬bُْ‫صيبَه‬
ِ ُ‫فَ ْليَحْ َذ ِر الَّ ِذينَ يُخَالِفُونَ ع َْن َأ ْم ِر ِه َأن ت‬
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan
ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” ((QS. An-Nur: 63.))

Allah juga berfirman,


َ ‫َّمن ي ُِط ِع ال َّرسُو َل فَقَ ْد َأطَا َع هَّللا َ َو َمن ت ََولَّ ٰى فَ َما َأرْ َس ْلنَا‬
ً ‫ك َعلَ ْي ِه ْم َحفِي‬
‫ظا‬
“Barangsiapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati
Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami
tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” ((QS. An-
Nisa: 80.))

Allah juga berfirman,


‫ُول فَِإن تَ َولَّوْ ا فَِإنَّ َما َعلَ ْي ِه َما ُح ِّم َل َو َعلَ ْي ُكم َّما ُح ِّم ْلتُ ْم َوِإن تُ ِطيعُوهُ تَ ْهتَدُوا‬
َ ‫قُلْ َأ ِطيعُوا هَّللا َ َوَأ ِطيعُوا ال َّرس‬
ُ‫غ ْال ُمبِين‬
ُ ‫ُول ِإاَّل ْالبَاَل‬
ِ ‫َو َما َعلَى ال َّرس‬
“Katakanlah: Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada rasul; dan jika
kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban rasul itu adalah apa yang
dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata
apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya
kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban rasul itu melainkan
menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” ((QS. An-Nur: 54.))

Allah berfirman,
ِ ‫م َوهَّللا ُ َغفُو ٌر ر‬bْ ‫م هَّللا ُ َويَ ْغفِرْ لَ ُك ْم ُذنُوبَ ُك‬bُ ‫قُلْ ِإن ُكنتُ ْم تُ ِحبُّونَ هَّللا َ فَاتَّبِعُونِي يُحْ بِ ْب ُك‬
‫َّحي ٌم‬
“Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku,
niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” ((QS. Ali Imran: 31.))

Allah berfirman,
‫ بِ ِه لَ َعلَّ ُك ْم‬b‫ق بِ ُك ْم عَن َسبِيلِ ِه ٰ َذلِ ُك ْم َوصَّا ُكم‬ ِ ‫َوَأ َّن ٰهَ َذا‬
َ ‫ ُم ْستَقِي ًما فَاتَّبِعُوهُ َواَل تَتَّبِعُوا ال ُّسبُ َل فَتَفَ َّر‬b‫ص َرا ِطي‬
َ‫تَتَّقُون‬
“Dan bahwa ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan
janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu
mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan
Allah agar kamu bertakwa.” ((QS. Al-An’am: 153.))

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:


‫صلى هللا عليه وسلم – خَطًّا ثُ َّم قَا َل هَ َذا َسبِي ُل هَّللا ِ ثُ َّم خَطَّ ُخطُوطا ً ع َْن يَ ِمينِ ِه‬- ِ ‫خَطَّ لَنَا َرسُو ُل هَّللا‬
‫ ثُ َّم‬.‫ان يَ ْدعُو ِإلَ ْي ِه‬
ٌ َ‫يل ِم ْنهَا َش ْيط‬ ٍ ِ‫ال يَ ِزي ُد – ُمتَفَ ِّرقَةٌ َعلَى ُكلِّ َسب‬ َ َ‫ال – هَ ِذ ِه ُسبُ ٌل – ق‬ َ َ‫َوع َْن ِش َمالِ ِه – ثُ َّم ق‬
‫ق بِ ُك ْم ع َْن َسبِيلِ ِه‬َ ‫ ال ُّسبُ َل فَتَفَ َّر‬b‫ ُم ْستَقِيما ً فَاتَّبِعُوهُ َوالَ تَتَّبِعُوا‬b‫ص َرا ِطى‬ ِ ‫قَ َرَأ َوَأ َّن هَ َذا‬
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat untuk kami sebuah
garis lurus kemudian beliau bersabda, “Ini adalah jalan Allah”. Lalu
beliau membuat beberapa garis di sebelah kanan dan kirinya seraya
berkata, “Ini adalah jalan-jalan yang pada setiap jalannya terdapat setan
yang menyeru (manusia) kepada jalan tersebut”.

Dan beliau membaca firman Allah


‫ق بِ ُك ْم عَن َسبِيلِ ِه‬ ِ ‫َوَأ َّن ٰهَ َذا‬
َ ‫ ُم ْستَقِي ًما فَاتَّبِعُوهُ َواَل تَتَّبِعُوا ال ُّسبُ َل فَتَفَ َّر‬b‫ص َرا ِطي‬
“Dan bahwa ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan
janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu
mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya.” [9] [10]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,


‫اختِالَفِ ِه ْم َعلَى َأ ْنبِيَاِئ ِه ْم فَِإ َذا َأ َمرْ تُ ُك ْم‬
ْ ‫ك َم ْن َكانَ قَ ْبلَ ُك ْم بِ َك ْث َر ِة سَُؤ الِ ِه ْم َو‬
َ َ‫َذرُونِى َما ت ََر ْكتُ ُك ْم فَِإنَّ َما هَل‬
ُ‫ ِم ْنهُ َما ا ْستَطَ ْعتُ ْم َوِإ َذا نَهَ ْيتُ ُك ْم ع َْن َش ْى ٍء فَ َدعُوه‬b‫بِ َش ْى ٍء فَْأتُوا‬
“Biarkanlah apa yang aku tinggalkan untuk kalian. Sesungguhnya orang-
orang sebelum kalian binasa karena banyak bertanya dan karena mereka
menyelisihi nabi-nabi mereka. Maka apabila aku memerintahkan sesuatu
kepada kalian, lakukanlah semampu kalian. Dan apabila aku melarang
kalian dari sesuatu, maka tinggalkanlah.”

Hakikat Ittiba’

Ittiba’ kepada Allah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa


sallam terwujud dengan beberapa hal berikut:

 Mencontoh dan meneladani Nabi


Allah berfirman,
 ‫ هَّللا َ َو ْاليَوْ َم اآْل ِخ َر َو َذ َك َر هَّللا َ َكثِيرًا‬b‫لَّقَ ْد َكانَ لَ ُك ْم فِي َرسُو ِل هَّللا ِ ُأ ْس َوةٌ َح َسنَةٌ لِّ َمن َكانَ يَرْ ُجو‬
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” ((QS. Al-
Ahzab: 21.))

 Menjadikan Sunnah sebagai hakim dan berhukum kepadanya


Allah berfirman,
ُ‫ل َوُأولِي اَأْل ْم ِر ِمن ُك ْم فَِإن تَنَا َز ْعتُ ْم فِي َش ْي ٍء فَ ُر ُّدوه‬bَ ‫ هَّللا َ َوَأ ِطيعُوا ال َّرسُو‬b‫يَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا َأ ِطيعُوا‬
‫ك َخ ْي ٌر َوَأحْ َسنُ تَْأ ِوياًل‬َ ِ‫ُول ِإن ُكنتُ ْم تُْؤ ِمنُونَ بِاهَّلل ِ َو ْاليَوْ ِم اآْل ِخ ِر ٰ َذل‬
bِ ‫ِإلَى هَّللا ِ َوال َّرس‬
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),
dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.” ((QS. An-Nisa: 59.))

 Ridha terhadap hukum dan syariat Rasulullah


Allah berfirman,
َ َ‫ فِي َأنفُ ِس ِه ْم َح َرجًا ِّم َّما ق‬b‫ك فِي َما َش َج َر بَ ْينَهُ ْم ثُ َّم اَل يَ ِجدُوا‬
َ‫ضيْت‬ َ ‫ِّك اَل يُْؤ ِمنُونَ َحتَّ ٰى ي َُح ِّك ُمو‬bَ ‫فَاَل َو َرب‬
‫َويُ َسلِّ ُموا تَ ْسلِي ًما‬
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga
mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu
keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima
dengan sepenuhnya.” ((QS. An-Nisa: 65.))

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


ً‫د َرسُوال‬bٍ ‫م ِدينًا َوبِ ُم َح َّم‬bَِ‫ى بِاهَّلل ِ َربًّا َوبِاِإل ْسال‬ ِ ‫ق طَ ْع َم اِإل ي َما ِن َم ْن َر‬
bَ ‫ض‬ َ ‫َذا‬
“Akan merasakan manisnya iman; orang yang ridha Allah sebagai
Rabbnya, Islam sebagai agamanya, dan Muhammad sebagai
rasulnya.” [14]
Berhenti pada batasan-batasan syariat. Tidak menambahi syariat dengan
perkara-perkara baru, dan juga tidak mengurangi syariat, baik dengan
perkataan maupun perbuatan.

Perbedaan Ittiba’ dengan Taklid

Ittiba’ dan taklid adalah dua hal yang berbeda, baik dari sisi hakikat dan
pengertiannya maupun dari sisi hukumnya.
Ittiba’ adalah menerima perkataan orang yang ucapannya adalah hujah,
yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Atau dengan kata lain, menerima
perkataan seseorang yang disertai penjelasan hujah atas perkataan
tersebut. Dan ittiba’ adalah hal yang terpuji secara mutlak, karena ini
merupakan fondasi kepasrahan terhadap hukum Allah dan Rasul-
Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Adapun taklid, maka hakikatnya adalah menerima perkataan seseorang


tanpa mengetahui dalilnya dan tanpa meminta hujahnya. Hukum asal
taklid adalah terlarang. Kecuali bagi orang awam yang tidak mampu
memahami makna dalil dan mengambil hukum dari dalil. Atau bagi
seseorang yang telah berusaha sungguh-sungguh untuk ittiba’ kepada apa
yang Allah turunkan namun masih samar bagi dia sebagian permasalahan
sehingga dia taklid kepada orang yang lebih berilmu.
 
Ibnu Abdilbarr rahimahullah berkata, “Taklid menurut banyak ulama
tidak sama dengan ittiba’. Karena ittiba’ adalah engkau mengikuti
(pendapat atau perkataan) seseorang dalam keadaan engkau mengetahui
keutamaan perkataan dan kebenaran pendapatnya. Sedangkan taklid
adalah engkau berpendapat sebagaimana pendapat orang lain tanpa
mengetahui sisi pandang pendapat tersebut, ataupun makna pendapat
tersebut, dan engkau enggan dari pendapat yang lain, atau tidak mau
mendapatkan kejelasan akan salahnya pendapatmu itu sehingga engkau
mengikutinya karena takut menyelisihi padahal engkau tahu rusaknya
pendapat tersebut. Yang seperti ini haram dalam agama Allah.”

Buah dan Keutamaan Ittiba’

Ittiba’ kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan membuahkan


faidah dan keutamaan yang sangat banyak. Di antaranya:

 Ittiba’ membuahkan cinta Allah.


Allah berfirman,
ِ ‫م َوهَّللا ُ َغفُو ٌر ر‬bْ ‫م هَّللا ُ َويَ ْغفِرْ لَ ُك ْم ُذنُوبَ ُك‬bُ ‫قُلْ ِإن ُكنتُ ْم تُ ِحبُّونَ هَّللا َ فَاتَّبِعُونِي يُحْ بِ ْب ُك‬
‫َّحي ٌم‬
“Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku,
niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” ((QS. Ali Imran: 31.))
Mendapatkan hidayah dengan ittiba’ dan taat kepada Nabi 
Allah berfirman,
‫ُول فَِإن تَ َولَّوْ ا فَِإنَّ َما َعلَ ْي ِه َما ُح ِّم َل َو َعلَ ْي ُكم َّما ُح ِّم ْلتُ ْم َوِإن تُ ِطيعُوهُ تَ ْهتَدُوا‬ َ ‫قُلْ َأ ِطيعُوا هَّللا َ َوَأ ِطيعُوا ال َّرس‬
ُ‫غ ْال ُمبِين‬
ُ ‫ُول ِإاَّل ْالبَاَل‬
ِ ‫َو َما َعلَى ال َّرس‬
“Katakanlah: Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada rasul; dan jika
kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban rasul itu adalah apa yang
dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata
apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya
kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban rasul itu melainkan
menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” ((QS. An-Nur: 54.))
 Selamat dari kesesatan dan siksa yang pedih
Allah berfirman,
‫ُصيبَهُ ْم َع َذابٌ َألِي ٌم‬
ِ ‫م فِ ْتنَةٌ َأوْ ي‬bُْ‫صيبَه‬
ِ ُ‫فَ ْليَحْ َذ ِر الَّ ِذينَ يُخَالِفُونَ ع َْن َأ ْم ِر ِه َأن ت‬
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan
ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” ((QS. An-Nur: 63.))
Apabila menyelisihi perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam diancam dengan fitnah kesesatan dan azab yang pedih, maka
mengikuti dan taat kepada beliau merupakan sebab keselamatan dari
kesesatan dan siksa yang pedih.

 Ittiba’ menjaga dari buruknya perselisihan yang tercela


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ِ ‫م ب ُسنَّتِي و ُسنَّ ِة ال ُخلَفا ِء الر‬bْ ‫ فَ َعل ْي ُك‬، ً‫ اختِالفا ً َكثيرا‬b‫َوِإنَّهُ َم ْن يَ ِعشْ ِم ْن ُك ْم فَ َسيَ َرى‬
‫َّاش ِدينَ ال َم ْه ِديِيِّنَ عَضُّ وا‬
‫فإن ك َّل بدعة ضاللة‬ َّ ‫ور ؛‬ ‫ ُأل‬bِ ‫ َوِإيَّا ُك ْم َو ُمحْ َدثَا‬، ‫َعلَ ْيهَا بالنَّوا ِج ِذ‬
ِ ‫ت ا ُم‬
“Sesungguhnya barangsiapa yang hidup sepeninggalku maka dia akan
melihat perselisihan yang banyak. Maka pegang teguhlah sunnahku dan
sunnah Al-Khulafa Ar-Rasyidin, gigit sunnah itu dengan geraham. Dan
jauhilah perkara-perkara yang baru (dalam agama). Karena sesungguhnya
semua bid’ah adalah sesat.” 

 Terwujud keimanan yang sempurna


Allah berfirman,
َ َ‫ فِي َأنفُ ِس ِه ْم َح َرجًا ِّم َّما ق‬b‫ك فِي َما َش َج َر بَ ْينَهُ ْم ثُ َّم اَل يَ ِجدُوا‬
َ‫ضيْت‬ َ ‫ِّك اَل يُْؤ ِمنُونَ َحتَّ ٰى ي َُح ِّك ُمو‬
bَ ‫فَاَل َو َرب‬
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga
mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu
keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima
dengan sepenuhnya.” ((QS. An-Nisa: 65.))

C. TALFIQ

Pengertian Talfiq Dalam bahasa Arab, kata talfiq (ُ‫ )التَّ ْلفِيق‬berasal dari
kata (ً ‫ق – ت َْلفِيقا‬ َ َّ‫ )لَف‬yang berarti menggabungkan sesuatu dengan yang
ُ ِّ‫ق – يُلَف‬
lain.

Secara Syar’i
Talfiq, yaitu mendatangkan suatu cara (dalam ibadah atau mu’amalah)
yang tidak pernah dinyatakan oleh ulama mujtahid. Maksudnya, bertaklid
kepada madzhab-madzhab serta mengambil (menggabungkan) dua
pendapat atau lebih dalam satu masalah, yang memiliki rukun-rukun dan
cabang-cabang, sehingga memunculkan suatu perkara gabungan (rakitan)
yang tidak pernah dinyatakan oleh seorang pun (dari para imam
mujtahid), tidak oleh imam yang dulu dia ikuti madzhabnya maupun
imam ‘barunya’. Justru masing-masing imam tersebut menetapkan
batilnya penggabungan dalam ibadah tersebut.

Contoh Talfiq

Anda mungkin juga menyukai