Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH KAIDAH USHULIYAH DAN FIQHIYAH

“KAIDAH PERADILAN “
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah
Dosen Pengampu: Dr. H. Farkhan, M.Ag.

Disusun Oleh:
Kelompok 12
Nabila Inayatul Maula Abida (212131056)
Dewi Kurniasari (212131073)

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN MAS SAID SURAKARTA
2023
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulillahirrabilalamin Segala Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang


Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan
tugas makalah yang berjudul “Kaidah Peradilan” ini dengan sebaik-baik nya.

Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata kuliah Kaidah Ushuliyah


dan Fiqhiyah. Selain itu, makalah ini bertujuan menambah wawasan tentang
Kaidah Peradilan bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada bapak Dr. H. Farkhan, M. Ag.


selaku dosen pengampu Mata kuliah Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah. Ucapan
terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu
diselesaikannya makalah ini.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu,
saran dan kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Surakarta, Mei 2023

Penulis

DAFTAR ISI
BAB 3I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kaidah ialah acuan atau patokan sebagai pedoman bagi manusia
dalam bertindak. Sedangkan kaidah fiqhiyyah merupakan kaidah-kaidah yang
bersifat kully dan dari maksud-maksud syara’ menetapkan hukum (al
maqashidual-syar’i) terhadap mukallaf serta dari memahami rahasia tasyri dan
hikmah-hikmahnya.
Penerapan kaidah hukum Islam yang terkait dengan putusan
hakim esensinya perlu diterapkan pada putusan perkara. Definisi hakim
sendiri ialah organ pengadilan yang dianggap memahami hukum, yang
dipundaknya diletakkan kewajiban serta tanggung jawab supaya hukum dan
keadilan itu ditegakkan. Dalam menyelesaikan perkara, salah satu tugas
hakim yaitu menyelediki apakah hubungan hukum yang menjadi dasar
gugatan benar-benar ada atau tidak. Oleh karena itu, hakim harus mengetahui
kebenaran peristiwa yang bersangkutan secara objektif melalui pembuktian.
Dalam Islam prinsip kebenaran serta keadilan tertuang dalam
firman Allah Surat Ali-Imran ayat 60 yang artinya; “Kebenaran itu datang
dari Tuhanmu, karena itu janganlah engkau (Muhammad) termasuk orang-
orang yang ragu”. Islam telah menyeru umat manusia untuk selalu konsisten
dengan keadilan, baik dengan penguasa maupun dengan musuh. Keadilan
juga diterapkan terhadap hubungan antar individu, serta hubungan antar
institusi atau negara. Islam sendiri memiliki ciri khas sebagai agama yang
berkonsep tauhid dan keadilan. Kebenaran dan keadilan diimplementasikan
dalam bentuk beracara di pengadilan ditentukan oleh para hakim berdasarkan
petunjuk Nabidan hasil ijtihadnya.1

1.2 Rumusan Masalah


1
Septiana Mufidah, Ayu Saputri, dan Riska Listianingsih, Kaidah-kaidah Fikih Yang Menjadi
Prinsip Pengadilan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam IAIN Pekalongan (Pekalongan, 8 Maret
2022), Hlm. 1-3
1. Apa pengertian peradilan?
2. Apa saja kaidah-kaidah yang menjadi prinsip peradilan?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari peradilan
2. Untuk memahami makna kaidah-kaidah yang menjadi prinsip peradilan

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Peradilan


Peradilan secara bahasa berasal dari bahasa Arab yaitu kata
“Adil” yang artinya proses mengadili atau suatu usaha untuk mencari keadilan
atau penyelesaian sengketa hukum di hadapan badan peradilan menurut
peraturan yang berlaku. Dalam fiqh Islam disebutkan bahwa peradilan ialah
suatu badan yang menyelesaikan perkara dengan menggunakan hukum
(kehendak) Allah sebagai dasar, dijalankan oleh orang yang memiliki
kekuasaan umum. Sedangkan istilah peradilan Agama merupakan terjemahan
dari bahasa Belanda yaitu istilah Godsdienstige Rechtspraak, kata godsdienst
yang berarti agama, ibadat, keagamaan dan kata rechtspraak berarti
peradilan.2
Peradilan secara istilah adalah proses pemberian keadilan di suatu
lembaga yang disebut pengadilan. Pengadilan sendiri ialah lembaga atau
wadah yang bertugas menerima, memeriksa, mengadili, serta menyelesaikan
perkara. Dalam mengadili dan menyelesaikan perkara tersebut terletak proses
pemberian keadilan itu sendiri yang dilakukan oleh hakim baik hakim tunggal
maupun majelis.
Kata “Peradilan” dalam Bahasa Arab dikenal dengan istilah
“Qadha” yang artinya menyelesaikan, memutuskan sesuatu serta
menyempurnakannya. Sedangkan menurut istilah ahli fiqh Qadha berarti
lembaga hukum serta perkataan yang harus dituruti yang diucapkan oleh
seseorang yang memiliki wilayah umum atau menerangkan hukum agama
atas dasar mengharuskan orang mengikutinya. Menurut Sallam Madkur qadha
disebut hakim karena dia melarang pelaku dari perbuatan tidak adil. Dari
pengertian dari kata qadha itu, maka ia bisa digunakan dalam arti
memutuskan perselisishan oleh hakim. Orang yang melakukanya disebut
qadhi.

2
Dengan definisi tersebut diatas dapat dikatakan bahwa tugas
qadha (Lembaga Peradilan) adalah menampakkan hukum agama, bukan
menetapkan suatu hukum, karena hukum telah ada dalam hal yang dihadapi
oleh hakim. Hakim hanya menetapkannya ke alam nyata, bukan menetapkan
sesuatu yang belum ada. Menurut Hukum islam, ada enam unsur peradilan
menurut hukum islam, yaitu hakim (qadhi), hukum, mahkum bihi, mahkum
‘alaihi, mahkum lahu dan sumber hukum (putusan).
2.2 Makna Kaidah-Kaidah Prinsip Peradilan
Di antara kaidah-kaidah fiqh dalam bidang ini ialah sebagai
berikut:
1. “Hukum yang diputuskan oleh hakim dalam masalah-masalah ijtihad
menghilangkan perbedaan pendapat”
Maksud kaidah tersebut adalah apabila seorang hakim
menghadapi perbedaan pendapat di kalangan ulama, kemudian dia mentarjih
(menguatkan) salah satu pendapat di antara pendapat pendapat ulama tersebut,
maka bagi orang-orang yang berperkara harus menerima keputusan tersebut.
Orang yang beperkara tidak bisa menolak keputusan hukum tersebut dengan
alasan ada pendapat lain yang berbeda dengan hasil ijtihad hakim. Sudah
tentu, keputusan yang tidak boleh ditentang bukan tanpa syarat, yaitu tidak
boleh keluar dari prinsip-prinsip syariah, seperti kemaslahatan dan keadilan.
Pada masa sekarang ini, keputusan yang harus diterima ialah
keputusan hakim yang sudah tetap. Artinya sudah tidak ada peluang usaha
hukum lain yang bisa mengubah keputusan tersebut. Misalnya, dengan naik
banding ke Pengadilan Tinggi atau kasasi ke Mahkamah Agung. Di satu sisi,
hal ini memberi peluang kepada para pencari keadilan, tetapi di sisi lain
menyebabkan perkaranya menjadi berlarut-larut penyelesaiannya. Kaidah di
atas sesuai dengan kaidah: "Tidak boleh menentang keputusan hakim setelah
diputuskan (dengan kepitusan yang tetap)”
2. “Membelanjakan harta atas perintah hakim seperti membelanjakannya atas
pemilik"
Kaidah ini menegaskan bahwa perinyab hakim yang
diputuskannya dalam pengadilan wajib ditaati, sebab memiliki kedudukan
yang sama dengan perintah si pemilik harta. Termasuk dalam kaidah ini
adalah boleh menyita barang atas dasar keputusan pengadilan yang sudah
tetap. Demikian pula orang yang menemukan barang temuan boleh
menggunakannya atas perintah hakim.
Dalam kasus jinayah, keputusan hakim yang memerintahkan
terdakwa mengembalikan harta hasil korupsi adalah sama dengan perintah
dari negata yang memiliki harta tersebut. Sedangkan dalam contoh pencurian
atau perampokan, keputusan hakim sama dengan perintah dari si pemilik
harta.
3. "Kesalahan seorang hakim ditanggung oleh Bait al-Mal”
Seorang hakim yang dengan tidak sengaja salah dalam
keputusannya sehingga menyebabkan dia harus menanggung kerugian berupa
harta, maka harta tersebut diambil dari Bait al-Mal (perbendaharaan negara),
bukan diambil dari harta milik si hakim. Karena hakim hanyalah pelaksana
hukum dan mewakili negara dalam melaksanakan tugasnya dalam
menegakkan keadilan.
Kaidah ini juga menunjukan bagaimana si hakim dalam
menegakkan keadilan harus teliti dan hati-hati disertai bukti bukti yang
meyakinkan agar tidak salah menjatuhkan hukuman. Kesalahan seorang
hakim setidaknya ada tiga macam kemungkinan:, salah dalam hukumnya
sendiri yaitu pertama bertentangan dengan, salah dalam sebabnya hukum
nash. Kedua seperti mengambil pembuktian dengan saksi palsu salah. Ketiga
dalam prosedur seperti harusnya diputuskan dalam majelis hakim tetapi
diputuskan sendiri. Dalam hal ini, keputusan hakim bisa ditolak dan tidak jadi
tanggungan Bait al-Mal.
4. "Bukti wajib diberikan oleh penggugat dan sumpah wajib diberikan oleh
yang mengingkari"
Seseorang yang menggunggat orang lain dengan gugatan yang
berbeda dengan kenyataan lahirnya, maka kepadanya diwajibkan mengajukan
bukti-buktinya. Adapun bagi si tergugat dapat menolak atau mengingkari
gugatan tadi. Oleh karena itu, si tergugat dapat diminta mengucapkan sumpah
apabila diminta penggugat. Kaidah yang sama maksudnya dengan kaidah
tersebut di atas adalah: “Bukti adalah untuk menetapkan yang berbeda
dengan keadaan lahirnya sumpah menetapkan keadaan asalnya".
5. "Bukti adalah hujjah (alasan hukum) berdampak kepada orang lain
sedangkan pengakuan adalah hujjah yang hanya berlaku bagi orang yang
mengakuinya saja"
Maksud kaidah tersebut adalah bahwa suatu kasus yang
dibuktikan dengan alat-alat bukti, maka alat-alat bukti tadi bisa melibatkan
orang lain, baik itu berupa saksi maupun keterangan ahli. Bahkan saksi
apabila ada bukti-bukti lain tentang keterlibatannya dalam suatu perkara
pidana, bisa berubah statusnya menjadi tersangka. Sedangkan pengakuan
hanya melibatkan diri orang yang mengaku saja, tidak bisa melibatkan orang
lain. Contohnya: apabila seseorang mengaku berzina maka pengakuan
tersebut hanya berlaku bagi dirinya sendiri. Sedangkan orang lain yang
diakuinya berzina, tidak bisa dilibatkan apabila dua menyangkalnya, selama
tidak ada bukti lain yang menguat-kan pengakuan tadi.
6. “Pertanyaan itu terulang dalam jawaban"
Maksud kaidah ini adalah bahwa hukum dari jawaban itu terletak
pada soalnya. Misalnya, seorang hakim bertanya kepada tergugat (dalam hal
ini suami): Apakah engkau telah menalak istrimu? Dijawab: Ya. Maka bagi
istri telah berlaku hukum sebagai wanita yang ditalak.
7. "Orang yang dipercaya, perkataannya dibenarkan dengan sumpah"
Seseorang yang bermaksud membebaskan diri dari tanggungan
dan tuduhan, maka agar hal itu bisa dipercaya, harus dikuatkan dengan
sumpah. Contohnya: orang yang meminjamkan barang menggungat peminjam
mengatakan bahwa barang pinjamannya belum dikembalikan. Sedangkan si
peminjam mengatakan bahwa barang pinjamannya telah dikembalikan. Maka
untuk membenarkan perkataannya, dia harus bersumpah.
8. "Tidak bisa dijadikan hujjah (alasan) keterangan-keterangan yang
bertentangan, akan tetapi keputusan-keputusan hakim tetap berlaku"
Kaidah ini berhubungan dengan keterangan saksi yang saling
bertentangan didepan pengadilan. Akan tetapi, keputusan hakim yang
diucapkan di depan sidang pengadilan tetap berlaku dan tidak menyebabkan
rusak dengan kesaksian orang saksi yang saling bertentangan.
9. "Seseorang dituntut karena pengakuannya”
Seorang subjek hukum yang telah memiliki kecakapan bertindak
hukum secara sempurna, harus mempertanggungjawabkan atas ucapannya
dan perbuatannya. Demikian pula pengakuan yang dia ucapkan mengikat
kepadanya dan harus mempertanggungjawabkannya. Misalnya, seseorang
mengakui telah menjual rumah dengan pembayaran diutang. Maka dia wajub
menyerahkan rumah tersebut meskipun harga belum dibayar lunas.
10. “Tidak dapat dijadikan hujjah (alasan) dengan adanya kemungkinan-
kemungkinan yang timbul dari suatu petunjuk
Dalil itu pegangan pokok dalam menetapkan hukum, karena dalil
adalah suatu keterangan yang objektif. Tetapi apabila dalil itu memberi
kemungkinan penyimpangan dari maksudnya, maka tidak bisa di jadikan
alasan untuk memutuskan suatu perkara. Contohnya: ayah dan/atau ibu serta
anak-anaknya dan atau saudaranya dari tergugat atau penggugat, tidak bisa
dijadikan saksi karena bisa memberikan keterangan-keterangan yang tidak
sebenar nya.
11. “Perdamaian di antara kaum muslimin adalah boleh kecuali perdamaian
yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram”
Perdamaian di antara penggugat dan tergugat adalah baik dan
dibolehkan, kecuali perdamaian yang berisi menghalalkan yang haram atau
mengharamkan yang halal. Kaidah inilah yang dilakukan oleh hakim, yaitu
harus mendamaikan antara kedua belah pihak.
12. “Apa yang ditetapkan dengan bukti-bukti yang adil seperti yang
ditetapkan berdasar kenyataan”
BAB III
KESIMPULAN
Kaidah peradilan merupakan landasan yang penting dalam sistem
hukum yang berfungsi untuk memastikan keadilan dan kesetaraan dalam proses
peradilan. Dengan mengikuti kaidah-kaidah ini, pengadilan dapat mencapai
keputusan yang adil dan obyektif. Kaidah-kaidah peradilan ini harus ditegakkan,
karena hal ini merupakan tanggung jawab yang besar bagi para hakim dan praktisi
hukum, yang di mana para praktisi hukum harus memahami dan menerapkan
kaidah-kaidah peradilan dengan cermat agar keputusan yang diambil sesuai
dengan prinsip keadilan. Kaidah-kaidah peradilan juga terus berkembang seiring
dengan perubahan sosial dan perkembangan hukum. Hakim dan praktisi hukum
perlu memperbarui pengetahuan mereka tentang kaidah-kaidah ini agar tetap
relevan dan efektif dalam menangani kasus-kasus yang muncul di masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai