Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

FIQIH DAN USHUL FIQIH


IJTIHAD
DOSEN PENGAMPU: Dr. Muhammad Riza Fahmi. M,Si

DI SUSUN OLEH:
Dzikri Hawwin Alaina Rahman (12204022)
Afrida Rianti Dewi (12204001)

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH (MU’AMALAH)


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONTIANAK
2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Puji Syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT. yang telah
memberikan kita nikmat kesehatan, nikmat untuk bernafas, nikmat rezeki dan hidayah-Nya,
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini yang berjudul Ijtihad yang
alhamdulillah dapat terselesaikan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.

Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi Mata Kuliah Ilmu Kalam yang diampu
oleh Bapak Dr. Muhammad Riza Fahmi. M.Si. Adapun tujuan lain dari penulisan makalah
ini adalah untuk menambah wawasan atau pengetahuan serta minat untuk mengetahui lebih
dalam mengenai ilmu Fiqih ataupun ilmu Ushul fiqih, baik para pembaca makalah, serta
kami sebagai penulis.

Tentunya penulisan makalah ini tidak terlepas dari kekurangan dan kesalahan dari kami
penulis. Oleh karena itu, kami sangat berharap para pembaca mau memberikan kritik dan
saran yang tentunya akan membuat kami dapat membuat makalah ini dengan lebih baik dan
sempurna.

Pontianak, 14 Desember 2022

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ijtihad merupakan upaya untuk menggali suatu hukum yang sudah ada pada zaman
Rasulullah SAW. Hingga pada perkembangannya ijtihad dilakukan oleh para sahabat, tabi’in
sarta masa-masa selanjutnya hingga sekarang ini. Ijtihad adalah bagian penting dalam hukum
Islam. Melaului proses ijtihad, bertujuan terciptanya solusi untuk pernyataan hukum yang
belum dijelaskan di dalam Al-qur’an dan Hadist. Ijtihad adalah suatu keharusan, untuk
menghadapi tantangan kehidupan yang semakin kompleks problematikanya.
Sekarang, banyak ditemui perbedaan-perbedaan madzab dalam hukum Islam yang
itudisebabkan oleh ijtihad. Misalnya bisa dipetakan Islam kontemporer seperti Islam
liberal,fundamental, ekstrimis, moderat, dan lain sebagainya. Semuanya itu tidak lepas dari
hasilijtihad dan sudah tentu masing-masing mujtahid berupaya menemukan hukum
yangterbaik. justru dengan ijtihad, Islam menjadi luwes, cocok dalam segala hallapis waktu,
tempat dan kondisi.
Sesungguhnya ijtihad adalah suatu cara untuk mengetahui hukum sesuatu melaluidalil-
dalil agama yaitu Al-Qur'an dan Al-hadits dengan jalan istimbat. Adapun mujtahid ituialah
ahli fiqih yang menghabiskan atau mengerahkan seluruh kesanggupannya untukmemperoleh
persangkaan yang kuat terhadap sesuatu hukum agama.
A. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari ijtihad?
2. Apa pengertian dari istinbath?
3. Apa saja dasar-dasar hukum ijtihad?
4. Apa fungsi dari ijtihad?
5. Apa saja syarat-syarat mujtahid?
6. Apa saja macam-macam ijtihad?
B. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertioan dari ijtihad.
2. Mengetahui pengertian dari istinbath
3. Mengetahui apa saja dasar-dasar hukum ijtihad.
4. Mengetahui fungsi dari ijtihad
5. Mengetahui apa saja syarat-syarat mujtahid.
6. Mengetahui apa saja macam-macam ijtihad.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian ijtihad

Ijtihad dari segi bahasa berasal dari kata ijtihada yang berarti bersungguh-sungguh,
rajin, giat atau mencurahkan segala kemampuan . Jadi, menurut bahasa, ijtihad ialah berupaya
serius dalam berusaha atau berusaha yang bersungguh-sungguh. Sementara secara istilah
ialah melakukan istimbath hukum syari`at dari segi dalildalilnya yang terperinci di dalam
syari`at.1
Sedangkan menurut Imam Ghozali ialah suatu istilah tentang mengerahkan segala
yang diushakan dan menghabiskan segenap upaya dalam suatu pekerjaan, dan istilah ini tidak
digunakan kecuali terdapat beban dan kesungguhan. Maka dikatakan dia berusaha keras
untuk membawa batu besar, dan tidak dikatan dia berusaha (ijtihad) dalam membawa batu
yang ringan. Dan kemudian lafaz ini menjadi istilah secara khusus di kalangan ulama, yaitu
usaha sungguh-sungguh dari seorang mujtahid dalam rangka mencari pengetahuan hukum-
hukum syari`at. Dan ijtihad sempurna yaitu mengerahkan segenap usaha dalam rangka untuk
melakukan pencarian, sehingga sampai merasa tidak mampu lagi untuk melakukan tambahan
pencarian lagi.2
Sedangkan menurur Syech Abdul hamid Muhammad bin Badis al-shanhaji. Ijtihad
adalah mengerahkan segenap kemampuan untuk melakukan istibath hukum dari dalil syara’
dengan kaidah-kaidah. Dan orang melakukan ijtihad tersebut adalah orang yang pakar dalam
bidang ilmu-ilmu al-Quran dan al-sunnah, memiliki pengetahuan yang luas tentang maqasid
syariah (tujuan-tujuan hukum islam), dan memiliki pemahaman yang benar terkait dengan
bahasa Arab.3
Dari definisi di atas, dapat difahami bahwa ijtihad itu, pertama usaha intelektual
secara sungguh-sungguh; kedua, usaha yang dilakukan itu adalah melakukan istibath
(menyimpulkan) dan menemukan hukum; ketiga, pencarian hukum dilakukan melalui
dalildalil baik dari alqur’an dan Sunnah; keempat, orang yang melakukan ijtihad itu adalah
seorang ulama yang memiliki kompetensi, dan keluasan wawasan serta pengetahuan dalam
bidang hukum Islam.
Adapun dalil ijtihad di dalam Al-qur’an tercantum dalam surat An-nisa’ ayat 5 yang
artinya :

1
Wahbah al-Zuhaili, al-Wajiz fi ushul al-Fiqh, (Bairut: dar al-fikr al-Mu’ashir, 1999)
2
Abu Hamid Al-Ghazali, al-Mustasfa min Ilmi al-Ushul, (Riyadh KSA: Dar al-Maiman linasr wa al-tauzi’,
3
Abdul Hamid Muhammad Bin Badis Al-Shanhaji, Mabadi’ al-Ushul
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan RasulNya, dan orang-orang yang
memegang kekuasaan di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (Sunnah Rasul)”
Di dalam ayat tersebut terdapat perintah untuk kembali kepada Allah dan Rasulnya jika
dihadakan dengan hal yang berlainan dengan kita maka kembali al-Qur’an dan al-Sunnah
karena di dalam Al-qur’an tidak semuanya merupakan hal yang jelas dan pasti, hanya
diketahui oleh beberapa orang saja seperti para ulama’,tapi di Al-qur’an juga terdapat hukum
yang tidak atau kurang jelas, sehingga ia memerlukan intervensi akal pikiran manusia
berupa penafsiran terhadap ayat-ayat ataupun hadis itu.

B. Pengertian Istinbath
Secara bahasa, kata istinbath berasal dari kata istanbatha-yastanithu-istinbathan yang
berarti menciptakan, mengeluarkan, mengungkapkan atau menarik kesimpulan.
Dengan demikian, istinbath hukum adalah suatu cara yang dilakukan atau dikeluarkan
oleh pakar hukum (fikih) untuk mengungkapkan suatu dalil hukum guna menjawab
persoalan-persoalan yang terjadi.
Pengertian istinbath hukum sering juga diartikan secara kurang tepat, di mana ia diartikan
sebagai dalil hukum. Padahal keduanya memiliki arti yang berbeda. Secara bahasa, kata dalil
berarti petunjuk kepada sesuatu yang dapat dirasa maupun yang tidak dapat dirasa, baik
petunjuk yang baik maupun buruk. Menurut ahli ushul fikih dalil adalah sesuatu yang
menunjukkan pada pandangan yang benar terhadap hukum syari’ah yang bersifat praktis
melalui jalan yang qath’i atau zhanni.
Dalam ushul fikih ada beberapa lafal yang mempunyai arti yang sama yaitu dalil al-
hakam, ushul al-hakam, al-mashadir al-tasyri’iyyah li al-hakam. Lafal-lafal ini mempunyai
arti yang sama, yaitu sumber hukum.
Tujuan istinbath hukum adalah menetapkan hukum setiap perbuatan atau perkataan
mukallaf dengan meletakkan kaidah-kaidah hukum yang ditetapkan. Melalui kaidah-kaidah
itu kita dapat memahami hukum-hukum syara’ yang ditunjuk oleh nash, mengetahui sumber
hukum yang kuat apabila terjadi pertentangan antara dua buah sumber hukum dan
mengetahui perbedaan pendapat para ahli fikih dalam menentukan hukum suatu kasus
tertentu. Jika seorang ahli fikih menetapkan hukum syariah atas perbuatan seorang mukallaf,
ia sebenarnya telah meng-istinbath-kan hukum dengan sumber hukum yang terdapat di dalam
kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh ahli ushul fikih.
 Permasalahan umat manusia yang ada di sekitar kita selalu menarik untuk diamati dan
dikritisi. Tak terkecuali dengan hal-hal yang berhubungan dengan syara atau ibadah. Untuk
itu, dalam mencari suatu kunci untuk keluar dari masalah para ulama biasanya menggunakan
alat antara lain al-Qur'an, sunnah, ijma dan qiyas. Di samping itu, mereka juga harus
melakukan ijtihad untuk memecahkan masalah tersebut. Sekarang, banyak ditemui
perbedaan-perbedaan mazhab dalam hukum Islam yang disebabkan dari ijtihad. Misalnya,
muncul aliran seperti Islam liberal, fundamental, ekstremis, moderat dan lain sebagainya.
Dilihat dari pengetiannya, ijtihad dapat dipahami dengan mencurahkan segenap tenaga
dan pikiran secara sungguh-sungguh dalam menetapkan suatu hukum, ijtihad sebenarnya
merupakan rujukan hukum dalam agama Islam, apabila sesuatu permasalahan tidak ada
penjelasannya di dalam Al Quran maupun hadis.
Adapun fungsi ijtihad, di antaranya adalah:

1. fungsi ijtihad al-ruju' (kembali):mengembalikan ajaran-ajaran Islam kepada Al-qur’an


dan sunnah dari segala interpretasi yang kurang relevan.
2. fungsi ijtihad al-ihya (kehidupan): menghidupkan kembali bagian-bagian dari nilai
dan Islam semangat agar mampu menjawab tantangan zaman
3. fungsi ijtihad al-inabah (pembenahan): memenuhi ajaran-ajaran Islam yang telah di-
ijtihadi oleh ulama terdahulu dan dimungkinkan adanya kesalahan menurut konteks
zaman dan kondisi yang dihadapi.

C. Dasar Hukum Ijtihad


Ijtihad merupakan salah satu metode untuk istinbath hukum Islam. Dibolehkannya ijtihad
ini tentunya berdasarkan firman Allah atau hadits Rasullullah. Baik yang dinyatakan dengan
jelas maupun yang dinyatakan dengan isyarat, diantaranya yaitu firman Allah SWT dalam
surah An nisaa’ayat 105.
“Sesungguhnya kami turunkan kitab kepadamu secara hak, agar dapat menghukumi
diantara manusia dengan apa yang Allah mengetahui kepadamu, dan janganlah kamu
menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang
khianat”.
Dalam ayat tersebut terdapat penetapan ijtihad yaitu berupa qiyas. Dibolehkannya ijtihad
juga berdasarkan keterangan dari sunah, diantaranya yaitu:
Hadit yang diriwayatkan oleh Umar yang artinya :
“Jika seorang hakim menghukumi sesuatu, dan benar, maka itu mendapat dua, dan bila
dia salah mak dia mendapat satu pahala”.
Dan hadits Muadz Bin Jabal ketika Rasulullah SAW. Mengutusnya ke Yaman unuk
menjadi Hakim. Yang artinya: Rasulullah SAW. Bertanya, “Dengan apa kamu
menghukumi?” ia menjawab “Dengan apa ayng ada dalam kitab Allah”. Bertanya
Rasulullah, “Jika kamu tidak mendapatkannya dalam kitab Allah?”. Dia menjawab “Aku
memutuskan dengan apa yang diputuskan Rasulullah”. Rasul Bertanya lagi “Jika tidak
mendapatkan dalam ketetapan Rasulullah?” Berkata Mu’adz “Aku berjihad dengan
pendapatku.” Rasulullah bersabda, “Aku bersyukur kepada Allah yang telah menyepakati
utusan dari Rasul-Nya.”
Ijtihad telah dilakukan oleh para sahabat sejak wafatnya Rasulullah SAW. Mereka selalu
berijtihad ketika mendapatkan masalah-masalah baru yang belum di jelaskan  secara jelas
baik dalam Alquran dan Sunnah rasul.

D. Fungsi Ijtihad
Ijtihad berfungsi baik untuk  menguji kebenaran riwayat hadis yang tidak sampai ke
tingkat Hadis Mutawatir seperti hadis ahad, atau sebgai upaya memahami redaksi ayat atau
hadis yang tidak tegas pengertiannya sehingga tidak langsung dapat dipahami kecuali dengan
ijtihad, dan berfungsi untuk mengembangkan perinsip-perinsip hukum yang terdapat dalam
Al-Qur’an dan Sunnah seperti dengan qiyas, isithsan, dan maslahah mursalah. Hal yang
disebut ini, yaitu pengembangan perinsip-perinsip hokum dalam al-Qur’an dan Sunnah
adalah penting, karena dengan  itu ayat-ayat dan hadis-hadis hukum yang sangat terbatas
jumlahnya itu dapat menjawab permasalahan yang tidak terbatas jumlahnya.
E. Syarat-syarat Mujtahid
Mujtahid adalah orang yang berijtihad. Berbicara tentang syarat  - syarat  ijtihad tidak lain
dari berbicara syarat – syaratnya mujtahid begitu pula sebaliknya.
            Menurut Imam Al – ghozali didalam kitabnya al – musthofa mengatakan mujtahid
memiliki dua syarat :
a. Mengetahui dan menguasai ilmu syara’ dan dapat melihat dzon yang sesuai dengan
syar’i dengan mendahulukan apa yang wajib di dahulukan dan sebaliknya.
b. Hendaknya seseorang itu bersikap adil, menjauhi maksiat yang dapat mencemarkan
sifat dan sikap keadilannya karena ini menjadi landasan apakah fatwanya dapat menjadi
pandangn atau tidak.
Dapat di simpulkan bahwa syarat-syarat mujtahid atau ulama’ untuk melakukan
ijtihad, yaitu:
a. Menguasai dan mengetahui arti ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Alquran,  baik
menurut bahasa maupun syaria’ah.
b. Menguasai dan mengetahui hadits-hadits hukum, baik menurut bahasa maupun
syari’ah.
c. Mengetahui nasakh dari Alquran dan Assunnah, supaya tidak salah dalam
menetapkan hukum.
d. Mengetahui permasalahan yang sudah ditetapkan melalui ijma’ ulama’, sehingga
ijtihadnya tidak bertentangan dengan ijma’ ulama’.
e. Mengetahui qiyas dan berbagai persyaratan serta menginstinbatnya, karena qiyas
merupakan kaidah dalam berijtihad.
f. Mengetahui bahasa Arab dan berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan bahasa,
serta berbagai problematikanya.
g. Mengetahui Ilmu Ushul Fiqih yang merupakan fondasi dari ijtihad.
h. Mengetahui maqashidu al syari’ah (tujuan syariat) secara umum, karena
bagaimanapun juga syari’at itu berhubungan dengan maqashidu al syari’ah atau rahasia yang
disyariatkannya suatu hukum. [4]

F. Macam-macam Ijtihad
Dr. Dawalibi membagi Ijtihad menjadi tiga bagian, yang sebagiannya sesuai dengan
pendapat As- Syathibi dalam kitab Almuafaqat, yaitu:
a. Ijtihad Al Batani, yaitu ijtihad untuk menjelasakan hukum-hukum syara’ dari nash.
b. Ijtihad Al Qiyasi, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam
Alquran dan Assunnah dengan menggunakan metode qiyas.
c. Ijtihad Al Istishlah, yaitu ijtiha terhadap permasalan yang tidak terdapat dalam Alqura
dan Assunnah dengan menggunakan ra’yu berdasarkan kaidah istishlah
Pembagian diatasa masih belum sempurna, seperti yang diungkapkan oleh Muhammad
Taqiyyu Alhakim dengan mengemukakan beberapa alasan, diantaranya jami’ wal mani.
Menurutnya, ijtihad itu dapat di bagi menjadi dua bagian saja, yaitu:
a. Ijtihad Al-aqli, yaitu ijtihad yang didasarkan pada akal, tidak menggunakan dalil
syara’. Mujtahid dibebasakan untuk berfikir dengan mengikuti kaidah-kaidah yang pasti.

4
[2] Rachmat Syafie’i, Ilmu Ushul Fiqih (Bndung: Pustaka Setia, 1999), 104-105.
Misalnya, menjaga kemudharatan, hukuman jelek bila tidak disertai penjelasan, dan lain
sebagainya.
b. Ijtihad Syar’i, yaitu ijtihad yang didasarkan pada syara’. Termasuk dalm pembagian
ini adalah ijma’, qiyas, istihsan, istishlah, urf, isttishab dan lain-lain.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara terminologi Ijtihad adalah aktivitas untuk memperoleh pengetahuan (istinbat)
hukum syara’ dari dalil terperinci dalam syariat. Sedangkan Secara etimologi ijthad berasal
dari bahasa Arab yaitu ijtihada yang di ambil dari masdar ghoiru mim yang artinya
bersungguh-sungguh, rajin, dan giat.
Dasar hukum yang membolehkan Ijtihad adalah Alquran dan hadits Rasul. Salah satunya
yaitu Alquran Surah Annisaa’ ayat 105 serta Hadits Rasul yang diriwayatkan oleh Umar.
Apabila seseorang telah mencapai tingkatan mujtahid ia wajib berijtihad sendiri atas masalah
yang d hadapinya. Ia dilarang bertaqlid kepada orang lain bila ia telah mencapai hukum
peristiwa yang dicarinya itu berdasar zhannya. Oleh karena sempitnya waktu, seorang
mujtahid yang belum memperoleh apa yang di ijtihadkan dianggap sah bertaqlid kepada
mujtahid lain yang lebih terpercaya, baik mujtahid yang telah tiada maupun yang masih ada.
Bagi seorang mujtahid wajib berijtihad untuk orang lain bila tidak ada orang yang
sanggup menetapkan hukum peristiwa yang berada pada orang lain itu dan dikhawatirkan
kehabisan waktu untuk mengamalkannya. Akan tetapi, kalau masih ada mujtahid lain atau
tidak ada kekhawatiran akan habisnya waktu mengamalkan peristiwa yang hendak dicari
hukumnya, maka baginya berijtihad itu adalah wajib kifa’i.
Seorang mujtahid hendaklah mengamalkan hasil ijtihadnya, baik di dalam memutuskan
perkara maupun di dalam memberikan fatwa. Adapun bagi mujtahid lain tidak wajib
mengikutinya. Karena pendapat seseorang sepeninggal Rasulallah SAW, bukan merupakan
hujjah yang harus diikuti oleh seluruh kaum muslimin. Hanya saja bagi orang awam yang
tidak mempunyai kesanggupan untuk berijtihad, hendaknya mengikutinya.
DAFTAR PUSTAKA

Al dzarwy, Ibrahim Abbas. 1987. Ijtihad Dalam Syari’at Islam. Jakarta: Jakarta Indo.
Al Qardawy, Yusuf. 1987. Ijtihad Dalam Syari’at Islam. Jakarta: Jakarta Indo.
Khalaf, Abdul Wahab. 2004. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Rineka Cipta.
Syafe’i, Rahmat. 1999. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia.

Anda mungkin juga menyukai