PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia adalah mahluk bermasyarakat, yang tidak dapat hidup sendiri. Manusia
memerlukan pertolongan satu sama lainnya dan persatuan dalam memperoleh
kemajuannya. Disamping itu tiap-tiap individu manusia, memiliki kepentingan dari
awal sampai akhir hidupnya, bahkan sebelum dilahirkan ke dunia memiliki kepentingan
juga sampai sesudah dikuburkannya.
Tiap-tiap kepentingan antara satu dengan yang lainnya ada yang sama dan ada
yang berbeda dan bahkan ada yang bertentangan sehingga menimbulkan konflik. Semua
ini memerlukan perlindungan dan pengaturan. Karena setiap individu manusia
mempunyai keinginan dan untuk memperoleh keinginan tersebut akan timbul
persaingan, perlombaan, penyerobotan, penganiayaan, dsb.
Supaya keadilan tetap hidup dan tata tertib hidup dapat dipelihara dengan
semestinya diperlukan adanya aturan hukum Islam dalam mewarnai sistem hukum yang
ada di Indonesia berupa fatwa, qadha, dan qonun yang dapat melaksanakan dengan
sempurna dan seksama untuk mencegah ketidakteraturan dan ketidakadilan agar
kepentingan bersama dapat dilaksanakan seperti yang diharuskan oleh peraturan
tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana definisi Fatwa, Qadla, dan Qonun secara hakikatnya ?
2. Bagaimana ruang lingkup dari masing-masing Fatwa, Qadla, dan Qonun
dalam penerapan terhadap hukum ?
1
BAB II
PEMBAHASAN
1
Yusuf Qharḍawi, Fatwa Antara Ketelitian & Kecerobohan. (Jakarta: Gema Insani Press,1997) h.5
2
Rohadi Abdul Fatah, Analisis Fatwa Keagamaan dalam Fiqih Islam, ( Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2006),
h.7
3
Wael B. Hallaq, “ From Fatwās to Furū' : Growth and Change in Islamic Subtantive Law”. dalam
Islamic Law Society, edisi no.1 Vol.1 1994 , h.64
2
Dalam ilmu Uṣul Fiqh, fatwa berarti pendapat yang dikemukakan seorang
mujtahid atau fāqih sebagai jawaban yang diajukan peminta fatwa dalam suatu kasus
yang sifatnya tidak mengikat.4 Fatwa juga dapat diterjemahkan sebagai petuah, nasehat,
jawaban atas pertanyaan yang berkaitan dengan hukum.5
Sedangkan secara terminologi, sebagaimana dikemukakan oleh Zamakhysri
fatwa adalah penjelasan hukum syara' tentang suatu masalah atas pertanyaan seseorang
atau kelompok yang belum terdapat dalil yang jelas tentang suatu hukum. Menurut al-
Syāṭibi, fatwa dalam arti al-iftā’ berarti keterangan-keterangan tentang hukum syara'
yang tidak mengikat untuk diikuti.6 Menurut kitab Maṭalib Ūly al-Nuhā fi-Syarḥ
Ghayah al-Munṭaha, pengertian fatwa adalah menjelaskan hukum syar'i kepada
penannya dan tidak mengikat untuk dipilih.7 Menurut Yusuf Qarḍawi, fatwa adalah
menerangkan hukum syara' dalam persoalan yang tidak ada nash secara jelas tentang
suatu hukum sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa
(mustafti) baik secara perorangan maupun kolektif.8
Fatwa mempunyai kedudukan penting dalam agama Islam. Fatwa atau
ketetapan ulama dipandang menjadi salah satu alternatif yang bisa memecahkan
kebekuan dalam perkembangan hukum Islam. Hukum Islam yang dalam penetapannya
tidak bisa terlepas dari dalil-dalil keagamaan (al-nuṣhuṣ alsyari'iyah) menghadapi
persoalan serius ketika berhadapan dengan permasalahan yang semakin berkembang
yang tidak tercangkup dalam naṣh-naṣh keagamaan. Naṣh-naṣh keagamaan telah
berhenti secara kuantitasnya, akan tetapi diametral permasalahan dan kasus semakin
berkembang pesat seiring dengan perkembangan zaman.9 Dalam kondisi seperti inilah
fatwa menjadi salah satu alternatif jalan keluar mengurai permasalahan dan peristiwa
yang muncul.
4
Abdul Aziz Dahlan, et.al., Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta : Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), h. 326
5
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1997), h. 275
6
Waḥbah Zuhaily, Uṣul Fiqh, t.tp, (Mansyurat Kuliah Da'wah Islamiyah, 1990), h.98
7
Maṭalib Ūly al-Nuhā fi Syarḥ Ghayah al-Munṭaha, (Beirut: Dār al-Fikr), h. 168
8
Yusuf Qarḍawi, Fiqh Prioritas, (Mansyurat Kuliah Da'wah Islamiyah, 1990), h. 203
9
Maslihan Mohammad Ali, Sejarah Revitalisasi Pemikiran Hukum dalam Metodologi Fatwa, dalam
Ahmad Dimyati, (dkk), Rekontruksi Metodologi Fatwa Perbankan Syariah, (Pati; The Center of Shariah Banking
Fatwa, 2015). h. 21-22
3
2. Qadha’
Qadha’ ( ) القضاءmenurut bahasa memiliki arti peradilan . Qadha’ sendiri
memiliki beberapa arti, yaitu memutuskan atau menghukum antara dua orang yang
berkelahi. Qadha’ juga berarti mencegah atau menghalang-halangi.10
Menurut definisi, Salam Madkur lebih jauh mengemukakan beberapa definisi.
Ada definisi yang berbunyi “menyampaikan hukum syar’i dengan jalan penetapan. Ada
pula yang menyatakan bahwa Qadha’ adalah mencampuri urusan antara makhluk
dengan khaliknya untuk menyampaikan perintah-perintah dan hukum-hukumNya
kepada mereka dengan perantaraan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Atau secara ringkas,
menyelesaikan sengketa antara dua pihak dengan (menggunakan) hukum Allah.11
Dari beberapa pengertian di atas dapat dipahami bahwa pada prinsipnya
peradilan (al-Qadha’) adalah upaya untuk menyelesaikan suatu sengketa. Dengan
demikian ia mengandung makna proses, yakni proses penyelesaian suatu sengketa
dengan berpedoman pada aturan-aturan tertentu, yang dalam konteks ini adalah
peraturan atau hukum Allah swt.
Qadha’ adalah vonis atau keputusan yang dilakukan oleh seorang hakim atau
qadhi atas suatu perkara atau perseteruan yang terjadi antara dua belah pihak atau lebih.
وم
ِ صُ قاضي ب ْين ا ْل ُخ
ِ فصْل ا ْل
”Keputusan yang ditetapkan oleh qadhi di antara pihak-pihak yang bersengketa”
Dalam prakteknya, seorang Qadhi terikat pada Qanun atau undang-undang yang
berlaku di suatu wilayah hukum. Qadha atau ketetapan yang diambil seorang Qadhi
sifatnya mengikat. Orang-orang yang telah ditetapkan hukumnya oleh Qadhi, wajib
menjalankannya. Bila ketetapan itu berupa vonis hukuman, seperti penjara, hukum
cambuk, hukum rajam dan seterusnya, maka dia wajib menjalaninya.
Berbeda dengan fatwa yang sifatnya tidak mengikat. Seseorang yang meminta
fatwa kepada mufti, boleh menjalankan hasil fatwa itu kalau dia mau, tetapi tidak ada
kesalahan bila dia menolak isi fatwa itu. Dan atas penolakannya itu, dia tidak terikat
dengan sanksi apa pun.
10
H. Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsiran
Al-Qur’an, t.th..) , h. 347
11
Muhammad Salam Madkur, al-Qadhau fi al-Islam. Diterjemahkan oleh Imran A.M., dengan judul
Peradilan dalam Islam (Cet. IV; Surabaya: PT. Bina Ilmu , 1988), h. 20.
4
Perbedaan lainnya adalah fatwa itu berangkat dari sebuah pertanyaan, dimana
seorang mufti kemudian menjawab pertanyaan itu. Sedangkan qadha’ berangkat dari
persengketaan, dimana ada dua belah pihak atau lebih yang bersengketa atas suatu
masalah, lalu qadhi memutuskan perkara di tengah mereka. Persamaan antara fatwa
dengan qadha, antara lain sama-sama bersumber kepada Al-Quran dan As-Sunnah serta
sumber-sumber hukum Islam penunjang lainnya.12
Dalam literatur fikih Islam, untuk berjalannya peradilan dengan baik dan
normal, diperlukan adanya enam unsur, yakni:
b. Hukum
Yaitu putusan hakim yang ditetapkan untuk menyelesaikan suatu
perkara. Hukum ini adakalanya ilzam, yaitu seperti hakim berkata: “saya
menghukum engkau dengan membayar sejumlah uang”. Putusan yang seperti
ini dinamakan qadha ilzam atau qadha isthiqaq.
Dalam pada itu ada yang berpendapat bahwa qadha ilzam ini, ialah
menetapkan sesuatu dengan dasar yang meyakinkan, seperti berhaknya
seseorang anggota serikat untuk mengajukan hak syuf’ah, sedang qadha
isthiqaq ialah menetapkan sesuatu dengan hukum yang diperoleh dari ijtihad,
seperti halnya seseorang tetangga mengajukan hak syuf'’ah.14
Terkadang qadha ilzam atau qadha isthiqaq diwujudkan dengan
perbuatan, seperti tindakan hakim mengadakan pembagian secara paksa, dan
adakalanya dengan menolak gugatan, yaitu apabila si penggugat tidak
12
Hanif Luthfi, Mengenal Lebih Dekat MUI ( Jakarta: Rumah Fiqih Publishing, 2019) h. 17-19
13
Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 5
14
Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, h. 5
5
sanggup memberi bukti dan telah pula disumpah pihak tergugat, maka
gugatan itu menjadi gugur, dan qadha itu dinamakan qadha-ut tarki.15
c. Mahkum bih
Di dalam qadha ilzam dan qadha isthiqaq, ialah sesuatu yang diharuskan
oleh qadhi supaya si tergugat memenuhinya, dan didalam qadha-ut tarki ialah
menolak gugatan. Ringkasnya mahkum bih adalah suatu hak.
e. Mahkum lahu
Yaitu orang yang menggugat suatu hak, baik hak itu yang murni baginya
atau terdapat dua hak tetapi haknya lebih kuat. Dalam hal ini haruslah ia
mengajukan gugatan, meminta agar dikembalikan haknya, baik dia bertindak
sendiri ataupun dengan perantaraan wakilnya. Dan di dalam memutuskan
perkara, boleh dia sendiri yang menghadiri sidang pengadilan ataupun
wakilnya.
Dari uraian tersebut secara hakikatnya qadha adalah memutuskan perkara hanya
dalam suatu kejadian yang diperkarakan oleh seseorang terhadap lawannya, dengan
mengemukakan gugatan-gugatan yang dapat diterima, oleh karena itu pula sesuatu yang
bukan merupakan satu peristiwa atau kejadian, dan hal-hal itu yang masuk ke dalam
bidang ibadah, tidak dimasukkan ke dalam bidang peradilan.
15
Hasbi Ash-Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), h.
40
16
Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, h. 5
6
3. Qanun
Lebih lanjut merujuk pada pendapat dari A. Qodri Azizy, beliau menjelaskan
istilah qanun sebagai sebuah terminologi hukum sudah dipakai oleh al-Mawardi dalam
kitabnya al-ahkam al-Sultaniyah. Dalam praktiknya, penggunaan kata qanun digunakan
untuk menunjukkan hukum yang berkaitan dengan masyarakat (mu’amalat bayna al-nas)
bukan ibadah.
Selain itu, istilah qanun dipakai juga untuk dokumen-dokumen yang bernuansa
hukum, seperti daftar (list), rekaman pajak tanah (register and list recording land taxes).
Mahmassani dalam bukunya menyebutkan tiga macam makna qanun :19
17
Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka), h. 442
18
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta : PT Hidakarya Agung, 1989), h. 357
19
M. Solly Lubis. Aceh Mencari Format Khusus. Jurnal Hukum, Vol. 01. No.1 Tahun 2005, h. 6.
7
Qanun adalah undang-undang atau hukum positif yang berlaku di suatu
wilayah hukum. Qanun yang berlaku di suatu negara Islam, bisa saja bersumber dari
sejumlah hasil fatwa satu atau gabungan dari beberapa mazhab fiqih, namun yang telah
distandarisasi atau dibakukan, sehingga berbentuk aturan yang rinci, terdiri bab, pasal,
ayat, butir dan seterusnya. Secara umum, Qanun bersifat mengikat dan wajib
dilaksanakan, dan sering juga tercantum sanksi dan hukuman yang harus dijatuhkan.
20
Rusdji Ali Muhammad , Revitalisasi Syariat Islam Di Aceh : Problem Solusi dan Implementasinya
Menuju Pelaksanaan Hukum Islam di Nanggroe Aceh Darussalam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2003) h. 8.
8
Oleh karena itu, seorang mufti (pemberi fatwa) tidak ubahnya dengan seorang
mujtahid yang mencurahkan segala kemampuannya untuk menemukan hukum dari
sumber hukum Islam, yakni al-Qur’an dan Hadist.
Secara fungsional, fatwa memiliki fungsi tabyîn dan tawjîh. Tabyîn artinya
menjelaskan hukum yang merupakan regulasi praksis bagi masyarakat, khususnya
masyarakat yang memang mengharapkan keberadaannya. Taujîh, yakni memberikan
guidance (petunjuk) serta pencerahan kepada masyarakat luas tentang permasalahan
agama yang bersifat kontemporer.
Fungsi tabyin dan tawjih fatwa terikat dalam fungsi keulamaan, sehingga
fatwa syar’iyah yang telah dikeluarkan sejak generasi sahabat, tabi’in, tabiut tabi’in dan
generasi sesudahnya hingga generasi ulama sekarang. Karakteristik fatwa klasik lebih
bersifat individual dan mandiri, kemudian dalam era mazhab fatwa-fatwa yang dibuat
berada dalam lingkup mazhab fiqh tertentu. Sedangkan fatwa kontemporer sering
bersifat lintas mazhab atau paduan (talfîq) antar mazhab-mazhab. Pendekatan ini
tumbuh seiring dengan berkembangnya kajian perbandingan antara mazhab. Adapun
fatwa-fatwa yang terjadi saat ini, ada yang merupakan fatwa fardiah (individual), tetapi
lebih banyak yang bersifat konsultatif, koneksitas atau kadang bersifat kolektif dan
melembaga seperti fatwa organisasi kemasyarakatan.
Berdasarkan sumber hukum yang berlaku dalam sistem hukum nasional,
yakni dalam sistem hukum nasional secara formal terdapat lima sumber hukum, adapun
sumber hukum tersebut sebagai berrikuti : undang-undang, kebiasaan, putusan hakim
(yurisprudensi), traktat, serta doktrin (pendapat pakar pakar/ahli hukum). Kemudian
untuk dapat mengetahui tata urutan peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia, maka bisa dilihat dalam undang-undang no 10 tahun 2004 tentang peraturan
perundang-undangan, tepatnya dalam pasal 7 sebagai berikut: Undang-Undang Dasar
1945, undang-undang/peraturan pemerintah pengganti undang-undang, peraturan
pemerintah, peraturan presiden, peraturan daerah, yang meliputi: peraturan daerah
provinsi, peraturan daerah, kabupaten/ kota, peraturan desa.
Sumber hukum positif dalam sistem hukum nasional di atas dan dalam tata
urutan peraturan perundang-undangan, sebagaimana telah disebutkan dalam Undang-
Undang No 10 Tahun 2004 tentang peraturan perundang-undangan, tidak menyebutkan
9
fatwa sebagai bagian dari dasar hukum di negara ini, sehingga fatwa tidak dapat
dijadikan sebagai landasan hukum.
Fatwa hanya sebagai suatu pendapat atau nasehat yang disampaikan oleh para
ahli hukum Islam yang tergabung dalam suatu wadah organisasi, seperti MUI,
Muhammadiyah, NU, Persis, dan lembaga lainnya. Sehingga fatwa dapat dikorelasikan
dengan sumber hukum formal dalam sistem hukum nasional, yakni kedudukan fatwa
sama dengan doktrin yang merupakan pendapat pakar atau pendapat para ahli di bidang
hukum positif. Dalam praktik, doktrin (pendapat ahli hukum) banyak mempengaruhi
pelaksanaan administrasi Negara, demikian juga dalam proses pengadilan. Seorang
hakim diperkenankan menggunakan pendapat ahli untuk dijadikan sebagai
pertimbangan hakim dalam memutus sebuah perkara, kemudian bagi seorang
pengacara/pembela yang sedang melakukan pembelaannya pada suatu perkara perdata,
seringkali mengutip pendapat-pendapat ahli sebagai penguat pembelaannya.
Begitu pula dengan fatwa, dalam sejarah Peradilan Agama di Indonesia,
Pengadilan Agama untuk dapat memeriksa, menangani, dan memutus perkara perdata
(masalah kekeluargaan, kewarisan, perceraian, dan lain sebagainya), maka Pengadilan
Agama memakai fatwa sebagai landasan hukum, yakni fatwa disepakati oleh
Mahkamah Agung bersama Pengadilan Agama. Kemudian sebagai contoh bahwa fatwa
juga telah digunakan oleh hakim sebagai pertimbangan dalam memutus perkara perdata
yakni pada undang-undang no. 3 tahun 2006 tentang Pengadilan Agama disebutkan
bahwa Pengadilan Agama berwenang untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah,
maka dari itu produk fatwa MUI dijadikan sebagai dasar untuk memutus sebelum ada
undang-undang tentang ekonomi syari’ah, misalnya fatwa MUI no 21 tahun 2001
tentang pedoman umum asuransi syari’ah, fatwa MUI no 3 tahun 2003 tentang zakat
penghasilan, dan fatwa-fatwa lain tentang ekonomi yang berbasis syari’ah.
Seorang hakim juga menggunakan INPRES no. 1 tahun 1991 yang sering
disebut sebagai KHI (Kompilasi Hukum Islam) sebagai dasar hukum, padahal dalam
sejarah menyebutkan bahwa KHI merupakan hasil ijtihâd ulama imam mahzab, yakni
mahzab Syafi’i, hal ini menyebutkan bahwa ijtihâd ulama sebagai sebuah fatwa telah
mewarnai keberadaan hukum di Indonesia. Fatwa sebagai pendapat ahli dalam hukum
Islam dan doktrin sebagai pendapat ahli dalam hukum positif dapat dipakai sebagai
pertimbangan hakim dalam memutus perkara perdata, namun tidak semua produk fatwa
10
maupun doktrin dipakai oleh hakim, akan tetapi sebagian kecil saja dari fatwa ulama
maupun doktrin (pendapat ahli hukum positif).
Selain itu, fatwa juga mempunyai beberapa perbedaan mendasar dengan
doktrin. perbedaan antara fatwa dan doktrin yakni pertama, dilihat dari objek yang
menjadi fokus pembahasan, pada fatwa yang menjadi fokus pembahasan adalah
berkenaan dengan persoalan agama, khususnya permasalahan hukum Islam.
Sedangkan doktrin yang menjadi fokus pembahasan adalah permasalahan
dalam hukum positif. Kedua, dari segi waktunya fatwa berlaku saat ini juga, sejak fatwa
tersebut dikeluarkan oleh lembaga yang bersangkutan, sedangkan doktrin berlaku
kemudian setelah doktrin tersebut dikeluarkan oleh para pakar dan kadangkala juga
harus diuji terlebih dahulu untuk dapat dipakai dan diberlakukan. Ketiga, fatwa dapat
disampaikan secara individual dan secara kolektif, akan tetapi untuk saat ini seringkali
disampaikan secara secara kolektif, sedangkan doktrin biasanya dikeluarkan oleh
seorang ahli atau seorang pakar hukum.
Sehubungan dengan kedudukan fatwa, maka dapat dipersamakan dengan
doktrin, dan sudah barang tentu kekuatan dari fatwa itu tidak mutlak dan tidak mengikat
sebagaimana berlaku pada ketentuan sebuah undang-undang ataupun putusan hakim
yang sifatnya mengikat, sehingga fatwa tersebut tidak harus diikuti baik oleh pribadi,
lembaga, maupun kelompok masyarakat, karena jelas fatwa tidak mempunyai daya ikat
yang mutlak. Hal ini juga berlaku pada doktrin, doktrin tidak memiliki daya ikat.
Berlakunya sebuah doktrin tergantung pada kewibawaan dari doktrin tersebut, manakala
doktrin tersebut sesuai dengan nilainilai keyakinan yang ada dalam masyarakat, maka
masyarakat akan melaksanakan isi doktrin dan begitu juga sebaliknya, jika doktrin tidak
sesuai dengan nilai-nilai serta keyakinan masyarakat, maka masyarakat akan cenderung
meninggalkan melaksanakan doktrin tersebut. Doktrin baru akan berlaku mengikat
apabila telah diatur dalam peraturan perundangundangan, seperti contoh doktrin
Pancasila.
2. Ruang Lingkup Qadha’
Ketetapan hakim (qadha’) bersifat mengikat bagi seseorang untuk patuh
menjalankan ketentuan yang telah diputuskan sesuai dengan syariat Islam. Sedangkan
fatwa lebih bersifat informatif (ikhbar) tentang ketentuan Allah yang menuntut bagi
11
orang Islam untuk melaksanakan atau hanya sekedar kebolehan.21 Ketetapan hakim
(qadha’) mengharuskan adanya lafaz yang terucap secara jelas, sedangkan fatwa bisa
dalam bentuk perkataan, perbuatan, isyarat dan tulisan.
Ketetapan hukum (qadha’) wajib diterima dan dilaksanakan oleh
terhukum, baik ketatapan hakim tersebut salah ataupun benar. Sedangkan fatwa berbeda
dengan qadha’, pemohon fatwa tidak mempunyai kewajiban untuk menerima apalagi
melaksakan fatwa tersebut.
Fatwa mempunyai impilikasi yang luas dibanding dengan ketetapan yang
diputuskan oleh hakim. Jika fatwa itu tidak sekedar menjangkau pribadi pemohon fatwa
tetapi mencangkup orang banyak, maka ketetapan hakim lebih khusus dan personal,
hanya diperuntukan bagi tersangka atau pihak terhukum.22
Objek permasalahan yang menjadi wilayah garapan qadha’ hanya pada
aspek-aspek muamalah, sedangkan kewenangan produk fatwa menjangkau aspek
ibadah, akhlak, adab dan sekaligus masuk wilayah muamalah; ketatapan hakim hanya
pada masalah hukum wajib, mubah dan haram, tidak menjangkau pada masalah hukum
makruh dan sunah, sedangkan kewenangan fatwa dapat menjangkau pada semua
masalah hukum dan lain-lainnya.23
Disyaratkan bagi seorang hakim itu sosok pribadi yang merdeka, berjenis
kelamin laki-laki, mampu mendengar dan tidak boleh bagi hakim menetapkan hukum
untuk kerabatnya. Sedang, seorang mufti tidak terikat dengan gender dan status dirinya,
apakah ia seorang budak, tidak mendengar atau tidak melihat, tetap mempunyai hak
untuk mengeluarkan fatwa. Bahkan seorang mufti dibolehkan mengeluarkan fatwa bagi
kerabatnya.
Fatwa secara definitif merupakan ketentuan hukum syar’i yang
diinformasikan oleh seorang mufti, sedangkan qadha’ lebih bersifat penegasan yang
memisahkan antara manusia dengan hukum syar’i.
Pada model fatwa mewajibkan bagi pemohon untuk mengikuti mazhab
yang dianut oleh sang mufti, sedangkan qadha’ memungkinkan untuk mengacu kepada
seluruh mazhab yang ada.
21
al-Hathab ar-Ru’aini (w. 954 H), Mawahib al-Jalil fi Syarh Mukhtashar al-Khalil, Juz 1 (Baerut: Daar al-
Fikr, 1412 H), h. 32
22
Hanif Luthfi, Mengenal Lebih Dekat MUI ( Jakarta: Rumah Fiqih Publishing, 2019) h. 17-19
23
Abu al-Abbas Syihabuddin Ahmad bin Idris al-Qarafi, al-Ihkam fi Tamyiz al-Fatawa an al-Ahkam wa
Tasharrufat al-Qadhi, (Baerut: Dar al-Basya’ir al-Islamiyyah, 1416 H), h. 5-6
12
3. Ruang Lingkup Qanun
Kedudukan Qanun diakui dalam hierarki perundang-undangan Indonesia
dan dipersamakan dengan Perda. Pemahaman dalam UU No. 10 Tahun 2004 ini dapat
saja diterima dalam hal kedudukan Qanun. Pemahaman ini akan lebih mempermudah
Pemerintah Pusat dalam melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap daerah,
terutama yang berhubungan dengan pembentukan suatu kebijakan daerah. Hanya saja
tetap harus diperhatikan tentang kekhususan yang diberikan Pusat terhadap NAD.
Contohnya saja, berdasarkan kekhususan yang di berikan Pusat kepada NAD, maka
DPR Aceh dapat mensahkan Qanun tentang jinayat atau peradilan pidana Islam sebagai
hukum acara di Mahkamah Syar’iah.
Hanya saja memang produk dari Qanun ini harus memenuhi syarat-syarat
yang harus dipenuhi oleh Pemerintahan Aceh seperti tidak boleh bertentangan dengan:
aqidah, syar’iyah dan akhlak yang dalam penjabarannya meliputi: ibadah, ahwal al-
syakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana),
qadha’ (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar dan pembelaan Islam.24
Kebijakan ini tentu tidak diperbolehkan dibuat oleh perda-perda lainnya di Indonesia.
Berdasarkan hasil penelitian tentang kedudukan dari Qanun ini, dapat
disimpulkan bahwa pengertian Qanun dapat saja dianggap “sejenis” (atau menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai : semacam, serupa) dengan Perda,
tetapi dari segi isinya berbeda, karena Qanun mempunyai keistimewaan yang tidak
dipunyai oleh daerah-daerah lain di Indonesia.
Adapun kedudukan Qanun terdapat di dalam peraturan perundang-
undangan sebagai berikut: 1. UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi
Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Kedudukan Qanun terdapat di dalam Pasal 1 angka 8 yang mengatakan bahwa : Qanun
Provinsi NAD adalah peraturan daerah sebagai pelaksanaan undang-undang di wilayah
Provinsi NAD dalam rangka penyelenggaraan otonomi khusus; 2. UU No. 10 Tahun
200423 tentang Pembentukan Peraturan Perundang undangan. Penjelasan Pasal 7 ayat
(2) a, yang mengatakan bahwa: Termasuk dalam jenis peraturan daerah provinsi adalah
Qanun yang berlaku di daerah NAD dan perdasus serta perdasi yang berlaku di propinsi
Papua; 3. UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Pasal 21 dan 22
24
Lihat ketentuan dalam Pasal 125 UU No. 11 Tahun 2006
13
menyatakan bahwa : Qanun adalah peraturan perundang-undangan sejenis peraturan
daerah yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat
Aceh.25
25
Ahyar Ary Gayo, “Aspek Hukum Pelaksanaan Qanun Jinayat di Provinsi Aceh,” dalam Jurnal Penelitian
Hukum De Jure, Vol. 17, No. 2, Juni 2017.
14
BAB III
PENUTUP
Dari penjelasan pada bab pembahasan terdapat bebearapa hasil kesimpulan yang
merupakan jawaban dari hasil rumusan masalah yang kami kemukakan. Seperti
pengertian atau definisi yang jelas dari fatwa, qadha’ dan qonun. Masing – masing
memiliki definisi yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya.
Definisi dari fatwa sendiri kami ambil dari pendapat ulama seperti syekh
Zamakhysri yang mana beliau menjelaskan bahwa fatwa adalah penjelasan hukum
syara' tentang suatu masalah atas pertanyaan seseorang atau kelompok yang belum
terdapat dalil yang jelas tentang suatu hukum. Menurut al-Syāṭibi, fatwa dalam arti al-
iftā’ berarti keterangan-keterangan tentang hukum syara' yang tidak mengikat untuk
diikuti. Menurut kitab Maṭalib Ūly al-Nuhā fi-Syarḥ Ghayah al-Munṭaha, pengertian
fatwa adalah menjelaskan hukum syar'i kepada penannya dan tidak mengikat untuk
dipilih. Menurut Yusuf Qarḍawi, fatwa adalah menerangkan hukum syara' dalam
persoalan yang tidak ada nash secara jelas tentang suatu hukum sebagai jawaban atas
pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa (mustafti) baik secara perorangan maupun
kolektif.
15
Qanun adalah undang-undang atau hukum positif yang berlaku di suatu
wilayah hukum. Qanun yang berlaku di suatu negara Islam, bisa saja bersumber dari
sejumlah hasil fatwa satu atau gabungan dari beberapa mazhab fiqih, namun yang telah
distandarisasi atau dibakukan, sehingga berbentuk aturan yang rinci, terdiri bab, pasal,
ayat, butir dan seterusnya. Secara umum, Qanun bersifat mengikat dan wajib
dilaksanakan, dan sering juga tercantum sanksi dan hukuman yang harus dijatuhkan.
Dalam ruang lingkupnya antara fatwa, qadha’ ini saling berhubungan dalam
menentukan kebijakan suatu hukum islam yang dilakukan oleh hakim. Hanya
perbedaannya dalam segi penggunaannya yaitu kalau fatwa tidak terkhusus dari hakim
saja boleh dikelaurkan oleh para ulama’ yang memang sesuai dengan keilmuannya
dalam mengeluarkan fatwa. Dan juga fatwa hukumnya tidak mengikat artinya boleh
dipakai boleh juga tidak berbeda halnya dengan qadha’ semua harus berasal dari
seorang hakim dan putusan yang dikeluarkannya harus diikuti.
Itulah beberapa kesimpulan yang bisa kami rangkum tentang seputar fatwa,
qadha’ dan qonun. Semoga dari pembahasan yang kami paparkan dalam makalah ini
dapat memberikan manfaat bagi kita semua dalam memahami ketiga pengertian
tersebut. Dalam makalah ini kiranya perlu ada pengoreksian karena dalam penyusunan
yang kami lakukan banyak sekali kesalahan dan kekeliruan yang tidak terlepas dari
kekurangan kami sebagai penulis.
16