Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

Ushul Fiqih

Penggalian dan Penemuan Hukum 2

(Ijtihad, Putusan Qadhi, Fatwa dan Opini Hukum)

Di susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqih dengan

Dosen pengampu : Dr. H. Rif’an Syafruddin, Lc, M.Ag

OLEH

KELOMPOK 13

Ahmad Syafi’i (2204117308)

Chumaidy (2204117311)

M. Fikry Hafili (2204117317)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) PRODI PENDIDIKAN AGAMA

ISLAM (PAI) RASYIDIYAH KHALIDIYAH AMUNTAI 2023/2024


KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, serta shalawat dan salam atas baginda Rasulullah
SAW atas limpahan berkah & suri tauladan bagi seluruh alam. Sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah Ushul
Fiqih dengan judul “Ijtihad, Putusan Qadhi, Fatwa dan Opini Hukum ”

Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan
banyak pihak yang dengan tulus memberikan do‟a, saran dan kritik sehingga makalah ini
dapat diselesaikan. Kami sepenuhnya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
sempurna dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh
karena itu, kami mengharapkan segala bentuk saran serta masukan yang membangun dari
berbagai pihak. Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat.

Balangan, 07 Desember 2023

Kelompok 13

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Hierarki adalah suatu tingkatan dalam sesuatu, diartikan ke ranah hukum Islam berarti
tingkatan dalam hukum Islam yang mana tingkatan hukum tersebut diawali dari hukum Allah
(Al-Qur‟an) hukum Rasul-Nya (Hadits) hukum dari para sahabat, ulama dan tabi‟in (Ijtihad).
Ijtihad ialah suatu upaya penggalian hukum yang sudah ada pada zaman Rasulullah SAW.
Hingga dalam perkembangannya, ijtihad dilakukan oleh para sahabat, tabi‟in serta selanjutnya
hingga sekarang. Meskipun pada periode tertentu apa yang kita kenal dengan masa taklid, ijtihad
tidak diperbolehkan, tetapi pada masa periode tertentu pula (kebangkitan dan pembaruan), ijtihad
mulai dibuka kembali.

Karena, ijtihad adalah suatu keharusan, untuk menanggapi tantangan kehidupan dunia
yang semakin rumit yang maka dari hasil ijtihad tersebutlah terbentuknya suatu opini hukum
yang dibuat oleh para ulama didasarkan pada Al-Qur‟an dan Hadist yang diperoleh dari para
tabi‟in, para sahabat sampai kepada Rasulullah SAW dan dijadikan fatwa untuk semua kalangan
umat Islam di dunia. Dan putusan hukum tersebut ditangani oleh Qadhi yang mempunyai
wewenang dalam menetapkan hukum pada suatu permasalahan kehidupan umat Islam. Dan tidak
semua hasil ijtihad merupakan pembaruan bagi ijtihad yang lama sebab ada kalanya hasil ijtihad
yang baru sama dengan hasil yang lama. Bahkan, sekalipun berbeda hasil ijtihad baru, tidak bisa
mengubah status ijtihad lama. Hal itu berkenaan dengan kaidah ijtihad yang tidak dapat
dibatalkan dengan ijtihad pula. Berdasarkan pelaksanaan ijtihad, bahwa sumber hukum Islam
menuntun umat Islam untuk memahaminya. Adapun sumber hukum Islam yang disepakati
jumhur ulama yaitu Al-Qur‟an, Hadits, Ijma dan Qiyas.

1
B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian Hierarki?


2. Apa pengertian Ijtihad?
3. Apa pengertian qadhi dan putusannya?
4. Apa pengertian fatwa dan opini hukum?

C. Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui pengertian Hierarki.


2. Untuk mengetahui pengertian Ijtihad.
3. Untuk mengetahui pengertian qadhi dan putusannya.
4. Untuk mengetahui pengertian fatwa dan opini hukum.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hierarki

Hierarki adalah suatu susunan yang di mana hal-hal tersebut dikemukakan sebagai
tingkatan suatu hal yang berada di atas, di bawah atau pada tingkatan yang sama. Di dalam
hukum arti lain dari Hierarki ialah tingkatan hasil penemuan hukum. Di dalam Islam sudah
sangat jelas dan diketahui oleh umat muslim, bahwa tingkatan hukum yang paling tinggi ialah
hukum dari Allah SWT yaitu Al-Qur‟an, hadits dari Rasulullah SAW, ijtihad para sahabat, serta
ijma dan qiyas dari para ulama (tabi‟-tabiin).

Dalam kegiataan kehidupan manusia yang sangat luas, tidak terhitung jumlah dan
jenisnya, sehingga tidak mungkin tercakup dalam suatu hukum, dari perundang-undangan
dengan tuntas dan jelas. Sehingga tidak ada peraturan perundang-undangan yang selengkap-
lengkapnya dan sejelas-jelasnya. Karena hukumnya tidak lengkap dan tidak jelas, maka harus
dicari dan ditemukan. 1 Hukum diartikan sebagai keputusan hakim (pengadilan), yang menjadi
pokok masalah adalah tugas dan kewajiban hakim sebagai pencari suatu hukum yang belum ada
jawabannya dalam menemukan dan menentukan suatu hukum dari suatu masalah kehidupan
masyarakat. Hakim dapat dianggap sebagai salah satu faktor pembentuk hukum. 2

Penemuan hukum Sudiko Mertokusomo, “lazimnya diartikan sebagai proses


pembentukan hukum oleh hakim atau para petugas hukum yang diberi tugas melaksanakan
hukum atau menerapkan peraturan-peraturan hukum terhadap suatu peristiwa yang konkret.3

1
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2014), 49.
2
Yudha Bakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Kontruksi hukum, (Alumni, Bandung, 2000), 6.
3
Sudikno Mertokusomu, ibid., 39.

3
Adapun dalam penemuan hukum negara dapat digunakan sesuai dengan hierarki
(tingkatannya) menurut Sudikno Mertokusumo antara lain :

1) Undang-undang;
2) Hukum Kebiasaan;
3) Yurisprudensi;
4) Perjanjian Internasional (tractaatltreaty);
5) Doktrin;
6) Perilaku;
7) Kepentingan Manusia

Keharusan menemukan hukum baru, bukan hanya ketika aturannya saja tak jelas, tetapi
apabila memang belum ada hukumnya. Maka diperlukan hukum untuk memberikan penyelesaian
yang hasilnya dirumuskan dalam suatu putusan yang disebut putusan hakim (qadhi) yang
merupakan penerapan hukum. 4

Eksistensi penemuan hukum mendapatkan perhatian yang berlebih, karena penemuan


hukum dirasa mampu memberikan suatu putusan yang lebih dinamis dengan memadukan antara
aturan yang tertulis dengan aturan tidak tertulis. Reschtsvinding hakim diartikan sebagai ijtihad
hakim dalam memberikan keputusan yang memiliki jiwa tujuan hukum.

Menurut Paul Scholten sebagaimana dikutip oleh Achmad Ali, “penemuan hukum
diartikan sebagai sesuatu yang lain daripada penerapan peraturan-peraturan pada peristiwanya,
dimana kadangkala terjadi bahwa peraturannya harus dikemukakan dengan jalan interpretasi5

B. Pengertian Ijtihad

Ijtihad berasal dari kata “al-jahd” yang berarti “al-masyoqot”(kesulitan atau kesusahan)
dan “athoqot” (kesanggupan dan kemampuan) atas dasar firman Allah Swt dalam Q.S Yunus : 9.
Yang artinya : “Dan (mencela) orang yang tidak memperoleh (sesuatu untuk disedekahkan)
selain kesanggupan.” Demikian juga dari kata masdar dari fiil madhi yaitu “ijtihada” yang berarti
usaha untuk lebih sungguh-sungguh.

4
Pontang Moerad, B.M., Penemuan Hukum Melalui Putusan Pengadilan, 81.
5
H.P. Panggabean, Penerapan Teori Hukum Dalam Sistem Peradilan Indonesia, (Bandung: PT. Alumni 2014), 217

4
Maksud dari kata Ijtihad ialah usaha keras atau pengarahan daya upaya dengan
kesanggupan yang ada, pengertian lain Ijtihad yaitu berusaha memaksimalkan daya dan upaya
yang dimilikinya6. Dengan demikian, ijtihad bisa digunakan sebagai upaya untuk menyelesaikan
masalah-masalah yang menyangkut tentang hukum Islam. Adapun pengertian Ijtihad dapat
dilihat dari dua aspek, baik dari etimologi maupun terminologi. Dalam hal ini memiliki konteks
yang berbeda.

Ijtihad secara etimologi memiliki pengertian: “pengerahan segala kemampuan untuk


mengerjakan sesuatu yang sulit”. Sedangkan secara terminologi adalah “penelitian dan
pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat kitabullah (syara) dan sunah rasul atau yang
lainnya, untuk memperoleh nash yang ma‟qr, agar maksud dan tujuan umum dari hikmah syariah
yang terkenal dengan maslahat.

Ahli ushul fiqh menambahkan kata-kata „al-faqih dalam definisi tersebut sehingga
definisi ijtihad adalah pencurahan seorang faqih atas semua kemampuannya. Sehingga Imam
Syaukani memberi komentar bahwa penambahan faqih tersebut merupakan suatu keharusan.
Sebab pencurahan yang dilakukan oleh orang yang bukan faqih tidak disebut ijtihad menurut
istilah. Ijtihad mempunyai arti umum, yaitu sebagai kekuatan atau kemampuan dalam
mencetuskan ide-ide yang baik demi kemaslahatan umat. Ada beberapa pendapat bahwa ijtihad
adalah pengerahan segenap kesanggupan dari seorang ahli fiqih atau mujtahid untuk memperoleh
pengertian terhadap hukum syariat Islam.

a. Dasar-Dasar Ijtihad

Ijtihad dipandang sebagai salah satu metode penggali sumber hukum. Dasar hukum
Ijtihad ialah Al-Qur‟an dan Sunnah. Di dalam firman Allah yang menjadi dasar dalam berijtihad
ialah dalam Q.S An-Nisa‟ : 105 Allah SWT berfirman : “Sesungguhnya kami menurunkan kitab
kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa
yang telah Allah wahyukan kepadamu dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak
bersalah) karena (membela) orang-orang yang khianat”.

6
Rahmat Syafe‟i, Ilmu Ushul Fiqh (Jakarta: Pustaka Setia, 1999), h. 98.

5
Demikian juga dijelaskan dalam firman Allah SWT Q.S. Ar-Rum : 21 yang Artinya :
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berpikir.” Adapun fungsi Ijtihad, di antaranya :

 Fungsi Ar-Ruju‟ (kembali) : mengembalikan ajaran-ajaran Islam kepada Al-Qur‟an dan


Sunnahh dari segala interpretasi yang kurang relevan.
 Fungsi Al-Ihya (kehidupan) : menghidupkan kembali bagian-bagian dari nilai dan
semangat Islam, agar mampu menjawab tantangan zaman.
 Fungsi Al-Inabah (pembenahan) : memenuhi ajaran-ajaran Islam yang telah di Ijtihadi
oleh ulama terdahulu dan membenahi kemungkinan adanya kesalahan menurut konteks
zaman dan kondisi yang dihadapi pada berbagai waktu dan zaman, agar Islam dan
hukumnya tetap relevan dan menyesuaikan pada zaman (agama yang mengatur zaman,
bukan zaman yang mengatur agama).

Sangat pentingnya Ijtihad sehingga jumhur ulama menunjuk ijtihad menjadi hujjah dalam
menetapkan hukum berdasarkan firman Allah SWT dalam Q.S. An-Nisa‟: 59 Artinya : “Jika
kamu mempersengkatakan sesuatu maka kembalikanlah sesuatu tersebut kepada Allah dan
Rasul-Nya”. Perintah untuk mengembalikan masalah kepada Al-Qur‟an dan Sunnah ketika
terjadi perselisihan hukum dengan penelitian seksama terhadap masalah yang nash-nya tidak
tegas. Dijelaskan pada sabda Nabi baginda Rasulullah SAW : “Jika seorang hakim bergegas
memutus perkara tentu ia melakukan ijtihad dan bila benar hasil ijtihadnya akan
mendapatkan dua pahala. Jika ia bergegas memutus perkara tentu ia melakukan ijtihad dan
ternyata hasilnya salah, maka ia mendapat satu pahala” (H.R. Asy-Syafi‟i dari Amr bin Ash).

Hadits di atas bukan hanya memberi legalitas Ijtihad, akan tetapi juga menunjukkan
kepada kita bahwa perbedaan-perbedaan pendapat hasil Ijtihad bisa dilakukan secara individual
(ijtihad fardi) yang hasil rumusan hukumnya tentu relatif terhadap tingkat kebenaran.

6
b. Syarat-Syarat Mujtahid

Mujtahid adalah orang yang mampu melakukan ijtihad melalui cara istinbath
(mengeluarkan hukum dari sumber hukum syariat) dan tatbiq (penerapan hukum). Sebelum
membahas syarat bagi seorang mujtahid, ada baiknya kita mengetahui rukun ijtihad tersebut, di
antara rukun-rukunnya ialah :

1) Al-Waqi‟ yaitu adanya kasus yang terjadi atau diduga akan terjadi yang tidak diterangkan
oleh nash.
2) Mujtahid ialah orang yang melakukan ijtihad dan mempunyai kemampuan untuk
berijtihad dengan syarat-syarat tertentu.
3) Mujtahid fill ialah hukum-hukum syariat yang bersifat amali (taklifi).
4) Dalil syara untuk menentukan suatu hukum bagi mujtahid fill.

Dalam menentukan syarat-syarat seorang mujtahid terdapat banyak perbedaan pendapat


dari para ulama pemikir Islam, di antaranya : Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-
Ghazali. Menurutnya, syarat-syarat bagi seorang mujtahid harus mempunyai kriteria :

 Mengetahui syariat serta hal-hal yang berkaitan dengannya.


 Adil dan tidak melakukan maksiat yang dapat merusak keadilannya.

Menurut Fakhr Al-Din Muhammad bin Umar bin Al-Husain Ar-Rozi, syarat-syaratnya
sebagai berikut :
 Mukallaf (baligh lagi berakal dan mengetahui mana yang baik dan buruk)
 Mengetahui makna-makna lafaz dan rahasia dari Al-Qur‟an dan Hadits
 Mengetahui keadaan mukhattab yang merupakan sebab pertama terjadinya
perintah atau larangan.
 Mengetahui keadaan lafaz, apakah memiliki qarinah atau tidak.

7
Sedangkan menurut Abu Ishak bin Musa Al-Syatibi, syarat-syarat mujtahid ada tiga :

 Memahami tujuan-tujuan syara, yaitu Hifdz Ad-Din, hifdz An-Nafs, Hifdz


Al-Aql, Hifdz An-Nasl, Hifdz Al-Mal hajiayt, dan tahsiniyat.
 Mampu melakukan penetapan hukum.
 Memahami bahasa Arab dan ilmu-ilmu yang berhubungan dengannya.

Seseorang yang menggeluti bidang fiqih, tidak bisa sampai ketingkat mujtahid. Kecuali
dengan memenuhi beberapa syarat, sebagian persyaratan itu ada yang telah disepakati dan
sebagian yang lain masih diperdebatkan. Adapun syarat-syarat yang telah disepakati :

1. Mengetahui Al-Qur’an

Al-Qur‟an adalah sumber hukum Islam primer sebagai pondasi dasar hukum Islam. Oleh
sebab itu, seorang mujtahid harus mengetahui Al-Qur‟an secara mendalam. Barangsiapa yang
tidak mengerti Al-Qur‟an sudah tentu ia tidak mengerti syariat Islam secara utuh. Mengerti Al-
Qur‟an tidak cukup dengan piawai membaca, tetapi juga bisa melihat bagaimana Al-Qur‟an
memberi cakupan terhadap ayat-ayat hukum. Misalnya, Imam Al-Ghazali memberi syarat
seorang mujtahid harus tahu ayat-ayat ahkam berjumlah sekitar 500 ayat.

2. Mengetahui Asbabun Nuzul

Mengetahui sebab turunnya ayat termasuk dalam salah satu syarat mengetahui Al-Qur‟an
secara komprehensif, bukan hanya pada tataran teks tetapi juga mengetahui secara sosial-
psikologis. Sebab dengan mengetahui sebab-sebab turunnya ayat akan memberi analisis yang
baik untuk memahami maksud ayat yang diturunkan oleh Allah SWT melalui wahyu berupa
teks Al-Qur‟an kepada manusia. Imam As-Syatibi dalam bukunya Al-Muwafaqat, mengatakan
bahwa mengetahui sebab turunnya ayat adalah suatu keharusan bagi orang yang hendak
memahami Al-Qur‟an. 1) Suatu pembicaraan akan berbeda pengertiannya menurut perbedaan
keadaan. 2) Tidak mengetahui sebab turunnya ayat bisa menyeret dalam keraguan, kesulitan dan
juga bisa membawa pada pemahaman global terhadap nash yang bersifat lahir sehingga sering
menimbulkan perselisihan.

8
3. Mengetahui Naskh dan Mansukh

Pada dasarnya hal ini bertujuan untuk menghindari agar jangan sampai berdalih
menguatkan suatu hukum dengan ayat yang sebenarnya telah di naskh kan dan tidak bisa
dipergunakan untuk dalil dalam berijtihad.

4. Mengetahui As-Sunnah

Salah satu syarat mujtahid juga harus mengetahui As-Sunnah. Yang dimaksud As-
Sunnah adalah ucapan, perbuatan atau ketentuan yang diriwayatkan dari sabda Rasulullah SAW.

5. Mengetahui Ilmu Dirayah Hadits

Ilmu dirayah menurut Imam Al-Ghazali adalah mengetahui riwayat dan memisahkan
hadits yang shahih dari yang rusak, dan hadits yang bisa diterima dari hadits yang ditolak.
Seorang mujtahid harus mengetahui pokok-pokok hadits dan ilmunya, mengenai ilmu tentang
para perawi hadits, syarat-syarat diterima atau sebab-sebab ditolaknya suatu hadits, tingkatan
kata dalam menetapkan adil dan cacatnya seorang perawi hadits dan hal-hal yang tercakup dalam
ilmu hadits. Kemudian mengaplikasikan pengetahuan tadi dalam menggunakan hadits sebagai
dasar hukum untuk berijtihad.

6. Mengetahui Hadits yang Naskh dan Mansukh

Mengetahui hadits yang naskh dan mansukh ini, dimaksudkan agar seorang mujtahid
jangan sampai berpegang pada suatu hadits yang sudah jelas dihapus hukumnya dan tidak boleh
dipergunakan. Seperti hadits yang membolehkan nikah mut‟ah (kontrak) di mana hadits tersebut
sudah di naskh secara pasti oleh hadits-hadits lain.

7. Mengetahui Asbabul Wurud Hadits

Syarat ini sama dengan seorang mujtahid yang seharusnya menguasai Asbabun Nuzul,
yakni mengetahui setiap kondisi, situasi dan posisi hadits tersebut muncul.

8. Mengetahui Bahasa Arab

Seorang mujtahid wajib mengetahui bahasa Arab dalam rangka agar penguasaannya pada
objek kajian lebih mendalam karena teks otoritatif Islam menggunakan bahasa Arab.

9
9. Mengetahui Tempat-Tempat Ijma

Seorang mujtahid, harus mengetahui hukum-hukum yang telah disepakati oleh para
ulama sehingga tidak terjerumus dalam memberikan fatwa yang bertentangan dengan hasil ijma.
Sebagaimana ia harus mengetahui nash-nash dalil guna menghindari fatwa yang berseberangan
dengan nash tersebut. Namun mungkin saja, seorang mujtahid bisa bertentangan dengan ijma
para ulama, selama hasil ijtihad-nya tidak membawa mudhorat namun membawa maslahat
bagi umat.

10. Mengetahui Ushul Fiqh

Di antara ilmu yang harus dikuasai oleh mujtahid adalah ilmu ushul fiqh, yaitu suatu
ilmu yang telah diciptakan oleh para fuqaha untuk meletakkan kaidah-kaidah dan cara untuk
mengambil istinbat hukum dari nash dan mencocokkan cara pengambilan hukum yang tidak ada
nash hukumnya yang mana dalam ushul fiqh disebut (qiyas). Dalam ushul fiqh, mujtahid juga
dituntut untuk memahami qiyas sebagai modal pengambilan ketetapan hukum (berfatwa).

11. Mengetahui Maksud dan Tujuan Syariah

Sesungguhnya syariat Islam diturunkan untuk melindungi dan memelihara kepentingan


manusia. Pemeliharaan ini dikategorikan dalam tiga tingkatan maslahat, yaitu dlaruriyyat
(apabila dilanggar akan mengancam nyawa, agama, harta, akal, dan keturunan) hajiyyat
(kelapangan hidup, misal memberi rukhshah dalam kesulitan), dan tahsiniat (pelengkap yang
terdiri dari kebiasaan dan akhlak yang baik).

12. Mengenal Manusia dan Kehidupan Sekitarnya

Seorang mujtahid harus mengetahui tentang keadaan zaman, problem kehidupan di


masyarakat, aliran, ideologi, politik dan agamanya dalam mengenal sejauh mana interaksi
antara dirinya dengan Tuhan-Nya, serta mengetahui sejauh mana interaksi saling mempengaruhi
antara masyarakat yang dihadapinya.

13. Bersifat Adil dan Takwa

Hal ini agar produk hukum yang telah diformulasikan oleh mujtahid benar-benar
proporsional karena memiliki sifat adil, jauh dari kepentingan politik dalam istinbat hukumnya

10
Adapun ketentuan-ketentuan yang masih dipersilihkan adalah mengenai ilmu ushuluddin,
ilmu mantiq dan mengenai ilmu cabang-cabang fiqih. 7 Maka dari itu menurut Muhaimin,
dengan menyesuaikan syarat-syarat yang dimilikinya dibagi menjadi dua tingkatan : tingkatan
mujtahid mutlak dan tingkatan mujtahid mazhab. Mujtahid mutlak ialah mujtahid yang mampu
menggali hukum-hukum agama dan sumbernya serta mampu menerapkan dasar pokok sebagai
landasan dari ijtihad-nya.

Mujtahid mutlak dibagi menjadi dua : pertama, mujtahid mutlak mustaqil, yakni
mujtahid yang dalam ijtihadnya menggunakan metode dan dasar-dasar yang ia susun sendiri.
Kedua, mujtahid mutlak muntsib, yaitu mujtahid yang telah mencapai derajat mutlak mustaqil,
tetapi ia tidak menyusun metode tersendiri mengenai hukum-hukum agama.

Sedangkan mujtahid mazhab ialah mujtahid yang mampu mengeluarkan hukum yang
tidak atau belum ada dikeluarkan oleh mazhabnya dengan cara menggunakan metode yang telah
disusun oleh mazhabnya. Mujtahid ini terbagi menjadi dua, yaitu mujtahid takhrij atau biasa
disebut mujtahid ashabul wujud dan mujtahid tarjib atau mujtahid fatwa.8

c. Tingkatan Mujtahid

Tingkatan mujtahid menurut ulama ushul fiqh :

1) Mujtahid Mutlak : Mujtahid yang mempunyai kemampuan untuk menggali hukum syara
langsung dari sumber pokoknya yakni (Al-Qur‟an dan Sunnah) dan mampu menerapkan
metode dasar-dasar pokok yang ia susun sebagai landasan segala aktivitas ijtihadnya.
2) Mujtahid Muntasib : Mujtahid yang menggabungkan dirinya (pemikirannya) dan
ijtihadnya dengan suatu mazhab.
3) Mujtahid Muqoyyad : Mujtahid yang terikat kepada imam mazhab dan tidak mau keluar
dari mazhab dalam masalah ushul maupun furu‟
4) Mujtahid Murajib : Mujtahid yang membandingkan beberapa imam mujtahid dan dipilih
yang lebih unggul.

7
http:/ / ahmadfuadhasan.blogspot.com, tanggal 3 Maret 2013.
8
Atang Abd Hakim, Metodologi Studi Islam (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 1999), h. 100.

11
d. Macam-Macam Ijtihad

Di kalangan ulama terjadi beberapa masalah mengenai ijtihad. Misalnya, Imam Syafi‟i
menyamakan ijtihad dengan qiyas yakni dua nama tetapi maksudnya satu. Dan tidak mengakui
ra‟yu yang didasarkan pada istinbat dan masalah mursalah. Sementara ulama lain memiliki
pandangan lain yang lebih luas tentang ijtihad, menurut mereka ijtihad itu mencakup pada ra‟yu,
qiyas dan akal. 9

Pendapat tentang ra‟yu tersebut diungkapkan oleh para sahabat, yaitu mengamalkan apa-
apa yang dipandang maslahat oleh seorang mujtahid. Atau paling tidak mendekati hukum syariat
tanpa melihat apakah hal tersebut ada dasarnya maupun tidak. Dengan berdasarkan itu, Ad-
Dawalibi membagi ijtihad menjadi tiga bagian yang mana sesuai dengan pendapat Asy-syatibi
dalam kitab Al-Muwafaqat, yaitu :

1. Ijtihad Al-Batani : Ijtihad untuk menjelaskan hukum-hukum syara dari nash.


2. Ijtihad Al-Qiyasi : Ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam Al-Qur‟an
dan As-Sunnah dengan menggunakan metode qiyas.
3. Ijthad Al-Istishlah : Ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam Al-Qur‟an
dan Sunnah dengan menggunakan ra‟yu berdasar kaidah istihlah.10
4. Ijtihad Syari‟ : Ijtihad yang didasarkan pada syara. 11

C. Pengertian Qadhi dan Putusannya

Qadhi adalah hakim yang tugasnya memutuskan perkara di antara dua pihak yang
12
bersengketa. Dalam logika hukum Islam, keberadaan qadhi merupakan keharusan yang tidak
bisa dibiarkan kosong begitu saja, karena tanpa adanya qadhi, hukum akan hilang (lenyap),
sehingga akan menimbulkan mafsadat yang teramat besar.

Sehingga, bisa dikatakan eksistensi tegaknya hukum syariah itu tergantung pada
eksistensi seorang qadhi dalam memutuskan suatu perkara hukum sebagai hakim.

9
Mukti Ali, Ijtihad dalam Pandangan Muhammad Abduh, Ahmad Dakhlan dan Muhammad Iqbal (Jakarta: PT
Bulan Bintang, 1990), h. 89.
10
Moh Zuhri, Ilmu Ushul Fiqh (Semarang: PT. Dina Utama, 1994), h. 78.
11
Rahmat Syafe‟i, Ilmu Ushul Fiqh..., h. 104.
12
http:/ / perpustakaan.mahkamahagung.go.id.

12
Dikatakan hukum itu berjalan, manakala dijamin qadhi lancar menjalankan tugasnya
dengan baik dan benar. Sebaliknya, dikatakan hukum itu runtuh, ketika qadhi tidak menjalankan
tugasnya dengan baik. Maka antara qadhi dan berjalannya hukum itu menjadi satu kesatuan yang
tidak terpisahkan.

Walaupun di tengah umat Islam sudah ada Al-Qur‟an dan Hadits sebagai pedoman,
namun keberadaan qadhi menjadi syarat mutlak yang tidak boleh diabaikan umat Islam. Hukum
keberadaan qadhi ini menjadi fardhu kifayah bagi umat Isam di suatu tempat, sedangkan bagi
Sultan, hukumnya menjadi fardhu „ain untuk menunjuk qadhi pada suatu wilayah.

Syarat dan Kriteria Qadhi

Dalam menentukan syarat menjadi hakim (qadhi), maka ulama berbeda pendapat. Namun
yang disepakati syarat Qadhi sebagai berikut :

1. Lelaki yang merdeka

Anak kecil tidak sah untuk menjadi hakim, demikian pula wanita menurut pendapat
Imam Malik, Asy-Syafi‟i dan Ahmad. Sedangkan Ulama Hanafiyah membolehkan wanita
menjadi hakim dalam masalah-masalah selain pidana dan qishash. Mereka mengecualikan kedua
hal tersebut karena persaksian wanita tidak dapat diterima dalam dua bidang ini.

Pendapat ulama Hanafiyah ini dapat dilihat dalam Kitab Al-Hidayah, Fathul Qadir dan
Al-Inayah. Menurut mereka, hukum menjadi qadhi sama dengan hukum menjadi saksi, maka
dalam perkara-perkara wanita menjadi saksi, dapat pula menjadi hakim. Sejalan dengan itu, Al-
Kasyani menerangkan bahwa laki-laki bukanlah syarat yang diperlukan untuk diangkat menjadi
hakim. Hanya saja hakim wanita itu tidak boleh memutuskan perkara dalam bidang pidana dan
qishash.

2. Berakal (mempunyai kecerdasan)

Syarat ini disepakati oleh seluruh ulama. Hakim haruslah orang yang cerdas, bijaksana,
dengan ketajaman berpikir dalam menganalisa suatu masalah melalui nalarnya ia dapat
memperoleh penjelasan dan menanggapi sesuatu yang musykil.

13
3. Beragama Islam

Menurut jumhur ulama, keislaman adalah syarat bolehnya untuk menjadi saksi atas
seorang muslim. Karena itu, hakim yang bukan muslim tidak boleh memutuskan perkara orang-
orang muslim. Golongan Hanafiyah membolehkan mengangkat orang yang bukan muslim
untuk memutuskan perkara orang yang bukan muslim, karena orang yang dipandang cakap untuk
menjadi saksi harus pula dipandang cakap untuk menjadi hakim, tetapi tak dapat orang dzimmi
(warga non muslim) memutuskan perkara orang muslim, seperti halnya orang dzimmi tidak bisa
menjadi saksi bagi seorang muslim.

4. Adil

Hakim itu hendaklah orang yang terpelihara dari perbuatan-perbuatan yang haram, orang
yang dapat dipercayai kejujurannya. Karenanya, tidaklah boleh mengangkat orang fasik menjadi
hakim (Qadhi). Imam Asy-Syafi‟i berpendapat tidak boleh mengangkat orang fasik menjadi
hakim, karena orang fasik tidak dapat diterima menjadi saksi. Sedangkan golongan Imam Hanafi
berpendapat bahwa putusan qadhi (hakim) fasik adalah sah, asal saja putusan itu sesuai dengan
hukum syara‟ dan undang-undang yang berlaku, walaupun ada yang lebih pantas daripadanya.

5. Mengetahui segala pokok-pokok hukum dan cabang-cabangnya

Hakim harus mengetahui pokok-pokok dan cabang-cabang hukum agar dia memperoleh
jalan dalam mengetahui hukum-hukum yang harus diberikan bagi perkara-perkara yang
diajukan kepadanya, dan dapat membedakan antara yang benar dengan yang tidak.

Pendapat yang dipandang kuat oleh golongan Hanafiyah ialah boleh orang muqallid
untuk menjadi hakim. Pendapat ini sesuai dengan pendapat Imam Al-Ghazali, bahwa mencari
orang-orang yang adil dan ahli ijtihad dalam masa sekarang ini sudah sangat sulit.

Oleh karena itu, dapatlah dibenarkan segala putusan hakim-hakim yang telah diangkat
oleh penguasa walaupun hakim itu bukan orang yang pandai dan adil.

14
6. Sempurna pendengaran, penglihatan dan tidak bisu

Orang yang bisu tidak dapat menyebut putusan yang dijatuhkannya dengan isyarat-
isyaratnya pun tidak dapat diketahui orang lain. Orang tuli tidak dapat mendengar keterangan
yang diberikan oleh para pihak, sedang orang buta tidak dapat melihat orang-orang yang
berperkara (mempunyai masalah hukum). Karena itu, sebagian pengikut Imam Syafi‟i
membolehkan mengangkat orang buta untuk menjadi hakim. Mengenai kesempurnaan indera
yang lain tidaklah menjadi syarat dalam hal ini, walaupun yang diakui orang yang tegap, sehat
dan tidak cacat lebih utama diangkat menjadi hakim. Namun, kebanyakan orang yang sehat lah
yang bisa menyalahgunakan keputusan (kekuasaan) di banding orang cacat di dalam kehidupan
hukum dan bermasyarakat

Karena kedudukannya yang penting dan strategis, maka Islam tidak hanya mengatur
mekanisme peradilannya, tetapi juga membersihkan para pemangkunya dengan berbagai kriteria
13
yang sangat ketat. Selain kriteria Muslim, baligh, berakal, merdeka, mampu dan adil. untuk
jabatan tertentu, seperti Qadhi, Qudhat (pengawas Qadhi) dan Qadhi Madzalim (mahkamah
pengadilan) tidak boleh dijabat oleh perempuan14 karena merupakan bagian dari pemerintah,
dan bersentuhan langsung dengan pemerintahan. Bahkan, untuk Qadhi Madzalim harus
mujtahid15. Selain itu, ada kriteria sifat umum yang harus dimiliki oleh semua hakim, seperti
tegas tetapi tidak kasar, lembut tetapi tidak lemah, cerdas, sadar, tidak lengah dan tertipu ketika
memutuskan, bersih hatinya, wara‟, bijak, jauh dari tamak, baik terhadap materi maupun
jabatan16. Selain kriteria di atas, Islam juga menetapkan mekanisme yang jelas dalam
pengangkatan qadhi. Karena qadhi ini adalah wakil Khalifah, maka Khalifahlah orang yang
mengankat qadhi17. Meski, bisa juga pengangkatan tersebut didelegasikan kepada Qadhi
Qudhat18. Dalam mengangkat mereka, baik Khalifah maupun Qadhi qudhat akan memilih orang
yang layak dan tepat. Untuk mengetahui mereka, bisa bertanya kepada para ulama, bisa juga
melalui fit and proper test, agar bisa mengetahui kelayakan dan keadilannya 19

13
(Kasani, Juz VII: 2- 4),
14
(Fathul Bari XIII: 53),
15
(Zallum, tt).
16
(Qudamah, tt).
17
(Mawardi, tt: 147)
18
(Katsir, tt : 180).
19
(Qudamah, tt: 38)

15
Dalam menjalankan tugasnya, mereka tidak sendiri, tetapi bisa dibantu oleh para
pembantu (a,wan). Para pembantu qadhi ini ada dua: Pertama, mereka yang membantu qadhi
dalam memberikan masukan, pandangan dan hukum. Mereka ini terdiri dari para fuqaha‟ ulama
dan orang-orang yang kredibel (ahl- al-fadhl)20. Kedua, mereka yang membantu administrasi
dan teknis, seperti sekretaris, bendahara, panitera dan lain-lain. Dalam menjalankan tugasnya,
Qadhi Qudhatlah yang mengontrol mereka 21. Sedangkan Qadhi Qudhat dan lembaga
peradilannya diawasi dan dikontrol oleh Khalifah 22.

Keutamaan Menjadi Qadhi

Dari Abdullah bin Mas‟ud r.a, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sama sekali tiada iri,
melainkan dalam dua hal: (Pertama) Seseorang yang dikarunia harta benda oleh Allah, lalu dia
mendermakan harta bendanya dalam (membela) yang haq, dan (kedua) Seseorangyang diberi
hikmah (Ilmu) oleh Allah, lalu ia memutuskan perkara dengannya dan mengajarkannya (kepada
orang lain).” (Muttafaqun‟alaih) 23

Resiko Menjadi Qadhi

Dari Abu Hurairah r.a dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Barang siapa dilantik sebagai
qadhi yang bertugas memutuskan perkara di antara manusia, maka sungguh berarti ia telah
disembelih dengan tidak menggunakan pisau.”24

Dari Abu Hurairah r.a Rasulullah SAW, bersabda, “Qadhi itu ada tiga macam: yang dua
macam di neraka, sedang yang satu akan masuk syurga: (pertama) yaitu seorang qadhi yang
mengetahui yang haq lalu ia memutuskan perkara dengannya, maka ia akan masuk syurga;
(kedua) seorang qadhi yang memutuskan perkara di antara orang-orang tanpa dasar pengetahuan,
maka ia masuk neraka; dan (ketiga) seorang qadhi yang sengaja berbuat zhalim dalam
(menetapkan) hukum, maka ia pasti masuk neraka.”25

20
(Mawardi, tt: 261-265) (ad-Dam, tt: 59-65).
21
(Sammani, tt: 77).
22
(Farhun, tt: 132).
23
(Fathul Bari, XIII: 298).
24
(Shahih: Shahihul Jami‟us no: 6190, „Aunul Ma‟bud IX: 486 no: 3555, Tirmidzi II: 393 no: 1340 dan Ibnu
Majah II: 776 no: 2315).
25
(Shahih: Shahihul Jami‟us Shaghir no: 4446, „Aunul Ma‟bud IX: 487 no: 3556 dan Ibnu Majah II: 776 no:2315).

16
Larangan Memburu Jabatan Qadhi

Dari Abdurrahman bin Samurah r.a, ia berkata: Nabi SAW pernah bersabda kepadaku,
“Ya Abdurrahman, janganlah engkau minta jabatan (kepadaku), karena sesungguhnya jika
engkau diberi jabatan karena permintaanmu, niscaya engkau dipashrahkan kepadanya, tapi jika
engkau diberi jabatan bukan karena permintaanmu, niscaya engkau akan ditolong untuk
melaksanakannya.” (Muttafaqun‟alaih) 26

Dalam Fathul Bari XIII: 146, Al-Hafiz Ibnu Hajar, menulis bahwa Abu Ali Al-Karabisiy,
murid Imam Syafi‟i dalam kitabnya Adabil Qadha‟ berkata, “Aku tidak mengetahui adanya
perbedaan pendapat di antara para ulama‟ bahwa orang yang paling berhak memutuskan perkara
di antara orang-orang muslim ialah orang yang tampak jelas kelebihannya, kejujurannya,
keilmuannya, kewara‟annya, rajin mengaji Al-Qur‟an, mengerti sebagian besar hukum-hukum
yang terkandung di dalamnya, memahami sunah-sunah Rasulullah SAW dan hafal sebagian
besar sunah. Beliau demikian pula mayoritas perkataan sahabat. Mengetahui ijma‟ dan khilaf
serta pendapat fuqaha‟ dari kalangan tabi‟in, mengetahui hadits yang shahih dari yang lemah,
mengetahui Al-Qur‟an dalam permasalahan-permasalahan yang ada.

Jika tidak ada maka dalam sunah-sunah Nabi SAW; jika tidak ada, maka meneledani
amalan yang sudah disepakati para sahabat; jika ternyata mereka berlainan pendapat, maka
mencari yang paling mirip dengan ketentuan Al-Qur‟an dan sunnah Rasul melalui Qiyas,
kemudian memperhatikan fatwa para sahabat senior lantas diamalkannya, seringkali melakukan
diskusi dengan para ahli ilmu, mengadakan musyawarah dengan mereka dengan tetap
memperhatikan keutamaan dan sikap wara‟, mampu menjaga lisan dan perut serta kemaluannya,
dan mampu memahami pernyataan lawan. Kemudian hendaknya ia orang cerdas dan tidak
memperhatikan tuntutan hawa nafsu. Demikianlah, meski kita mengetahui bahwasanya tiada
seorang pun di permukaan bumi yang memiliki seluruh sifat-sifat dan kriteria di atas, namun
merupakan suatu kewajiban (atas penguasa) agar memilih calon hakim dari setiap zaman yang
terbaik dan yang paling utama di antara seluruh rakyat.

26
(Fathul Bari, XII: 123).

17
Adab Qadhi

Qadhi wajib bersikap adil kepada dua orang orang yang bermusuhan, dalam hal
perhatiannya, pernyataannya, majelisnya, dan perlakuannya di majelis kehakiman. 27

Dari Abdul Mulaih Al-Hadzali, ia berkata : Umar bin Khattab r.a pernah mengirim surat
kepada Abu Musa Al-Asy‟ari r.a (yang isinya), “Amma ba‟du, sesungguhnya peradilan adalah
suatu kefardhuan yang kokoh status hukumnya dan merupakan sunnah (Rasulullah SAW)
muttaba‟ab (yang terkait dengan baik): karena itu, bila ia (jabatan hakim) diserahkan kepadamu,
maka fahamilah (terlebih dahulu); karena sesungguhnya pembicaraan kebenaran kebenaran yang
kiranya tidak bisa terlaksana, tidak akan memberi manfaat; tolonglah (dengan tulus) diantara
orang-orang yang tengah berada di hadapanmu, di majelismu, dan di dalam keadilanmu; dan
jangan sampai orang yang mulia menyeretmu pada kelalaianmu.”28

Qadhi Diharamkan Memutuskan Hukum Ketika Sedang Marah

Dari Abdul Malik bin Umair, ia berkisah : Saya pernah mendengar Abdurrahman bin Abi
Bakrah berkata bahwa Abu Bakrah pernah menulis surat kepada anaknya yang (sedang menjabat
qadhi) di Sajistan, yang isinya :

”Janganlah sekali-kali engkau memutuskan perkara di antara dua orang sedangkan


engkau dalam keadaan marah; karena sesungguhnya aku pernah mendengar Nabi SAW,
bersabda : “Janganlah sekali-kali seorang hakim memutuskan perkara di antara dua orang (yang
bersengketa) pada waktu marah.” (Muttafaqun‟alaih). 29

Keputusan Hakim Tidak Dapat Mengubah Yang Hak Sedikit pun

Barangsiapa yang diberi keputusan hukum yang isinya mengambil hak-hak orang lain,
maka janganlah dia mengambilnya, karena sesungguhnya keputusan hakim tidak dapat
menghalalkan yang haram dan tidak pula mengharamkan yang halal: Dari Ummu Salamah r.a,
istri Nabi SAW.

27
(Manurus Sabil II: 460).
28
(Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2619 dan Daruqutni IV: 206 no:15)
29
(Fathul Bari VIII: 136 no: 7158, Muslim III: 1342 no: 1717, Tirmidzi II: 396 no: 1349, „Aunul Ma‟bud IX: 506
no: 3572, Nasa‟i VIII: 237 dan Ibnu Majah II: 776 no: 2316

18
Bahwa Rasulullah SAW pernah mendengar pertengkaran di depan pintu kamarnya, lalu
beliau keluar menemui mereka. Kemudian Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya datang
kepadaku orang-orang yang bersengketa, maka barangkali sebagian diantara kalian ada yang
lebih pandai berbicara daripada sebagian yang lain, sehingga saya menyangka bahwa dia benar,
lalu saya putuskan perkara itu untuknya; karena itu barangsiapa yang telah saya putuskan
untuknya hak seorag musim (yang lain), maka sesungguhnya itu adalah secuil dari api neraka;
karena itu ambillah itu atau tinggalkanlah.” 30

Mekanisme Pengangkatan Qadhi

a. Pengangkatan Qadhi

Setiap masyarakat memerlukan seorang penguasa yang dapat mengatur tatanan hidup
dalam masyarakat, dan juga dapat memelihara kemaslahatan mereka. Pemerintah dengan
sendirinya tidak bisa menjalankan roda pemerintahannya, oleh karenanya pemerintah
memerlukan bantuan dari para pembantunya dalam melaksanakan urusan-urusan rakyatnya, dan
para pembantu tersebut harus dapat melaksanakan beban-beban dari pemerintah sendiri, yang
selaras dengan bidangnya masing-masing. Dalam bidang peradilan, maka pemerintah
mengangkat seorang qadhi, yang dapat dipercaya untuk melaksanakan amanat dari
pemerintahan.

Maka untuk menjadi qadhi yang sah, haruslah ada pengangkatan dan pelantikan dari
pemerintah. Dalam agama Islam dilarang seorang qadhi memproklamirkan dirinya sendiri
sebagai seorang qadhi atau juga dilantik rakyatnya. Yang dibolehkan dalam pengangkatan hanya
dari pemerintah yang sah. Pemerintah dalam memilih seorang qadhi haruslah memilih seseorang
yang mencakupi syarat-syarat yang telah disebutkan sebelumnya, hal ini untuk menjaga agar
tidak terjadi penyalahgunaan jabatan yang akan merugikan masyarakat itu sendiri nantinya.

30
(Muttafaqun‟alaih: Fathul Bari V: 107 no: 2458, Muslim III: 1337 no: 5 dan 1713, Aunul Ma‟bud IX: 500 no:
3566, Tirmidzi II: 398 no: 1354, Nasa‟i VIII: 233 dan Ibnu Majah II: 777 no: 2317).

19
b. Pemecatan Qadhi

Pemerintah mempunyai hak untuk memecat qadhi yang diangkat apabila ada sebab yang
menghendakinya, dan tidak dibenarkan tindakan pemecatan tanpa adanya sebab, demikian
analisa yang telah dipaparkan oleh Imam Syafi‟i karena meninjau kepada kemaslahatan rakyat.
Maka, rakyat tidak mempunyai hak untuk memecat qadhi, selain dari pemerintah yang sah,
karena pemerintah mempunyai hak sepenuhnya dalam mengangkat dan memecat seorang qadhi.

c. Tugas Wewenang Seorang Qadhi

Tugas wewenang seorang qadhi dibagi menjadi umum dan khusus. Wewenang
khususnya adalah hanya berwenang mengurusi tugas khususnya itu. Sedangkan wewenang yang
umum terdiri dari sepuluh tugas yaitu :

a) Menyelesaikan persengketaan dan permusuhan;


b) Meminta suatu hak orang yang ditahan oleh orang lain;
c) Menjadi wali atas orang yang dilarang mengadakan transaksi;
d) Menangani harta wakaf;
e) Melaksanakan wasiat;
f) Menikahkan wanita janda dengan orang yang setingkat statusnya;
g) Melaksanakan hukum had
h) Memeriksa kemaslahatan wilayah tugasnya;
i) Memeriksa saksi-saksi;
j) Mensejajarkan antara pihak yang lemah dengan pihak yang kuat (adil dan netral)

D. Pengertian Fatwa dan Opini Hukum

Fatwa menurut bahasa ialah jawaban dari suatu kejadian (peristiwa), yang sebagaimana
dikatakan oleh Zamakhsyari dari kata al-fata (pemuda) dalam usianya, dan sebagai kata hiasan
(metafora) atau (isti’arah) menurut Amir Syarifuddin, ifta berasal dari kata afta, yang artinya
memberikan penjelasan. Menurut kamus Lisan Al-Arab, fatwa berarti menjelaskan. 31

31
Mardan, Hukum Sistem Ekonomi Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), 259.

20
Fatwa menurut syara‟ ialah menerangkan hukum syara dalam suatu persoalan menjadi
jawaban dari suatu pertanyaan, baik si penanya itu jelas identitasnya maupun tidak, serta
berbentuk perseorangan atau kolektif. 32 Sedangkan dalam kamus Bahasa Indonesia mengartikan
fatwa sebagai jawaban (keputusan, pendapat) yang diberikan oleh mufti tentang suatu masalah.
Fatwa juga bermakna nasihat orang alim, pelajar baik, petuah. Sehingga dapat disimpulkan fatwa
adalah hasil Ijtihad seorang mufti terhadap peristiwa hukum yang diajukan kepadanya. Fatwa itu
sendiri lebih khusus dari pada fikih atau ijtihad secara umum. Karena fatwa yang dikeluarkan
sudah dirumuskan dalam fiqih, hanya belum dipahami oleh peminta fatwa.

Adapun opini hukum adalah pendapat hukum diartikan sebagai kumpulan, rangkuman,
argumentasi, gagasan, pemikiran dan rekomendasi yang diberikan oleh advokat terhadap hukum
tertentu. Hubungan opini hukum dengan fatwa saling berkaitan dan berkelanjuutan, karena opini
hukum adalah cara awal seorang mujtahid dalam menemukan fatwa dari hukum dasar sesuatu
menjadi berubah-ubah karena kondisi waktu dan tempat yang mempengaruhi, maupun dari
penjelasan dari kitab suci Al-Qur‟an dan Hadits yang diteliti oleh para sahabat, tabiin dan para
ulama dalam berijtihad melalui ijma dan qiyas.

Dalam sejarah perkembangan pemikiran hukum Islam, ada empat produk (opini hukum)
Islam :

 Pertama : Fiqih, yaitu opini ulama hukum yang tertuang dalam kitab-kitab fiqih.
Kitab fiqih yang dimaksud adalah karya-karya ulama yang disusun dan dikodifikasi
sejak abad ke II Hijriyah. Keseluruhan opini hukum yang tertuang dalam kitab-kitab
fiqih ini dikategorikan sebagai fiqih klasik.
 Kedua : Fatawa, (fatwa-fatwa ulama). Secara etimologis, fatwa berarti petuah,
33
nasehat dan jawaban atas pertanyaan yang berkaitan dengan hukum. Secara
terminologi, fatwa dimaknai sebagai pendapat yang dikemukakan seorang mujtahid
atau faqih sebagai jawaban yang diajukan oleh peminta fatwa dalam suatu kasus yang
sifatnya tidak mengikat.34

32
Yusuf Qardhawi, Fatwa Antara Ketelitian dan Kecerobohan, terj. As‟ad Yasin
(Jakarta: Gema Insani Press, 1997), 5.
33
Sofyan A. P. Kau, Metode Penelitian Hukum Islam (Gorontalo: Sultan Amai Press, 2009), h. 18.
34
Abdul Aziz Dahlan, (et al.), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), Vol. 2, h. 326.

21
Maka defenitif ini menunjukkan bahwa, fatwa adalah sebuah opini hukum yang
dikeluarkan oleh seorang mufti. Proses pembentukan opini hukum tersebut menggunakan ijtihad
tertentu. Fatwa bersifat dinamis, fatwa lahir untuk menanggapi persoalan hukum. Tanggapan
hukum tersebut bukan muncul secara tiba-tiba atau atas kemauan mufti, melainkan atas
permintaan atau pertanyaan yang diajukan. Karena itu, ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI)
mengeluarkan fatwa. “Haram Golput”, lalu sebagian orang ada yang menyatakan bahwa perkara
Golput adalah wilayah politik dan bukan wilayah agama, sehingga MUI tidak perlu
mengeluarkan fatwa. Tentu pernyataan ini keliru, fatwa MUI tersebut dipahami berasal dan
muncul dengan sendirinya dari MUI sendiri. Sementara fatwa tersebut lahir atas pertanyaan atau
sebagai tanggapan atas persoalan hukum. Tegasnya, fatwa MUI tidak keluar dengan sendirinya,
melainkan lahir karena adanya pertanyaan yang diajukan kepada MUI. Berdasarkan pertanyaan
itu, MUI melalui Komisi Fatwanya memberikan jawaban. Jadi, jawaban yang berupa opini
hukum (fatwa) dikeluarkan MUI bukan atas dasar keinginan semata, melainkan atas dasar
permintaan dan pertanyaan. Pertanyaan atau permintaan bisa bersifat perseorangan dan kolektif,
dan bisa juga datang dari lembaga pemerintah.

Sekeras dan radikalnya sebuah fatwa, namun tidak mengikat bagi setiap orang dan tidak
memiliki konsekuensi serta akibat hukum yang ketat. Dengan kata lain, jika fatwa itu diabaikan
oleh seorang peminta fatwa, maka negara tidak dapat memaksanya untuk melakukan atau
meninggalkannya. Meskipun fatwa tidak memiliki konsekuensi legal bagi kaum muslim, namun
dapat berdampak sosial dan politik. Sebab fatwa bukanlah pernyataan awam, tapi pernyataan
sebuah otoritas agama. 35

Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah salah satu lembaga fatwa yang didirikan tahun
1975. Selain MUI, lembaga fatwa lainnya adalah Bahtsul Masail, yaitu lembaga fatwa yang ada
di Nahdhatul Ulama (NU). Di Muhammadiyah, dinamakan Majelis Tarjih. Sementara di Persis
disebut Dewan Hisbah. Fatwa yang dikeluarkan oleh keempat lembaga fatwa sebagai opini
hukum adalah hasil kerja intelektual maksimal secara kolektif (Ijtihad jama’i).

35
Luthfi Assyaukanie, Islam Benar Versus Islam Salah, (Jakarta: Kata Kita, 2007), h. 164

22
Sebaliknya, fatwa yang diberikan oleh seorang mufti sebagai respon reaktif dan proaktif
atas persoalan umat dikategorikan sebagai Ijtihad fardi (usaha sungguh-sungguh pengerahan
daya intelektual seorang mufti). Karena itu, fatwa bukanlah keputusan hukum yang dibuat-buat
dengan gampang, yang disebut membuat hukum tanpa dasar (al-tahakkum). Fatwa senantiasa
terkait dengan siapa yang berwenang memberi fatwa (ijazah al-ifta), kode etik fatwa (adab al-
ifta) dan metode pembuatan fatwa (istinbath).36

 Ketiga : qadha, yaitu keputusan-keputusan pengadilan agama.


 Keempat : qanun, yaitu peraturan perundang-undangan yang ada di negeri-negeri
Islam. Peraturan hukum yang dijadikan undang-undang tersebut berorientasi
kepada kepentingan dan kemaslahatan warga negara setempat. Karena itu, setiap
aturan hukum dalam negeri muslim tidak selalu sama.

Tegasnya, setiap negara Islam memiliki peraturan perundangan tersendiri. Misalnya


dalam persoalan poligami. Menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974vdan
Kompilasi Hukum Islam (KHI) poligami dibolehkan dengan sejumlah syarat. Sementara di
Turki, seseorang yang akan melakukan pernikahan harus terlebih dahulu memberi keterangan
kepada pengadilan bahwa ia sedang tidak berada dalam suatu ikatan perkawinan. Bila ia lakukan
itu, sementara ia masih dalam ikatan perkawinan, yang berarti ia berpoligami, maka akad
nikahnya dianggap batal.37 Dan pelaku poligami dikenai sanksi pidana. 38

Dasar Hukum Fatwa

Pada umumnya fatwa ditetapkan berdasarkan keterangan Al-Qur‟an, Hadits, Ijma dan
Qiyas. Keempatnya merupakan sumber dalil hukum syari‟ah yang telah disepakati oleh jumhur
ulama. Jumhur ulama menyepakati validitas keempat sumber tersebut sebagai sumber-sumber
hukum syari‟ah, berdasarkan firman Allah didalam Al-Qur‟am Surat An-Nisa‟ ayat 59

36
M. Quraish Shihab, “Era Baru, Fatwa Baru” Kata Pengantar dalam MB. Hooker, Islam Mazhab Indonesia Fatwa-
Fatwa dan Perubahan Sosial, (Jakarta: Teraju, 2002), h. 15.
37
Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi terhadap Perundang-undangan Perkawinan Muslim
Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, (Jakarta: INIS, 2002), h. 118.
38
Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World, (New Delhi: The Indian Law Institute, 1979),
h.278

23
Yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasulnya
(Nya), dan ulil amri di antara kalian. Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur‟an) dan Rasul (sunnahnya), jika kalian benar-
benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya.”39

Kebolehan untuk berijtihad jiga diperkuat keterangan hadist yang diriwayatkan oleh
Mua‟dz bin Jabal ketika diutus Rasulullah SAW untuk menjadi qadhi di Yaman. Rasulullah
bertanya kepada Mu‟adz apakah yang akan dilakukan dalam berhukum jika ia tidak menemukan
dalil naqli dari Al-Qur‟an maupun sunnah, maka Mu‟adz menjawab bahwa ia akan berijtihad
dengan akalnya, dan Rasulullah menyetujuinya. 40

Fungsi Fatwa

Terpaut dengan fiqih, keduanya memiliki hubungan saling melengkapi, dimana fatwa
memuat uraian sistematis tentang substansi hukum Islam. Fiqih dipandang sebagai kitab hukum,
serta sebagai rujukan normatif dalam melakukan perbuatan sehari-hari. Sehingga secara jelas
fatwa memiliki fungsi sebagai penerapan secara konkret ketentuan fiqih dalam masalah
tertentu41. Maka dikeluarkannya fatwa dipandang sebagai pendapat hukum yang berdasarkan
pertimbangan.

Hal tersebut dimaksudkan bahwa fatwa dalam melaksanakan fungsinya yang utama dengan
baik dan tepat, yakni memberikan pendapat hukum suatu masalah, sesuai dengan pendapat
mereka, tentang tindakan apa yang benar menurut pandangan syari‟ah. Fatwa telah berperan
dalam menjelaskan hukum Islam yang berbentuk jawaban konkret terhadap kasus demi kasus
yang telah dihadapi oleh masyarakat, yang dapat dijadikan pedoman untuk mengetahui
bagaimana penerapan hukum syari‟ah terhadap masalah tertentu.42

39
Departemen Agama RI, Mushaf Al-Qur’an dan Terjemah (Depok: Al-Huda, 2005), 88.
40
Asrorun Ni‟am Sholeh, Metodologi Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (tmp: Emir Cakrawala Islam,
2016), 122-123.
41
Ma‟ruf Amin dkk, Fatwa Majelis, 21
42
Ibid., 23-24

24
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pengertian penemuan hukum diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa yang
dimaksud penemuan hukum yaitu proses pembentukan hukum oleh hakim. Pada perkembangan
zaman sekarang, terutama kaum muslimin yang ada di Indonesia dan dunia, sangat sulit mencari
orang yang ahli dalam masalah ijtihad, jika mengikuti aturan baku ijtihad zaman dahulu.
Namun, jika kita melalui jalur yang benar, yaitu mencari hukum baru atau menggali
permasalahan yang belum dipecahkan, dengan tetap berpedoman pada kaidah-kaidah yang benar
bisa jadi pintu ijtihad masih terbuka lebar. Sebab jika tidak, hukum Islam akan menjadi bisu dan
kaku lantaran tidak mampu mengimbangi dinamika zaman yang terus berlanjut. Hukum Islam
menunjukkan bahwa produk pemikiran tidaklah bersifat statis namun dinamis.

Dinamika pemikiran hukum Islam dibentuk oleh ijtihad. Karena itu ijtihad memegang
peranan penting dalam mengembangkan hukum Islam dan ilmu-ilmu keislaman lainnya. Al-
Qadha adalah lembaga hukum yang diadakan oleh pemerintah bertujuan untuk menyampaikan
keputusan hukum yang bersifat mengikat dalam menyelesaikan perselisihan yang terjadi dalam
interaksi antara anggota masyarakat. Transformasi hukum Islam dapat dilihat dari pengangkatan
seorang qadhi (hakim) dengan beberapa syarat tertentu. Begitu pula dalam pembagian kekuasaan
peradilan dikenal lembaga tahkim, maka seorang qadhi memegang prinsip-prinsip yang diatur
dalam Al-Qur‟an dan sunnah Rasulullah SAW. Fatwa adalah sebuah opini hukum yang dibuat
dan diteliti melalui musyawarah antar ulama dalam menentukan hukum sesuatu yang baru dan
ditetapkanlah hukum tersebut oleh seorang mufti. Dari kelima macam hal tersebut dapat
disimpulkan bahwa semuanya memiliki keterkaitan dan tingkatan masing-masing dalam
menentukan hukum Islam. Adapun Hierarki ialah suatu tingkatan dalam letak proses suatu
hukum, ijtihad adalah proses interpretasi hukum Islam oleh seorang mujtahid yang ahli
didalamnya, sedangkan putusan qadhi adalah keputusan hakim berdasarkan hukum Islam, fatwa
adalah pandangan para ulama dalam menentukan hukum sesuautu, dan opini hukum adalah
pendapat individu atau kelompok terkait hukum Islam.

25
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Aziz Dahlan, (et al.), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996),
Vol. 2, h. 326.

Asrorun Ni‟am Sholeh, Metodologi Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (tmp: Emir
Cakrawala Islam, 2016), 122-123

Atang Abd Hakim, Metodologi Studi Islam (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1999), h. 100.

Aunul Ma‟bud IX hal. 486, 487, 500 no: 3566, 506.

Departemen Agama RI, Mushaf Al-Qur’an dan Terjemah (Depok: Al-Huda, 2005), 88.

Farhun, tt: 132 . Fathul Bari VIII: 136 no: 7158, V : 107 no: 2458, XII: 123, XIII: 53, 298.

H.P. Panggabean, Penerapan Teori Hukum Dalam Sistem Peradilan Indonesia, (Bandung: PT.
Alumni, 2014), 217.

http:/ / ahmadfuadhasan.blogspot.com, 3 Maret 2013

http:/ / perpustakaan.mahkamahagung.go.id

Ibnu Majah II: 776-777 no: 2315-2317

Kasani, Juz VII: 2-4. Katsir, tt : 180.

Khoiruddin Nasution, Status Wanita Asia Tenggara: Studi Perundang-undangan Perkawinan


Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, (Jakarta: INIS, 2002), h. 118.

Luthfi Assyaukanie, Islam Benar Versus Islam Salah, (Jakarta: Kata Kita, 2007), h. 164

Manurus Sabil II: 460.

Mardan, Hukum Sistem Ekonomi Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), 259.

Ma‟ruf Amin dkk, Fatwa Majelis, 21-24

Mawardi, tt: 147, 261-265 (ad-Dam, tt: 59-65)

26
Moh Zuhri, Ilmu Ushul Fiqh (Semarang: PT. Dina Utama, 1994), h. 78.

M. Quraish Shihab, “Era Baru, Fatwa Baru” Kata Pengantar dalam MB. Hooker, Islam Mazhab
Indonesia Fatwa-Fatwa dan Perubahan Sosial, (Jakarta: Teraju, 2002), h. 15.

Mukti Ali, Ijtihad dalam Pandangan Muhammad Abduh, Ahmad Dakhlan dan Muhammad Iqbal
(Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1990), h. 89.

Muttaquan‟ alaih. Muslim III: 1337 no: 5 dan 1342 no: 1717

Nasa‟i VIII: 233-237.

Pontang Moerad, B.M., Penemuan Hukum Melalui Putusan Pengadilan, 81.

Qudamah, tt: 38

Rahmat Syafi‟e, Ilmu Ushul Fiqh (Jakarta: Pustaka Setia, 1999), h. 98 dan h. 104

Sammani, tt: 77.

Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2619 dan Daruqutni IV: 206 no:15. Shahih: Shahihul Jami‟us Shaghir
no: 4446 dan no: 6190

Sofyan A. P. Kau, Metode Penelitian Hukum Islam (Gorontalo: Sultan Amai Press, 2009), h. 18.

Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Cahaya Atma


Pustaka, 2014), 39 dan 49.

Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World, (New Delhi: The Indian Law
Institute, 1979), h.278

Tirmidzi II: 393 no: 1340, 396 no: 1349, 398 no: 1354.

Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Kontruksi hukum, (Alumni Bandung, 2000), 6.

Yusuf Qardhawi, Fatwa Antara Ketelitian dan Kecerobohan, terj As‟ad Yasin (Jakarta: Gema
Insani Press, 1997), 5.

Zallum, tt.

27

Anda mungkin juga menyukai