Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

Fiqh Peradilan Agama di Indonesia

Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah: Pendalaman Materi Fiqh

Dosen Pengampu: Dr. Moh. In’ami, M. Ag.

Disusun Oleh

Kelompok 12:

1. Ahmad Lutfi Manawi (2010110001)

2. Muhammad Yusuf Renaldi (2010110004)

3. Hintan Mustika Wahyuni (2010110019)

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH

ISTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS

2023
A. Abstrak

Peradilan Agama mengadili perkara-perkara tertentu dan juga golongan tertentu yakni orang
yang beragama Islam, perkara yang dimaksud disini adalah perkara perdata di bidang
perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, shodaqah berdasarkan hukum Islam dan
kekuasaan tersebut meliputi unsur perdata Islam Lembaga Peradilan Agama Republik
Indonesia menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Metode yang
digunakan adalah metode penelitian kepustakaan (library reseach), seperti artikel- artikel
yang dipublikasikan didalam jurnal dan buku-buku tentang fiqh peradilan agama di Indonesia
yaitu studi kepustakaan dari berbagai referensi yang relevan dengan pokok pembahasan
mengenai fiqh peradilan agama di Indonesia. Dengan cara meneliti bahan pustaka untuk
menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum peradilan agama maupun doktrin-doktrin
hukum peradilan agama guna menjawab isu sesuai dengan karakteristik ilmu fiqh peradilan
agama di Indonesia. Hasil penelitiannya Peradilan menurut istilah ahli fiqih adalah: Lembaga
hukum, tempat dimana seseorang mengajukan mohon keadilan dan perkataan yang harus
dituruti yang diucapkan oleh seseorang yang mempunyai wilayah umum atau menerangkan
hukum agama atas dasar harus mengikutinya. Dalam literatur fikih Islam, untuk berjalannya
peradilan dengan baik dan normal, diperlukan adanya enam unsur, yakni: 1) Hakim atau
qadhi, 2) Hukum, 3) Mahkum Bihi, 4) Mahkum Alaih, 5) Mahkum Lahu 6) Putusan.
Kedudukan Fiqh Dalam Sistem Hukum Indonesia Pada umumnya memandang fiqh identik
dengan hukum Islam, yang dipandang identik dengan aturan Tuhan. Peradilan Agama ini
Pada tahun 1882 pemerintah kolonial mengeluarkan hukum dalam perkembangannya
membahas persoalan waris dan persoalan-persoalan lain yang berhubungan dengan harta
benda, terutama tanah. Sejak itulah kompetensi Peradilan Agama hanya pada masalah
perkawinan dan perceraian. Selanjutnya pada Orde reformasi dikenal sebagai masa
kebebasan dalam mengeluarkan pikiran dan pendapat.

Kata Kunci: Fiqh, Peradilan Agama, Indonesia

B. Pendahuluan

Peradilan Agama merupakan salah satu bentuk peradilan yang ada di Indonesia dan
peradilan ini merupakan peradilan yang khusus, Menurut Aden Rosadi, dikatakan khusus
karena Peradilan Agama mengadili perkara-perkara tertentu dan juga golongan tertentu yakni
orang yang beragama Islam, perkara yang dimaksud disini adalah perkara perdata di bidang

1
perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, shodaqah berdasarkan hukum Islam dan
kekuasaan tersebut meliputi unsur perdata Islam.1

Kekuasaan Peradilan Agama tercermin dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989


jo. Undang-Undang nomor 3 tahun 2006 jo. Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang
perubahan kedua atas Undang-Undang nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, tujuan
penyelenggaraan Peradilan Agama di Indonesia bermuara pada upaya konkrit negara dalam
menegakkan hukum dan keadilan.2

Adanya kewenangan absolut itu menjadikan Peradilan Agama, baik dalam pengadilan
tingkat pertama dan banding, tidak salah dalam menerima suatu perkara yang diajukan
kepadanya karena menjadi kewenangan lingkungan peradilan lain. Kewenangan absolut
adalah kewenangan Badan Peradilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang secara
mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan peradilan lain, baik dalam lingkungan pengadilan
yang sama maupun dalam lingkungan peradilan yang lain. Dalam praktiknya,
penyelenggaraan Peradilan Agama memiliki tujuan mulia, antara lain memberikan kepastian
hukum, ketenangan, ketertiban, bagi para pencari keadilan, terutama dikalangan orang-orang
yang beragama Islam.3

C. Metodologi

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, degan jenis penelitian yanng digunakan
adalah kajian pustaka (library research), yaitu studi kepustakaan dari berbagai referensi yang
relevan dengan pokok pembahasan mengenai fiqh peradilan agama di Indonesia. atau dapat
pula disebut dengan penelitian hukum normatif yaitu suatu tipe penelitian yang diakukan
dengan cara meneliti bahan pustaka untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum
peradilan agama maupun doktrin-doktrin hukum peradilan agama guna untuk menjawab isu
hukum yang dihadapi sesuai dengan karakteristik ilmu fiqh peradilan agama di Indonesia.4

2. Sumber dan jenis data

Sumber yang akan dijadiikan pegangan meliputi data primer dan data sekunder:
1
Aden Rosadi, Peradilan Agama di Indonesia Dinamika Pembentukkan Hukum, (Bandung: Simbiosa
Rekatama Media, 2015), hal.84.
2
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013),
hal.193.
3
Zainal Asikin, Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2015), hlm. 85.
4
Salim Dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis Dan Disertasi,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada,2016) hal.12

2
- (Primer) Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoratatif artinya
yang mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, data-
data atau bahan pustaka yang mempunyai kekuatan mengikat secara yuridis, adapun
yang penulis gunakan terdiri dari: Alqur`an, Hadist Rasulullah, dan Undang- undang
dasar tentang peradilan agama di Indonesia.

- (sekunder) Data ini bersumber dari buku-buku referensi atau literatur-literatur seperti
skripsi, tesis, dan disertasi fiqh peadilan agama yang ada relevansinya dengan
permasalahan yang diteliti oleh peneliti. Selain itu juga, kamus-kamus, jurnal-jurnal fiqh
peradilan agama di Indonesia.

D. Hasil dan Pembahasan

1. Pengertian Fiqih Peradilan Agama di Indonesia

Kata “peradilan” berasal dari kata “adil”, dengan awalan “per” dan dengan imbuhan
“an”. Kata “peradilan sebagai terjemahan dari qadha, yang berarti “memutuskan,
melaksanakan, menyelesaikan dan adapun yang menyatakan bahwa umumnya kamus tidak
membedakan peradilan dengan peradilan, dalam literatur- literatur fikih Islam, “peradilan”
disebut qadha, artinya menyelesaikan,5 seperti firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Ahzab
ayat 37 sebagai berikut:

‫ضى زَ ْي ٌد ِّم ْنهَا َوطَر ًۗا‬


ٰ َ‫فَلَ َّما ق‬

Artinya: “Manakala Zaid telah menyelesaikan keperluannya dari Zainab”.

Kata peradilan menurut istilah ahli fiqih adalah: Lembaga hukum (tempat dimana
seseorang mengajukan mohon keadilan dan perkataan yang harus dituruti yang diucapkan
oleh seseorang yang mempunyai wilayah umum atau menerangkan hukum agama atas dasar
harus mengikutinya. Dalam literatur fikih Islam, untuk berjalannya peradilan dengan baik dan
normal, diperlukan adanya enam unsur, yakni:

 Hakim atau qadhi yaitu orang yang diangkat oleh kepala negara untuk menjadi hakim
dalam menyelesaikan gugat menggugat
5
Abdul Mujib Mabruri Thalhah Sapiah AM, Kamus Istilah Fikih, Cetakan ke-3, Jakarta: PT Pustaka
Firdaus, 1994, h, 258. Lihat pula Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III, Cetakan ke-7, Jakarta:
Balai Pustaka, 1996, h,7.

3
 Hukum yaitu putusan hakim yang ditetapkan untuk menyelesaikan suatu perkara.
 Mahkum bihi yaitu di dalam qadha ilzam dan qadha istiqaq yang diharuskan oleh
qadhi si tergugat harus memenuhinya
 Mahkum alaih (si terhukum), yaitu orang yang dijatuhkan hukuman atasnya.
 Mahkum lahu yaitu orang yang menggugat suatu hak.
 Perkataan atau perbuatan yang menunjuk kepada hukum (putusan), yaitu memutuskan
perkara hanya dalam suatu kejadian yang diperkarakan oleh seseorang terhadap
lawannya.6

Sedangkan Istilah Peradilan Agama merupakan terjemahan dari istilah godsdientige


rechtspraak, suatu istilah yang berasal dari perundang-undangan Belanda. Godsdientige
berarti ibadah atau agama, sedangkan rechtspraak berarti peradilan. Peradilan adalah proses
pemberian keadilan di suatu lembaga yang disebut pengadilan. Pengadilan adalah lembaga
atau wadah yang bertugas menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan setiap
perkara yang diajukan kepadanya. Dalam “mengadili dan menyelesaikan perkara” itulah
terletak proses pemberian keadilan itu, yang dilakukan oleh hakim baik hakim tunggal
maupun majelis. Kata “Peradilan” itu sendiri dalam Bahasa Arab adalah “Qodla” yang berarti
menyelesaikan, memutuskan sesuatu dan menyempurnakannya. Dalam fiqih Islam
dikemukakan bahwa peradilan itu merupakan suatu badan yang menyelesaikan perkara
dengan menggunakan hukum (kehendak) Allah sebagai dasar, dijalankan oleh orang yang
mempunyai kekuasaan umum. Sedangkan “peradilan” dalam Bahasa Belanda adalah
“rechtspraak” dan dalam bahasa Inggris “jurisdiction”.7

Sedangkan sumber sumber hukum, berdasarkan penegasan yang terdapat dalam Al-
Quran surah an-Nisaa’ (4) ayat 59 dan Hadist Muazd bin Jabal, para ahli telah sepakat bahwa
sumber- sumber hukum dalam berbagai bidang kajian atau studi hukum Islam yaitu: Al-
Qur’an, As-Sunnah atau Hadist dan Ar- Ra’yu atau ijtihad ulil amri.8

2. Sejarah Pembentukan hukum Peradilan Islam di Indonesia

Hukum Islam sebagai ajaran agama yang bedasarkan wahyu telah menunjukkan nilai-
nilai universal yang terwujud dalam bentuk keragaman fiqh sesuai dengan keragaman etnis,
sosial dan budaya penganut agama Islam.Keragaman hukum Islam di berbagai negara

6
A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia (Prenada Media, 2010).
7
Renny Supriyatni, “(application Fiqh Muamalah Religious Court as a Basis for Authority Dispute
Settlement in Islamic Economics),” Pustaka, Unpad, 2013, 491.
8
Sulaikin Lubis, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia (Kencana, 2018).

4
terdapat keragaman. Keragaman hukum Islam di dunia Islam ditopang oleh kerangka
landasan filosofis, teologis, dan metodologis. Oleh karena itu, penampakannya meliputi
hampir seluruh aspek terutama jika telah menjadi taqnin (perundang-undangan).

Dalam sejarah perjalanan berlakunya hukum Islam di Indonesia, paling tidak ada lima
teori yaitu pertama, Teori Receptio in Complexu yang dikemukakan oleh Christian van den
berg (1845-1925). Kedua, Teori Receptie yang dikemukakan oleh ornelis van Vollenhoven
dan Snouck Hurgronje (1874-1933). Ketiga, Teori Receptie Exit dikemukakan oleh Hazarain.
Keempat, Teori Receptie a Contrario di kemukakan oleh Hazarain dikembangkan oleh Sayuti
Thalib. Dan Kelima, Teori Eksistensi.Dua teori pertama muncul pada masa sebelum
Indonesia merdeka, dan tiga teori terakhir muncul setelah Indonesia merdeka.

Adapun kajian mengenai sejarah perkembangan hukum Islam di Indonesia, secara


otomatis akan berbicara kapan Islam masuk di Indonesia, siapa pembawanya, bagaimana
perjalanannya serta bagaimana karakteristiknya. Berdasarkan data historis, bahwa Islam telah
ada di kepulauan Indonesia sejak orang Islam datang dan bermukim di nusantara ini. Menurut
pendapat yang disimpulkan dari seminar masuknya Islam ke Indonesia yang diselenggarakan
di Medan pada tahun 1963, Islam telah masuk ke Indonesia pada abad pertama Hijriyah atau
abad ketujuh delapan masehi. Pendapat lain mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia
pada abad ke-13 Masehi.

Daerah pertama yang didatangi oleh saudagar muslim adalah daerah pesisir utara
pulau Sumatera dengan pembentukan masyarakat Islam pertama di Peureulak Aceh Timur
dan kerajaaan Islam pertama adalah kerajaan Islam di Samudera Pasai Aceh Utara. Seorang
pengembara asal Maroko Ibnu Batuthah pada tahun 1345 M singgah di Samudera Pasai dan
ia mengagumi perkembangan Islam di negeri tersebut. Ia mengagumi kemampuan sultan
Malik al-Zahir berdiskusi berbagai masalah agama Islam dan ilmu fiqh. Menurutnya, selain
sebagai seorang raja, sultan Malik al-Zahir mahir dalam bidang fiqh, dan fiqh yang dianut
oleh kerajaan itu adalah hukum Islam mazhab Syafi’i.9

Dan sekarang Lembaga Peradilan Agama merupakan lingkungan peradilan di bawah


Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dengan adanya
penyatuan atap dalam lembaga Mahkamah Agung, maka kedudukan lembaga Peradilan
Agama telah sejajar dengan lembaga-lembaga peradilan lainnya.
9
Agus Toni, “Aktualisasi Hukum Perceraian Perspektif Pengadilan Agama Di Indonesia,” MAQASHID
Jurnal Hukum Islam 1, no. 2 (21 September 2018): 34–63, https://doi.org/10.35897/maqashid.v1i2.130.

5
Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama,
dijelaskan bahwa Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi
rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana
dimaksud dalam undangundang ini. Undang-undang revisi pertama ini menjelaskan bahwa
perkara perdata tertentu menjadi perkara tertentu. Kalimat ini memberikan isyarat penafsiran,
dan salah satu di antaranya bahwa lembaga Peradilan Agama berpeluang untuk menangani
kasus selain keperdataan, karena tidak dicantumkan lagi kata perdata. Hilangnya kata perdata
pada teks revisi undang-undang tersebut, berarti pengembangan materi perkara pada lembaga
Peradilan Agama di Indonesia semakin meluas perkaranya, termasuk ekonomi syari’ah dan
perkara-perkara lainnya. Materi perkara pada lembaga Peradilan Agama yang diamanahkan
oleh undang-undang, memerlukan tenaga yang andal dan berkualitas, terutama pada
pengembangan perkara tertentu pada Peradilan Agama.10

B. Kedudukan Fiqh Dalam Sistem Hukum Indonesia dan hubungan fiqh dengan
perundang-undangan Indonesia

1. Kedudukan Fiqh Dalam Sistem Hukum Indonesia

Pada umumnya masyarakat Islam, khususnya masyarakat Islam Indonesia,


memandang fiqh identik dengan hukum Islam, dan hukum Islam dipandang identik dengan
aturan Tuhan. Sebagai akibatnya, fiqh cenderung dianggap sebagai aturan Tuhan itu sendiri.
Dengan cara pandang itu, maka kitab-kitab fiqh dipandang sebagai kumpulan hukum Tuhan,
dan karena hukum Tuhan adalah hukum yang paling benar dan tidak bisa dirubah maka kitab-
kitab fiqh bukan saja dipandang sebagai produk keagamaan, tapi sebagai buku agama itu
sendiri. Akibatnya, selama berabad-abad fiqh menduduki tempat yang amat terpandang
sebagai bagian dari agama itu sendiri, dan bukan bagian dari produk pemikiran keagamaan.

Akibat lebih lanjut dari kedudukan fiqh yang diidentikkan dengan agama itu, maka
orang yang menguasai fiqh yang biasanya disebut fuqaha, juga mempunyai kedudukan tinggi,
bukan saja sebagai orang yang memaklumi produk pemikiran keagamaan tapi sebagai
penjaga hukum agama itu sendiri. Secara sosiologis kedudukan demikian itu memberi hak-
hak istimewa dan peranan tertentu kepada fuqaha pada lapisan sosial tertentu, yang pada
gilirannya akan mempengaruhi cara pandang dan cara pikir fuqaha itu sendiri. Ketika seorang
faqih dari suatu masa menuliskan tintanya menjadi kitab fiqh, maka sebenarnya itu tidak
10
Supardin, Fikih peradilan agama di Indonesia: rekonstruksi materi perkara tertentu, Cetakan I
(Makassar: Alauddin University Press, 2014).

6
terlepas dari cara pandang dan cara pikirnya yang sebagian atau seluruhuya diwarnai oleh
kedudukan sosialnya tadi.

Di sini, sebenarnya terjadi siklus yang menarik diamati: bahwa Untuk menjaga dan
memeliharanya, fiqh memerlukan penjaga yang Disebut faqih atau fuqaha, dan untuk
memelihara status diri mereka, Maka para fuqaha memerlukan kehidupan fiqh yang tinggi.
Kadangkadang fiqh yang dipeliharanya itu adalah produk para pendahulunya, Tapi kadang-
kadang juga produksinya sendiri. Ironisnya, produk-produk Pemikiran fiqh itu dianggap
sebagai identik dengan hukum Tuhan itu Sendiri, Demikian kesalahpahaman yang terjadi di
kalangan sementara Orang Islam, tidak terkecuali di Indonesia, dalam memandang fiqh.
Kekeliruan ini rasanya perlu diperbarui dan dibetulkan. 11

2. Hubungan Fiqh Dengan Perundang-undangan Indonesia


Sebagaimana kita ketahui dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 menerangkan
bahwa tentang perkawinan yang sesuai dengan fiqh Islam di Indonesia adalah sebagaimana
yang tercantum dalan pasal – pasal Di bawah ini di antaranya adalah:

Pasal 8
Perkawinan dilarang antara dua orang yang:
a. Berhubungan darah dalan garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas;
b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara Saudara, Antara
seorang dengan seorang saudara orang tua dan antara Seorang dengan saudara neneknya;
c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan Ibu/bapak tiri;
d. Berhubungan susuan, anak susuan, saudara dan bibi/paman susuan;
e. Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan Dari isteri, dalam
hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;
f. Yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau praturan lain Yang berlaku
dilarang kawin.
Pasal 9
Seorang yang terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin Lagi, kecuali
dalam hal yang tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) dan dalam Pasal 4 Undang-undang ini.
Pasal 10
Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain Dan bercerai lagi
untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh Dilangsungkan perkawinan lagi,
sepanjang hukum, masing-masing agama Dan kepercayaan itu dari yang bersangkutan tidak
menentukan lain
Pasal 26

11
Jurnal At-Tafkir Vol. XI No. 1 Juni 2018

7
(1) Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan Yang tidak
berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang Dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua)
orang saksi dapat Dimintakan pembatalannya oleh keluarga dalam garis keturunan lurus Ke
atas dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri.
Pasal 42
Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat Perkawinan yang sah.12

C. Perkembangan Peradilan Agama di Indonesia

1. Fase kesultanan
Sejarah tentang proses masuknya Islam dan sekaligus peradilan ke Indonesia,
paling tidak ada dua pendapat. Pertama, masuknya Islam ke Indonesia berlangsung
sejak abad I H (abad VII M) sekitar tahun 674 M. Kedua, Islam masuk ke Indonesia
terjadi pada abad XIII M sekitar (1258 M).13 Tetapi menurut sumber dari hasil seminar
nasional yang ditulis oleh Endang Syaifuddin Anshari bahwa masuknya Islam di
Indonesia pertama kali pada abad I H (abad VII M/VIII M) yang dibawa oleh orang-
orang Arab. Daerah yang didatangi ialah daerah pesisir Sumatera khususnya kerajaan
Islam pertama di Aceh. Daerah-daerah lain yang didatangi oleh Islam sesudah Aceh
adalah Minangkabau, Jawa, Maluku, Sulawesi, Bali, Lombok, Sumbawa, dan
Kalimantan.
Masuknya Islam di Indonesia merupakan proses pelaksanaan hukum Islam itu
sendiri, karena Islam dan hukum Islam berkaitan langsung dengan kehidupan umat
Islam di Indonesia. Adanya keterkaitan langsung antara hukum Islam dengan
kehidupan masyarakat Islam, maka terjadi reaksi, baik dari luar maupun dari dalam
umat Islam sendiri, terutama dari kerajaan.
Kerajaan-kerajaan Islam yang melaksanakan hukum Islam antara lain:
Samudra Pasai (berdiri pertengahan abad ke-13 sampai tahun 1524), Aceh
Darussalam (berdiri tahun 1514), Kerajaan Demak (berdiri tahun 1500-1550),
Cirebon (berdiri abad ke-16), Banten (berdiri tahun 1568-1813), dan lain-lain. Pada
fase kesultanan tersebut banyak kerajaan-kerajaan Islam yang berdiri dan melawan
kaum penjajah, termasuk Kerajaan Mataram.14

12
Jurnal At-Tafkir Vol. XI No. 1 Juni 2018
13
Dudung Abdurrahman, dkk., Sejarah Peradaban Islam: dari Masa Klasik Hingga Modern (Cet. I;
Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga-Lesfi, 2003), h. 377.
14
Abdul Aziz Dahlan, et al., Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 2 (Cet. V; Jakarta: Ichtiar Baru van
Hoeve, 2001), h. 968.

8
Pada Puncak kerajaan Samudra Pasai dijumpai pada masa Sultan Ahmad
Bahian Syah Malik Al-Zahir yang menduduki tahta kerajaan pada tahun 727 H./1326
M. Sampai Tahun 750 H/ 1349 M. Dalam tulisan Zaini Ahmad Noeh menambahkan,
dia menceritakan di Kota Samudra ada seorang raja Islam yang pertama, yaitu Sultan
Mali Al-Salih yang dipastikan telah memberikan tauliyah kepada hakim/qadi dalam
pelaksanaan hukum Islam. Dalam perjalanannya pada tahun 1345/1346 ke Cina, dia
melewati Samudra itu, dan dia mendapati penguasanya adalah seorang pengikut
maszhab Syafi'i, lalu dia berkata; Tak pelak lagi teori ketatanegaraan Al-Mawardi
(pengarang kitab Ahkam al-Sultaniyah) sudah dilaksanakan di sana.' terakhir ini
memperlihatkan kepada kita bahwa Peradilan Agama telah berjalan di sana dengan
baik. Hal ini sejalan dengan suasana islamisnya kerajaan tersebut, juga ditopang
dengan kemegahan yang dicapai.15
Tahun 1619 ketika Mataram berada di bawah pemerintahan Sultan Agung,
praktis seluruh Jawa Timur berada di bawah pemerintahan Islam. Ketika itu terjadi
konflik bersenjata antara pemerintahan kerajaan dengan VOC dan gugurlah Sultan
Agung. Dengan gugurnya Sultan Agung, maka pemerintahan dikendalikan oleh
Amangkurat I, konflik pun semakin menjadi-jadi. Konflik terjadi antara pemerintah
dengan kelompok ulama oleh karena keprihatinan terhadap agama yang diterapkan
oleh pemerintah. Amangkurat I marah dan tidak butuh gelar sultan, bahkan tahun
1647 ia membunuh 5000 sampai 6000 orang ulama karena dianggap membahayakan
tahtanya. Inilah reaksi internal umat Islam sebagai konflik yang terjadi dalam
pelaksanaan hukum Islam. Setelah kondisi masyarakat dirasa siap maka Peradilan
Pradata dirubah menjadi pengadilan Surambi yang dipimpin oleh ulama. Wewenang
Pengadilan Surambi masih tetap seperti Pengadilan Pradata. Hanya saja ketua
pengadilan pelaksanaanya di tangan penghulu dan didampingi beberapa ulama dari
lingkungan pesantren sebagai anggota majelis, meskipun pada prinsipnya masih di
tangan Sultan. Keputusan Pengadilan Surambi berfungsi sebagai nasehat bagi Sultan
dalam mengambil keputusan (Halim,2000: 36).16 Ketika Amangkurat I menggantikan
Sultan Agung pada tahun 1645, Pengadilan Pradata dihidupkan kembali untuk
mengurangi pengaruh ulama dalam Pengadilan, dan raja sendiri yang menjadi tampuk
pimpinannya. Pada perkembangan berikutnya Pengadilan Surambi masih
15
Amrullah Ahmad, dkk., Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasioal, Cet. Ke-1 Gema
Insani Press, Jakarta, 1996 M., hlm. 73
16
Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, RajaGrafindo Persada, jakarta,
2000, hlm.35

9
menunjukkan keberadaannya sampai dengan masa penjajahan Belanda, meskipun
dengan kewenangan yang terbatas. Menurut Snouck Hurgronje, Pengadilan seperti
dimaksud berwewenang menyelesaikan perselisihan dan persengketaan yang
berhubungan dengan hukum kekeluargaan, yaitu perkawinan dan kewarisan.17
Di aceh, sistem peradilan yang berdasarkan hukum Islam menyatu dengan
peradilan negeri. Peradilan itu mempunyai tingkatan-tingkatan, tingkat pertama
dilaksanakan di tingkat Kampung yang di pimpin oleh Keucik. Peradilan ini hanya
menangani perkara-perkara ringan, sedangkan perkara-perkara berat diselesaikan oleh
Balai Hukum mukim. Peradilan tingkat kedua yang merupakan peradilan banding
adalah Oeloebalang. Jika keputusan Oeloebalang memuaskan dapat dimintakan
banding di peradilan ketiga yaitu Panglima Sagi. Dari sistem peradilan tersebut
terlihat bahwa pada zaman kerajaan Aceh sudah terbentuk sebuah sistem peradilan
yang memiliki dua kompetensi yaitu absolut dan relatif. Kompetensi absolut berupa
masalah yang berdasarkan hukum Islam, sedang kompetensi relatif meliputi Kampung
di tingkat pertama, Oeloebalang yang membawahi beberapa Kampung, di tingkat
kedua, Panglima Sagi di wilayah kecamatan dan terakhir Mahkamah Agung yang
membawahi seluruh wilayah yang tunduk dibawah pemerintahan.18
Di cirebon, Pelaksanaan Pengadilan itu dilakukan oleh tujuh orang menteri
yang mewakili tiga sultan, yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan Panembahan
Cirebon. Segala cara yang menjadi sidang menteri itu diputuskan menurut Undang-
Undang Jawa, kitab hukum yang digunakan yaitu Papakem Cirebon, yang merupakan
kumpulan macam-macam hukum Jawa Kuno, memuat kitab hukum Raja Niscaya,
Undang-Undang Mataram, Jaya Lengkara, Kontra Menawa dan Adilulah. Namun
demikian suatu hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa kedalam Papakem Cirebon itu
telah tampak adanya pengaruh hukum Islam.19
Di Banten, Peradilan disusun menurut pengertian hukum Islam. Pada masa
Sultan Hasanuddin tidak ada bekas untuk pengadilan yang berdasarkan pada hukum
Hindu. Pada abad XVII M, di Banten hanya ada satu pengadilan yang dipimpin oleh
Kadhi. Satu-satunya peraturan yang masih mengingatkan pada pengaruh Hindu

17
Cik Hasan Basri, Peradilan Agama di Indonesia, Cet. Ke-1, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996
M., hlm. 107
18
Dudung Abdurrahman, dkk., Sejarah Peradaban Islam: dari Masa Klasik Hingga Modern (Cet. I;
Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga-Lesfi, 2003), h. 377.
19
Arto, Mukti. (2012). Peradilan Agama dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia: Kajian Historis,
Filosofis, Ideologis, Politis, Yuridis, Futuristis dan Pragmatis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

10
adalah, hukuman mati yang dijatuhkan oleh Kadhi memerlukan pengesahan dari raja
(Tresna, 1957: 35).20
Dari uraian diatas terlihat bahwa penerapan hukum melalui Pengadilan Agama
telah berlangsung hampir pada setiap kesultanan yang ada. Selanjutnya terlihat Sultan
telah mengangkat para hakim dari kelompok ulama dan fuqaha yang secara langsung
akan menerapkan hukum lewat Pengadilan. Juga menteri hukum yang diterapkan ini
terdiri dari fiqh mazhab Syafi'i. Pada sisi lain terlihat adanya variasi bentuk
Pengadilan yang ada pada setiap kesultanan. Variasi ini bisa diamati, pada otonomi
yang dimiliki daerah kesultanan itu sendiri, pada susunan hakim Pengadilan dan
jumlahnya, kekuasaan hakim dalam kaitannya dengan sultan, serta hirarkisnya, dan
lain sebagainya.
2. Fase Penjajahan
Masa penjajahan di Indonesia yang paling berpengaruh terhadap hukum di
Indonesia adalah masa penjajahan Belanda selama 350 tahun (tiga setengah abad),
kemudian disusul oleh masa penjajahan Jepang selama 3,5 tahun (tiga setengah
tahun). Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, Peradilan Agama mendapat
pengakuan secara resmi. Pada tahun 1882 pemerintah kolonial mengeluarkan
Staatsblad No.152 yang merupakan pengakuan resmi terhadap eksistensi Peradilan
Agama dan hukum Islam di Indonesia. Karena Staatsblad ini tidak berjalan efektif dan
karena pengaruh teori reseptie, maka pada tahun 1937 keluarlah Staatsblad 1937 No.
116. Staatsblad ini mencabut wewenang yang dipunyai oleh Peradilan Agama dalam
persoalan waris dan persoalan-persoalan lain yang berhubungan dengan harta benda,
terutama tanah. Sejak itulah kompetensi Peradilan Agama hanya pada masalah
perkawinan dan perceraian. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa
Peradilan Agama pada masa tersebut tidak dapat melaksanakan keputusannya sendiri,
melainkan harus dimintakan pegukuhan dari Peradilan/Pengadilan Negeri, terutama
perkara kewarisan.
Secara umum kewenangan Pengadilan Agama di Indonesia dalam menentukan
kasus apa saja yang diselesaikannya, yang erat kaitannya dengan perkembangan
hukum Islam pada saat itu, maka hal ini bisa dilihat dalam dua teori, yaitu; Pertama
teori Receptio in Complexu yang dikemukakan oleh Lodewijk Willem Christian Van
Den Berg, yang maksudnya hukum Islam telah diterima dalam masyarakat secara
keseluruhan. Teori ini lahir, berkembang, dan dipedomani di Indonesia ini pada masa
20
Mr. R. Tresno, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, W. Versluys N.V., Jakarta, 1957, hlm.16

11
sebelum tahun 1937 M., tepatnya pada saat wewenang Pengadilan Agama belum
dibatasi. Kedua teori Receptie (resepsi) yang dikembangkan oleh Christian Snouck
Hurgronje, yang maksudnya berlaku di Indonesia ini adalah hukum adat, hukum
Islam masuk ke dalam hukum adat, maka hukum Islam yang mempunyai kekuatan
adalah sepanjang telah diterima oleh hukum adat. Teori ini lahir, berkembang dan
diterapkan di Pengadilan Agama setelah tahun 1937 pada saat mulai dibatasinya
wewenang absolut Pengadilan Agama hanya dalam masalah perkawinan saja, sedang
masalah waris, wakaf, hibah, sadaqoh, baitul mal, dan yang lainnya sudah menjadi
wewenang Pengadilan Negeri.21
Sejalan dengan hal ini Hazairin mengecam dengan sangat pedas teori resepsi
Snouck Hurgronje tersebut, dengan menamakannya teori setan atau teori iblis. Dia
mengatakan bagaimana mungkin umat Islam Indonesia menempatkan hukum adat di
atas Al-Qur'an dan Al-Hadis, sehingga ditempatkan posisi hukum adat di atas
sekaligus memfilter hukum Islam untuk dapat dinyatakan sebagai hukum yang
diterapkan di Indonesia ini.
Masyarakat Minangkabau adalah masyarakat perumus undang- undang dan
hukum mengemukakan pepatah; "Adat bersendi syara', Syara' bersendi Kitabullah".
Terlihat dengan sadar masyarakat mengatakan bahwa hukum yang tertinggi bagi
mereka adalah Kitabullah, sedang adat mesti dibimbing oleh syara' yang terdapat di
dalam Kitabullah tersebut.
Sejalan dengan ini, dia mengemukakan teori Receptie Exit. Teori ini
maksudnya adalah menyatakan bahwa teori Receptie Snouck Hurgronje harus keluar
dari teori hukum nasional Indonesia karena bertentangan dengan UUD 1945 dan
Pancasila, serta bertentangan dengan Al-Quran dan Al-Sunnah. Teori ini kemudian
dikembangkan oleh Sayuti Thalib dengan teori Receptio a Contrario yang maksudnya
hukum yang berlaku bagi orang Islam adalah hukum agamanya, bukan hukum adat,
hukum adat hanya berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan hukum agama. Hal
ini sejalan dengan teori al-'uruf dan al-'adah di dalam ushul figh.22
3. Fase Kemerdekaan
Fase atau masa kemerdekaan merupakan keadaan yang kondusif terhadap
segala perkembangan, terutama pelaksanaan hukum Islam. Segala aspek kehidupan
21
Djalil, A. Basiq. (2006). Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Kencana.
22
Sajuti Thalib, dkk., Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, UI Press, 1976 M., hlm 44-45.,
Rachmat Djatmika, dkk., Hukum Islam di Indonesia, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1991 M., hlm.
Pengantar

12
serba terbuka, kesempatan mengecap dunia pendidikan dengan segala konsekuensinya
dan menyerap berbagai informasi dunia. Suasana merdeka membawa dampak yang
luas bagi setiap orang. Masa kemerdekaan ini dibagi ke dalam tiga orde, yakni orde
lama, orde baru dan orde reformasi. Ketiga orde ini memiliki karakteristiknya masing-
masing dalam bidang peradilan, karena dipengaruhi oleh kancah politik di eranya
masing-masing. Oleh karena itu Lembaga Peradilan Agama dapat dilihat dari tahun ke
tahun pada masa atau orde masing-masing.
1. Orde Lama (1945-1966)
Pada orde lama ini, diupayakan kembali untuk memasukkan syari’at Islam ke
dalam Dasar Negara Republik Indonesia, yakni Pancasila pada sila pertama
melalui Piagam Jakarta “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at
Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diganti dengan kata “Ketuhanan Yang Maha
Esa”, dari sembilan kata menjadi empat kata.
Masa Orde lama ini pun bangsa Indonesia mengalami guncangan, baik
pengaruh dari luar maupun dari dalam negeri. Pengaruh dari luar adalah dari
bangsa penjajah khususnya Belanda, mereka ingin kembali menjajah bangsa
Indonesia. Umat Islam memusatkan perhatiannya pada guncangan dari luar itu
yang ingin menjajah kembali bangsa Indonesia. Umat Islam tidak lagi terfokus
pada pelaksanaan hukum Islam, tetapi bagaimana bisa mengusir kolonial penjajah
tersebut. Orde ini, selain mengalami gangguan dari eksternal, juga mengalami
gangguan dari internal bangsa Indonesia sendiri. Seperti yang dilakukan oleh
Partai Komunis Indonesia (PKI), dikenal denganperistiwa Madiun tahun 1948
dan G 30 S/PKI tahun 1965. Faktor-faktor tersebut merupakan faktor
penghambat dalam pelaksanaan hukum Islam di masa orde lama. Sedangkan
faktor pendukung dalam pelaksanaan hukum Islam, adalah dengan hadirnya
beberapa tokoh Islam, baik dalam struktur pemerintahan maupun dalam legislatif
temasuk lembaga-lembaga pendidikan.
Sebagai saksi sejarah terhadap umat Islam dalam masa orde lama ini di bawah
pimpinan Bung Karno adalah berdirinya bangunan Masjid Istiqlal di Jakarta.
Demikian juga bangunan pendidikan seperti pondok-pondok pesantren, terutama
di pulau Jawa, baik pondok pesantren klasik maupun pondok pesantren modern
(seperti Pondok Modern Darussalam Gontor Indonesia).23

23
A. Rahmat Rosyadi dan M. Rais Ahmad, op.cit., h. 82. Lihat pula, Islamic Law Societ di:
http://www.scribd.com/doc/38116797/ tentang SejarahPeradilan-Agama.

13
2. Orde Baru (1966-1998)
Orde lama tumbang kemudian muncul orde baru. Orde baru ini dalam proses
sosialisasi hukum Islam mulai tampak dengan hadirnya berbagai perundang-
undangan, dan pelaksanaan kegiatan keagamaan. Misalnya pelaksanaan MTQ
pertama tingkat nasional tahun 1969 di Makassar. Kegiatan-kegiatan keagamaan
lainnya masih juga terbatas, karena pemerintah masih mencari pola yang cocok
untuk kondisi masyarakat Indonesia yang heterogen. Hal yang menyulitkan bagi
pemerintah orde baru adalah usaha kodifikasi dan unifikasi bidang hukum
tertentu. Kesulitan ini disebabkan adanya semangat dan kemajemukan tatanan
hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat yang meliputi hukum
Barat, hukum adat, dan hukum Islam. Ketiga hukum tersebut merupakan sumber
produk hukum nasional.24
Menurut PP yang terdiri dari 13 pasal itu, Pengadilan Agama tingkat pertama
disebut dengan nama Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah, sedangkan
tingkat banding disebut Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah Provinsi.
Wewenang Pengadilan Agama termuat dalam pasal 4 yang berbunyi sebagai
berikut (Azizy, 2001: 143-4):
1) Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah memeriksa dan memutuskan
perselisihan antara suami istri yang beragama Islam dan segala perkara yang
menurut hukum yang hidup diputus menurut hukum agama Islam yang
berkenaan denga nikah, talak, ruju’, fasakh, nafaqah, mas kawin (mahar),
tempat kediaman (maskan), mut’ah dan sebagainya, hadhanah, perkara waris,
wal waris, wakaf, hibah, sadaqah, baitul mal dan lain-lain yang berhubungan
dengan itu, demikian juga memutuskan perkara perceraian dan mengesahkan
bahwa syarat ta’lik sudah berlaku.
2) Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah tidak berhak memeriksa perkara-25
perkara yang tersebut dalam ayat (1), kalau untuk perkara itu berlaku hukum
lain daripada hukum agama Islam.
Dengan diberlakukannya PP No. 45 Tahun 1957, maka di Indonesia ada 3
peraturan tentang susunan dan kekuasaan peradilan agama, yaitu :
1. Staatsbland 1882 No. 152 jo. Staatsbland 1937 No. 116 dan 610 untuk Jawa
dan Madura
24
M. Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan, dan Acara Peradilan Agama: Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1989 (Jakarta: Pustaka Kartini, 1993), h. 17.
25
A. Qodri Aziziy, Eklektisisme Hukum Nasional, Gama Media, Yogyakarta, 2002, hlm. 142

14
2. Staatsbland 1937 No. 638 dan 639 untuk daerah Kalimantan Selatan
3. PP. No 45 Tahun 1957 (LN tahun 1957 No. 99) untuk daerah-daerah selain
Jawa dan Madura dan Kalimantan Selatan.

Sampai akhir kepemimpinan Presiden Soekarno relatif tidak ada perubahan


yang berarti terhadap peradilan agama sejak PP No. 45 Tahun 1957 tersebut.
Perubahan selanjutnya terjadi pada masa sesudah Presiden Soekarno yaitu masa
Orde Baru.

3. Orde Reformasi

Perkembangan peradilan di fase/era reformasi ini ada dua periode dalam melahirkan
undang-undang Peradilan Agama yakni periode 2006-2009 dan periode 2009-sekarang.
Orde reformasi ini juga dikenal sebagai masa kebebasan dalam mengeluarkan pikiran
dan pendapat. Demonstrasi terjadi dan bergulir di berbagai penjuru kota di Indonesia.
Dalam era ini tumbanglah orde baru tahun 1998, lahirlah partai-partai Islam untuk
dijadikan sebagai wadah aspirasi umat Islam. Namun, di balik kebebasan itu, lahir
produk hukum Islam seperti undang-undang zakat, haji, perwakafan, hingga terakhir
adalah undang-undang sisdiknas serta rancangan undang-undang pornoaksi dan
pornografi . Sebelum diundangkan undang-undang tersebut oleh DPR, terjadi
gelombang massa, baik yang mendukung maupun yang menolak terutama rancangan
undang-undang tentang pornogarfi dan pornoaksi. Terakhir dalam Peradilan Agama
sebagai produk pemikiran hukum Islam adalah undang-undang tentang hukum pidana
Islam, yang kini sedang digodok di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Semoga dalam waktu yang tidak terlalu lama dapat diundangkan, sehingga hukum
Islam dalam lembaga Peradilan Agama di Indonesia semakin mencapai titik klimaks.26

Orde reformasi melahirkan dua kurun waktu atau periode dalam melahirkan
peraturan perundang-undangan, yaitu periode tahun 2006-2009 dan 2009-sekarang
sebagai buah dari era reformasi. Kedua kurun waktu ini melahirkan undang-undang
Peradilan Agama menuju pada penyatuan atap lembaga peradilan dalam wadah
Mahkamah Agung Republik Indonesia. Lembaga-lembaga peradilan (Peradilan Umum,

26
Siregar, S.H., Prof. Dr. Mr. Hazairin Seorang Mujahidin Penegak Hukum Berdasar Ketuhanan Yang
Maha Esa,” dalam Pembaharuan Hukum islam Di Indonesia, (Jakarta: UIP, Tanpa tahun),
hal. 3.

15
Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara) menyatu dalam
naungan Mahkamah Agung RI.27

Menurut pendapat Penulis bahwa Hasil dari reformasi tentang Peradilan Agama
adalah dengan mengamandemen pertama Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yakni UndangUndang Republik Indonesia
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (perubahan pertama). Perubahan
pertama undang-undang Peradilan Agama ini, belum secara menyeluruh mengatur
penyatuan atap lembaga Peradilan Agama pada Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Oleh karenanya diperlukan undang-undang yang lebih memadai menampung aspirasi
masyarakat Islam yang berkembang, yakni Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

E. Pendapat

Bahwa Perceraian merupakan putusnya ikatan dalam hubungan suami istri berarti
putusnya hukum perkawinan sehingga keduanya tidak lagi berkedudukan sebagai suami istri
dan tidak lagi menjalani kehidupan bersama dalam suatu rumah tangga. Dalam Islam,
Perceraian merupakan perkara halal tapi dibenci oleh Allah. Namun demikian perceraian
merupakan hal yanh diperbolehkan dalam islam dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Sama halnya dengan Pernikahan, Perceraian dalam islam juga diatur ketentuan nya dalam
hukum Fikih serta dilindungi oleh hukum peradilan yang berlaku. Dengan ini diharapkan
Agar dapat melindungi dan menjaga hak-hak semua pihak.

Mempertahankan pernikahan dalam sebuah rumah tangga itu memang menjadi ujian
bagi mereka yang sudah mengarungi bahtera rumah tangga. Ibarat kapal yang sedang
berlabuh maka pasti akan diterjang ombak yang besar. Sama halnya dengan pernikahan pasti
akan dicoba dengan ujian dalam rumah tangga. Entah itu masalah Ekonomi, Perselingkuhan,
dan lain-lain penyebabnya yang pada akhirnya berakhir dengan perceraian. Maka menikah
bukan hanya sekedar mampu secara finansial tetapi juga harus mampu secara mental. Kedua
pasangan harus mampu memahami hak dan kewajiban sebagai suami dan istri. Sehingga
tercipta keharmonisan dalam rumah tangga.

27
Mukti Arto, Mencari Keadilan, (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 11.

16
Pengadilan atau Mahkamah adalah sebuah forum publik, resmi, di mana kekuasaan
publik ditetapkan oleh otoritas hukum untuk menyelesaikan perselisihan dan pencarian
keadilan dalam hal sipil, buruh, administratif, dan kriminal di bawah hukum. Peradilan
Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara- antara
orang-orang yang beragama Islam di bidang: perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat,
infaq, shadaqah dan ekonomi syariah.

F. Kritik

Bukanlah negara sekuler. Kehidupan bernegara tidak bisa dipisahkan dari agama,
karena pasal 29 ayat 1 UUD 1945 menyebutkan bahwa negara berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Artinya, semua peraturan perundangan perundang-undangan tidak boleh
bertentangan dengan ajaran agama. Bagi umat Islam, hukum Allah yang termaktub dalam Al-
Quran dan Sunnah harus menjadi panduan dalam semua segi kehidupan, termasuk menjadi
sumber inspirasi dalam penyusunan hukum di negeri ini. Tak perlu dipertentangkan antara
hukum syariat dengan hukum negara. Tak perlu dikhawatirkan pula bahwa umat Islam di
Indonesia akan digolongkan ke dalam kelompok.

Hukum syariat sudah diserap dalam berbagai produk hukum di Indonesia, kecuali
pelaksanaan hukum pidana (jinayat). Bahkan, pengadilan agama sudah diterapkan sejak tahun
1964 oleh Presiden Soekarno. Kemudian, diperkuat lagi oleh Presiden Soeharto pada tahun
1970. Saat ini, pengadilan agama baru mengurusi beberapa hukum syariat, seperti
perkawinan, perceraian dan warisan. “Apakah hukum pidana Islam juga bisa diperluas di
Pengadilan Agama, tergantung perkembangan sosial politik”.

Dalam perjalanannya, syariah Islam tak bisa dilepaskan dari dinamika demokrasi dan
penegakan hukum di Indonesia. Karena, fungsi hukum sesungguhnya bertujuan untuk
menciptakan ketertiban dan keseimbangan sosial, bukan untuk menciptakan ketakutan.
Begitu pula, yang menjadi spirit dalam pidana Islam. Prinsip yang harus dianut, menurut
Prof. Aidul adalah ‘restorative justice’, artinya hukum harus berusaha mendidik masyarakat

17
memiliki kesadaran hukum. “Tujuan pidana itu bukan sekedar menciptakan efek jera, tapi
merehabilitasi pelaku pidana,” jelasnya.28

Pada akhirnya, penjara harus mulai ditinggalkan, karena terbukti tak memberikan efek
jera. Karena itulah, peran dakwah begitu sangat penting dalam membangun masyarakat yang
berakhlak mulia. Upaya kritis yang dilakukan oleh sebagian masyarakat seharusnya dipahami
sebagai bentuk kecintaan terhadap bangsa ini dalam mengamalkan nilai-nilai Pancasila. Siapa
pun bisa melakukan kesalahan. Tapi, sahabat sejati itu adalah yang selalu mengingatkannya
jika ia berbuat salah, bukan mendorongnya semakin terperosok dalam kehancuran.

G. Analisis

Berdasarkan realita yang ada bahwa Peradilan Agama merupakan lembaga peradilan
di Indonesia yang bernaung dalam salah satu lembaga tinggi negara yang bernama
Mahkamah Agung Republik Indonesia, yang telah menyatu dalam atap yang sama dengan
peradilan lainnya (Peradilan Umum, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara).
Lembaga Peradilan Agama dalam pengembangannya di Indonesia telah melahirkan undang-
undang sebagai landasan yuridis formal. Undang-undang tentang Peradilan Agama
merupakan sebuah hasil dari tuntutan sekaligus kebutuhan masyarakat Indonesia sebagai
masyarakat muslim pencari hukum dan keadilan dalam wadah negara kesatuan Republik
Indonesia.29

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama


telah mengalami perubahan dua kali. Mengingat karena tidak sesuai dengan perkembangan
zaman, sehingga diubah sebagaimana dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3
Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama. Pengembangan undang-undang ini semakin menuntut
masyarakat agar lebih disesuaikan lagi dengan kemajuan zaman, sehingga berubah untuk
kedua kalinya, sebagaimana Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama. Undang-undang mengenai Peradilan Agama ini telah mengalami
28
https://hidayatullah.com/artikel/opini/2020/12/29/198372/catatan-kritis-penegakan-hukum-di-
indonesia.html. Diakses pada tanggal 22 mei 2023
29
Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, Cetakan ke-1, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
1997), h. 228.

18
perubahan dua kali selama kurun waktu dua puluh tahun, mulai tahun 1989 sampai 2009.
Namun demikian, seharusnya undang-undang ini diamandemen lagi dengan khusus
melahirkan produk yang membahas tentang materi perkara tertentu dengan Pengadilan
Khusus yang mengadili perkara pidana khusus akibat yang ditimbulkan oleh perkara tertentu
tersebut.30

Perkara yang banyak terjadi dalam masyarakat Islam adalah menyangkut ekonomi
syari’ah yang kini sedang menjamur di Indonesia. Ekonomi syari’ah telah berkembang dan
banyak diminati oleh investor, baik dari dalam maupun dari luar negeri. Materi ekonomi
syari’ah ini merupakan objek yang baru bagi Pengadilan Agama di Indonesia. Dalam materi
ekonomi syari’ah tersebut meliputi berbagai istilah yang kesemuanya adalah bagian-bagian
yang tidak dapat dipisahkan dengan objek hukum lainnya seperti hukum perkawinan, hukum
kewarisan, dan hukum perwakafan. Dengan adanya Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, maka orang-orang yang beragama Islam tidak lagi
melakukan pilihan hukum pada Peradilan Umum (Pengadilan Negeri) menyangkut perkara
tertentu. Apabila terjadi sengketa hak milik yang subjek hukumnya antara orang-orang yang
beragama Islam, maka objek sengketa tersebut diputus oleh Pengadilan Agama.

Oleh karena itu, eksistensi hukum Islam dalam hukum nasional semakin kuat, dan
para pencari keadilan dalam perkara tertentu bagi umat Islam tidak lagi seenaknya memilih
kepastian hukum. Hukum Islam dalam hukum nasional di Indonesia bagaikan satu mata
rantai yang tidak dapat dipisahkan, dan hukum Islam tetap eksis dalam hukum nasional
sepanjang zaman di Indonesia. Perkembangan kewenangan lembaga Peradilan Agama di
Indonesia semakin meluas, bahkan mengarah pada pengembangan dan penerapan pidana
Islam adalah suatu hal yang tidak mustahil terjadi, tergantung pada pemegang kekuasaan
eksekutif dan legislatif di negara Republik Indonesia ini. Kalau pemegang kendali kekuasaan
dalam hal ini pemerintah yang kecenderungannya memperhatikan kemaslahatan umat Islam,
itulah yang akan muncul dan dipatuhi oleh masyarakat secara umum, dan dipatuhi oleh
masyarakat muslim secara khusus.

30
T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997,
hlm. 39-41.

19
H. Simpulan

Peradilan menurut istilah ahli fiqih adalah: Lembaga hukum (tempat dimana
seseorang mengajukan mohon keadilan dan perkataan yang harus dituruti yang diucapkan
oleh seseorang yang mempunyai wilayah umum atau menerangkan hukum agama atas dasar
harus mengikutinya. Dalam literatur fikih Islam, untuk berjalannya peradilan dengan baik dan
normal, diperlukan adanya enam unsur, yakni: 1) Hakim atau qadhi, 2) Hukum, 3) Mahkum
Bihi, 4) Mahkum Alaih, 5) Mahkum Lahu 6) Putusan.

Kedudukan Fiqh Dalam Sistem Hukum Indonesia Pada umumnya masyarakat Islam,
khususnya masyarakat Islam Indonesia, memandang fiqh identik dengan hukum Islam, dan
hukum Islam dipandang identik dengan aturan Tuhan. Dengan cara pandang itu, maka kitab-
kitab fiqh dipandang sebagai kumpulan hukum Tuhan, dan karena hukum Tuhan adalah
hukum yang paling benar dan tidak bisa dirubah maka kitab-kitab fiqh bukan saja dipandang
sebagai produk keagamaan, tapi sebagai buku agama itu sendiri. Akibat lebih lanjut dari
kedudukan fiqh yang diidentikkan dengan agama itu, juga mempunyai kedudukan tinggi,
bukan saja sebagai orang yang memaklumi produk pemikiran keagamaan tapi sebagai
penjaga hukum agama itu sendiri.

20
Hukum melalui Pengadilan Agama telah berlangsung hampir pada setiap kesultanan
yang ada. Selanjutnya terlihat Sultan telah mengangkat para hakim dari kelompok ulama dan
fuqaha yang secara langsung akan menerapkan hukum lewat Pengadilan. Juga menteri hukum
yang diterapkan ini terdiri dari fiqh mazhab Syafi'i. Peradilan Agama mendapat pengakuan
secara resmi. Pada tahun 1882 pemerintah kolonial mengeluarkan Staatsblad. Dan pada
Staatsblad ini mencabut wewenang yang dipunyai oleh Peradilan Agama dalam persoalan
waris dan persoalan-persoalan lain yang berhubungan dengan harta benda, terutama tanah.
Sejak itulah kompetensi Peradilan Agama hanya pada masalah perkawinan dan perceraian.
Selanjutnya pada Orde reformasi dikenal sebagai masa kebebasan dalam mengeluarkan
pikiran dan pendapat. Demonstrasi terjadi dan bergulir di berbagai penjuru kota di Indonesia.
Dalam era ini tumbanglah orde baru tahun 1998, lahirlah partai-partai Islam untuk dijadikan
sebagai wadah aspirasi umat Islam. Namun, di balik kebebasan itu, lahir produk hukum Islam
seperti undang-undang zakat, haji, perwakafan, hingga terakhir adalah undang-undang
sisdiknas serta rancangan undang-undang pornoaksi dan pornografi.

F. Bibliografi

A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia (Prenada Media, 2010).


A. Qodri Aziziy, Eklektisisme Hukum Nasional, Gama Media, Yogyakarta, 2002.
A. Rahmat Rosyadi dan M. Rais Ahmad, op.cit. Lihat pula, Islamic Law Societ di:
http://www.scribd.com/doc/38116797/ tentang SejarahPeradilan-Agama.
Abdul Aziz Dahlan, et al., Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 2 (Cet. V; Jakarta: Ichtiar Baru
van Hoeve, 2001).
Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, Raja Grafindo Persada,
jakarta, 2000.
Aden Rosadi, Peradilan Agama di Indonesia Dinamika Pembentukkan Hukum, (Bandung:
Simbiosa Rekatama Media, 2015).
Agus Toni, “Aktualisasi Hukum Perceraian Perspektif Pengadilan Agama di Indonesia,”
MAQASHID Jurnal Hukum Islam 1, no. 2 (21 September 2018),
https://doi.org/10.35897/maqashid.v1i2.
Amrullah Ahmad, dkk., Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasioal, Cet. Ke-1
Gema Insani Press, Jakarta, 1996 M.

21
Arto, Mukti. (2012). Peradilan Agama dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia: Kajian
Historis, Filosofis, Ideologis, Politis, Yuridis, Futuristis dan Pragmatis.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Cik Hasan Basri, Peradilan Agama di Indonesia, Cet. Ke-1, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 1996 M.
Djalil, A. Basiq. (2006). Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Kencana.
Dudung Abdurrahman, dkk., Sejarah Peradaban Islam: dari Masa Klasik Hingga Modern
(Cet. I; Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga-Lesfi, 2003).

Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, Cetakan ke-1, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 1997), h. 228.

https://hidayatullah.com/artikel/opini/2020/12/29/198372/catatan-kritis-penegakan-hukum-
di-indonesia.html. Diakses pada tanggal 22 mei 2023

Jurnal At-Tafkir Vol. XI No. 1 Juni 2018


M. Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan, dan Acara Peradilan Agama: Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 (Jakarta: Pustaka Kartini, 1993).
Mr. R. Tresno, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, W. Versluys N.V., Jakarta, 1957.
Mukti Arto, Mencari Keadilan, (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2001).
Renny Supriyatni, “(application Fiqh Muamalah Religious Court as a Basis for Authority
Dispute Settlement in Islamic Economics),” Pustaka, Unpad, 2013.
Sajuti Thalib, dkk., Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, UI Press, 1976 M. Rachmat
Djatmika, dkk., Hukum Islam di Indonesia, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung,
1991 M.
Salim Dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis Dan
Disertasi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2016).
Siregar, S.H., Prof. Dr. Mr. Hazairin Seorang Mujahidin Penegak Hukum Berdasar
Ketuhanan Yang Maha Esa,” dalam Pembaharuan Hukum islam Di Indonesia,
(Jakarta: UIP, Tanpa tahun).
Sulaikin Lubis, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia (Kencana, 2018).
Supardin, Fikih peradilan agama di Indonesia: rekonstruksi materi perkara tertentu, Cetakan
I (Makassar: Alauddin University Press, 2014).
T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, Semarang: Pustaka Rizki
Putra, 1997, hlm. 39-4

22
Zainal Asikin, Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2015).

23

Anda mungkin juga menyukai