Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

“SEJARAH KEMUNDURAN FIQH DAN FAKTOR-FAKTORNYA


SERTA MASA KEBANGKITAN DAN PEMBAHARUAN FIQH”
(Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Fiqih)

Dosen Pengampu;
Abdul Aziz, M.HI

Disusun oleh :

Hartika Nurfaizah : 200201110020


Muhammad Nabil Azizy Saputra : 200201110021
Mochamad Riskana Barkah : 200201110034
Arif Fadhil Fikri : 200201110039

PROGRAM SARJANA
HUKUM KELUARGA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wr. Wb.


Tiada kata yang paling indah selain ucapan syukur kepada Allah SWT yang telah
mengaruniakan keluasan ilmu bagi manusia. Shalawat dan salam semoga terus
tercurahkan kepada baginda Rasulullah SAW yang telah memberikan teladan dalam hal
akhlak dan ilmu pengetahuan.
Makalah yang hadir di hadapan pembaca ini, dibuat untuk memenuhi tugas mata
kuliah Studi Fiqih. Semoga makalah ini memenuhi syarat seperti yang diharapkan.
Maka dari itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Abdul Azis, M.HI selaku dosen mata kuliah Studi Fiqih yang telah memberikan
bimbingan dan arahan untuk pengerjaan tugas ini.
2. Orang tua dan teman-teman yang telah memberikan do’a dan dukungannya
sehingga tugas ini dapat terselesaikan.
3. Pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

enulis yakin dalam penulisan makalah ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh
karena itu, saran dan kritik yang membangun dari pembaca sangat diharapkan penulis
dan hal itu sekaligus menjadi koreksi bagi penulis agar dapat memperbaiki penulisan
selanjutnya.

Makassar, 16 November 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... i


DAFTAR ISI .................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................ 1
A. LATAR BELAKANG ........................................................................................... 1
B. RUMUSAN MASALAH ...................................................................................... 1
C. TUJUAN PENULISAN ........................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................. 2
A. Sejarah Kemunduran Fiqh ....................................................................................... 2
B. Faktor-Faktor Penyebab Kemunduran Fiqh ............................................................. 3
C. Masa Kebangkitan Fiqh ........................................................................................... 4
D.Masa Pembaharuan Fiqh ........................................................................................... 6
BAB III PENUTUP .......................................................................................................... 9
D. Kesimpulan ............................................................................................................ 9
E. Saran ...................................................................................................................... 9
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 10

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Sejak permulaan abad ke-4 H atau abad ke 10-13 M, ilmu fiqih mulai
berhenti berkembang. Ini terjadi di akhir (penghujung) pemerintahan dinasti
Abbasiyah. Pada masa ini, para ahli hukum hanya mempelajari pikiran-pikiran para
ahli sebelumnya yang telah dituangkan ke dalam buku berbagai madzhab.
Sejak itu mulailah gejala dengan hanya mengikuti pendapat para ahli
sebelumnya (Ittiba’-Taqlid). Para ahli hukum dalam masa ini tidak lagi menggali
hukum fiqh islam dari sumbernya yang asli tetapi hanya sekedar mengikuti
pendapat-pendapat yang telah ada dalam madzhabnya masing-masing.
Dengan kata lain, masyarakat terus berkembang sedang pemikiran
hukumnya berhenti. Terjadilah kemunduran dalam hukum islam. Sejak itu mulailah
gejala dengan hanya mengikuti pendapat para ahli sebelumnya (Ittiba’-Taqlid), yang
masa ini sering dikenal sebagai zaman kelesuan pemikiran.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana sejarah kemunduran fiqh?
2. Apa saja yang menjadi faktor penyebab kemunduran fiqh?
3. Bagaimana masa kebangkitan dan pembaharuan fiqh?

C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui bagaimana sejarah kemunduran fiqh.
2. Untuk mengetahui apa saja yang menjadi faktor penyebab kemunduran fiqh.
3. Untuk mengetahui masa kebangkitan dan pembaharuan fiqh.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Kemunduran Fiqh


1. Periode Kemunduran
Periode kemunduran ini memakan waktu yang cukup panjang, yaitu sekitar
sembilan setengah abad. Periode ini dimulai dari pertengahan abad keempat Hijriyah
sampai kurang lebih akhir abad ketiga belas Hijriyah yaitu waktu pemerintahan Turki
Usmani memakai kitab undang-undang yang dinamai Majalah Al-Ahkam Al-Adliyah.
Dalam undang-undang tersebut materi-materi fiqh disusun dengan sistematis dalam
satu Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan pada periode tersebut kota Baghdad
jatuh ke tangan tentara Mongol.
Pada periode ini, pemerintah Bani Abbasiyah mulai melemah akibat berbagai
konflik. Banyak daerah yang melepaskan diri dari kekuasaanya dan mendirikan
kerajaan-kerajaan sendiri, seperti kerajaan Bani Samani di Turkistan (874M-999M),
Bani Ikhsydi di Mesir (935M-1055M) dan beberapa kerajaan kecil lainnya yang antara
satu dengan lain saling berebut pengaruh dan banyak terlibat dalam situasi konflik.
Pada umumnya ulama yang berada di masa itu sudah lemah kamauannya untuk
mencapai tingkat mujtahid mutlak sebagaimana dilakukan oleh para pendahulu mereka
pada masa kejayaan. Situasi kenegaraan yang berada dalam konflik, tegang dan lain
sebagainya itu ternyata sangat berpengaruh kepada kegairahan ulama yang mengkaji
ajaran Islam langsung dari sumber aslinya, Al-Qur’an dan Hadis. Mereka merasa puas
hanya dengan mengikuti pendapat-pendapat yang telah ada dan meningkatkan diri
kepada pendapat tersebut kedalam madzhab-madzhab fiqhiyah. Sikap inilah kemudian
yang mengantarkan dunia Islam ke alam taklid dan terperangkap ke alam pikiran yang
jumud juga statis.

2
B. Faktor-Faktor Penyebab Kemunduran Fiqh
Pada periode ini umat islam mengalami kemunduran di bidang politik,
pemikiran, mental, dan kemasyarakatan yang mengakibatkan pula kemunduran dalam
bidang fiqih.
1. Kemunduran di Bidang Politik
Terpecahnya dunia Islam menjadi beberapa wilayah kecil yang masing-masing
keamiran hanya sibuk saling berebut kekuasaan mengakibatkan
ketidaktentraman masyarak at muslim. Kondisi yang semacam ini pada
gilirannya menyebabkan kurangnya perhatian terhadap ilmu dan pemikiran
tentang fiqh. Dan pada akhir kekuasaan Abbasiyah khalifah dijadikan boneka,
daerah-daerah yang dikuasainya berdiri sendiri dan saling bermusuhan.

2. Timbulnya Taqlid
Periode ini adalah fase terpanjang dalam sejarah fiqh Islam mengalami
kemunduran dan jumud. Jika di zaman generasi pertama kita bisa melihat para
fuqaha’ yang sibuk menggali fiqh, mencari illat, dan berijtihad maka pada
periode ini para ulamanya sudah beralih profesi menjadi taqlid buta, padahal
mereka memiliki kemampuan untuk menempuh jalan pendahulunya. Mereka
tidak hanya melakukan taqlid mutlak, semangat untuk menulis buku juga
menurun sehingga hasil karya ilmiah para fuqaha’ juga sangat minim dan hanya
terbatas pada apa yang sudah mereka temukan dalam kitab pendahulu, lalu
dihafal dan dikaji, jauh dari ijtihad dan hanya membuat beberapa penjelasan
singkat. Kegiatan Ijtihad pada masa ini terbatas pada usaha pengembangan,
pensyarahan dan perincian kitab fiqih dari imam mujtahid yang ada (terdahulu),
dan tidak muncul lagi pendapat atau pemikiran baru.

3. Menganggap Mazhab Sebagai Sesuatu yang Mutlak Kebanarannya


Dengan dianutnya pendapat madzhab tanpa pikiran yang kritis serta
dianggapnya sebagai sesuatu yang mutlak benar, menyebabkan orang tidak mau
meneliti kembali pendapat-pendapat tersebut. Orang orang sudah merasa cukup
dengan mengikuti madzab tersebut bahkan mempertahankannya dan
membelanya tanpa mengembalikan kepada sumber pokok Al-Qur’an dan

3
Sunnah. Hal ini diperkuat lagi oleh penerapan satu mazhab tertentu bagi suatu
wilayah kekuasaan tertentu. Misalnya pemerintahan Turki termasuk para
Hakim-nya menganut mazhab Hanafi. Kekuasaan di sebelah barat mengokohkan
madzhab Maliki dan di sebelah timur madzhab al-Syafi’i.

4. Banyaknya kitab-kitab fiqh


Para ulama dengan mudah bisa menemukan jawaban-jawaban terhadap masalah-
masalah yang dihadapi. Setelah munculnya kitab-kitab fikih, para ulama hanya
disibukkan dengan kegiatan yang berkutat pada kitab fikih melalui upaya
pembuatan ringkasan (al-mukhtashar), penjelasan (syarh), dan penjelasan atas
penjelasan (hasyisah). Dalam kitab Muqaddimah, Ibnu Khaldun menyatakan
bahwa melakukan kegiatan yang berkutat pada kitab fikih adalah kegiatan yang
menyulitkan karena yang belajar diharuskan menguasai, menghafal, dan
menjaga seluruh isi serta cara-cara yang ditempuhnya.

5. Jatuhnya Cordoba sebagai pusat kebudayaan Islam di Barat


Tahun 1213 M dan kemudian jatuhnya Baghdad sebagai pusat kebudayaan Islam
di Timur tahun 1258 M, maka berhentilah denyut jantung kebudayaan Islam
baik di Barat maupun di Timur. Ditambah lagi dengan kehancuran masyarakat
Islam masa itu. Ulama-ulama di bagian Timur berusaha mencoba untuk
menyelamatkan masyarakat yang sudah hancur itu dengan melarang berijtihad
untuk menyeragamkan kehidupan sosial bagi semua rakyat, dengan demikian
diharapkan timbulnya ketertiban sosial. Rupanya usaha ini tidak hanya
tergantung kepada keseragaman kehidupan sosial tetapi juga kepada hasil
kekuatan dan kreativitas perorangan.

C. Masa Kebangkitan Fiqh


Setelah mengalami masa kemunduran, timbullah kebangkitan kembali sebagai
reaksi terhadap sikap taqlid yang membawa pada kemunduran selama beberapa abad,
sehingga para pemikir islam memulai gerakan-gerakan baru sebagai usaha untuk
membangkitkan islam kembali. Termasuk didalamnya hal pemikiran hukum islam.
Fenomena ini merupakan suatu wujud kesadaran dari kebangkitan hukum islam.

4
Fase ini dimulai dari akhir abad ke-13 H sampai pada hari ini. Oleh karena itu
fase ini mempunyai karakteristik dan corak tersendiri, antara lain dapat menghadirkan
fiqh ke zaman baru yang sejalan dengan perkembangan zaman, dapat memberi paham
atau masukan dalam menentukan jawaban bagi setiap permasalahan yang muncul pada
hari ini dari sumbernya yang asli, menghapus taqlid.
Ahli sejarah mencatat bahwa kesadaran itu muncul ketika Napoleon Bonaparte
menduduki Mesir pada tahun 1798 M. kejatuhan Mesir ini menginsafkan umat islam
betapa lemahnya mereka dan betapa di Dunia barat telah timbul peradaban baru yang
lebih tinggi dan merupakan ancaman bagi Dunia Islam. Gerakan pembaharuan ini cukup
berpengaruh pula terhadap perkembangan fiqih. Banyak diantara pembaharu merupakan
ulama yang berperan dalam perkembangan fiqih itu sendiri. Sebenarnya, usaha kearah
pembaharuan ini telah diawali oleh Ibn Taimiyah pada awal abad VII H. Tokoh yang
terlahir di Harran, Syiria, 12 januari 1236 M ( 10 robiul Awwal 661 H ) dan terkenal
sebagai tokoh yang sangat keras menentang ketidakbenaran dalam praktik keagamaan
umat islam ini, telah meresmikan perang terhadap taklid di peralihan abad ketiga belas
dan keempat belas Masehi.
Selanjutnya pada abad ke-19 Hijriah,lahirlah Jamaluddin Al-Afghani dan
Muhammad Abduh yang menyerukan kepada dunia Islam untuk meninggalkan taqlid.
Gerakan membuka kembali pintu ijtihad dengan merujuk langsung kepada Al-Qur’an
dan Sunnah ini dilakukan oleh dunia Islam yang bersentuhan dengan peradaban modern
seperti Turki, India, Mesir
Kebangkitan fiqih pada masa ini disebabkan oleh beberapa sebab yang
melatarbelakangi hal tersebut, adapun diantaranya
1. Perhatian para khalifa Abbasiyah terhadap fiqih dan fuqaha
2. Meluasnya Negara islam
3. Lahirnya mujtahid-mujtahid besar yang memiliki kemampuan fiqih yang
mendalam
4. Kodifikasi Hukum Fiqh
Tujuan dari kodifikasi ini adalah untuk merealisasikan dua tujuan berikut:
Menyatukan semua hukum dalam setiap masalah yang memiliki kemiripan
sehingga tidak terjadi tumpang tindih
Upaya untuk menjadikan fiqh sebagai undang-undang, Upaya tersebut sudah
muncul sejak awal abad kedua hijriah ketika khalifah Abu jafar Al-Mansur agar
undang-undang Negara diambil dari Al-Quran dan Sunnah dan ketika tidak ada
nash maka cukup dengan ijtihad sendiri sesuai dengan kemaslahatan umat.

Tokoh-tokoh fiqih : Abu Hanifah (Mazhab Hanafi), Malik ibn Anas (Mazhab Maliki),
Muhammad ibn Idris al-Syafi’i (Mazhab Syafi’i), dan Ahmad ibn Hambal (Mazhab
Hambali).

5
Tokoh-tokoh kebangkitan fiqih islam : Tokoh-tokoh yang berjasa dalm kebangkitan
fiqih Islam, mereka adalah; Muhammad Abduh, Syeikh Muhammad AsSirhindi, Sayyid
Ahmad Syahid, Muhammad Ali Pasya, Jamaluddin Al-Afghani, Rasyid Rida, Sultan
Mahmud II, Muhammad Iqbal

D.Masa Pembaharuan Fiqh


Para ulama umumnya melakukan ijtihad atas dasar ajaran masing-masing imam
mazhab yang dianutnya dan sering diwarnai kefanatikan mazhab yang berlebihan. Hal
ini bisa dimaklumi karena mazhab yang empat pada waktu itu sudah mempunyai
kedudukan yang stabil di dalam masyarakat. Dan perhatian masyarakat umumnya tidak
lagi ditujukan kepada al-Qur’an dan al-Sunnah, tetapi kepada hukum-hukum fiqh.
Melihat kondisi seperti itu, Ibn Taimiyah tampil melakukan pembaharuan
hukum. Adapun pembaharuan hukum Islam yang ia canangkan – yang tertuang dalam
Kitab Majmu’ al-Rasa’il al-Kubra dan Kitab Al-Fatawa menggunakan prinsip-prinsip
antara lain:
Pertama, ia menyerukan umat Islam untuk meninggalkan sifat “ta’ashshub”
(fanatik) kepada suatu mazhab fiqh. Dalam kitab Majmu’ al-Rasa`il ia berkata: “Orang-
orang yang fanatik kepada suatu mazhab, sebenarnya sama saja dengan pengikut hawa
nafsu.” Maksudnya, orang yang hanya mau mengikuti keinginan pribadi bukan
keinginan agama yang benar. Apakah fanatik tersebut kepada Imam Malik, Abu
Hanifah, Ahmad, atau imam-imam lainnya, adalah sama saja. Seorang yang fanatik
akhirnya tidak akan mau tahu tentang kadar pengetahuan dan agama imamnya, dan juga
kadar pengetahuan agama imamimam lain. Hal ini membuat seseorang menjadi bodoh
dan zhalim, sedangkan Allah menyuruh seseorang untuk pintar dan adil di samping
melarang kezhaliman dan kebodohan.
Kedua, Ibnu Taimilyah melarang taqlid. Dalam hal ini beliau mengulangi
kembali ucapan Imam Ahmad: “Jangan ada yang bertaqlid kepadaku, dan jangan pula
bertaqlid kepada Malik, Syafi’i, atau Tsauri. Belajarlah, sebagaimana kami belajar.
Seseorang haram bertaqlid kepada orang lain, karena tidak ada jaminan bahwa mereka
tidak keliru, mempelajari ketentuan agama (al-tafaqquh) adalah suatu kewajiban, maka
siapa saja yang tidak mau belajar tidak dapat dikatakan telah mengetahui
agama.”Menurutnya, ijtihad merupakan suatu persoalan yang tidak hanya dimonopoli
oleh seseorang, melainkan dapat dilakukan oleh banyak orang sesuai dengan petunjuk
al-Qur’an.
Ketiga, menentang dan mencela para fuqaha dan para sufi yang menginginkan
bentuk ke-wara’-an (kealiman) tertentu yang berlebih-lebihan dan tidak mempunyai
sandaran syara’. Menurut Ibn Taimilyah, berlebih-lebihan dalam hal wara’ adalah
pekerjaan mubadzir dan melampaui batas, yang berarti meninggalkan prinsip Islam
tentang kewajaran.

6
Selanjutnya, proses perkembangan Pembaharuan Hukum Islam Ibn Taimiyah
dapat dikategorikan ke dalam tiga periodesasi. Fase pertama, dalam menyampaikan
fatwa-fatwanya, Ibn Taimiyah terikat dengan fiqh Hanabilah pada umumnya dan fiqh
Ahmad ibn Hanbal khususnya. Fase kedua, Ibn Taimiyah mulai mengadakan
pembahasan mendalam terhadap hampir semua mazhab fiqh yang ada, kemudian
memperbandingkan pendapat mereka, setelah itu memilih pendapat yang menurutnya
lebih dekat kepada al-Qur’an, Hadis, dan Asar alShahabah. Fase ketiga, Ibn Taimiyah
melakukan ijtihad secara mandiri langsung memahami nash al-Qur’an dan al-Hadis
dengan memperhatikan tujuan umum syari’at (maqashid al-syari’ah al-‘ammah), tanpa
terikat dengan mazhab tertentu. Pada fase ini, Ibn Taimiyah menyampaikan fatwa-fatwa
dengan bebas walaupun pada hakekatnya tidak keluar dari lingkungan pendapat
mazhab-mazhab yang ada.
Tanpa menutup kemungkinan secara kebetulan ada kesamaan pendapat dengan
mazhad terdahulu, namun tidak dengan pendirian Ibn Taimiyah yang menyatakan
bahwa masalah-masalah keagamaan itu pada dasarnya telah dijelaskan oleh Nabi dan
para shahabat, baik mengenai masalah ushul maupun furu’. Pada sisi lain Ibn Taimiyah
berpendapat bahwa setiap orang yang membicarakan fiqh hendaknya betul-betul
memperhatikan mujmal dan qiyas. Sebab banyak orang keliru ketika memberikan
takwil dan qiyas. Ia melarang menetapkan hukum berdasarkan ‘am dan mutlak sebelum
memperhatikan takhshish dan taqyidnya. Begitu pula jangan menggunakan qiyas
sebelum memperhatikan apakah dilalah nash tidak bertentangan dengannya. Umat Islam
harus merujuk kepada al-Qur’an dan al-Hadis sebelum menggunakan akal dan qiyas.
Beberapa contoh ijtihad Ibn Taimiyah
Sekedar untuk memperjelas tentang pembaharuan hukum Islam, berikut contoh
materi pembaharuan yang dilakukan oleh Ibn Taimiyah.
1. Ijtihad Ibn Taimiyah dalam masalah ibadah:
a. Sujud tilawah adalah sujud yang dilakukan seseorang ketika membaca atau
mendengar ayat-ayat sajdah, baik pada waktu mengerjakan shalat maupun tidak. Sujud
tilawah ini dilakukan satu kali dengan bertakbir lebih dahulu ketika hendak sujud dan
ketika bangun dari sujud. Menurut kebanyakan ahli fiqh, mengerjakan sujud tilawah itu
sunnah hukumnya, tetapi Abu Hanifah menyatakannya sebagai perbuatan ibadah yang
wajib meskipun bukan fardhu.Para ulama Hanafiah berpendapat bahwa berdosa
hukumnya orang yang tidak melakukan sujud tilawah pada saat ia membaca atau
mendengar ayat sajdah.Kebanyakan ahli fiqh mengidentikan sujud tilawah dengan
shalat, dan karenanya mereka menyamakan persyaratan sujud tersebut dengan
persyaratan yang berlaku untuk shalat, seperti harus menghadap kiblat, menutup aurat,
dan suci dari hadas.
b. Tidak ada ketentuan jarak dan waktu untuk mengerjakan shalat qashar dan
berbuka puasa bagi musafir. Menurut Imam Malik, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, dan
ulama lainnya, shalat qashar dan ifthar bagi musafir tidak boleh dilakukan kecuali

7
dalam perjalanan yang jaraknya minimal 2 (dua) marhalah, yakni perjalanan yang
memakan waktu dua hari atau sehari semalam. Sedangkan menurut Abu Hanifah, batas
minimal diperbolehkannya ifthar dan qashar bagi musafir adalah tiga marhalah, yakni
tiga hari perjalanan.Menurut Ibn Taimiyah, ayat al-Qur’an yang berbicara masalah
qashar dan ifthar bagi musafir adalah Surat al-Nisa’ ayat 101 dan al-Baqarah ayat 184.
Kedua ayat itu tidak menjelaskan tentang batasan boleh atau tidaknya melaksanakan
qashar dan ifthar bagi musafir. Atas dasar ini, menurut Ibn Taimiyah tidaklah tepat
menentukan dan membatasi jarak waktu kebolehan melakukan qashar dan ifthar.
c. Tidak patut memberikan zakat kepada orang yang maksiat. Menurut
Jumhur Ulama, zakat dapat diberikan kepada siapa saja yang tercakup dalam delapan
ashnaf. Pendirian Ibn Taimilyah menurut Yusuf Musa agaknya lebih banyak disebabkan
oleh keinginan dan kecintaannya yang kuat untuk mewujudkan masyarakat Islam yang
benar-benar taat kepada Allah dan Rasul-Nya.

8
BAB III
PENUTUP

D. Kesimpulan
Periode kemunduran fiqih memakan waktu yang cukup panjang, yaitu sekitar
sembilan setengah abad. Periode ini dimulai dari pertengahan abad keempat
Hijriyah sampai kurang lebih akhir abad ketiga belas Hijriyah yaitu waktu
pemerintahan Turki Usmani. Keruntuhan Baghdad menjadi awal mula runtuhnya
keilmuan Islam termasuk Fiqih. Beberapa faktor yang menjadi runtuhnya fiqih
antara lain, muncul dan berkembangnya taklid di kalangan fuqaha serta yang
paling menjadi penyebab utama runtuhnya keilmuan Islam adalah jatuhnya
Cordoba dan Baghdad ke tangan tentara Mongol. Setelah mengalami masa
kemunduran, timbulah kebangkitan kembali sebagai reaksi terhadap sikap taqlid
yang membawa pada kemunduran selama beberapa abad, sehingga para pemikir
islam memulai gerakan-gerakan baru sebagai usaha untuk membangkitkan islam
kembali. Kebangkitan Fiqih ditandai dengan munculnya para imam-imam Fiqih
seperti Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’I, Imam Maliki dan sebagainya.
Termasuk meluasnya ajaran Islam ke penjuru dunia sebagai tanda bangkitnya
kembali fikih dari keterpurukan. Selanjutnya, proses perkembangan Pembaharuan
Hukum Islam Ibn Taimiyah dikategorikan ke dalam tiga periodesasi. Fase
pertama, dalam menyampaikan fatwa-fatwanya. Fase kedua, Ibn Taimiyah mulai
mengadakan pembahasan mendalam terhadap hampir semua mazhab fiqh yang
ada, kemudian memperbandingkan pendapat mereka, setelah itu memilih
pendapat yang menurutnya lebih dekat kepada al-Qur’an, Hadis, dan Asar al
Shahabah. Fase ketiga, Ibn Taimiyah melakukan ijtihad secara mandiri langsung
memahami nash al-Qur’an dan al-Hadis dengan memperhatikan tujuan umum
syari’at (maqashid al-syari’ah al-‘ammah), tanpa terikat dengan mazhab tertentu.

E. Saran
Kami selaku penyusun makalah menyadari bahwa makalah ini masih jauh
dari kata sempurna. Olehnya itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun
sangat kami harapkan dari pembaca. Semoga dengan adanya makalah mengenai
kemunduran dan kebangkitan kembali fiqh islam ini bisa menumbuhkan semangat
pembaca untuk senantiasa berpikir kritis dan bisa mengembangkan wawasan.

9
DAFTAR PUSTAKA

http://pikirdandzikir.blogspot.com/2017/10/fiqih-pada-masa-kemunduran-
dan.html?m=1

http://sitimahdzuroh.blogspot.com/2015/01/ilmu-fiqh-pada-masa-
kemunduran.html?m=1

https://enamardianingsih.wordpress.com/2013/11/09/sejarah-perkembangan-fiqih-
makalah-fase-fase-perkembangan-fiqih/

http://pikirdandzikir.blogspot.com/2017/10/fiqih-pada-masa-kemunduran-dan.html

https://knowledgeisfreee.blogspot.com/2015/12/makalah-periode-kebangkitan-
kembali.html#:~:text=Kebangkitan%20fiqih%20dimulai%20dari%20akhir,hijriyah%20
sampai%20pada%20hari%20ini.&text=Pembahasan%20fiqih%20Islam%2C%20dengan
%20memberikan,ilmiah%20dan%20menerbitkan%20ensiklopedi%20fiqih.

10

Anda mungkin juga menyukai