Anda di halaman 1dari 12

IFTA’

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah


Ushul Fiqh 2

Dosen Pengampu:
Dr. Habib Bawafi, M.HI

Disusun Oleh :
Mohammad Rofis Pradana (931405118)
Ajeng Dyah Prayogi (931407318)
Akilatul Wafda Rachmadita (931407518)
Puput Gisela Devanti (931407818)
Sonya Yuniar Wanazizah (931408618)

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KEDIRI

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan
makalah materi ifta’.
Dan kami berterima kasih kepada Bapak Dr. Habib Bawafi, M.HI selaku
dosen mata kuliah Ushul Fiqh 2 yang telah memberikan tugas ini.Kami berharap
makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan
kita mengenai materi Ifta’. Kami menyadari bahwa dalam pengerjaannya terdapat
banyak kekurangan. Untuk itu kami harapkan adanya kritik maupun saran demi
perbaikan makalah ini.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang
membacanya. Sekiranya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata yang
kurang membangun.

Kediri, 7 April 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................i

DAFTAR ISI.......................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang......................................................................................1
B. Rumusan Masalah................................................................................1
C. Tujuan Penulisan..................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Ifta.....................................................................................2
B. Unsur-Unsur Ifta.................................................................................3
C. Mufti...................................................................................................3
D. Mustafti...............................................................................................5
E. Fatwa...................................................................................................5
F. Hakim dan Mufti.................................................................................6
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan...........................................................................................8
B. Saran.....................................................................................................8
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................9

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada masa Rasulullah, Islam telah menghadapi berbagai persoalan-
persoalan baru yang menyangkut urusan-urusan agama dan keduniawian,
terutama di kalangan bangsa Arab Makkah. Bersamaan dengan itu, Allah
menurunkan wahyu sebagai tanda kemukjizatan Rasulullah SAW.
Makna terpenting dari wahyu tersebut adalah Rasulullah
mengeluarkan fatwa-fatwa sebagai petunjuk, pedoman, dan panduan bagi
umat Islam dalam memberikan penjelasan terhadap isu-isu yang dihadapi
dalam lingkungannya.
Syariat Islam sebagai instrumen hukum mempunyai dua peranan
dalam kehidupan umat manusia. Pertama adalah sebagai hukum negara
melalui praktik peradilan. Kedua adalah sebagai ketentuan hukum yang
mengikat secara taklifi yang tercermin dalam lima formulasi hukum Islam
(wajib, sunnat, haram, makruh, dan mubah) baik yang berbentuk dustur
atau hukum tertulis yang tertuang dalam fiqh maupun yang berbentuk ifta’
atau fatwa untuk pedoman masyarakat hukum.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian Ifta’ itu?
2. Bagaimana unsur-unsur Ifta’?
3. Bagaimana penjelasan mengenai Mufti, Mustafti, dan Fatwa?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian dari Ifta’.
2. Untuk mengetahui unsur-unsur Ifta’.
3. Untuk mengtahui penjelasan mengenai Mufti, Mustafti, dan Fatwa.

1
BAB II

PEMBAHASAN
1. Pengertian Ifta’
Kata ifta’ adalah masdar dari kata afta, yufti, ifta’an, adapun kata
futya, atau fatwa adalah isim masdar dari afta, hanya saja kata futya lebih
sering digunakan oleh orang Arab sebagaimana yang dinukil oleh Ibn
Mandzur dalam lisannya.1
Adapun pengertian Ifta’ secara etimologi adalah al-Ibanah
(penjelasan), yaitu memberikan penjelasan kepada orang lain. 2
Berdasarkan ini, Ifta’ berarti memberikan penjelasan kepada orang lain
yang menanyakan suatu hal. Usamah ‘Umar al-Asyqar menambahkan
bahwa ifta’ bukan hanya sekedar memberikan penjelasan kepada orang
lain, tetapi juga memberikan pertolongan dan petunjuk kepada orang yang
meminta fatwa (Mustafti), atau menunjukkan jalan yang harus dilalui oleh
mustafti untuk keluar dari permasalahan yang dihadapinya. Hal ini seperti
yang dijelaskan oleh Allah ketika menceritakan tentang Kerajaan Ratu
Saba’ ketika menerima surat dari Raja Sulaiman as.
Pengertian ifta’ secara terminologi adalah memberikan keterangan
hukum Allah SWT berdasarkan dalil syar’i. (al-Ikhbar ‘an Hukmillah
bidalilin Syar’iyyin).
Dari definisi diatas bisa diambil kesimpulan bahwa al-ifta’ adalah
mengeluarkan keterangan hukum Allah SWT sesuai dalil syar’i (Al-
Qur’an dan Sunnah), maka memberikan fatwa yang tanpa didasari dalil
Al-Qur’an dan Sunnah bukan dinamakan dengan Ifta’. Ifta’ hanya sebatas
“al-Ikhbar”, yaitu memberikan jawaban, oleh karena itu seorang mufti
tidak mempunyai hak Ijbar(paksa) kepada mustafti atas fatwa yang
disampaikan kepadanya.

1
Ibn Mandzur, Lisanul Arab (Kairo: Dar al-Hadits li Al-Tiba’ah wa al-Nashr wa al-Tauzi’, 2005),
hlm. 15.
2
Fakhruddin al-Razi, Mukhtar al-Sihah (Kairo: Dar al-Salam li al-Nashr wa al-Tawzi’, 2008),
hlm. 237.

2
2. Unsur-Unsur Ifta’
Ada empat unsur ifta’ diantaranya3:
a. Usaha memberikan penjelasan hukum, yang disebut ifta’ itu sendiri.
b. Orang yang memberikan penjelasan yang disebut mufti.
c. Orang yang meminta penjelasan yang disebut mustafti.
d. Penjelasan hukum yang diberikan yang disebut fatwa.
3. Mufti
Mufti berkedudukan sebagai pemberi penjelasan tentang hukum syara’
yang harus diketahui dan diamalkan oleh umat. Umat akan selamat bila ia
memberikan fatwa yang benar dan akan sesat bila ia salah dalam berfatwa.
Berikut ialah syarat-syarat mufti4:
1. Syarat umum: karena ia akan menyampaikan hal-hal yang
berkenaan dengan hukum syara’ dan pelaksanaannya, maka ia
harus seorang mukalaf yaitu muslim, dewasa, dan sempurna
akalnya.
2. Syarat keilmuan: bahwa ia ahli dan mempunyai kemampuan
untuk berijtihad. Untuk itu ia harus memiliki syarat-syarat
sebagaimana syarat yang berlaku bagi seseorang mujtahid antara
lain mengetahui secara baik dalil-dalil sam’i dan mengetahui secara
baik dalil-dalil aqli.
3. Syarat kepribadian: yaitu adil dan dipercaya. Dua persyaratan itu
dituntut dari seseorang mufti karena ia secara tidak langsung akan
menjadi anutan bagi umat dalam beragama.
4. Syarat pelengkap dalam kedudukannya sebagai ulama panutan
yang oleh al-Amidi diuraikan antara lain: dengan berfatwa ia
bermaksud untuk mendidik untuk mengetahui hukum syara’,
bersifat tenang (sakinah) dan berkecukupan. Ditambahkan oleh
Imam Ahmad menurut yang dinukilkan oleh Ibn al-Qayyim yaitu:
mempunyai niat dan iktikad yang baik, kuat pendirian dan dikenal

3
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2012), hlm. 164.
4
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2 (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 457.

3
di tengah umat. Al-Asnawi mengemukakan syarat mufti secara
umum yaitu sepenuhnya syarat-syarat yang berlaku pada seorang
perawi hadis karena dalam tugasnya memberi penjelasan sama
dengan tugas perawi.
Dalam hal “Bolehkah seseorang yang belum mencapai
tingkat mujtahid bertindak sebagai mufti”, menjadi pembicaraan
ramai di kalangan ulama dan dinukilkan hampir dalam semua
literatur ushul fiqh yang diringkas oleh Ibnu Subki sebagai
berikut5:
1. Orang yang mempunyai kemampuan untuk tafri’ dan
tarjih meskipun belum sampai derajat mujtahid
(maksudnya mujtahid mutlak) boleh berfatwa dengan
berpedoman kepada mazhab imam mujtahid yang
diikutinya dengan ketentuan ia memahami secara baik
mazhab imam yang dijadikannya rujukannya itu dan
meyakini pendapat imamnya itu lebih kuat.
2. Tidak boleh orang dalam tingkat seperti ini
memberikan fatwa karena ia belum memenuhi
persyaratan kemampuan berijtihad. Memberi fatwa itu
hanya boleh dilakukan oleh orang-orang yang
mencapai derajat mujtahid. Apa yang dikemukakan
tentang alasan tersebut di atas oleh pihak pertama
ditolak oleh pihak kedua ini.
3. Orang yang belum mencapai derajat mujtahid boleh
memberikan fatwa bila di wilayah itu tidak ada orang
yang telah mencapai derajat mujtahid yang akan
berfatwa. Karena dalam keadaan seperti ini sudah
terdesak dan jika tidak dibolehkan akan terlantar
urusan hukum.

5
Ibid., hlm. 458.

4
4. Orang muqallid boleh memberi fatwa meskipun
belum mempunyai kemampuan untuk tafri’ dan tarjih.
Karena tugasnya hanya sekedar menukilkan pendapat
imamnya waktu memberi fatwa, meskipun ia tidak
menjelaskan sumber rujukannya. Inilah yang sering
berlaku waktu ini.
4. Mustafti
Mustafti adalah orang yang tidak mempunyai pengetahuan tentang
suatu hukum syara’ baik secara keseluruhan atau sebagian dan oleh
karenanya harus bertanya kepada yang lain supaya ia dapat mengetahui
dan beramal dalam suatu urusan agama. Pada dasarnya orang yang
meminta fatwa adalah orang awam yang sama sekali tidak mengetahui dan
tidak mampu melakukan ijtihad.
5. Fatwa
Syaikh Mahmud Syaitut dalam muqaddimah fatwanya
mengatakan, bahwa fatwa adalah jawaban dari seorang mufti atas
pertanyaan yang disampaikan oleh mustafti. Oleh karena itu penjelasan
hukum yang bukan dari pertanyaan maka tidak dinamakan sebagai fatwa,
tetapi dinamakan sebagai ta’lim atau al-Irsyad.
Sementara itu Sulaiman al-Asyqar menambahkan bahwa fatwa
adalah memberikan keterangan hukum Allah SWT atas suatu perkara yang
baru (amrin Nazilin). Maka dari itu sebuah keterangan hukum yang sudah
pasti, seperti wajibnya shalat dan zakat maka bukan termasuk dalam
kategori fatwa, karena dua hal tersebut bukan termasuk perkara yang baru.
Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa fatwa adalah
sebuah keterangan hukum yang tidak mengikat yang diberikan oleh
seorang mufti kepada mustafti, baik jawaban atas sebuah pertanyaan atau
tidak, baik permasalahan baru atau lama yang berlandaskan atas dalil Al-
Qur’an dan Sunnah.
Materi fatwa adalah hukum syara’ yang diperoleh melalui ijtihad.
Dalam hal ini mufti sama kedudukannya dengan hakim, yaitu

5
menyampaikan hukum kepada umat. Fatwa disampaikan mufti dengan
ucapannya setelah menerima pertanyaan dari umat. Sedangkan qadhi
menyampaikan hukum melalui putusan hukum atau dalam proses
persidangan setelah perkaranya disampaikan oleh umat. Keduanya
merupakan hasil ijtihad.
Ciri-ciri tertentu dalam berfatwa yaitu6:
1) Ia adalah usaha memberikan penjelasan.
2) Penjelasan yang diberikan adalah tentang hukum syara’ yang
diperoleh melalui hasil ijtihad.
3) Yang memberikan penjelasan adalah orang yang ahli dalam bidang
yang dijelaskannya itu.
4) Penjelasan itu diberikan kepada orang yang bertanya yang belum
mengetahui hukumnya.
6. Hakim dan Mufti
Beberapa persamaan dan perbedaan antara hakim dan mufti7:
a. Persamaan:
a) Keduanya adalah mujtahid yang dapat mengistimbatkan
hukum berdasarkan dalil-dalil syar’i.
b) Keduanya harus mengetahui dan memahami persoalan-
persoalan yang akan diselesaikan.
c) Keduanya harus mengetahui keadaan masyarakat.
b. Perbedaan:
a) Persoalan yang ditangani oleh mufti lebih luas dibandingkan
dengan persoalan yang dihadapi oleh hakim. Bidang tugas
hakim ditentukan oleh undang-undang, sedangkan tugas
bidang mufti tidak.
b) Keputusan hakim harus dilaksanakan oleh penggugat dan
tergugat, sedangkan fatwa mufti boleh dilaksanakan dan boleh
tidak, tergantung kepada orang yang meminta fatwa.

6
Mardani, Ushul Fiqh (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm. 374-375.
7
Suparta dan djedjen zainuddin, Fiqih (Semarang: PT Karya Toha Putra, 2003), hlm. 178.

6
c) Keputusan hakim dapat membatalkan fatwa, sedangkan fatwa
tidak dapat membatalkan keputusan hakim.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam memilih pendapat yang
akan difatwakan:
a. Dalam memilih pendapat yang akan difatwakannya ia harus
ikhlas dan ber-i’tiqad baik untuk mewujudkan kemaslahatan
dan sebanyak mungkin menguntungkan semua pihak serta
tidak merugikan siapapun.
b. Ia memilih pendapat yang menghendaki kehati-hatian dalam
beramal, tidak menyulitkan orang dalam beragama, juga tidak
mempermudah agama.
c. Ia memilih pendapat yang menurut keyakinannya benar dan
kuat dalilnya.

7
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Ifta’ adalah mengeluarkan keterangan hukum Allah SWT sesuai
dalil syar’i (Al-Qur’an dan Sunnah). Ifta’ hanya sebatas “al-Ikhbar”, yaitu
memberikan jawaban, oleh karena itu seorang mufti tidak mempunyai hak
Ijbar(paksa) kepada mustafti atas fatwa yang disampaikan kepadanya.
Unsur-unsur Ifta’ yaitu: Usaha memberikan penjelasan hukum
(Ifta’), mufti, mustafti, dan fatwa. Dalam suatu kedudukan, mufti ialah
sama dengan hakim. Ciri-ciri tertentu dalam berfatwa yaitu: Ia adalah
usaha memberikan penjelasan, penjelasan yang diberikan adalah tentang
hukum syara’ yang diperoleh melalui hasil ijtihad, Yang memberikan
penjelasan adalah orang yang ahli dalam bidang yang dijelaskannya itu,
dan penjelasan itu diberikan kepada orang yang bertanya yang belum
mengetahui hukumnya.
Mufti adalah pemberi penjelasan tentang hukum syara’ yang harus
diketahui dan diamalkan oleh umat. Empat syarat yang harus dimiliki
mufti yaitu syarat umum, syarat keilmuan, syarat kepribadian, dan syarat
pelengkap. Mustafti adalah orang yang tidak mempunyai pengetahuan
tentang suatu hukum syara’ baik secara keseluruhan atau sebagian dan
oleh karenanya harus bertanya kepada yang lain supaya ia dapat
mengetahui dan beramal dalam suatu urusan agama. Fatwa adalah sebuah
keterangan hukum yang tidak mengikat yang diberikan oleh seorang mufti
kepada mustafti.
B. Saran
Alhamdulillah, makalah yang kami susun telah selesai dengan
baik, tetapi makalah ini belum tentu benar maka dari itu, kami sangat
bersedia untuk menerima segala kritik dan saran dari pembaca supaya
kedepannya kami bisa membuat makalah yang baik dan benar.

8
DAFTAR PUSTAKA

Al-Razi, Fakhruddin. Mukhtar al-Sihah. Kairo: Dar al-Salam li al-Nashr wa al-


Tawzi’. 2008.

Mandzur, Ibn. Lisanul Arab. Kairo: Dar al-Hadits li Al-Tiba’ah wa al-Nashr wa


al-Tauzi’. 2005.

Mardani. Ushul Fiqh. Jakarta: Rajawali Pers. 2013.

Suparta dan Djedjen Zainuddin. Fiqih. Semarang: PT Karya Toha Putra. 2003.

Syarifuddin, Amir. Garis-Garis Besar Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana. 2012.

Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh 2. Jakarta: Kencana. 2011.

Anda mungkin juga menyukai