Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM PADA MASA KEMUNDURAN


ISLAM

Disusun Oleh :
KELOMPOK IV
Yudha Azhary
2006200526
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA
MEDAN
TA.2020
KATA PENGANTAR

Syukur yang tak terhingga saya panjatkan kehadirat Allah


Rabbul’ Alamin yang tiada henti-hentinya saya panjatkan.Begitu pula
dengan segala rahmat dan hidayah-Nya-lah sehingga makalah
‘’Perkembangan Hukum Islam Pada Masa Kemunduran Islam’’dapat
terselesaikan.
Demikianlah Makalah ini dibuat dan tidak menutup
kemungkinan dalam penyusunannya terdapat kekurangan dan
kesalahan didalamnya.Oleh karena itu,saya mengharapkan saran dan
kritik yang membangun yang dapat dijadikan masukan dalam
penyusunan laporan selanjutnya.

Penyusun

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................1
DAFTAR ISI........................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN..................................................................... 3
  A. Latar Belakang............................................................................3
B.  Rumusan Masalah..................................................................... 4
C. Tujuan Pembahasan..................................................................4
BAB II PEMBAHASAN...................................................................... 4
1. Awal Mula Kemunduran ...............................................................4
A. Kondisi Politik dan Tasyri’ Pada Masa Kemunduran .............6
B. Format Hukum Islam Pada Periode Kemunduran....................9
C. Aktivitas Ilmiah dan Upaya Ulama dalam Mengatasi
Kemunduran.............................................................................13
BAB III PENUTUP..............................................................................14
A. Kesimpulan...............................................................................14
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................15

2
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
            Pemikiran hukum dalam periode ini adalah para ahli hukum tidak
lagi memusatkan usahanya untuk memahami prinsip-prinsip atau ayat-ayat
hukum yang terdapat dalam Alquran dan Sunnah  Nabi Muhammad, tetapi
pikirannya ditumpukan pada pemahaman perkataan-perkataan, pikiran-
pikiran hukum para imam-imamnya saja. Perkembangan masyarakat yang
berjalan terus dan persoalan-persoalan hukum yang ditumbuhkannya pada
masa ini tidak lagi diarahkan dengan hukum dan dipecahkan sebaik-
baiknya seperti zaman-zaman sebelumnya. Dinamika masyarakat yang
terjadi terus-menerus itu tidak lagi ditampung dengan pengembangan
pemikiran hukum pula. Dengan kata lain, masyarakat terus berkembang
sedang pemikiran hukumnya berhenti. Terjadilah “kemunduran” dalam
perkembangan hukum Islam. Sejak itu, mulailah gejala untuk mengikuti
saja pendapat para ahli sebelumnya (ittiba’ –taqlid), yang masa ini sering
di kenal sebagai zaman kelesuan pemikiran ( zaman kegelapan /
reinasancce ).
            Derajat dan otoritas keilmuan para ulama madzhab yang telah
menelurkan berbagai produk fiqih monumental ketika itu, tidak sedikit
melahirkan berbagai pengaruh signifikan di eranya, baik pengaruh dinamis
berupa gerakan berijtihad pada satu sisi, maupun berupa pengaruh sikap
puas dan merasa final dalam berijtihad pada sisi lain. Dengan kata lain,
kerja keras dan keteladanan para ulama madzhab dalam berijtihad pada
masanya disenyalir telah memberikan inspirasi tersendiri bagi sebagian
para fuqaha pasca ulama madzhab untuk melakukan kegiatan yang sama.
Namun di sisi lain gerakan dinamis yang sarat dengan kerangka
metodologis yang komperehensif dan holistik itu, tanpa terasa telah
menaklukkan, melumpuhkan, dan menenggelamkan sederet kemauan dan
kemampuan nalar kritis tradisi berijtihad para fuqaha pasca ulama
madzhab. Lebih dari itu, kemudian mereka mengkultuskan dan

3
mensakralkan produk-produk fiqih ulama madzhab yang mereka nilai
sangat monumental itu. Sejak itulah, kerja keras sebagian para ulama
muqallidun ini terbatas pada perilaku memuja-muja karya ulama madzhab,
mengkultuskannya, dan bahkan berusaha menciptakan suasana yang
membawa umatnya memiliki sikap panatisme madzhab yang berlebihan.
Energi keilmuan mereka lebih difokuskan pada persiapan-persiapan
membangun dan mengokohkan argumentasi-argumentasi logis yang dapat
menjaga dan melindungi kebenaran hasil produk ijtihad para ulama
madzhab tersebut.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana kondisi politik dan tasyri’ pada masa kemunduran?
2.      Bagaimana format hukum islam pada periode kemunduran?
3.      Bagaimana aktivitas ilmiah dan upaya ulama dalam mengatasi
kemunduran?

C.    TUJUAN 
1.    Mengetahui kondisi politik dan tasyri’ pada masa kemunduran.
2.    Mengetahui format hukum islam pada periode kemunduran.
3.    Mengetahui aktivitas ilmiah dan upaya ulama dalam mengatasi
kemunduran.

BAB II
PEMBAHASAN

1.     AWAL MULA KEMUNDURAN


Periode ini dimulai dari abad 10-11 M / 310 H, sejak berakhirnya
kekuasaan bani Abbas sampai abad ke 19. Periode ini , ditandai dengan
menyebarkan pusat pusat kekuasaan islam di beberapa wilayah , sehingga

4
umat islam sendiri dapat dikatakan dalam kondisi yang lemah dan berada
dalam kegetiran. Dalam kondisi tersebut , jika keadaan
negara (daulah) lemah, maka akan muncul banyak fitnah dan mihnah ,
sehingga hilanglah persaudaraan dan persatuan dikalangan umat islam dan
sebaliknya menjadi permusuhan.
Pada masa ini , hukum islam mulai mengalami stagnasi (jumud) . hukum
islam tidak digali dari sumber utamanya (alqur’an dan sunnah) , para
ulama masa kini lebih banyak sekedar mengikuti dan mempelajari pikiran
dan pendapat  dalam mazhab yang sudah ada (taqlid). Dari sini terlihat
mulai ada kecenderungan mazhab lain, seolah olah kebenaran merupakan
hak prerogative mazhab yang dianutnya , sehingga tak salah jika masa ini
merupakan fase pergeseran orientasi dari Alquran dan sunnah menjadi
orientasi kepada pendapat ulama.
Sebagaimana diketahui , pada masa abad ke IV telah terbentuk mazhab-
mazhab fikih. Namun kecenderungan yang tidak begitu baik segar dalam
perkembangan fikih yakni munculnya ketergantungan kepada mazhab dan
tumbuhnya perasaan berkecukupan secara meluas dan mendalam. Para
ulama berupaya menjaga pendapat mazhab fikihnya dengan
mengembangkan pemikiran mazhabnya secara internal melalui pembuatan
ringkasan ringkasan (mukhtasyar) terhadap kitab kitab fikih yang terlalu
tebal. Selain itu ulama ulama pada fase ini melakukan ulasan ulasan dan
penjelasan penjelasan (syarah) serta penjelasan dari kitab yang sudah
dibuat penjelasannya (khassiyyah) terhadap kitab kitab fikihyang ringkas
atau kurang luas, sehingga dalam proses belajar fikih menjadi berat, yakni
harus menguasai , menghafal, dan menjaga seluruh isi kitab fikih dan
menjaga cara – cara (istinbath ahkam) yang ditempuh. Selain itu aktifitas
ulama juga terfokus pada pentarjihan terhadap pendapat pendapat yang
berbeda – beda dalam suatu mazhab, baik itu dari
segi riwayah maupun dirayah.

5
A.  Kondisi Politik dan Tasyri’ Pada Masa Kemunduran
            DR. Muhammad Farouq al-Nabhan menyebut tiga sebab stagnasi
pemikiran pada zaman ini: faktor-faktor politik, campur tangan penguasa
dalam kekuasaan kehakiman dan kelemahan posisi ulama dalam
menghadapi umara.
            Untuk yang pertama, kita ingin menegaskan kembali bahwa
madzhab berkembang karena dukungan politik. Maka ketika satu madzhab
memperoleh kekuasaan, pemikiran yang bertentangan dengan madzhab itu
ditindas. Jika kita membaca kitab-kitab sejarah madzhab, kita akan
menemukan bagaimana seseorang yang berbeda madzhab atau berganti
madzhab menghadapi berbagai cobaan. Lebih-lebih bila berbeda pendapat
dengan madzhab penguasa.
            Untuk sebab kedua, telah ditunjukkan bagaimana para ulama
berebutan menjadi qadhi. Qadhi diangkat oleh penguasa. Qadhi tidak ingin
mengambil risiko berbeda pendapat dengan madzhabnya, karena ia dapat
dikucilkan oleh masyarakat, didiskreditkan ulama dan diadukan pada
penguasa. Karena itu, yang paling aman adalah mengikuti pendapat para
imam mazhab yang sudah dibukukan. Di sini harus dicatat: dalam sejarah,
para penguasa Muslim lebih sering menindas kebebasan pendapat dari
pada mengembangkannya. Di samping itu, posisi ulama yang lemah
memperkuat fanatisme madzhab. Ulama sangat bergantung kepada umara.
Umara tentu saja selalu berusaha mempertahankan status quo, demi
“ketertiban dan keamanan”.
            Dalam posisi seperti itu, kalau pun ulama berijtihad, ijtthadnya
hanyalah dalam rangka memberikan legitimasi pada kebijakan penguasa.
Contoh terakhir adalah pernyataan para ulama Rabithah yang mendukung
kehadiran tentara Amerika di Jazirah Arab. Empat puluh tiga hari sebelum
Saddam menyerbu Kuwait, para ulama dari 70 negara Islam menyatakan
bahwa Saddam sebagai mujahid Islam yang taat pada Allah dan al-Qur’an.
Setelah invasi, para ulama yang sama menyatakan Saddam sebagai bughat
dan pemimpin dhalim. Bukankah ini ijtihad dan setiap ijtihad selalu

6
mendapat pahala? Bila ijtihadnya salah, ia mendapat satu pahala, dan bila
benar dua.
            Abd al-Wahhab Khalaf menyebutkan empat faktor yang
menyebabkan kemandegan. Yaitu terpecahnya kekuasaan Islam menjadi
negara-negara kecil hingga umat disibukkan dengan eksistensi politik;
terbaginya para mujtahid berdasarkan madrasah tempat mereka belajar;
menyebarnya ulama mutathaffilin (ulama yang memberi fatwa
berdasarkan petunjuk Bapak); dan menyebarnya penyakit akhlak seperti
hasud dan egoisme di kalangan ulama.
            Awal kebekuan ijtihad yang disebabkan oleh beberapa faktor yang
sangat komplek, telah menyebabkan kejumudan pemikiran fiqh. Berbagai
faktor, baik faktor politik, mental, sosial dan sebagainya telah
mempengaruhi kegiatan pemikiran ulama pada saat itu dalam lapangan
hukum, sehingga membawa sikap mereka menjadi tidak sanggup
mempunyai orisinalitas kepribadian dan pemikiran sendiri, melainkan
mereka harus selalu bertaqlid. Beberapa faktor tersebut antara lain:
1. Pergolakan politik. Chaos politik telah mengakibatkan terpecahnya
Negeri Islam menjadi beberapa negara kecil, sehingga negeri-negeri
tersebut selalu mengalami kesibukan perang, fitnah memfitnah dan
hilangnya ketentraman masyarakat. Salah satu dampak riilnya adalah
kurangnya perhatian kemajuan ilmu pengetahuan.

2. Pada fase ketiga (pembangunan, perkembangan dan kodifikasi hukum


Islam) telah timbul madzhab-madzhab yang mempunyai manhaj dan
cara berfikir sendiri di bawah seseorang imam mujtahid. Sebagai
kelanjutannya ialah bahwa pengikut-pengikut madzhab tersebut
berusaha membela madzhabnya sendiri dan memperkuat dasar-dasar
madzhab maupun pendapat-pendapatnya dengan cara mengemukakan
alasan-alasan kebenaran pendirian madzhabnya dan menyalahkan
pendirian madzhab lain. Situasi ini menyibukkan para ulama
madzhab dan membelokkan mereka dari asas pembentukan hukum

7
yang pertama, yakni al-Qur’an dan as-sunnah, dan sedikit di antara
mereka yang berhasrat kembali pada nash Al-Qur’an dan As-Sunnah
kecuali hanya untuk memperkokoh madzhab yang dianutnya,
walaupun harus menempuh penyimpangan dalam memahami dan
menta’wilkannya. Dengan demikian tenggelamlah kepribadian
seorang alim dalam golongannya dan matilah semangat kemerdekaan
berfikir, sehingga jadilah mereka itu sebagai pengikut atau
muqallidun.

3. Kodifikasi pendapat-pendapat madzhab telah memudahkan seseorang


untuk mencari jawaban atas permasalahan yang dihadapinya. Pada
fase-fase sebelumnya, para fuqaha terpaksa harus berijtihad karena
dihadapkan kepada hal-hal yang tidak ada hukumnya dalam syara’.
Setelah hasil ijtihad mereka kumpulkan dan mereka bukukan, baik
untuk hal-hal yang telah terjadi maupun yang kemungkinan akan
terjadi, maka orang-orang sesudah mereka hanya mencukupkan dan
merasa puas dengan pendapat yang telah ada. Dengan demikian
menjadi bekulah pemikiran fiqh. Akan tetapi, pada masa sesudahnya,
hakim-hakim diangkat dari orang-orang yang bertaqlid, agar mereka
memakai madzhab tertentu (sesuai madzhab penguasa) dan terputus
hubungannya dari madzhab yang tidak dipakai penguasa
dipengadilan. Apalagi pada saat itu diperparah oleh situasi di mana
beberapa hakim yang Pada masa-masa sebelumnya, para hakim
terdiri dari orang-orang yang mampu melakukan ijtihad sendiri,
bukan dari pengikut-pengikut mereka, yang ditunjuk oleh penguasa
mampu berijtihad, keputusannya acapkali menjadi sasaran kritik dan
objek penentangan dari penganut madzhab-madzhab tertentu.

4. Penutupan pintu ijtihad. Karena para ulama pada saat itu tidak
mengadakan tindakan-tindakan tertentu dalam bidang penetapan

8
pendapat atau mengadakan jaminan agar ijtihad tidak dilakukan oleh
orang-orang yang tidak berhak. Dari sini timbulah kekacauan dalam
persoalan ijtihad. Pada akhir abad keempat hijriyah, para ulama
menetapkan  tertutupnya pintu ijtihad dan membatasi kekuasaan para
hakim dan mufti dengan pendapat-pendapat atau hasil ijtihad ulama
sebelumnya. Solusi yang ditetapkan para ulama pada saat itu pada
dasarnya menjawab kekacauan dengan kebekuan stagnasi dalam
hukum.

            Abdul Wahhab Khallaf menambahkan satu lagi penyebab


kebekuan  pemikiran fiqh yaitu: “Bahwasanya sudah tersebar luas di
kalangan para ulama berbagai penyakit moral yang menghalangi mereka
dari ketinggian derajat ijtihad. Di kalangan mereka sudah merata penyakit
saling menghasut dan egoisme (mementingkan diri sendiri ataupun
kelompoknya), serta ta’ashub (fanatisme madzhab). Jika ada yang
mencoba mengetuk pintu ijtihad, maka dianggap mencari kemasyhuran
diri, dan jika berani berfatwa, maka akan ditentang dengan fatwa-fatwa
tandingan ataupun cara-cara positif dan negatif yang lain.

 B.  Format Hukum Islam Pada Periode Kemunduran


       Zaman kejayaan umat Islam yang terbangun sebelumnya pada saat itu
mulai berangsur-angsur menemukan titik kesuramannya. Kemunduran itu
mulai terlihat sejak abad keempat hijriah atau sejak Tahun 351 H. Setelah
masa imam-imam mujtahidin berlalu, datanglah zaman kemunduran,
taqlid dan kebekuan. Disebut demikian karena pada zaman tersebut
pudarlah semangat ijtihad, merajalelanya taqlid buta dan timbulnya
kebekuan dalam studi hukum islam.
       Pada zaman itu seolah-olah pintu ijtihad telah tertutup. Para ulama
sudah lemah kemauannya untuk menggapai tingkatan mujtahid mutlak
sebagaimana para ulama madzhab. Demikian pula semangatnya untuk

9
kembali pada sumber-sumber hukum otoritatif, yakni nash-nash al-qur’an
dan sunah telah mulai pudar, hal ini disebabkan karena tingkat
panatismenya pada produk hukum fiqih yang ada lebih dominan. Padahal
semangat itu semua diperlukan dalam rangka menggali hukum-hukum dan
mengistimbatkan hukum yang tidak ada nashnya dengan salah satu dalil
dari dalil-dalil syar’i.
       Sekalipun demikian selama periode taqlid, bukan berarti hukum islam
tidak disajikan dengan nalar-nalar yang orisinil, dimana beberapa aliran
saling bersaing untuk mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Hanya
saja apa yang dapat dinyatakan sebagai fikiran-fikiran yang orisinil itu
hanyalah fikiran sistematik yang abstrak yang tidak memberikan
pengaruh, baik kepada keputusan hukum positif yang sudah ada maupun
kepada doktrin klasik dalam bidang ushul fiqh. Kebanyakan
perkembangan yang bersifat teoretis ini sangat bebas dari Al-Qur’an,
hadist dan ijma’, yang secara teknis menggambarkan bagaiman cara
pemikiran hukum islam, masih perlu untuk diselidiki.
       Menurut pandangan Ahli Tarikh Tasyri’, zaman taqlid ini telah
mengarungi tiga periode di dalam sejarah Islam. Pertama, dari abad
keempat hijriah sampai jatuhnya Bagdad ketangan bangsa Tartar
(pertengahan abad ketujuh hijriah). Pada masa ini permulaan adanya
taqlid. Masing-masing ulama mulai menegakkan fatwa imamnya, menyeru
umat supaya bertaqlid akan madzhab yang dianutnya.
       Ulama Irak mempropagandakan supaya orang bertaqlid kepada
madzhab Imam Malik. Sementara di kota yang menjadi centrum ilmu fiqh,
lahir ulama-ulama yang menyerukan madzhab Imam Syafi’i dan Imam
Ahmad bin Hambal. Hanya dalam satu masalah saja mereka menentang
fatwa imamnya dan inipun jarang dilakukan. Mereka mulai mengkaji
hukum-hukum karangan imam masing-masing menjadi mata pelajaran,
dikaji dan diajarkan. Dimana-mana tempat dan kota sering diadakan
munadzarah atau perdebatan untuk menegakkan madzhab imamnya

10
masing-masing. Sehingga perpecahan sesama umat Islam mulai tampak
dalam pergaulan hidup.
       Kedua, dari abad keempat hijriah sampai abad kesepuluh hijriah.
Dalam periode ini bersifat lebih nyata, sedang ulama-ulama yang berani
merobek tirai taqlid telah amat kurang. Di antara mereka yang masih
menggunakan daya ijtihad di periode ini ialah: Al Bulqini (724 H-809 H ),
Ibnu Rif’ah (645 H-710 H), Ibnu Taimiyah ( 661 H-728 H ), Ibnu Hajar Al
Asqolani ( 773 h- 858 H ), dan lain-lain.
       Ketiga, dari abad kesepuluh hijriah sampai kezaman Muhammad
Abduh. Adapun pada masa ini,  ruh taqlid benar-benar padam. Fatwa –
fatwa haram berijtihad pun hidup di tengah-tengah para ulama. Bahkan
taqlid di masa itu tidak langsung lagi kepada mutaqoddimin dan salaf yang
saleh, namun hanya berhenti kepada seseorang alim yang mendahului
mereka saja. Sebut saja misalnya, mereka telah menghentikan taqlid
dimasa ini kepada Ibnu Hajar Al- Haitami, Ahmad Ar Ramli dan
Zakariyya Al Anshori saja. Paling jauh mereka menghentikan taqlid di sisi
An Nawawi dan Ar Rafi’i di kalangan Syafi’iyah, di sisi Ibnu Humam di
kalangan Hanafiyah, di sisi Al Mazari di golongan Malikiyah dan di sisi
Ibnu Qudamah di kalangan Hanabilah.
       Periode ini ijtihad telah amat padam. Namun dipertengahan abad ke-
17 muncullah dua orang mujtahid, yaitu Muhammad Ibnu Ismail Al Amir
Ash Shan’am, selanjutnya di awal abad ke 20 muncullah seorang ahli
politik Islam yakni Imam Muhammad Abduh dan menumbuhkan kembali
ruh ijtihad tersebut.
       Dari rentang waktu yang relative lama itu, masa yang terkenal dengan
fase kemunduran hukum Islam berada pada abad keempat sampai abad
ketigabelas Hijriah.3 Mereka merasa sudah cukup mengikuti pendapat-
pendapat yang ditinggalkan oleh Imam-imam mujtahidin yang
sebelumnya, seperti Imam malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, dan
Imam Ahmad bin Hambal.

11
       Sejarah yang panjang telah mencatat berbagai faktor yang
melatarbelakangi dinamika kehidupan keilmuan pada saat itu. Pada
umumnya sejarah panjang itu telah tercatat sebagai sejarah yang konteks
sosio-kulturalnya memperlemah pengaruh tiap-tiap prinsip kebangkitan
keilmuan para ulama serta menghalangi aktifitas mereka dibidang hukum-
hukum Islam dan pengembangannya hingga menyebabkan kebekuan
hukum.
       Adapun aktifitas ulama pada zaman ini antara lain menyusun
ringkasan-ringkasan kitab. Di antara kitab-kitab mukhtashar ternyata
banyak pula yang menimbulkan pertanyaan, maka disusun  pula kitab
syarahnya. Meskipun demikian, kita tidak menutup mata, tidak semua
ulama berlaku demikian. Sebab ada satu dua orang yang tetap berfikir
dinamis dan kreatif sekalipun mereka berhadapan dengan tantangan-
tantangan dari para penguasa, yang siap menjebloskannya kedalam penjara
karena keteguhan pendiriannya.
       Klimaks kecenderungan mereka terhadap ucapan-ucapan atau hasil
ijtihad Imam-imam mazhab yang dianutnya sudah sedemikian rupa,
sampai-sampai Abu Hasan Al-Kurkhi dari pengikut Abu Hanifah berkata:
“setiap ayat al-qur’an atau hadits yang bertentangan dengan sesuatu yang
ada pada Imam-imam kami, maka yang demikian itu meniscayakan bahwa
pandangan-pandangan yang bertentangan tersebut ditakwili”.
       Dengan demikian pembentukan hukum pada saat itu hanya terbatas
pada apa yang disampaikan oleh para imam-imam mujtahid periode
terdahulu, tidak memperhatikan perjalanan yang ada atau terjadi serta
tidak mengamati perkembangan masyarakat, kemajuan ilmiah dan
muamalah, urusan peradilan-peradilan dan kejadian-kejadian problematika
hukum yang baru.

12
 C.  Aktivitas Ilmiah dan Upaya Ulama dalam Mengatasi
Kemunduran
          Meskipun masa tersebut kita namakan masa kemunduran dan
kebekuan pemikiran fiqh secara umum dan meskipun terdapat banyak
faktor yang mematikan para ulama melakukan ijtihad mutlaq dan
mengembangkan hukum-hukum syar’i dari sumber-sumbernya yang
pertama (al-qur’an dan hadits), namun tidaklah berarti mematikan secara
mutlak usaha-usaha pencurahan kesungguhan sebagian mereka. Sebagian
di antara mereka dalam pembentukan hukum di lingkungan daerah-daerah
mereka yang terbatas. Oleh karena itu, masa ini tidak sepi dari fuqaha-
fuqaha bebas yang menentang taqlid buta dan menyuarakan kembali
kepada al-qur’an dan hadist secara konsekuen, sekalipun kreatifitas dan
dinamisasi berfikir mereka ini harus berhadapan dengan tantangan-
tantangan dari para penguasa yang siap menjebloskannya dalam penjara
karena keteguhan pendiriannya.

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Ada banyak perilaku yang patut diterapkan sebagai cerminan penghayatan


terhadap sejarah perkembangan Islam di abad pertengahan khususnya pada
masa kemunduran,yakni:
1. Sejarah merupakan pelajaran bagi manusia agar di kemudian hari
perilaku atau perbuatan kaum muslim yang membuat kaum muslim dan
umat manusia lainnya menderita tidqak terulang lagi. Lemahnya persatuan
umat Islam dapat dijadikan celah pihak lain untuk memundurkan peran
kaum muslim, baik dari kancah perekonomian maupun politik. Oleh
karena itu, umat Islam hendaknya mampu mengubah tata kehidupannya
yang seimbang antara kepentingan duniawi dan ukhrawinya serta
senantiasa meningkatkan wawasan keislamannya melalui rujukan Al
Qur’an dan Hadis.
2. Umat Islam harus mengambil pelajaran dari negara barat. Mereka
semula jauh tertinggal dibandingkan dengan kemajuan peradaban dan ilmu
pengetahuan umat Islam, tetapi kemudian mereka dapat mengejar
kemajuan peradaban dan ilmu pengetahuan umat islam
3. Keberadaan cendekiawan pada masa perkembangan Islam abad
pertengahan seperti Ibnu Sina, Al Farabi, dan Ibnu Rusyd haurs menjadi
inspirasi dan inovasi bagi uamt Islam untuk terus mempelajari berbagai
disiplin ilmu demi melanjutkan cita-cita perjuangan tokoh-tokoh muslim
pada abad pertengahan tersebut sehingga Islam mampu membawa rahmat
bagi seluruh dunia.

14
DAFTAR PUSTAKA

Qadri Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional (Jogjakarta; Gama Media,


2002.
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Cet. III; Jakarta:
Akademika Pressindo, 2001.
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Edisi Revisi. Cet. I;
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013.
Amad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia. Cet. I; Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 1995.
Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam. Cet.
II; Padang: Angkasa Raya, 1993.
Amrullah Ahmad dkk., Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum
Nasional. Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 1996.

15

Anda mungkin juga menyukai