Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW kepada
keluarganya, sahabatnya dan kita selaku umatnya hingga akhir zaman.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas struktur mata
kuliah Qawaid Fiqhiyyah. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah pengetahu
an untuk para pembaca mengenai materi Kaidah Alwajibu Layutraku illa Liwajibin.
Kami menyadari bahwa dalam proses penyusunan makalah ini masih terdapat banyak
kesalahan, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak khususnya
kepada dosen pengampu mata kuliah Qawaid Fiqhiyyah guna untuk memperbaiki makalah
ini dan pada akhirnya bisa bermanfaat bagi semua pembaca.
Kami mohon maaf jika dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak
kesalahan. Semoga makalah ini terhitung sebagai amal untuk kepentingan bersama. Terima
kasih.
Penulis
I
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................................I
DAFTAR ISI.............................................................................................................................II
BAB I.........................................................................................................................................1
PENDAHULUAN......................................................................................................................1
A. Latar Belakang...................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..............................................................................................................2
C. Tujuan................................................................................................................................2
BAB II........................................................................................................................................3
PEMBAHASAN........................................................................................................................3
B. Dalil Kaidah.......................................................................................................................5
C. Cabang Kaidah...................................................................................................................8
BAB III.....................................................................................................................................12
PENUTUP................................................................................................................................12
A. Kesimpulan......................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................14
II
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam Islam, diantara peninggalan-peninggalan ilmu yang paling besar yang dapat
diwarisi oleh semua generasi dan telah dibukukan adalah ilmu Fiqih, karena ilmu
ini selain merupakan suatu pedoman yang dapat menjaga amalan-amalan manusia
(orang mukallaf) dan memberikan arahan yang harus ditempuh dalam ibadah dan
mumalat, ilmu Fiqih juga menunjukkan jalan yang akan membawa kebahagiaan bagi
umat manusia.
Para ulama’ ushul telah menetapkan sejumlah kaidah-kaidah tasyri’ yang wajib kita
ketahui dan diperhatikan bagi mereka yang hendak menafsirkan nash-nash dari kaidah
tersebut, dan juga memperhatikan hukum yang dihasilkan dari nash-nash, baik nash
Al-Qur’an maupun Hadits serta illat hukumnya dari sesuatu masalah yang ada.
Kaidah “alwajibu layutraku illa liwajibin” merupakan salah satu kaidah fiqhiyah yang
penting untuk diketahui. Hal ini dikarenakan kaidah ini mengandung satu ketentuan
dalam penentuan hukum fiqih. Arti dari kaidah tersebut adalah “sesuatu yang wajib
itu tidak dapat ditinggalkan kecuali untuk memenuhi kewajiban itu sendiri”. Dari arti
kaidah ini dapat diperoleh kejelasan bahwa sesuatu yang wajib dapat ditinggalkan
asalkan untuk memenuhi kewajiban itu sendiri.
3
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kaidah alwajibu layutraku illa liwajibin
Disebut sebagai hukum syariat karena kaidah ini digali dari dalil-dalil syariat, baik al-
Quran maupun as-Sunnah, melalui dalâlah iltizâm yang terdapat di dalamnya.
Misalnya, firman Allah:
Ayat ini menyatakan, bahwa hukum membasuh tangan hingga siku-siku hukumnya
wajib dalam wudhu. Namun, kewajiban membasuh tangan hingga siku-siku tersebut
tidak akan sempurna, kecuali dengan memasukkan bagian atas siku (lengan) dalam
basuhan sehingga siku-sikunya pasti akan terbasuh. Sebab, jika tidak dimasukkan
dalam basuhan, siku-siku yang menjadi batas yang harus dibasuh itu tidak akan
terbasuh dengan sempurna. Artinya, kewajiban membasuh bagian atas siku
merupakan konotasi yang menjadi konsekuensi logis dari kewajiban membasuh siku-
siku. Konotasi seperti ini bisa ditarik dari dalâlah iltizâm: ilâ al-marâfiq (sampai
dengan siku).
5
Ini dilihat dari aspek dalil yang menjadi pijakan untuk menggali kaidah ini sehingga
kaidah ini disebut sebagai hukum syariat. Adapun kaidah tersebut disebut sebagai
hukum kullî, karena ungkapan yang menjadi sandaran hukumnya yaitu hukum wajib
yang terdapat di dalam kaidah tersebut adalah ungkapan kulli. Kaidah ini juga telah
diterima oleh para ulama ushul maupun fikih. Dapat dikatakan, bahwa mereka telah
sepakat untuk menggunakan kaidah ini.Hanya saja, sebagai kaidah tetap statusnya
bukan merupakan dalil, meski kemudian ada kasus-kasus yang bisa diturunkan (tafrî‘)
dari kaidah tersebut. Itu tidak lain karena kaidah ini memang merupakan hukum kullî.
Dalil Kaidah alwajibu la yutraku ila lil wajibin
واggُإ ِ ْن لَ ْم تَ ُكونg َُور ُك ْم ِم ْن نِ َسائِ ُك ُم الاَّل تِي َد َخ ْلتُ ْم بِ ِه َّن ف ُ َضا َع ِة َوأُ َّمه
ِ ات نِ َسائِ ُك ْم َو َربَائِبُ ُك ُم الاَّل تِي فِي ُحج َ َوأَخَ َواتُ ُك ْم ِمنَ ال َّر
َانggَاح َعلَ ْي ُك ْم َو َحاَل ئِ ُل أَ ْبنَائِ ُك ُم الَّ ِذينَ ِم ْن أَصْ اَل بِ ُك ْم َوأَ ْن تَجْ َمعُوا بَ ْينَ اأْل ُ ْختَ ْي ِن إِاَّل َما قَ ْد َسلَفَ ۗ إِ َّن هَّللا َ َك
َ َد َخ ْلتُ ْم بِ ِه َّن فَاَل ُجن
َغفُورًا َر ِحي ًما
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmuyang perempuan; saud
ara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-
saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang l
6
aki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu y
ang menyusui kamu; saudaraperempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-
anakisterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamucampuri, tetapi j
ika kamu belum campur dengan isterimu itu(dan sudah kamu ceraikan), maka tidak be
rdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-
isteri anakkandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalamperkawinan) dua pere
mpuan yang bersaudara, kecuali yang telahterjadi pada masa lampau; sesungguhnya
Allah MahaPengampun lagi Maha Penyayang.” (QS : An-Nissa : 23)
Dalam kaidah fiqhiyah al-yaqinu la yuzalu bi shakki yang artinya keyakinan itu tidak
bisa dihilangkan dengan adanya keraguan. Yang diaksud yakin dalam kaidah ini
adalah tercapainya kemantapan hati pada satu objek hukum yang telah dikerjakan,
baik kemantapan itu sudah mencapai kadar pengetahuan yang mantap atau presepsi
kuat, jadi bukanlah sebuah keyakinan hati disertai dengan keraguan saat
melaksanakan pekerjaan. Karena hal itu alasan yang mwndasar menganggap
kebimbangan tidak bisa menghilangkan keyakinan adalah karena posisi keraguan
dianggap lebih lemah dari pada keyakinan.
Apabila salah satu dari kalian menemukan sesuatu didalam perut, kemudian
diragukan karenanya apakah keluar sesuatu atau tidak, maka jangan keluar dari masjid
atau membatalkan shalat sehingga mendengar suara atau mencium bau (HR. Muslim
dan Abu Hurairah)
C. Cabang Kaidah Alwajibu Layutraku illa Liwajibin
“Sesuatu yang wajib itu tidak dapat ditinggalkan kecuali untuk memenuhi
kewajiban itu sendiri”. (alwajibu layutraku illa
liwajibin). Berdasarkan kaidah ini, diperoleh kejelasan bahwa sesuatu yang wajib
dapat ditinggalkan asalkan untuk memenuhi kewajiban itu sendiri.
Menurut prinsip ini, manusia diberikan hak/kebebasan
untuk melaksanakan hukum Allah pada batas-batas kewajaran
7
yang telah ditentukan oleh Allah. Ketentuan ini salah satunyatercantum dalam QS
2:178. Azas-azas hukum yang berhubung gandengan prinsip ini adalah:
a. Personalitas keislaman (Islamic personality)
Menurut azas ini, seseorang yang mengaku dirinyamuslim punya hak dan
kewajiban yang terikat dengankeislamannya. Ini mudah dilacak dari teori hak da
nkewajiban hukum Imam Malik dalam al-Muwatha bahwa“seseorang akan terik
at kepada hak dan kewajibannyasebagai muslim”
(ma’rifat ila haqqihi wa wajibatihi fi al-Islam).
b. Otoritas keyakinan (religious doctrine)
Menurut azas ini, seseorang yang mengaku dirinyamuslim punya kewajiban tun
duk kepada hukum agama yang dianutnya. Teori ini dikemukakan oleh H.A.R.
Gibb dalam The Modern Trends
of Islam bahwa “seseorangharus tunduk kepada hukum agama yang dianutnya”
(someone has obligation to obey his religious rules).
c. Kehormatan manusia (al-Fitrah)
Menurut azas ini, secara hakiki (fitrah) setiap orang memiliki hak untuk be
bas dalam harkat dan martabat. Teoriini dikemukakanoleh Al-Maududi dalam H
uman Rights
inIslam bahwa “secara fitrah setiap orang terlahir dalamkeadaan bebas dan sama
dalam harkat dan martabat” (all human beings are born free and equal in dignity
and rights).
d. Kesepakatan (al-Ijma’)
Menurut azas ini, seseorang yang mengaku dirinyamuslim terikat dengan h
ak dan kewajiban dalam sebuahkonsensus. Teori konsensus dikemukakan oleh
Al-Mawardidalam al-Ahkam al-Sulthoniyah bahwa “hak dan kebebasanseseora
ng dibatasi oleh hak dan kebebasan orang laindengan adanya ijma”.
e. Membuat pilihan (al-Takhyir)
Menurut azas ini, dalam menegakan hukum seseorangdiberi kebebasan me
nentukan pilihan hukum. Teorimaqashid al-syari’ah dikemukakan Imam al-
8
Syatibi dalamal-Muwafaqatbahwa “tujuan-tujuan syari’at yang bersifathajiyat, d
aruriyat dan tahsiniyat – yang berisikan lima hal: (1) memelihara agama/hifd al-
din; (2) memeliharajiwa/hifd al-nafs; (3) memelihara ketu-runan/hifd al-nasl:
(4) memelihara akal/hifd al-aql; dan (5) memeliharaharta/hifd al-maal
Konstruksi cabang kaidah-kaidah hukum yang relevandengan prinsip dan azas d
i
atas adalah:
a. Kaidah Ushuliyyah, yaitu al-Ashl fi al-Amri li al-
Wujub illaMadalla Dalilu ‘ala Tahrimihi (Asal daripada perintahhukumnya waji
b kecuali ada dalil yang mengharamkannya). menurut kaidah ini, setiap muslimd
iwajibkan melaksanakan semua perintah Allah dan Rasul-Nya serta menjauhi se
mua larangan-Nya
b. Kaidah Fiqhiyyah, yaitu Tasharruf al-Imami ‘ala Ra’iyyatiManûtun bi al-
Maslahati (Tindakan imam terhadaprakyatnya harus dikaitkan dengan kemaslah
atan). Berdasarkan kaidah ini, setiap orang memiliki hak dankewajiban yang sa
ma dalam hal otoritas hukum, tetapiotoritas hukum itu harus ditujukan untuk ke
maslahatan(maslahat al-ammah).
c. Kaidah Dawabith, yaitu la Yunza’u Syaiun min YadiAhadin illa bi Haqqin Ts
âbitin (Sesuatu tidak dapat dicabutdari kekuasaan seseorang kecuali dengan dasa
r hak yang telah tetap). Berdasarkan kaidah ini, seseorang memilikiotoritas untu
k menetapkan hukum-hukum Allah dankeberlakuannya tidak dapat dicabut hakn
ya karena alasansuatu sebab yang berlawanan dengan ketentuan hukumyang tela
h tetap.
d. Kaidah Lawahiq, yaitu Mâla Yudraku Kulluhu la YutrakuKulluhu (Apa-apa y
ang tidak bisa kita diambil seluruhnya, maka jangan ditinggalkan seluruhnya). B
erdasarkan kaidahini, seseorang memiliki otoritas untuk menentukan pilihandala
m melaksanakan hukum-hukum Allah sesuai dengankemam-puannya.
D. Penerapan dan Contoh Kaidah Alwajibu Layutraku illa Liwajibin
9
Dalam beberapa kasus, kaidah ini dapat diterapkan dengan baik. Hal ini dikarenakan
kaidah ini sesuai dengan kondisi yang terjadi. Misalkan beberapa kasus di bawah ini:
Kasus pertama, ada seseorang yang mencuri uang 150 jt. Setelah tidak lama
melakukan pencurian akhirnya pencurinya tertangkap. Sesuai dengan hukum Islam
maka hukuman bagi orang yang mencuri adalah dipotong tangannya. Apabila
disesuaikan dengan kaidah ini maka adanya potong tangan merupakan sebuah
keharusan yang harus dilaksanakan karena jika ditinggalkan maka akan menyalahi
hukuman yang telah ditetapkan. Jadi, dilakukannya hukum potong tangan tidak boleh
ditinggalkan karena untuk memenuhi kebutuhan hukuman yang sesuai dengan apa
yang sudah diatur dalam teks atau nash al-Qur’an.
Kasus kedua, ada seorang muslimah yang tersesat di tengah hutan dan tidak ada
apapun yang bisa dimakan kecuali bangkai babi yang ada dihadapannya. Sesuai
dengan hukum Islam yang tertera dalam teks atau nash maka babi tersebut tidak boleh
dimakan karena diharamkan. Akan tetapi sesuatu yang diwajibkan itu “tidak makan
daging babi karena diharamkan sesuai teks al-Qur’an” dapat ditinggalkan karena
perlunya memenuhi kewajiban yang lain yaitu menjaga eksistensi hidup “Khifdzun
Nafs” seperti yang sering dicantumkan dalam berbagai literatur yang disebut
“Maqasidus Syari’ah al Khamsah”. Hal ini disebabkan juga adanya sebab khusus
dimana menyebabkan Suquthul Khukmi.
Kasus ketiga, ada seseorang yang dikhitan. Misalkan Namanya Zain. Acara khitannya
menggunakan cara-cara tradisional seperti yang terjadi di desa-desa di mana auratnya
dibuka. Sesuai dengan hukum Islam, menutup aurat adalah sebuah kewajiban. Akan
tetapi hal itu dapat ditinggalkan atau dilanggar dengan alasan memenuhi kewajiban
yang lain yaitu untuk melaksanakan khitan di mana hal tersebut dimaksudkan untuk
mensucikan “pusaka laki-laki” dari segala bentuk najis yang ada. Selain itu, adanya
keharusan untuk itba’ terhadap sunnahnya Nabi Ibrahim as.
Ketiga contoh kasus di atas merupakan bentuk penjelasan dari kaidah “alwajibu
10
layutraku illa liwajibin” secara sederhana dan singkat. Oleh karena itu, penulis
berharap pembaca dapat memahami kaidah ini hanya dengan memahami contoh-
contoh kaidah yang sudah penulis paparkan sebelumnya.
Jadi dari kaidah ini dapat ditegaskan, bahwa sesuatu yang telah diwajibkan, tidak
boleh ditinggalkan kecuali ada sesuatu kewajiban, tidak boleh ditinggalkan kecuali
ada sesuatu kewajiban yang mengahruskan untuk meninggalkan.
Contoh: Memotong tangan pencuri, seandainya tidak wajib tentu hukumnya haram,
sebab memotong/melukai adalah tindak pidana haram.
Sujud sahwi dan sujud tilawah itu tidak wajib, namun jika tidak disyari’atkan tentu
tidak boleh dilakukan.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
11
ukkandalam basuhan, siku-siku yang menjadi batas yang harusdibasuh itu tidak akan t
erbasuh dengan sempurna. Artinya, kewajiban membasuh bagian atas siku merupakan
konotasi yang menjadi konsekuensi logis dari kewajiban membasuh siku-siku. Konota
si seperti ini bisa ditarik dari dalâlah iltizâm: ilâ al-marâfiq (sampai dengan siku). D
ari kasus seperti inilah, lahirkaidah Mâ lâ Yatimmu al-Wâjibu illâ bihi fa Huwa Wâj
ib.Cabang Kaidah Alwajibu Layutraku illa Liwajibin Azas-
azas hukum yang berhubung gandengan prinsip ini adalah Personalitas keislaman,
Otoritas keyakinan, Kehormatan manusia, kesepakatan dan membuat pilihan.
Penerapan dan Contoh Kaidah Alwajibu Layutraku illa Liwajibin, Adapun Dalam
beberapa kasus, kaidah ini dapat diterapkan dengan baik. Hal ini dikarenakan kaidah
ini sesuai dengan kondisi yang terjadi. Misalkan beberapa kasus di bawah ini Kasus
pertama, ada seseorang yang mencuri uang 150 jt. Setelah tidak lama melakukan
pencurian akhirnya pencurinya tertangkap. Sesuai dengan hukum Islam maka
hukuman bagi orang yang mencuri adalah dipotong tangannya. Apabila disesuaikan
dengan kaidah ini maka adanya potong tangan merupakan sebuah keharusan yang
harus dilaksanakan karena jika ditinggalkan maka akan menyalahi hukuman yang
telah ditetapkan. Jadi, dilakukannya hukum potong tangan tidak boleh ditinggalkan
karena untuk memenuhi kebutuhan hukuman yang sesuai dengan apa yang sudah
diatur dalam teks atau nash al-Qur’an.
Daftar pustaka :
12
Syarbîni, Mughnîal-Muhtâj, I/152; al-Ghazâli, al-Mustashfâ, juz I/57; al-Amidi, al-
Ihkâm, I/169; as-Syawkâni, Irsyâd al-Fuhûl, 185 dan 411
Dr. Nasrullah, S.Ag, M.Ag. 2014. PRINSIP-PRINSIP SYURA’ DALAM HUKUM
TATA NEGARA ISLAM (Kajian Kaidah-
Kaidah Hukum Islam). Sarwah Pencerahan Intelektual Muslim.Volume XIII
(I), Sekolah Tinggi AgamaIslam Negeri ( STAIN) Malikussaleh Lhokseumawe-
Banda Aceh.
13